• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MEDIA GAMBAR BERSERI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGARANG NARASI | Almasitoh | PROCEEDING 467 872 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH MEDIA GAMBAR BERSERI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGARANG NARASI | Almasitoh | PROCEEDING 467 872 1 SM"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MEDIA GAMBAR BERSERI

DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGARANG NARASI

Ummu Hany Almasitoh1

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan media gambar berseri dalam meningkatkan kemampuan mengarang narasi. Subjek dalam penelitian ini berjumlah berjumlah 70 siswa yang merupakan siswa-siswi kelas V di dua buah sekolah dasar yaitu SD Negeri 2 Barenglor dan SD Negeri 3 Karanganom, Klaten. Subjek terdiri dari dua kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 35 siswa. Satu kelompok sebagai kelompok eksperimen yang diberi pengajaran dengan strategi pengurutan gambar seri dalam pelajaran mengarang satu kelompok sebagai kelompok kontrol yang diberi pengajaran mengarang dengan strategi secara konvensional. Penentuan kelas sebagai kelompok kontrol ataupun eksperimen dilakukan secara random.

Semua siswa baik dari kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol diberi tes mengarang sebanyak dua kali, pertama ketika penelitian dimulai kedua kelompok sama-sama diberi tes mengarang secara konvensional. Kemudian setelah 3 minggu kedua kelompok diberi lagi tes mengarang dengan perbedaan strategi, kelompok kontrol dengan metode konvensional sedangkan kelompok eksperimen dengan media gambar berseri. Peningkatan kemampuan siswa dalam mengarang diperoleh dengan mengurangkan nilai tes akhir dengan nilai tes awal yang kemudian dianalisis dengan uji-t.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan media gambar berseri efektif dalam meningkatkan kemampuan mengarang narasi pada siswa kelas V Sekolah Dasar.

Kata kunci: media gambar berseri, kemampuan mengarang, narasi

_____________________________

1 Dosen Psikologi, Universitas Widya Dharma, Klaten 

(2)

THE EFFECTIVENESS OF SERIAL PICTURES MEDIA IN IMPROVING THE ABILITY OF MAKING NARATIVE STORY

Ummu Hany Almasitoh1

Abstract

This research aims to find out the effectiveness of the serial picture method utilization toward the ability of making narrative story on students in Grade V of Elementary School. The subject research is 70 students in Grade V in two elementary schools. One group was as experimental group which was given the teaching with the method of serial pictures in making story while other group was as control group which was asked to make the narrative story with conventional method. The class determination as control group and experimental group was conducted randomly.

All students, both from experimental group and control group, were given making story test twice. First, when the research was started, both groups were given making story test conventionally. After that, 3 weeks later, both groups were given the same test but in different strategy, control group with conventional method while experimental group with serial picture ordering method. The ability improvement of students in making story was obtained by reducing the final result of the test and the initial score which was then analyzed with t-test.

The result of this research showed that there is difference between experimental group and control group. Therefore, it can be obtained that the use of serial picture method effectively can improve the ability of students in Grade V of Elementary School in making narrative story.

Keywords: serial picture method, the ability of making story

____________________________ 1

(3)

PENDAHULUAN

Azis (1996) menyatakan bahwa pelajaran Bahasa Indonesia selama ini sangat kurang melatih anak dalam keterampilan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Siswa lebih banyak diberi pengetahuan dan aturan-aturan tata bahasa tanpa pernah tahu mengaitkannya dalam latihan-latihan menulis dan berbicara. Siswa lebih banyak diberi bekal pengetahuan bahasa daripada dilatih menggunakan bahasa. Akibatnya, setelah mereka lulus, mereka tetap tidak mampu menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, baik untuk komunikasi tulis maupun lisan. Menurut Sayuti (2007), dalam realitas pembelajaran menulis di sekolah dasar atau sekolah menengah masih banyak dijumpai model strategi pembelajaran yang konvensional. Maksudnya adalah guru maupun sekolah masih cenderung untuk menjadikan suatu metode atau strategi pembelajaran itu sebagai sesuatu yang baku, sehingga guru maupun sekolah cenderung tidak kreatif dan inovatif, karena terkekang oleh satu model strategi pembelajaran saja, terutama ditemukan di sekolah-sekolah yang tidak memiliki fasilitas pendukung yang memadai. Lebih lanjut dikatakan bahwa sekitar 60 % sekolah dasar hanya menggunakan buku paket pelajaran sebagai satu-satunya panduan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Namun demikian, tidak dipungkiri juga bahwa banyak sekolah sudah menerapkan berbagai strategi pembelajaran yang dianggap efektif. Pada kenyataannya justru dengan keanekaragaman model tersebut semakin mendorong guru atau sekolah untuk sekedar mencari mana yang terbaik. Jadi, guru maupun sekolah masih terpola untuk menjadikan satu model strategi pembelajaran sebagai sesuatu patokan yang baku dan kaku, bukan sebagai sarana untuk peningkatan variasi pembelajaran dan sarana kreatif guru maupun sekolah.

(4)

harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pembelajaran (Hamalik, 2008).

Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Madya (2009) mengatakan bahwa para guru harus benar-benar memikirkan cara dan metode yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah digariskan. Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak hanya prestasi atau nilai yang baik yang dapat dicapai oleh setiap siswa, tetapi juga cara agar setiap individu dapat merasakan proses dari pendidikan yang bermakna. Diyakini bahwa dengan proses yang baik maka akan memberikan hasil belajar yang baik pula. Khususnya bagi guru Bahasa Indonesia sekolah dasar, ada pekerjaan rumah berat yang harus dirumuskan bersama, agar siswa benar-benar dapat memaknai bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa komunikasi sehari-hari baik formal maupun nonformal.

