• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Anatomi dan Fungsi Peritoneum

Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah. Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi dinding bagian dalam rongga abdomen, diafragma dan organ retroperitoneum dan peritoneum visceral yang melapisi seluruh permukaan organ dalam abdomen. Luas total peritoneum lebih kurang 1,8 m2. Setengahnya (±1) m2 berfungsi sebagai membran semipermeabel terhadap air, elektrolit, serta makro dan mikro molekul. (Cheong, 2001)

Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. (Zhang, 2011)

2.2. Definisi

Adhesi peritoneal adalah pembentukan jaringan ikat patologis antara omentum, usus dan dinding perut. Perlengketan ini dapat berupa jaringan ikat tipis seperti film, jaringan fibrosis yang tebal mengandung pembuluh darah dan jaringan saraf, atau perlengketan langsung antara dua permukaan organ (Binda, 2009). Menurut etiologinya, adhesi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bawaan atau didapat sebagai reaksi post inflamasi atau pasca operasi yang merupakan kasus terbanyak. (Binda, 2004; Schoman, 2009)

Di antara pembentukan adhesi pasca operasi, dapat dibedakan atas tiga proses: adhesion formation (perlekatan terbentuk pada tempat operatif); de novo ahesion formation (perlekatan terbentuk tidak pada tempat operatif), dan adhesion reformation (adhesi yang terbentuk setelah pembebasan adhesi sebelumnya). Diamond dkk membedakan pembentukan adesi peritoneal menjadi 2 tipe (Arung, 2011). Tipe 1 atau de novo adhesion formation dimana adhesi terbentuk pada lokasi yang sebelumnya tidak ada dijumpa adhesi, termasuk tipe 1A (tidak ada prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi) dan tipe 1B (ada prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi). Tipe 2 adalah pembentukan adhesi kembali dimana

(2)

dibagi lagi menjadi 2 sub tipe; tipe 2A (tidak ada prosedur operasi di lokasi adhesi selain adhesiolisis) dan tipe 2B (terdapat prosedur operasi lainnya di lokasi adhesi selain adhesiolisis). (Arung, 2011)

2.3. Etiologi

Banyak faktor yang dapat menimbulkan adhesi pasca laparotomi, antara lain; infeksi intrabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis akut, divertikulitis, penyakit crohn’s, kolesistitis, penyakit radang pelvis ( PID), abses intraabdomen dan abses hati), trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar), cedera panas (kauterisasi, paparan lampu operasi), iskemia (termasuk jahitan yang tegang, tebal dan kasar, kauterisasi, kekeringan serosa, devaskulerisasi), paparan benda-benda asing seperti bubuk tepung dari sarung tangan, atau potongan benang. (Schonman, 2009)

Sebagian besar adhesi peritoneal disebabkan oleh prosedur pembedahan didalam rongga peritoneal (Corona, 2011). Prevalensi kejadian adhesi peritoneal pasca tindakan operasi intra abdominal antara 63% -97% (Cheong, 2001; Bates, 2011). Secara keseluruhan, sekitar sepertiga dari pasien yang menjalani operasi bedah terbuka pada perut atau panggul datang kembali ke pusat rawatan rata-rata dua kali dalam 10 tahun diakibatkan oleh kondisi yang berhubungan dengan komplikasi adhesi peritoneal. Lebih dari 20 % penderita datang kembali ke pusat kesehatan pada tahun pertama setelah operasi awal, dan 4,5% dari pasien tersebut akibat obstruksi adhesi usus halus. (Shou-Chuan, 2003)

Pembedahan kolorektal merupakan jenis operasi yang paling banyak menyebabkan adhesi peritoneal. Obstruksi usus halus adalah komplikasi yang paling umum dari adhesi peritoneal (Fang, 2010; Pismensky, 2011; Cheong, 2001; Bates, 2011). Pada Westminster Hospital (London, Inggris) obstruksi usus menyumbang 0,9% dari seluruh rawatan. Sebuah survei di Inggris 1992 melaporkan jumlah kasus obstruksi adhesi usus halus tahunan mencapai 12.000-14.400. Pada tahun 1988 di Amerika Serikat, kasus rawatan untuk adhesiolisis menyumbang hampir 950.000 rawatan (Kamel, 2010). Semua studi ini menunjukkan bahwa obstruksi adhesi usus halus adalah masalah kesehatan yang signifikan baik di negara maju dan berkembang. (Ikechebelu, 2010)

