KURIKULUM SEJARAH PERADABAN ISLAM
Oleh Budi Sulistiono1
Ummat yang besar adalah ummat yang mengerti sejarah ummatnya. Dan orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataannya bahwa Sejarah Peradaban Islam (SPI) terus ditulis banyak orang, melalui sejumlah wujud peradaban Islam dan dalam bentangan zaman, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa SPI itu perlu. SPI dalam wujud tulisan, dokumentasi, bangunan menjadi sarana penting bagi kita dalam mempelajari kemajuan dan kemunduran yang terkandung dalam berbagai peristiwa di masa lalu. Dengan demikian, pelajaran dari peristiwa masa lalu yang sudah menjadi anasir SPI berguna dalam memaknai hidup yang tengah berjalan demi kemajuan, di masa depan.
Di Indonesia, SPI telah menjadi salah satu mata pelajaran wajib dalam kurikulum, sejak sekolah dasar. Pengajaran SPI yang diberikan di sekolah, di madrasah, di pesantren, hingga Perguruan Tinggi bukan hanya sekedar untuk mendapatkan nilai tetapi pengajaran SPI secara formal tersebut mempunyai arti yang luas dan mendalam, setidaknya membangun karakter.
Dalam kehidupan masyarakat, SPI mempunyai arti dan peran penting sebab dengan belajar SPI akan menjadikan kita bijaksana, terhibur, berwawasan luas, memiliki semangat patriotisme dan nasionalisme yang tinggi. Sebagai sebuah cabang ilmu, SPI hanya akan berguna jika ada kaitannya dengan masyarakat secara timbal balik.
Oleh karena itu, kita sebagai pewaris hasil budaya Ummat Islam, berkewajiban untuk mengenal dan memperkenalkan SPI dan kebudayaan Ummat Islam kepada generasi muda agar mereka dapat terus belajar dari kebesaran maupun kesalahan pendahulu mereka. Dan dengan mengenalkan SPI kepada generasi muda sejak usia dini, diharapkan dapat membangun semangat patriotisme dan menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap keterjalinan Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathoniyah.
Sangat dan sangat diperlukan adanya visi yang jelas bagi pendidikan
SPI, sehingga
akan lebih memantapkan pengetahuan
SPI di kalangan peserta didik. Dapatkah kita
canangkan sudut pandang
Islam Sentris
atau
ke-Islam-an
dalam pendidikan dan
penulisan SPI, dalam mengubah sudut pandang pendidikan sejarah dan penulisan
sejarah
Politik Sentris
,
Neerlando Sentris
yang
pernah diupayakan oleh pemerintah
Penjajah-
”elanda. Sudut pandang
Islam Sentris
merupakan bentuk kesadaran
sejarah bagi Ummat Islam untuk dapat mengungkapkan secara obyektif masa lalunya.
Dengan menggunakan sudut pandang ini tidak berarti hanya menonjolkan peranan
Ummat Islam saja dan mengubur segala sesuatunya dari pihak lain sebagai bentuk
perbandingan yang obyektif. Dari sini dapat diperoleh gambaran kegigihan Ummat
1
Islam, misalnya melawan bentuk penindasan bangsa Kolonial-Penjajah (kasus di
Nusantara : Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda) , semangat ukhuwwah islamiyah dan
aktivitas social budaya lainnya.
Visi
Islam Sentris
atau
ke-Islam-an
memang t
elah dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan sejarah, namun dalam hal ini porsi peristiwa politik lebih menonjol
daripada porsi social, ekonomi, agama, kebudayaan dan lainnya. Aktivitas
perekonomian yang dilakukan oleh masyarakat sebagai individu atau kelompok
memiliki gambaran sejarahnya amat menarik, dan kiranya perlu diangkat sebagai
aspek penting dalam rangka mengisi visi
ke-Islam-an. Dari sini peserta didik akan
lebih luas mengetahui cakrawala sejarah perekonomian Ummat. Aktivitas social dan
kebudayaan, juga memiliki dinamika yang menarik dalam kehidupan Ummat Islam,
porsi social dan kebudayaan ini perlu mendapatkan tempat yang layak. Demikian
halnya aktivitas kehidupan beragama yang dilakukan oleh Ummat Islam memiliki
dinamika yang tidak kalah pentingnya bagi pembentukan jiwa dan sikap patriotic.
Melalui ajaran-ajaran agama terdapat mutiara-mutiara yang dapat membangkitkan
semangat perjuangan melawan colonial, misalnya, dan juga meletakkan pendidikan
etika yang luhur bagi Ummat Islam. Pentas sejarah peran tokoh, ulama, tuan guru,
kyai, ajeungan, teuku melalui panggung Pesantren, dayah, surau, madrasah dan
lembaga pendidikan yang semisal, sulit dpinggirkan. Dengan demikian, visi
ke-Islam-an mustinya tetap dipertahke-Islam-ankke-Islam-an, untuk kemudike-Islam-an porsinya diperluas dke-Islam-an seimbke-Islam-ang,
yaitu mencakup segala aspek kehidupan. Tahapan ini sepertinya dan nyaris menuntut
bersama untuk selalu
mengingat buku pak Harun Nasution
Islam Ditinjau dari
”erbagai “speknya
.