Oleh karena itu sarana dan prasarana pendidikan perlu ditingkatkan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan demikian perlu usaha untuk meningkatkan, mengefektifkan dan lebih mendayagunakan penggunaan cara atau teknik-teknik pembelajaran siswa sebagai bagian integral dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar bidang studi Bahasa Indonesia dibutuhkan adanya komunikasi antara guru dan siswa dan siswa dengan siswa (Purwanto, 1997). Komunikasi hendaknya bersifat interaktif edukatif dan timbal balik yang harus dicapai oleh guru dan siswa (Sayuti, 2007).

Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar adalah untuk melatih siswa agar mempunyai kemampuan dan keterampilan dalam hal membaca, menulis, berbicara dan menyimak. Keempat aspek pembelajaran tersebut, dalam pembelajaran hendaknya dilakukan secara terpadu dengan pendekatan proses dan pendekatan hasil (Budiyanto, 2009). Salah satu keterampilan yang selama ini dituntut untuk dapat dikuasai dengan baik adalah keterampilan menulis. Pembelajaran menulis kalimat di SD yang selama ini dilakukan oleh guru pada umumnya hanya menggunakan pendekatan hasil. Hal ini berakibat minat dan kemampuan siswa dalam bidang menulis kalimat tidak dapat berkembang secara optimal, bahkan cenderung menghambat bakat, minat dan kemampuan siswa dalam bidang menulis (Zuchdi & Budiasih, 2001).

(5)

surat, pengumuman, dialog, formulir, teks pidato, laporan, ringkasan, serta berbagai karya sastra untuk anak berbentuk cerita, puisi, dan pantun (Depdiknas, 2006). Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SD yang harus dilatihkan oleh guru kepada siswa. Untuk itu guru harus dapat memberikan motivasi agar siswa tidak merasa bosan dalam pelajaran mengarang. Akan tetapi masih terdapat beberapa guru dalam memberikan pembelajaran menulis lebih banyak teori daripada melatih keterampilannya. Selain itu guru dalam menyampaikan pembelajaran masih menggunakan metode atau pendekatan yang kurang bervariasi, sehingga yang terjadi di kelas adalah siswa tidak aktif sedangkan guru berdiri di depan kelas menjelaskan materi pelajaran (Sayuti, 2007). Dengan keadaan seperti di atas tidak ada lagi suasana yang menyenangkan, siswa tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Kegiatan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis karangan narasi adalah dengan menggunakan suatu pendekatan pembelajaran yaitu pendekatan proses yang dijadikan salah satu acuan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Salah satu keterampilan menulis yang diberikan kepada siswa adalah keterampilan mengarang.

Keterampilan mengarang adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai macam keterampilan, di antaranya adalah kemampuan menyusun pikiran dan perasaan dengan menggunakan kata-kata dalam bentuk kalimat yang tepat, serta menyusunnya dalam suatu paragraf (Tarigan, 1992). Menurut Kumara (2002), pengajaran mengarang dapat dipandang sebagai suatu tantangan karena guru harus berupaya keras agar pelajaran mengarang menjadi menarik, menghibur, tidak menjemukan dan sekaligus dapat digunakan sebagai metode latihan logika berbahasa, berfikir kritis serta dapat meningkatkan penalaran. Mengarang merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan mengarang ini maka penulis haruslah terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa dan kosakata. Keterampilan mengarang ini tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktik yang banyak dan teratur (Sayuti, 2007).

(6)

semua siswa dapat melakukannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya: (1) faktor kesulitan siswa dalam mengekspresikan ide, gagasan, pikirannya dalam sebuah kalimat yang baik, kemudian menyusunnya dalam paragraf; (2) penyampaian materi pelajaran dengan menggunakan metode ceramah yang kurang efektif yang mengakibatkan komunikasi satu arah; (3) kurang adanya media pendidikan yang mampu menarik minat belajar siswa dan merangsang daya kreativitas siswa (Sudjito & Hasan, 2005).

Berdasarkan penelitian pemerhati pendidikan dari Inggris Witson (2009) menyatakan bahwa sekitar 50 persen murid SD kelas V & VI di enam propinsi binaan “PEQIP” (Primary Education Quality Improvement Project/Proyek Peningkatan Kualitas Pendidikan Dasar) di

Indonesia, tidak bisa mengarang. Hal tersebut disebabkan selama ini siswa-siswa lebih banyak mendapat pelajaran menghafal daripada latihan praktek termasuk mengarang. Penyebab lainnya adalah siswa merasa kesulitan akan topik yang diberikan oleh guru. Ketika dihadapkan pada sebuah topik yang tidak dikenalnya, siswa akan bingung untuk mengekspresikannya dalam karangan, akibatnya siswa tidak dapat melanjutkan kegiatan mengarang. Siswa merasa kesulitan dalam pelajaran mengarang, bahkan kegiatan mengarang tersebut dirasakan sebagai suatu beban yang berat.

(7)

Proses belajar mengajar yang selama ini masih banyak dijumpai menggunakan pendekatan tradisional merupakan salah satu faktor penghambat kreativitas mengarang. Guru sebagai penentu proses pembelajaran siswa secara pasif hanya menerima rumus atau kaidah. Pada umumnya pendekatan tradisional tidak membangkitkan kreativitas siswa sehingga siswa mengalami kesulitan. Permasalahan tentang kreativitas mengarang ini sebenarnya bisa dilatih dan dijadikan sebuah keterampilan dengan cara membiasakan diri berlatih mengarang. Untuk itu, perlu ditemukan metode mengarang yang tepat dan praktik mengarang berdasarkan metode tersebut (Budiyanto, 2009).