(3)

2.4. Patofisiologi Pembentukan Adhesi

2.4.1. Respon Trauma Pada Peritoneum

Trauma pada jaringan mesothelium peritoneum menimbulkan reaksi inflamasi sebagai respon tubuh. Di tingkat selular, dilepaskan prostaglandin dan diaktifkan komponen inflamasi seperti netrofil, makrofag, sel mast, basofil, platelet, sel endothelial limfosit dan leukosit. Sel mast melepaskan mediator inflamasi berupa histamin, serotonin, enzim lisosom, faktor kemotaksis, dan sitokin serta metabolit oksigen reaktif untuk membunuh bakteri, mengeliminir benda asing dan memperbaiki fungsi tubuh baik secara anatomi dan fisiologi. (Arung, 2011)

Histamin menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah peritoneum menghasilkan transudasi yang kaya fibrinogen ke dalam rongga peritoneum, dan menyebabkan netrofil memasuki daerah luka. Fungsi utama sel netrofil adalah fagositosis, menghancurkan bakteri dan membantu membersihkan jaringan yang mati. Infiltrasi sel netrofil mencapai puncaknya setelah 24 jam dan secara perlahan digantikan oleh monosit. Monosit selanjutnya berubah menjadi makrofag yang akan melanjutkan penghancuran bakteri dan debrideman luka. (Arung, 2011; Mahdy, 2008)

Makrofag mensekresikan Transforming Growth Factor Beta (TGF β) yang merangsang proliferasi fibroblast dan regulasi sel mesotelium untuk menghasilkan fibrin. Pada hari kedua makrofag akan membentuk lapisan pada peritoneum yang mengalami trauma. Deposit fibrin akan terbentuk antara 48 sampai 72 jam pascalaparotomi. Pada hari ketiga dan keempat terjadi infiltrasi dan proliferasi sel fibroblast. Pada saat ini juga terjadi proliferasi sel endotel pada proses neovaskulerisasi, proses re-epitelisasi jaringan peritoneum. (Arung, 2011; Liakakos, 2001)

Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan meningkat pesat pada hari kedelapan setelah regenerasi sel mesotelium secara komplek. Bila proses fibrinolisis berlangsung normal maka pada hari keempat dan kelima sel mesotelium akan tumbuh di sepanjang garis luka dan menutupi kerusakan secara total. Mulai hari ke lima dan keenam jumlah makrofag akan menurun dan pada

(4)

hari ke delapan sel mesotelium akan menutupi luka dan beregenerasi secara komplek. (Emre, 2009; Cahill, 2008)

Seluruh permukaan peritoneum yang mengalami trauma akan mengalami reepitelisasi secara simultan sehingga defek peritoneum baik besar maupun kecil akan sembuh secara sempurna dengan sama cepat. Berbeda pada kulit, proses penyembuhan terjadi secara sentripetal dari pinggir. (Jomezadeh, 2012; Binda, 2004)

2.4.2. Mekanisme Terjadinya Adhesi

Cedera pada peritonium menyebabkan terjadinya peningkatan

permiabilitas pembuluh darah pada area tersebut, hal ini menyebabkan terjadinya eksudasi dari sel-sel inflamasi yang mengawali terbentuknya matrik fibrin, yang menghubungkan kedua permukaan peritoneal yang cedera. (Cahill, 2008)

Setelah terjadinya pembentukan jaringan ikat fibrin, fibrinolisis akan memecah jaringan ikat tersebut. Bila sistem fibrinolisis tersebut gagal dalam melisis jaringan ikat tersebut maka akan terbentuk jaringan ikat yang persisten. (Bates, 2011)

Secara normal penyembuhan luka terjadi tanpa adanya pembentukan adhesi. Kerusakan jaringan akan diikuti dengan pembentukan fibrin. Tromboplastin, protrombin dan trombin akan mengaktifasi fibrinogen menjadi fibrin. Bekuan platelet yang berasal dari agregasi platelet bersama dengan bekuan fibrin membentuk jaringan fibrin. (Aysan, 2012)