Visi ini dalam hal ini juga perlu mempertahankan orientasi yang bersifat kerakyatan,
artinya bahwa Ummat Islam adalah terdapat dalam berbagai stratifikasi social
masyarakat, karenanya pada tingkat paling rendah pun mereka memiliki perananan
penting di dalam perjuangan hidup berkehidupan. Orientasi ke egaliteran ini masih
perlu diusulkan, sebab ada gejala yang kurang sehat, yaitu penulisan sejarah hanya
menonjolkan orang-orang besar, istana sentris (birokrat sentris), sehingga penulisan
dan
pendidikan
sejarah
porsinya
lebih
banyak
berorientasi
pada
pemerintahan/birokrasi dan sebagainya. Sekarang sudah waktunya menampilkan
peranan Ummat kebanyakan dalam segala perjuangan, baik dalam bidang politik,
social, budaya, ekonomi, dan agama
–
sumber dokumen mengenai hal ini sangat
banyak. Dengan berorientasi Ummat kebanyakan, diharapkan para peserta didik akan
lebih mencerna pendidikan SPI.
dirasakan oleh Jurusan SPI di sejumlah Institut, UIN, juga Universitas adalah kian
menurunnya jumlah peserta didik. Dosa apa kiranya ? Melalui
struktur mata kuliah, beban sks, serta pengayaan praktek mata kuliah dan praktikum sebagai wujud tindakan empiris dari wawasan pengetahuan sejarah material dan wawasan pengetahuan sejarah konseptual, sudahkah menjawab muatan keahlian sejarah dan peradaban Islam ?Dalam perjalanan dan sejumlah tahapan ke arah perbaikan dan perkembangan Kurikulum SPI, hampir pasti – siapa pun Kajur/Ka Prodi/Dekan memperhatikan perkembangan di dunia sejarawan profesional dan bidang-bidang profesi lain yang membutuhkan keahlian sejarah dan peradaban Islam. Hal ini tercermin pada upaya pengayaan praktek mata kuliah dan praktikum. Selain itu, relevansi kurikulum dengan tuntutan dan kebutuhan pengguna didukung pula oleh kegiatan dosen dan mahasiswa di luar program perkuliahan. Di Sini, di Sana ada seminar SPI. Peserta didik melalui forum legal kemahasiswaannya menyelenggarakan seminar tingkat domistik, seminar tingkat Nasional. Para Ustadz/Dosen, juga tidak sedikit yang diminta sebagai peserta, Narasumber dalam seminar tingkat domestic, seminar tingkat Nasional, bahkan tidak sedikit yang selalu duduk sebagai Keynote Speaker seminar International. Tapi,
jumlah
peserta didik kian menurun ? Dosa apa kiranya ?
Nah, saatnya sudah mendesakkah kita untuk merunut kembali
Struktur dan Isi Kurikulum SPI ? Struktur dan isi kurikulum SPI secara umum dapat dibagi pada kelompok kompetensi dasar, kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lainnya. Kompetensi dasar memuat mata kuliah-mata kuliah yang merupakan komponen universitas. Kompetensi utama memuat mata kuliah-mata kuliah inti kesejarahan dan budaya. Kompetensi pendukung memuat mata kuliah-mata kuliah yang dipandang strategis menunjang keahlian sejarah dan budaya. Kompetensi lainnya memuat mata kuliah pilihan. Kompetensi utama secara garis besar dapat dikelompokan pada pengetahuan sejarah konseptual dan pengetahuan sejarah material. Adapun pengetahuan budaya, sejauh ini masih terbatas pada pengetahuan konseptual. Namun, beberapa mata kuliah yang dipandang memiliki kontribusi signifikan dalam kajian sejarah dan budaya juga mendapat tempat, sebagai ilmu bantu, misalnya pengetahuan sosiologi, antropologi, filologi, politik, arkeologi.Sedapat mungkin penataan mata kuliah dalam struktur kurikulum tetap mempertimbangkan posisi dalam kelompok kompetensi, sebaran atau diagram mata kuliah per semester, persyaratan akademik (pre-requisite), beban sks, dan kalender akademik universitas.
Demikian halnya dalam hal penataan dosen pengampu mata kuliah mempertimbangkan keahlian spesifik dosen dan minat intelektual. Keahlian spesifik dan minat intelektual diindikasikan oleh pilihan program studi atau konsentrasi dosen saat mengambil pendidikan sarjana strata 2 dan 3, tema-tema penelitian yang pernah dilakukan, pelatihan yang pernah diikuti, program di luar kampus yang pernah diikuti, karya tulis yang dihasilkan, kegiatan-kegiatan ilmiah (seminar dan diskusi) yang pernah diikuti, atau keterampilan tambahan.