Dari survey pendahuluan penulis terhadap 2 orang guru bahasa Indonesia di SD Negeri 2 Barenglor, Klaten, SD Negeri 3 Karanganom, Klaten yaitu pada tanggal 18 dan 19 Oktober 2013 menunjukkan hasil bahwa nilai mengarang narasi siswa sekolah dasar khususnya kelas V masih berada dalam kategori rendah sampai cukup. Menurut para guru tersebut, siswa umumnya tidak menunjukkan ketertarikan yang tinggi terhadap pelajaran mengarang narasi. Para guru juga memberikan tugas mengarang hanya sekedar mengikuti kurikulum yang berlaku dan semuanya menggunakan metode konvensional yang sudah biasa dilakukan yaitu berupa ceramah dan pemberian tugas. Dari ketiga SD tersebut semuanya memberikan data bahwa nilai mengarang siswa merupakan nilai yang paling rendah di antara nilai dari aspek-aspek yang lain dalam pelajaran bahasa Indonesia.

(8)

cara-cara baru dalam menyampaikan materi pelajaran dengan tujuan agar siswa tidak mengalami kebosanan dan agar materi pelajaran yang disampaikan benar-benar dapat dikuasai siswa. Jika guru atau instruktur berhasil menemukan suatu cara atau metode yang efektif dan menarik maka masalah buruknya kualitas karangan siswa lambat laun akan teratasi (Berninger, dkk, 1997).

Untuk meningkatkan kemampuan mengarang, dewasa ini telah banyak media pendidikan yang diterapkan sebagai media pengajaran dalam proses belajar mengajar di sekolah, salah satu pilihannya adalah dengan menggunakan media gambar berseri (Musfiroh, 2005). Media gambar berseri dianggap memiliki daya tarik yang tinggi bagi siswa kelas V Sekolah Dasar. Media ini sangat baik apabila digunakan untuk pelajaran menulis atau mengarang karena sesuai dengan salah satu butir Program Pengajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum Pendidikan Dasar 2007 GBPP kelas V Sekolah Dasar yaitu siswa mampu menulis karangan secara runtut berdasarkan alur cerita. Menurut Sutedjo (2009), suatu media dapat dipilih sebagai penunjang pembelajaran apabila media tersebut memberikan daya tarik yang tinggi dari para siswa, selain itu juga sebaiknya tidak memerlukan biaya yang mahal dan tidak memerlukan banyak waktu dalam proses pembelajaran.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah media gambar berseri efektif dalam meningkatkan kemampuan mengarang narasi pada siswa kelas V Sekolah Dasar?”

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Keterampilan Mengarang Narasi

(9)

hati melalui bahasa tulis secara menarik dan mengena untuk disampaikan kepada pembaca sehingga mudah dipahami tepat seperti yang dimaksudkan oleh pengarang.

Telah dijelaskan mengenai pengertian keterampilan mengarang dan ragam tulisan narasi. Definisi yang dapat diambil dari uraian di atas adalah keterampilan mengarang narasi merupakan keterampilan seseorang dalam mengungkapkan gagasannya dalam bentuk karangan yang menceritakan suatu kejadian dengan suatu urutan waktu tertentu.

Kemampuan menulis karangan narasi merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang harus dikuasai siswa. Karangan narasi merupakan jenis karangan yang berupa runtutan peristiwa yang terjadi dalam satu rangkaian waktu dengan maksud menceritakan dan menggambarkan sejelas-jelasnya peristiwa yang terjadi (Calkins, 1986). Dengan menulis karangan narasi, diharapkan siswa tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan membuat karangan namun juga diperlukan kecermatan untuk membuat argumen, memiliki kemampuan untuk menuangkan ide atau gagasan dengan cara membuat karangan yang menarik untuk dibaca (Tarigan, 1985).

Secara khusus, standar kompetensi menulis yang ingin dicapai pada pengajaran bahasa Indonesia untuk kelas V sekolah dasar adalah mampu mengekspresikan berbagai pikiran, gagasan, pendapat, dan perasaan dalam berbagai ragam tulisan melalui menyusun karangan, menulis surat pribadi, meringkas isi buku bacaan, membuat poster, dan menulis catatan dalam buku harian menulis kartu pos serta menulis prosa sederhana dan puisi (Depdiknas, 2003).

Untuk menguasai kemampuan mengarang narasi seperti yang telah diungkapkan di atas, maka dapat dirumuskan tujuan pengajaran mengarang di sekolah, yaitu agar para siswa:

1. Mampu memilih ragam Bahasa Indonesia sesuai dengan konteks komunikasi;

2. Terampil mencari, menemukan, dan memilih gagasan atau topik yang cukup terbatas dan menarik untuk dikembangkan menjadi karangan yang logis dan sistematis;

3. Terampil mengembangkan gagasan atau topik dan menyusunnya menjadi karangan yang dapat dipertanggungjawabkan;

4. Terampil mengungkapkan gagasan atau topik yang telah dikembangkan dan disusun sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia (Asmara, 1979; Natia, 1994).

(10)

1. Kemampuan mengemukakan gagasan berupa gagasan yang kreatif berdasarkan informasi yang relevan.

2. Kemampuan mengorganisasikan karangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, ekspresi pikiran dan ide dikembangkan dengan runtut dan lancar.

3. Kemampuan menyampaikan gagasan ke dalam bahasa yang komunikatif dan memenuhi kaidah-kaidah bahasa yang meliputi: (1) penyusunan paragraf yang padu dan harmonis, (2) pemakaian kalimat efektif, dan (3) pemakaian ejaan yang tepat.

4. Kemampuan menyampaikan karangan dengan memperhatikan tujuan yang ingin disampaikan dan siapa yang akan menjadi pembaca tulisan tersebut dengan memperhatikan ragam bahasa dan kosakata yang tepat untuk hal-hal tersebut di atas.

5. Kemampuan membuat judul karangan yang singkat, jelas, sesuai dengan isi karangan, dan mampu menarik perhatian pembaca.

2. Media Gambar Berseri

Menurut Rianto (1987), media gambar adalah salah satu jenis media bahasa yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang diekspresikan lewat tanda dan simbol. Adapun batasan yang lebih lengkap adalah seperti yang dinyatakan oleh Sadiman (2008) yaitu media adalah alat visual yang penting, mudah didapat dan memberikan penggambaran visual yang konkret.