Banyak studi eksperimental telah membuktikan bahwa berbagai bentuk cedera pada mesothelium secara nyata menurunkan potensi fibrinolisis. Whitaker dkk, menunjukkan bahwa kultur murni sel mesothelium memiliki kemampuan fibrinolisis. Didukung suatu studi Antibodi Inhibisi dan Antigenik Immunoassays yang menjelaskan bahwa tissue Plasminogen Activator (tPA) adalah plasminogen aktivator utama pada biopsi peritoneal manusia, yang merangsang lisisnya fibrin dan mencegah perlekatan serosa. (Cohen, 2007)

Namun, selama periode awal setelah pembedahan terjadi proses iskemia dan inflamasi, hal ini menyebabkan Plasminogen Activator Activity (PAA) menghilang ini terutama dikaitkan dengan peningkatan dramatis Plasminogen

(5)

Activator inhibitor (PAI) dalam peritoneum yang cedera. Pengamatan pada sel menunjukkan PAI dihasilkan oleh mRNA hibridisasi. Studi-studi ini menegaskan bahwa mesothelium memainkan peran penting dalam penghambatan fibrinolisis peritoneum akibat cedera. (Cohen, 2007)

Gambar 2.1:Keseimbangan antara plasminogen aktivator dan plasminogen inhibitor terhadap pembentukan adhesi peritonium

Terganggunya proses fibrinolisis maka makrofag akan bertahan dan fibroblast berproliferasi. Dalam waktu lima hari jaringan fibrin yang terbentuk akan digantikan oleh sel fibroblast serta pembentukan pembuluh darah baru, akan membawa antiplasmin untuk melawan efek fibrinolisis dan mempertebal jaringan fibrosa untuk membentuk adhesi fibrosa yang permanen. (Aysan, 2012)

Plasmin tPA uPA PAI-1 PAI-2 Fibrin in growth (Fibroblasts, collagen synthesis) TIMPs Pr-MMPs MMPs ECM Degradation products Capillaires ingrowth Normal healing Adhesion Plasminogen PAI-1 PAI-2 tPA uPA Fibrin degrafation products Normal healing (Peritoneal repair)

Inflamation Blood vessel

Wall end mesothelium Cells Damages - Increase proteins, cytokines

- Increases cells (macrophages,platelets, lymphocytes, mesothelials) Prothrombin Thrombin Fibrinogen Fibrin PERITONEAL INJURY Plasmin

(6)

2.5. Usaha untuk Pencegahan Adhesi Intraperitoneum

Beberapa bahan pencegahan terhadap adhesi peritoneal pasca operasi telah diselidiki. Bahan tersebut berperan dalam mengaktifkan fibrinolisis, menghambat koagulasi, mengurangi respon inflamasi, atau menciptakan barier antara permukaan luka yang berdekatan. Pencegahan terhadap terjadinya adhesi dibagi atas 4 kelompok utama; prinsip umum, teknik operasi, barir mekanik, dan dengan cairan atau bahan kimia tertentu. (Bates, 2011)

2.5.1. Prinsip umum

Beberapa hal dasar harus diaplikasikan untuk mencegah terjadinya adhesi peritonium pada saat intraoperatif, seperti menghindari diseksi peritonium yang tidak perlu, mencegah terjadinya kontaminasi isi saluran cerna atau cairan empedu, dan penggunaan sarung tangan bebas tepung. (Aysan, 2012)

WS Halsted 1852-1922 adalah ahli bedah pertama yang mengakui pentingnya langkah-langkah tersebut. Kerusakan peritoneal harus dihindari dengan penanganan yang hati-hati terhadap jaringan, hemostasis yang teliti, irigasi yang terus menerus dan menghindari jaringan terekspos, serta mencegah penjahitan atau penjepitan jaringan yang tidak perlu. Penggunaan bahan jahitan yang biokompatibel, instrumen atraumatik dan sarung tangan bebas tepung juga dianjurkan. Beberapa penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa penggunaan sarung tangan yang bertepung selama laparotomi mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko adhesi peritoneal pasca operasi. Durasi operasi juga menentukan terhadap pembentukan adhesi peritoneal. Semakin singkat durasi operasi, semakin menurunkan adhesi pasca operasi. (Aysan, 2012)

2.5.2. Teknik operasi

Teknik operasi terbuka dibandingkan laparaskopi mempunyai peranan penting terhadap kejadian adhesi peritonium. Insiden adhesi peritonium pada operasi kholesistektomi terbuka sebesar 7.1%, dibandingkan dengan laparaskopi yang hanya 0,2%. Secara keseluruhan teknik operasi laparaskopi menurunkan angka kejadian adhesi peritonium. (Dubuissaon,2010)