Sejauh perjalanan Jurusan SPI, setidaknya telah menyediakan waktu untuk sejenak tidak cukup mengingat tapi mencatat para alumni berikut persebaran mereka dalam meniti hidup dan kehidupan. Ambil contoh alumni SPI UIN Jakarta, misalnya : wartawan, diplomat, wiraswasta, guru, beacukai, dosen, structural PNS, dan sebagainya. Jika ada data melalui varian professi, menarik untuk dilihat frekuensinya. Bank Data semacam inilah, wujud nyata dan/atau backup kenapa dan untuk apa kita menyelenggarakan acara di seputar KURIKULUM SPI. Andai saja Bank Data semacam itu ada dan berwujud lantas dianggap sebagai bahan evaluasi, sungguh tepat pertemuan kali ini kita telah menuju ke arah pengembangan Kurikulum SPI yang lebih perspektif.
Dengan demikian, insya Allah pemahaman kita tentang kurikulum tidak dalam
pengertian sempit, melainkan ia memiliki makna yang lebih luas artinya, selain sebagai
rencana, kurikulum juga merupakan seluruh pengalaman atau aktivitas yang terjadi
sebagai realisasi dari program atau rencana yang telah dibuat sebelumnya. Konkritnya,
sampai pada hari ini, berarti kita telah menapaki jenjang kurikulum SPI :
1) kurikulum
sebagai ide
2, 2) kurikulum sebagai rencana tertulis
3, 3) kurikulum sebagai kegiatan
4, dan 4)
kurikulum sebagai hasil
5.
Boleh jadi, Jurusan SPI, kasus Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) di Institut Agama Islam Negri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya sudah terselenggara misalnya Program Studi (Prodi) Asia Tenggara, Program Studi (Prodi) Timur Tengah. Dilihat dari suasana geografis dan latar budaya dan zamannya. Prodi Timur Tengah, penguasaan bahasa Arab harus ketat; Prodi Asia Tenggara, penguasaan bahasa Belanda, harus ketat. Biar lebih kompetitif, namanya juga FAH,
2
Kurikulum sebagai suatu ide pada dasarnya merupakan sekumpulan ide-ide yang dipikirkan untuk mengembangkan kurikulum baik dalam skala terbatas (mikro), maupun skala yang luas (makro).
3
Kurikulum sebagai rencana tertulis terfokus pada bentuk program yang tertulis atau (document curriculum). Kurikulum dalam dimensi kedua ini merupakan tindak lanjut dari pengertian kurikulum dimensi pertama (ide). Misalnya sebelum mengajar guru terlebih dahulu membuat persiapan tertulis, seperti RPP, skenario pembelajaran, LKS.
4
Kurikulum sebagai kegiatan, yaitu dimaknai sebagai kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa maupun para pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
5
selain penguasaan bahasa Arab, apa salahnya kalau para peserta didik juga dibekali bahkan didorong untuk tetap menguasai AKSARA JAWI/PEGON, dan semacamnya.
Andai saja tahapan penguasaan aspek kebahasaan tetap dipertahankan, kita yaqin Lulusan/Alumni siap bekerja di bidang-bidang yang membutuhkan keahlian sejarah dan kebudayaan yang selaras dengan perkembangan peradaban, sepanjang zaman. Di sini lah letak KEBENARAN & ke-UNIQ-an keberadaan FAH di antara fakultas-fakultas lain. Ini sebagai konsekuensi keberadaan FAH dimana saja (IAIN, UIN, STAIN) bukan fokus para alumninya jadi TUKANG, tapi ILMUWAN. Andai saja FAH sebagai kawah candradimuka bagi para calon ILMUWAN – dan sudah menjadi komitmen kita, alumni FAH siap kompetitif dengan alumni Institut dan/atau Universitas Umum. Dengan demikian, selain sejumlah mata kuliah kesejarahan, semasa kuliah, taklah mubadzir mahasiswa dilibatkan dalam program-program yang memungkinkan mereka memiliki wawasan perkembangan modern, antara lain melalui dialog dan kunjungan ke berbagai lembaga non-kampus atau tempat-tempat tertentu (sentra ekonomi, sentra kesenian, sentra budaya daerah, dan sebagainya). Tahapan semacam ini, sangat mungkin Jurusan SPI telah memiliki akses ke beberapa pakar sejawat yang dapat memberi masukan untuk pengayaan kurikulum di samping upaya internal dosen-dosen Jurusan dalam mengeksplorasi pengetahuan dan pengalaman intelektualnya. Hubungan kemitraan yang telah terjalin dengan beberapa lembaga adalah hal lain yang menjadi kekuatan pada aspek pengayaan kurikulum. Berkaitan dengan suasana keterjalinan itu, semoga saja ini peluang bagi para peserta didik untuk mengembangkan diri, baik untuk melanjutkan studi, memiliki pengetahuan dan keahlian sejarah dan budaya, atau mengembangkan keterampilan praktis untuk mencari pekerjaan, atau sebaliknya syukurlah bila berhasil menciptakan lapangan kerja.
Pamungkas kata, apa pun keberhasilan yang kita peroleh, langkah evaluasi sebagai tahapan kongkrit yang lebih progressif dan perspektif. Semoga
Wallah alMuwafiq ila Aqwam at-Tariq