Jenis media gambar meliputi gambar atau foto, sketsa, grafik, poster, komik, kartu, diagram dan peta. Di antara media pendidikan, gambar adalah media yang paling umum, yang dapat dimengerti, dan dapat dinikmati semua orang. Salah satu jenis media gambar adalah media gambar berseri. Menurut Soeparno (1988), media ini biasa juga disebut “flow chart”, wujudnya berupa kertas atau karton lebar yang berisikan beberapa buah gambar. Gambar-gambar itu dirangkai penyusunanya secara berurutan berdasarkan peristiwa yang terjadi sehingga merupakan suat rangkaian gambar yang membentuk cerita. Biasanya setiap gambar diberi nomor urut sesuai dengan urutan jalan cerita.

(11)

sedangkan gambar lepas merupakan gambar yang nienunjukkan situasi ataupun tokoh dalam cerita yang dipilih untuk menggambarkan situasi-situasi tertentu, antara gambar satu dengan lainnya tidak menunjukkan kesinambungan (Musfiroh, 2005). Sesuai penjelasan di atas, dapat disimpulkan pengertian media gambar berseri adalah media pembelajaran yang digunakan oleh guru yang berupa gambar datar yang mengandung cerita, dengan urutan tertentu sehingga antara satu gambar dengan gambar yang lain memiliki hubungan cerita dan membentuk satu kesatuan. 3. Pendekatan Psikologi Teori Perkembangan Bahasa Menurut Vygotsky

Teori Vygotsky menarik banyak perhatian karena teorinya mengandung pandangan bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh situasi dan bersifat kolaboratif. Artinya, pengetahuan didistribusikan di antara orang dan lingkungan (Fischer, 1982). Hal ini menunjukkan bahwa memperoleh pengetahuan dapat dicapai dengan baik melalui interaksi dengan orang lain dalam kegiatan bersama. Ia mengungkapkan pandangannya bahwa anak-anak memulai pengetahuan berpikirnya dari peran aktif dunia di sekitarnya. Pengalaman sosial berperan sebagai dasar perkembangan kognitif. Keunikan dari teori Vygotsky adalah membantu kita dalam memahami beraneka macam budaya dalam pengaruhnya dengan kemampuan kognitif. Teori Vygotsky menunjukan harapan yang besar terhadap variabel perkembangan tergantung pada masyarakat dan pengalaman budaya yang dimiliki seorang anak.

Sebagai contoh, aktivitas membaca, menulis dan kemampuan matematika seorang anak yang sekolah pada lingkungan terpelajar akan menghasilkan kapasitas kognitif yang berbeda dengan mereka yang sekolah di lingkungan yang bukan terpelajar.

Meskipun Vygotsky menyatakan peran bermacam- macam simbol sistem (seperti lukisan, peta, dll) dalam perkembangan proses kognitif yang lebih tinggi, ia menempatkan bahasa sebagai bagian yang paling penting (Bjorklund, 2005).

(12)

4. Karakteristik Siswa Kelas V Sekolah Dasar

Menurut Piaget (Santrock, 2004) mengemukakan bahwa anak umur 7-11 tahun termasuk dalam tahap operasional konkret, yaitu kemampuan berfikir secara logis meningkat. Anak mampu mengklasifikasikan, memilih, dan mengorganisir fakta untuk menyelesaikan masalah. Mereka mulai mengerti situasi yang berbeda secara simultan.

Masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak (Bloom, 1976).

Ekblad (1990) mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian hasil belajar. Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang baik dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri, sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget (Santrock, 2007) mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu: (a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun, (b) tahap operasional usia 2-6 tahun, (c) tahap opersional kongkrit usia 7-12 tahun, (d) tahap operasional formal usia 12 tahun ke atas. Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit, pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.

Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia konkret atau hal-hal yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan (Bloom, 1976).

(13)

dinamakan fase operasional konkret yaitu kemampuan berfikir logis meningkat namun pikiran anak terbatas pada obyek-obyek yang mereka jumpai dari pengalaman langsung. Untuk membantu pemahaman akan sesuatu maka diperlukan sebuah media dan dalam dunia pendidikan dikenal dengan media pembelajaran untuk membantu pemahaman siswa akan materi yang disampaikan.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini tergolong jenis penelitian kuasi-eksperimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan media gambar berseri dalam meningkatkan kemampuan mengarang narasi siswa kelas V Sekolah Dasar. Dalam penelitian ini desain penelitiannya adalah control group pre-test post-test design. Apabila digambarkan adalah sebagai berikut :

Yb X1 Ya (Eksperimen) RA ---

Yb X2 Ya (Kontrol)

Gambar 1. Rancangan Penelitian (Kerlinger, 1994) Keterangan :

Ya = pengukuran kemampuan mengarang pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum diberikan perlakuan

X1 = pemberian perlakuan pada kelompok eksperimen berupa strategi pengurutan gambar berseri

X2 = pemberian perlakuan pada kelompok kontrol berupa strategi konvensional

Yb = pengukuran kemampuan mengarang pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberikan perlakuan

(14)

mengarang narasi pada kedua kelompok dengan metode konvensional, postest tugas mengarang narasi dengan kelompok eksperimen menggunakan media gambar berseri.

Subjek dalam penelitian ini adalah dua kelas siswa kelas V di 2 Sekolah Dasar di Klaten yang masing-masing terdiri dari 35 siswa, sehingga total sampelnya berjumlah 70 siswa. Penentuan kelas yang akan dijadikan sampel pada tiap sekolah dilakukan secara random. Dari 2 kelompok tersebut yaitu kelompok A sebanyak 35 siswa sebagai kelompok kontrol (tidak diberi metode gambar berseri) dan kelompok B sebanyak 35 siswa sebagai kelompok eksperimen dengan diberi metode pengurutan gambar berseri. Penentuan kelas atau kelompok kontrol dan kelas eksperimen juga dilakukan secara acak/random.