(7)

2.5.3 Barir mekanik

Secara teori, material inert dapat mencegah terjadinya adhesi antar kedua permukaan peritonium yang cedera. Banyak bahan biodegradable film ataupun gel yang telah digunakan secara experimental dengan tujuan untuk menurunkan angka kejadian adhesi. Hyaluronic acid/carboxymethylcellulosa adalah bahan yang paling sering digunakan pada saat ini, namun selain mahal, pada beberapa kasus diduga menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran anastomosis pada operasi penyambungan usus. (Siamond, 1998; Yang, 2012; Emre,2009)

Barir mekanik baik cair atau padat dapat mencegah pembentukan adhesi peritoneal dengan mencegah kontak antara permukaan serosa yang rusak untuk beberapa hari (5-7 hari) kritis selama terjadinya re-epitelisasi. Barir mekanik yang ideal harus dapat terurai, aman, non-inflamasi, non-imunogenik, bertahan selama fase kritis mesotelisasi, bertahan pada tempat yang cedera tanpa jahitan atau staples, serta dapat dengan cepat dan mudah diterapkan. Barir mekanik tidak

boleh mengganggu proses penyembuhan, menyebabkan infeksi, atau

perlengketan. Pada saat ini barir mekanik dianggap sebagai terapi tambahan yang paling berguna untuk mengurangi pembentukan adhesi peritoneal pasca operasi. (Mahdy, 2008; Celepli, 2011; Jomezadeh, 2012)

Cairan seperti kristaloid, dekstran, hyaluronic acid, asam hialuronat dan icodextrin telah digunakan untuk mencegah adhesi. Cairan tersebut memisahkan permukaan peritonium yang cedera tetapi efektivitasnya masih kontroversial. Kristaloid, seperti NaCl dan ringer laktat, meski digunakan dalam jumlah besar tetapi terlalu cepat diserap. Cairan yang paling umum digunakan adalah solusi hipertonik 32% dekstran 70, tetapi mulai ditinggalkan karena mempunyai komplikasi serius. Barir cairan lain yang memiliki kemampuan untuk tinggal lebih lama di dalam rongga perut, seperti asam hialuronat (Sepracoat ®, Genzyme Corporation, Cambridge, MA, Amerika Serikat), asam hialuronat (Intergel ® Hyalobarrier gel, Baxter, Pisa , Italia), dan icodextrin (®Adept,Baxter Healthcare Corporation, Deerfield, IL, Amerika Serikat) telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam studi eksperimental dan klinis. (Emre, 2009; Darmas, 2008; Mashhadi,2008)

(8)

Barir mekanik bioabsorbable yang paling ekstensif dipelajari adalah Seprafilm dan Interceed. Seprafilm diserap dalam waktu 7 hari dan dikeluarkan dari tubuh dalam waktu 28 hari . Percobaan terkontrol acak prospektif telah menunjukkan kemampuan Seprafilm dalam mengurangi insiden dan tingkat adhesi pasca operasi. Namun, Seprafilm dapat menyebabkan kegagalan anastomosis, sehingga tidak dapat diterapkan pada kasus anastomosis. (Darmas, 2008; Diamond, 1998)

2.5.4 Zat kimia

Zat cair dan bahan kimia tertentu secara teori lebih baik dalam menutupi daerah yang berpotensi untuk terjadinya adhesi dibandingkan barir mekanik. Namun demikian, penggunaan zat cair dan zat kimia tertentu masih perlu penelitian lebih lanjut. (Yang, 2010; Wang, 2010)

Bahan kimia bekerja secara umum mencegah pembentukan fibrin dengan cara menghambat proliferasi fibroblastik. Banyak bahan yang digunakan untuk menghambat proliferasi seperti obat anti inflamasi non-steroid (OAINS), kortikosteroid, calcium channel blockers, antagonis histamin, antibiotik, bahan fibrinolitik, antikoagulan, antioksidan, hormon, dan vitamin. (Emre, 2009)

Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) mengurangi perlengketan peritoneal pada beberapa model hewan melalui penghambatan sintesis prostaglandin dan tromboksan. OAINS menurunkan permeabilitas pembuluh darah, inhibitor plasmin, agregasi platelet, dan koagulasi dan juga meningkatkan fungsi makrofag. Rodgers dkk telah menunjukkan bahwa pemberian obat anti-inflamasi postoperasi pada lokasi cedera mengurangi pembentukan adhesi pasca operasi pada hewan coba. Hewan coba tikus telah digunakan untuk menyelidiki Nimesulide, suatu selektif siklooksigenase-2 inhibitor dalam mencegah terjadinya pembentukan adhesi. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa pemberian injeksi intramuskular sebelum operasi dan pemberian nimesulide pasca operasi secara intraperitoneal ke tempat yang cedera dapat mengurangi pembentukan adhesi pasca operasi. (Emre, 2009)

Pemberian kortikosteroid mengurangi permeabilitas pembuluh darah dan pembebasan sitokin dan faktor kemotaktik dan mengurangi pembentukan adhesi peritoneal pada beberapa model hewan coba. Namun, kortikosteroid memiliki

(9)

efek samping, seperti imunosupresi dan memperpanjang penyembuhan luka. Kirdak telah menyelidiki efektivitas dosis yang berbeda metilprednisolon dalam mencegah perlengketan peritoneal pada tikus. Mereka menemukan bahwa pemberian topikal metilprednisolon dalam dosis yang berbeda tidak memberikan perbedaan efektivitas dalam mencegah pembentukan adhesi peritoneal, dan lebih jauh lagi steroid tidak dapat mencegah terjadinya adhesi peritoneal. (Celepli, 2011)

Pemberian Hormon dapat mencegah pembentukan adhesi pada hewan coba, tetapi beberapa studi belum dapat mengkonfirmasi efektivitas ini pada manusia. Progesteron dilaporkan memiliki efek imunosupresif, anti-inflamasi, dan dapat mencegah pembentukan adhesi. Namun, Confino telah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara keseluruhan dalam kejadian pembentukan adhesi pada kelinci yang diberikan hormon progesteron. (Cohen, 2007)

Penggunaan antikoagulan untuk mencegah pembentukan adhesi peritoneal telah banyak dilaporkan dalam literatur. Banyak molekul telah digunakan, seperti heparin atau dicumarol, yang mencegah adhesi dengan meningkatkan fibrinolisis akibat aktivitas esterase serin. Heparin adalah antikoagulan yang paling banyak diteliti digunakan untuk pencegahan adhesi. Namun, keberhasilan dalam mengurangi pembentukan adhesi belum terbukti dalam uji klinis. (Yang, 2010)

Bahan fibrinolitik seperti rekombinan TPA, telah mengurangi

perlengketan pada hewan coba yang diberikan secara lokal. Namun, bahan-bahan fibrinolitik dapat menyebabkan komplikasi perdarahan. (Yang, 2010)

Beberapa antibiotik biasanya digunakan untuk profilaksis terhadap infeksi pasca operasi dan pembentukan adhesi. penelitian lain telah menunjukkan bahwa aplikasi intra-abdomen menyebabkan pembentukan adhesi. Sortini telah menunjukkan bahwa antibiotik menyebabkan pembentukan adhesi yang lebih besar dibandingkan dengan saline. antibiotik dalam solusi irigasi intraperitoneal telah terbukti meningkatkan pembentukan adhesi peritoneal dalam hewan coba tikus, dan tidak direkomendasikan sebagai bahan tunggal untuk pencegahan adhesi. (Zhang, 2011; Mahdy, 2008)

(10)

Vitamin E merupakan vitamin yang paling banyak dipelajari dalam pencegahan adhesi. penelitian In vitro telah menunjukkan bahwa vitamin E memiliki antioksidan, anti-inflamasi, antikoagulan dan antifibroblastik. Corrales et al telah menunjukkan bahwa vitamin E, yang diberikan,secara intraperitoneal sama efektifnya dengan membran karboksimetilselulosa dalam mencegah adhesi pasca operasi. Sebaliknya, efek yang sama belum tercapai setelah pemberian intramuskular. Dengan demikian, pemberian vitamin E intraperitoneal mungkin dianjurkan untuk mencegah pembentukan adhesi. (Darmas, 2008)