Dalam penelitian ini prosedur penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut: (1) Pengukuran sebelum eksperimen (pre-experiment measurement);

Sebelum dilakukan ekperimen terhadap subjek, sebelumnya dilakukan pretes dulu untuk mengetahui kemampuan awal mengarang narasi dari kedua kelompok subjek.

(2) Pelaksanaan (treatment);

(15)

(3) Pengukuran sesudah eksperimen (post-experiment measurement).

Sebagai langkah terakhir setelah mendapat perlakuan, pada kedua kelompok diberikan postes dengan materi yang sama antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Pemberian postes ini dimaksudkan untuk melihat pencapaian peningkatan kemampuan mengarang siswa setelah diberi perlakuan. Selain itu juga untuk membandingkan dengan nilai yang dicapai siswa saat pretes, apakah hasil kemampuan mengarang siswa semakin meningkat, sama atau justru menurun.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data kemampuan mengarang narasi siswa adalah pedoman observasi yang diungkapkan oleh Hartfield (dalam Nurgiyantoro, 1995). Pedoman observasi tersebut berisi aspek-aspek yang perlu dinilai beserta perincian skor untuk setiap aspek.

Sebelum suatu instrumen digunakan, perlu dilakukan ujicoba untuk mengetahui validitas (keshahihan) dan reliabilitas (keterpercayaan) alat ukur tersebut. Ujicoba dilakukan terhadap siswa yang telah memperoleh materi mengarang narasi. Ujicoba telah dilakukan terhadap 39 siswa kelas V SD Negeri 3 Barenglor, Klaten pada Agustus 2013.

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan rumus uji t atau t-test. Namun sebelum dilakukan pengujian terhadap hipotesis yang ada dilakukan uji persyaratan analisis terlebih dahulu. Uji persyaratan analisis yang akan dilakukan meliputi (1) uji normalitas, yang berfungsi untuk menguji normal tidaknya sebaran data penelitian, dan (2) uji homogenitas varian, yang berfungsi untuk mengetahui apakah sampel yang diambil dari populasi mempunyai varian yang sama dan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Hasil pengujian hipotesis dengan pengolahan data yang menggunakan rumus uji t tersebut kemudian dikonsultasikan dengan tabel nilai-nilai t dengan taraf signifikansi 5 %. Jika t hitung lebih besar daripada t tabel maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan kemampuan antara kedua kelompok yang dibandingkan.

(16)

A. HASIL DAN PEMBAHASAN  

1. Deskripsi Hasil Penelitian

[image:16.595.111.526.274.315.2]

Ringkasan data hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1

Rerata Nilai Tes Awal, Tes Akhir, dan Rerata Peningkatan Nilai Karangan Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Kelompok Tes Awal Tes Akhir Peningkatan

Kontrol (A) Eksperimen (B)

61,57 61,70

64,53 77,97

2,96 16,27

Selanjutnya dibuat rentang angka hasil penilaian bermakna kualitatif untuk menentukan kualitas hasil mengarang siswa. Berdasarkan rentang skala penilaian tersebut maka dapat ditetapkan kedudukan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada tes awal dan tes akhir sebagai berikut :

Keadaan kedua kelompok berdasarkan rerata nilai tes akhir menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kedudukan. Pada kelompok eksperimen terdapat perubahan kedudukan, dari kedudukan dengan kategori cukup menjadi baik, sedangkan kelompok kontrol tetap berada pada posisinya pada waktu tes awal, yaitu pada kategori cukup.

2. Hasil Penelitian

1. Hasil Uji Prasyarat a. Hasil Uji Homogenitas

Melalui uji homogenitas Bartlett diperoleh nilai Kai Kuadrat = 0,436; p = 0,509, karena nilai p > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data dalam kelompok penelitian ini adalah bersifat homogen.

b. Hasil Uji Normalitas

(17)

bahwa data pada kelompok ini berdistribusi normal. Untuk tes akhir pada kelompok eksperimen diperoleh nilai Kai Kuadrat = 12,413; p = 0,191, karena p > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data pada kelompok ini berdistribusi normal. Untuk tes akhir kelompok kontrol diperoleh nilai Kai Kuadrat = 2,863; p = 0,969, karena p > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data dalam kelompok ini juga berdistribusi normal. Dengan demikian dapat disimpulkan pula bahwa sebaran nilai karangan siswa baik untuk tes awal dan tes akhir pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen seluruhnya berdistribusi normal.

2. Uji Hipotesis

Setelah persyaratan analisis telah terpenuhi, selanjutnya dilakukan pengujian terhadap hipotesis yang telah diajukan. Hasil analisis ini akan membuktikan apakah data yang diperoleh melalui penelitian mendukung atau tidak terhadap hipotesis yang diajukan.

(18)

3. Pembahasan

Dari pengujian hipotesis dapat diketahui bahwa ada perbedaan kemampuan mengarang antara kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan media gambar berseri dan kelompok siswa yang diajar tanpa menggunakan media gambar berseri, hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan nilai yang signifikan antara kedua kelompok. Hal ini berarti bahwa siswa yang belajar dengan media gambar berseri mempunyai kemampuan mengarang yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan strategi konvensional. Jadi, penggunaan strategi media gambar berseri efektif dalam meningkatkan kemampuan mengarang narasi yang ditunjukkan dengan nilai mengarang yang cukup tinggi. Temuan ini telah mendukung penemuan Baradja (1986), Tjokrosujoso (1993) dan Muhibin (2003) bahwa strategi mengajar sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Penelitian Sungkowo (1986) mengungkapkan pula bahwa prestasi belajar mahasiswa yang diajar dengan pendekatan keterampilan proses lebih tinggi daripada yang konvensional. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Richard, dkk (2001) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran bahasa senantiasa diusahakan terciptanya metode atau cara-cara baru dalam menyampaikan materi pelajaran dengan tujuan agar siswa tidak mengalami kebosanan dan agar materi pelajaran yang disampaikan benar-benar dapat dikuasai siswa.

(19)

berlatih membuat karangan, misalnya dengan mencontoh sebuah komik atau cerita bergambar.

Keikutsertaan siswa dalam proses pembelajaran sangat dilibatkan dalam proses belajar mengarang dengan media gambar berseri tersebut, hal ini akan berpengaruh positif terhadap hasil belajar yang dicapai siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Joni (1990), yang menyatakan bahwa semakin besar keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar, maka semakin baik pula hasil belajar yang diperoleh. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Jones & Christensen (1999) yang menyatakan bahwa kemampuan menulis siswa sangat tergantung dari tanggapan dan keterlibatan siswa terhadap pelajaran tersebut, jika tanggapan siswa baik dan keterlibatannya tinggi terhadap proses menemukan gagasan dalam mengarang tersebut maka akan menghasilkan nilai yang baik, begitu juga sebaliknya.

(20)

Siswa kelas V sekolah dasar berada pada kisaran usia antara 10 sampai 12 tahun, menurut Piaget (De Haven, 1988) usia tersebut termasuk dalam tahap periode operasional-konkret. Pada periode ini anak sudah mampu memfokuskan perhatian pada berbagai gambaran atau dimensi situasi yang terjadi di sekitarnya secara simultan dan menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi secara komprehensif. Anak juga sudah mampu menggambarkan proses terjadinya suatu peristiwa secara kronologis. Kemampuan ini memungkinkan anak untuk berfikir secara fleksibel, misalnya mengatur kembali, mengkombinasikan kembali, manipulasi dan menghubungkan kembali segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Ungkapan-ungkapan yang dikemukakan anak pada periode ini sudah berorientasi sosial. Menurut Owens (1996) anak-anak pada usia ini juga telah menyadari pentingnya membuat ekspresi bahasa yang nalar dan benar, lebih-lebih dalam bahasa tulis, agar apa yang dikemukakannya dapat dipahami oleh pendengar atau pembacanya. Dengan memberikan tantangan dan kesempatan untuk memperkaya dan membentuk imajinasi mental, maka kemampuan bahasa anak akan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kaitannya dengan penggunaan gambar berseri adalah gambar berseri dianggap mampu untuk merangsang imajinasi siswa dalam menyusun sebuah karangan narasi dengan lebih terarah dan bermakna.

Dalam penelitian ini, peningkatan nilai mengarang siswa yang menggunakan metode mengarang dengan penggunaan gambar berseri menurut penulis disebabkan oleh beberapa hal, antara lain penggunaan media gambar berseri sangat membantu guru dalam mengarahkan siswa untuk menemukan gagasan dan mengembangkannya menjadi karangan. Guru dapat dengan mudah mengarahkan siswa dalam membuat kerangka karangan yang akan memudahkan siswa untuk langkah selanjutnya. Dari pihak siswa, siswa merasakan suasana dan aktivitas yang menyenangkan, yang menimbulkan antusiasme dalam belajar sehingga menumbuhkan usaha untuk menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya (mengarang). Biasanya siswa akan merasa senang apabila mendapatkan sesuatu yang baru yang tidak biasa, dalam hal ini berupa petunjuk mengarang menggunakan gambar berseri, apalagi jika gambar berseri tersebut dibuat semenarik mungkin dengan warna-warna yang bagus.

(21)

harus diurutkan siswa merasa terbantu dalam menemukan, mengembangkan dan memadukan gagasan menjadi karangan, hal ini yang dirasakan siswa sukar sekali dilakukan. Ini sesuai dengan penemuan penelitian yang menyatakan bahwa gambar turut membantu kapasitas kognitif anak (Small, dkk, 1993; Willows, 1978), perkembangan kognitif dan intelektual anak akan semakin berkembang baik dengan diberikannya stimulus yang baik pula (Ceci, 1996), pendekatan keterampilan proses telah mampu meningkatkan kemampuan kognitif peringkat tinggi (Masykur, 1986). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Di Vesta dan Peverly (1984) yang menyatakan bahwa gambar yang berurutan dapat membantu terciptanya pemahaman dan pola berfikir yang baik tentang suatu hal.

Langkah-langkah pengajaran dalam pengajaran untuk kelompok kontrol pada dasarnya tidak banyak membantu siswa untuk menemukan, mengembangkan, mengorganisasikan gagasan menjadi sebuah karangan. Karena tidak digunakannya media pengajaran yang dapat membantu guru dalam mengarahkan siswa untuk menemukan, mengorganisasikan, mengembangkan dan menuliskan gagasan menjadi karangan, guru harus lebih banyak memberikan penjelasan, sehingga siswa tidak banyak terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar yang menyebabkan rendahnya aktivitas siswa dalam belajar. Hal ini menguatkan pendapat Woolfolk (1996) dan Harjanto (2005) yang mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran siswa pada dasarnya akan merasa senang jika terlibat langsung dalam menemukan suatu gagasan, tidak hanya sekedar mendengarkan ceramah dan mengerjakan tugas.

Akibat dari hal tersebut di atas, siswa kurang berminat terhadap pelajaran yang diberikan. Siswa tidak berusaha untuk membuat karangan dengan sebaik-baiknya, sehingga tes akhir membuat karangan dikerjakan tidak dengan sepenuh hati, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai. Analisis ini sejalan dengan hasil penelitian dari Gernsbachler, dkk (1990) yang menyatakan bahwa dalam pelajaran bahasa, sangat diperlukan rasa ketertarikan yang tinggi dari para siswa, jika sejak awal siswa merasa tidak tertarik maka dapat dipastikan bahwa tidak akan diperoleh hasil yang maksimal.