Satu studi telah dilakukan untuk menjelaskan efek dari konsentrasi yang berbeda metilen biru pada proses pembentukan adhesi peritoneal dan untuk menentukan dosis minimum yang efektif dapat mencegah pembentukan adhesi seperti pada hewan coba tikus. Disimpulkan bahwa metilen biru 1% memiliki potensi terbaik anti adhesi. Pemberian anestesi lokal meskipun mekanismenya tidak jelas, dilaporkan memiliki efek anti-inflamasi, seperti yang ditunjukkan dalam beberapa studi hewan coba. anestesi lokal mengaktifkan sistem fibrinolitik, mengurangi faktor VIII, plasminogen dan konsentrasi α2-antiplasmin, dan menghambat agregasi trombosit. beberapa studi telah menunjukkan bahwa

pemberian intraperitoneal lidokain dan prilocaine dapat menghambat

pembentukan adhesi peritoneal pasca operasi tanpa menghambat proses penyembuhan luka pada hewan coba tikus. (Mahdy, 2008)

Studi lain telah meneliti penggunaan terapi gen untuk pencegahan adhesi pasca operasi. Hepatocyte growth factor (HGF) dapat menghambat deposisi kolagen dan bersifat fibrinolitik. penggunaan terapi gen sebagai bahan pencegahan terhadap adhesi peritoneal masih perlu evaluasi yang lebih luas sebelum uji klinis. (Arung, 2011)

2.6 Hipotermia

Beberapa penelitian telah membuktikan pengaruh suhu terhadap pembentukan adhesi peritoneal. Binda melakukan percobaan dengan hewan coba tikus dengan membat model laparaskopi dimana dengan menurunkan suhu gas CO2 yang digunakan menjadi 21o menurunkan kejadian adhesi peritonium

(11)

Fang melakukan penelitian dengan menggunakan infus peritoneal salin dingin dan mendapatkan penurunan adhesi peritonium. Penurunan kejadian pembentukan adhesi peritonium dengan menggunakan salin dingin diduga melalui empat kemungkinan mekanisme : (1) menurunkan derajat inflamasi, (2) menekan mediator inflamasi yang dapat meningkatkan produksi fibrin, (3) memisahkan secara barir mekanik pada usus kecil, dan (4) menghilangkan fibrin dari permukaan serosa sehingga mengurangi pembentukan adhesi. (Fang, 2010)

Secara patofiologi, hipotermia melindungi jaringan dan sel setelah hipoksia karena menurunkan konsumsi oksigen oleh sel. Hipotermia memperlambat pemecahan glukosa, phosphocreatine dan ATP dan pembentukan laktat dan fosfat anorganik. Pembentukan adhesi peritoneum dianggap sebagai proses cedera reperfusi akibat iskemik. Hipotermia mengurangi infiltrasi sel-sel polimorfonuklear dan menurunkan produksi tumor necrosis factor-a, interleukin- 1b dan macrophage inflammatory protein-2 yang dianggap sebagai pemicu timbulnya adhesi peritonium. (Fang, 2010; Binda 2004)

Gambar

Gambar 2.1: Keseimbangan antara plasminogen aktivator dan plasminogen inhibitor  terhadap pembentukan adhesi peritonium

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berjudul Tingkat Kerentanan Banjir Dengan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Daerah Aliran Sungai Juwana di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Tujuan

Nilai ini digunakan untuk mengetahui pemanfaatan habitat, dalam penelitian ini adalah pohon oleh burung dengan melihat banyaknya jumlah jenis yang memanfaatkan

diketahui bahwa sebagian besar perawat memiliki tindakan yang tidak sesuai dalam pencegahan infeksi nosokomial seperti tidak mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien,

Kinerja Individu pengguna Core Banking System di Bank BPD Bali. Hal ini berarti semakin tinggi faktor kemanfaatan Core Banking System maka menghasilkan kinerja individu yang

Kelas Simpul memiliki atribut: idx yang merupakan indeks dari simpul yang ditentukan dari urutan penghidupannya (urutan penghidupan dan urutan pengecekan

Pada diatas, dapat dilihat bahwa hasil fermentasi cincalok udang rebon yang dibuat dengan metode Backslopping berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air, abu,

Koloni bakteri yang telah terdeteksi positif dengan PCR koloni diambil menggunakan tusuk gigi steril dan dimasukkan pada 2 ml media LB + kanamycin 50 µ g/ml di dalam

Penelitian dengan meggunakan metode-metode dalam pendekatan kuantitatif yang selanjutnya disebut penelitian kuantitatif, adalah suatu bentuk penelitian ilmiah yang