(22)

Kemampuan menulis juga berhubungan dengan kemampuan abstraksi konseptual, di samping penguasaan keterampilan tingkat rendah seperti mengeja dan automatisasi tulisan tangan, dan keterampilan tingkat tinggi seperti strategi pemecahan masalah dan manipulasi berfikir abstrak (Forrester, 1996).

Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Appleebee (1990) menunjukkan bahwa kualitas tulisan anak akan bertambah baik seiring dengan meningkatnya usia. Salah satu faktor penyebabnya adalah, dengan bertambahnya usia bertambah pula pengetahuan yang diperlukan anak untuk dapat menulis dengan baik. Walaupun peningkatan kemampuan mengarang seiring dengan meningkatnya usia, tetapi kemampuan mengarang tersebut hendaknya sudah diasah sedari kecil, agar kualitas mengarang meningkat. Secara psikologis jika mengarang dilakukan dengan suasana yang menyenangkan maka siswa akan menikmati kegiatan mengarang tersebut, salah satunya adalah dengan memberikan strategi mengarang dengan menggunakan gambar berseri. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Crone & Whitehurst (1999) dan Ekblad (1990) yang menyatakan bahwa faktor usia sangat berpengaruh terhadap kualitas tulisan siswa, selain itu juga sangat diperlukan adanya latihan yang terus menerus diberikan, akan lebih baik terutama dengan menggunakan berbagai macam stimulus yang menarik.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap hasil tes awal dan tes akhir mengarang baik terhadap kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan strategi pengurutan gambar berseri efektif dalam meningkatkan kemampuan mengarang narasi pada siswa kelas V sekolah dasar. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan kemampuan mengarang pada kelompok eksperimen dari rerata nilai cukup menjadi baik, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat peningkatan kemampuan mengarang.

(23)

1. Bagi Pendidik

Penggunaan media gambar berseri dapat disosialisasikan di kalangan guru bahasa Indonesia agar terbiasa menggunakan media ini untuk memberikan kemudahan bagi siswa ketika mengarang narasi. Penggunaan strategi gambar berseri ini juga agar siswa terbiasa dan terlatih dalam menginterpretasikan sebuah gambar. Penggunaan strategi ini dapat dilaksanakan secara lebih intensif dalam kegiatan mengarang, mulai dari menceritakan isi sebuah gambar, dan kemudian beberapa gambar, barulah kemudian pada langkah-langkah pengurutan yang lebih kompleks.

 2. Bagi Siswa

Siswa diharapkan agar tidak lagi menganggap bahwa mengarang adalah suatu pelajaran yang membosankan, karena dengan menggunakan metode gambar berseri merupakan salah satu alternative bagi siswa dalam menemukan sesuatu yang baru untuk mengembangkan imajinasinya tentang suatu tema. Berdasarkan hasil yang dicapai pada penelitian ini, menunjukkan bahwa penggunaan media gambar berseri dalam mengarang narasi mudah dipahami oleh siswa, maka penulis menyampaikan beberapa saran baik untuk penerapan maupun untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini khusus untuk jenis karangan narasi, belum dapat digeneralisasikan pada jenis karangan lain yang berbeda ciri-cirinya. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut pada jenis karangan lainnya (eksposisi, argumentasi dan persuasi). Penelitian ini baru berusaha meneliti faktor yang mempengaruhi kemampuan mengarang yang ditinjau dari segi penggunaan strategi mengajar. Untuk penelitian yang akan datang dapat diteliti faktor-faktor penyebab lainnya, antara lain: minat, bakat, kebiasaan menulis, hubungannya dengan kebiasaan membaca, dan faktor kemampuan guru dalam mencontohkan mengarang yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Appleebee, A. (1990). The Childs Concept of Story. Chicago: University of Chicago Press. Asmara, A. (1979). Ilmu Mengarang. Yogyakarta: CV. Nur Cahaya

(24)

Baradja, M.F. (1986). Masalah Pengajaran Bahasa Inggris di SMP dan SMA. Makalah Seminar. Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Malang.

Berninger, U.W., Vaughan, K.B., Abbot, R.D., Abbott, S.P., Kogan, L.W., Brooks, A., Reed, E., & Graham. (1997). Treatment of handwriting problems in beginning writers: transfer from handwriting to composition. Journal of Educational Psychology, 89, 652-666.

Bjorklund, D.F. (2005). Children’s Thinking, Cognitive Development and Individual Differences.

Bloom, et al. (1976). Taxonomy of educational objectives: the classification of educational goals. New York: McKay.

Bower, H & Hilgrad, R. (1981). Theories of Learning. London: Pretince Hall.

Brown, H.D. (1987). Principles of Language Learning and Teaching. (2nd ed.) Engelwood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Budiyanto. (2009). Bahasa Indonesia Menjawab Tantangan. Balai Bahasa Jawa Tengah. Calkins, L.M. (1986). The Art of Teaching Writing. New Hampshire, Illinois: Hinemann.

Cameron, C.A., Lee, K., Webster.S., Munro, K., Hunt, A. K., & Linton, M. (1995). Text cohesion in children’s narrative writing. Journal of Applied Psycholingistics, 16, 257-269.

Ceci, S.J. (1996). On Intelligence A Biocological Treatise on Intellectual Development. Cambridge, Massachussetts: Harvard University Press.

Crone, D.A. & Whitehurst, G.J. (1999). Age and schooling effects on emergent literacy and early reading skills. Journal of Educational Psychology, 91, 604-614.

Davis, R.S. (1997). Comics ; A Multi Dimensional Teaching in Integrated-Skill Classes. Nagoyama University: Japan. http://www.esl-lab.com/research/comics.htm

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD/MI. Jakarta: BNSP.

Depdiknas. (2003). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD/MI. Jakarta: BNSP.

De Haven, E.P. (1988). Teaching and Learning. The Language Arts. Eugene, Oregon: Harper Collins Publishers.

(25)

Ekblad, S. (1990). The Children’s behavior questionnaire for completion by parent’s and teachers in sample. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 31, 775-791.

Fenton, E. (1967). The New Social Studies. New York: Rinehart and Winston Inc.

Fischer, K.W. (1982). A Theory of cognitive developmental: the control and construction of hierarchies of skills. Journal of Experimental Psychology, 87, 545-600.

Forrester, M.A. (1996). Psychology of Language. A Critical Introduction. London: Sage Publications.

Gernsbacher, M.A., Varner, K.R. & Faust, M.E. (1990). Investigating differences in general comprehension skill. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory and Cognition, 16, 430-445.

Gilliam, R.B. & Johnson, J.R. (1992). Spoken and written language relationships in language learning impaired and normal achieving school-age children. Journal of Speech and Hearing Research, 35, 1303-1315.

Hakim, A.A. (1971). Teknik Mengarang. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Hamalik, O. (2008). Kurikulum & Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Harjanto. (2005). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Jones, D. & Christensen, C.A. (1999). Relationship between automaticity in handwriting and students ability to generate written text. Journal of Educational Psychology, 91, 44-49.

Joni, R. (1990). Cara Belajar Siswa Aktif: Implikasinya Terhadap Sistem Pengajaran. Jakarta: P3G Depdikbud.

Kerlinger. (1994). Asas-asas Penelitian Behavioral (terjemaham). Yogyakarta: Gadjah Mada Press.

Kumara, Amitya. (2002). Kualitas Ekspresi Tulis Siswa Sekolah Dasar. Disertasi. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.

Madya, Suwarsih, Kedaulatan Rakyat, edisi 26 Juli (2009). Tantangan dan Strategi dalam Pendidikan.

Masykur, K. (1986). Pengaruh Kegiatan Belajar Fisika Unit Suhu dan Kalor Melalui Pendekatan Keterampilan Proses Terhadap Hasil Belajar dan Sikap Mahasiswa Jurusan pendidikan Fisika FPMIPA IKIP Malang. Tesis. Jakarta. Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta.

Muhibin, Syah. (2003). Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Musfiroh, Tadzkiroatun. (2005). Metode Gambar untuk Perkembangan Anak. Yogyakarta: Navila.

(26)

Owens, R.E. (1996). Language Development. Boston: Allyn and Bacon.

Purwanto, M. Ngalim. (1997). Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Rosda Jayaputra.

Rianto, Andre. (1987). Peranan Metode Visual dalam Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Richard, Jack. C. & Rodgers, Theodore. S. (2001). Approaches & Methods in Language Teaching. New York: Cambridge University Press.

Sadiman, A.S. (2008). Metode Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Santrock, JW. (2004). Life-Span Development. 9 th ed. New York: McGraw-Hill.

Santrock. JW. (2007). Psikologi Pendidikan. (Terjemahan Tri Wibowo BS). Jakarta: Prenada Media Group.

Sayuti, S.A. (2007). Pengajaran Bahasa Indonesia di SD. Makalah disampaikan dalam kuliah Pascasarjana: Pengajaran Bahasa di SD, di Universitas Negeri Yogyakarta.

Small, M.Y., Lovett, S.B., & Scher, M.S. (1993). Pictures facilitate children’s recall of unillustrated expository prose. Journal of Educational Psychology, 85, 520 – 528.

Soeparno. (1988). Media Pengajaran Bahasa. Klaten: PT. Intan Pariwara.

Sudjito dan Hasan, M. (2005). Keterampilan Menulis Paragraf. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sungkowo, B.T. (1986). Pendekatan Keterampilan Proses dalam pengajaran Fisika Serta Pengaruhnya Terhadap Sikap, Motivasi dan Prestasi Belajar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA IKIP Malang. Tesis. Jakarta. Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta.

Stevens, R.J., Slavis R.E., & Farnish, A.M. (1991). The Effects of cooperative learning and direct instruction in reading comprehension strategies on main idea identification. Journal of Educational Psychology, 83, 8 – 16.

Tarigan, H. G. (1992). Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, H. G. (1985). Menulis: sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tjokrosujoso, 1993. Penelitian tentang Pengajaran Bahasa Inggris di SMTA Negeri se-eks

Karisidenan Malang. Laporan penelitian. Pusat Penelitian IKIP Malang.

Widyamartaya, A. (1993). Seni Menuangkan Gagasan. Yogyakarta: Kanisius.

(27)

Witson, Stuart. Republika. Edisi 09 Maret 2009. Keterampilan Teori dan Praktek dalam Bahasa Indonesia.

Woolfolk, A.E. (1988). Educational Psychology. Boston: Allyn and Bacon.

Zuchdi, D & Budiasih. (2001). Pendidikan Bahasa dan Sastra di Kelas Rendah. Yogyakarta: PAS.

Gambar

Tabel  1

Referensi

Dokumen terkait

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam berbagai hal untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga kebaikan kalian

Kenaikan drop tegangan pada penyulang merpati terjadi karena saat dilakukannya simulasi rekonfigurasi terhadap penyulang Maleo beban yang dilayani oleh penyulang

Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden setuju mengenai tema khusus yang dipakai dalam men-display di brand toko P.S.. dapat

Untuk mencegah terjadinya malpraktek atau tidak melaksanakan standar profesi, maka aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian, Jaksa dalam menangani

 Pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) Kabupaten Banjarnegara sesuai dengan Keputusan Bupati Banjarnegara Nomor: 700/1290

Hasil optimum tablet ibuprofen yang diperoleh dengan program optimasi Design Expert yaitu formula dengan konsentrasi amilum kulit pisang pada konsentrasi 3,08%,

Dari hasil analisis pengendalian kualitas statistik pada proses pengemasan gula tebu dalam grafik pengendali p model harian/individu seperti pada gambar 4.1 terdapat 4 titik

Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sintesis dengan metode konvensional dan dengan bantuan iradiasi gelombang mikro.Berdasarkan latar belakang