BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. KAJIAN PUSTAKA
1. Hakikat Representasi Budaya Jawa dalam Novel a. Hakikat Novel
Kesusastraan Indonesia telah mengalami perubahan modern bergaya barat seperti, puisi, cerpen, dan drama, dan novel yang ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional (Geertz, 1960). Pengertian novel sendiri adalah istilah yang sekarang diterapkan diberbagai tulisan yang memiliki kesamaan antribut dalam karya fiksi denagn bentuk diperpanjang yang ditulis dalam prosa (Abrams, 2009). Adapun definisi lain menurut (Nixon, 2009) adalah bentuk tekstual yang dapat diakses dan mendorong pembaca secara partisipatif untuk menggambarkan fenomena sosial.
Pengertian novel dikemukakan oleh (Nurgiyantoro, 2013) sebagai sesuatu yang bebas, menyajikan lebih banyak, lebih detail, lebih rinci dan melibatkan berbagai permasalahan hidup yang kompleks. Novel memiliki ruang yang luas untuk memaparkan cerita di dalamnya, sehingga cerita yang disajikan akan lebih rinci dan detail. Senada dengan pengertian tersebut, (Romadhon, 2015) menambahkan bahwa karya sastra novel menarasikan sebuah cerita yang memapu membawa, pembacanya masuk dan menjadi saksi cerita yang dikisahkan dalam novel tersebut.
Penjelasan lain menurut (Febrianto & Anggraini, 2019) memaparkan mengenai novel sebagai bentuk dari karya sastra yang di dalamnya memiliki kejadian atau peristiwa serta realita yang dialami dan dibuat manusia (tokoh). Seperti novel, dalam kehidupan masyarakat tidak akan terlepas dari falsafah budaya yang berkembang di suatu wilayah oleh sebab itu banyak karya sastra novel yang bercerita mengenai kehidupan kebudayaan yang terjadi dalam realita kehidupan. Cerita novel memiliki nilai yang dapat diambil manfaatnya sebagai ungkapan peristiwa dalam kehidupan pengarang. Fiksi atau novel tersebut sebagai wujud realisasi kehidupan pengarang melalui tokoh yang dituliskan (Isnaniah, 2013).
Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan salah satu karya sastra yang menyajikan cerita lebih panjang dan lebih kompleks. Isi novel menarasikan berbagai sudut pandang kehidupan, sosial kemasyarakat maupun budayanya. Oleh sebab itu, seoarang novelis atau sastrawan di dalam novelnya tidak akan terlepas dari latar belakang budaya di lingkungannya. Seperti halnya yang tergambar dalam novel-novel karya Khilma Anis yang banyak merepresentasikan budaya Jawa dan pendidikan karakter yang dapat diambil nilai-nilainya sebagai bahan ajar di sekolah untuk pembentukan karakter. Maupun upaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya jawa yang mulai memudar.
Selanjutnya, unsur intrinsik novel adalah unsur pembangun dalam diri novel itu sendiri. Menurut (Nixon, 2009) struktur novel dibagi menjadi empat bagian, yakni plot atau alur, karakter, gaya, dan moral. Plot dimaksudkan sebagai alur atau jalannya cerita dalam sebuah novel. apakah memiliki alur yang maju, mundur atau campuran. Kemudian karakter yang dimaksudkan adalah tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut.
Tentu setiap tokoh memiliki karakter yang berbeda-beda, oleh sebab itu unsur intrinsik pendukung sebuah cerita adalah adanya karakter atau tokoh yang berperan.
Selain itu, adanya gaya atau bahasa yang digunakan sebagai media representasi makna yang hendak disampaikan. Gaya yang dirujuk pada bahasa novel adalah bahasa figuratif yang tertuang dalam novel. Bahasa figuratif adalah bahasa kiasan dimana pemakaian bahasa-bahasa tersebut mengandung unsur gaya bahasa yang bermetafor. Adapun yang keempat adalah morality,atau moral. Moral dimaknai sebagai pesan atau amanat yang terdapat dalam cerita tersebut. Sebab dalam hal ini, karya sastra yang baik adalah karya sastra yang bermanfaat bagi pembacanya. Kendati demikian pemberian moral yang dituangkan dalam novel tersebut penting adanya. Pendapat lain menurut (Nurgiyantoro, 2013) menambahkan bahwa unsur instrinsik memiliki kesatuan organis yang merujuk pada pemahaman
bahwa setiap bagian-bagian dalam novel bersifat menopang, memperjelas, mempertegas dan mendukung unsur utama cerita tersebut.
Adapun pembagian unsur intrinsik novel menurut (Nurgiyantoro, 2013) diantaranya adalah:
a. Tokoh dan penokohan : Karakter adalah orang-orang yang diwakili dalam karya dramatis atau naratif, yang ditafsirkan oleh pembaca sebagai pemilik moral, intelektual, dan kualitas emosional dengan kesimpulan dari apa yang dikatakan orang-orang dan cara mengucapkannya berupa dialog dan dari apa yang dilakukan dalam tindakan tersebut. Menurut (Abrams, 2009). Penokohan mencakup pewatakan, emosional yang digambarkan secara jelas kepada pembaca.
b. Latar :
1) latar tempat adalah lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan berupa tempat dengan nama-nama tertentu.
2) Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam sebuah karya sastra.
Masalah kapan tersebut biasa dihubungkan dengan waktu, waktu yang kaitannya dengan peristiwa sejarah dalam ceita tersebut.
c. Amanat : gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan. Pesan moral atau amanat dalam sebuah karya sastra selalu disajikan dalam pengertian baik. amanat yang terdapat di dalam karya sastra dapat berupa pesan sosial, agama, dan budaya. Kajian struktural yang akan dilakukan pada penelitian ini hanya akan berfokus pada tiga unsur instrinsik, yakni tokoh, setting dan amanat.
b. Hakikat Representasi Budaya Jawa
Menurut (Hall, 2003) representasi adalah ungkapan untuk menghubungkan konsep yang ada di dalam pikiran dengan cara menggunakan medium bahasa untuk mengartikan suatu objek yang berupa benda, kejadian nyata, dan imajinasi dari suatu objek. Selain itu,
(Endraswara, 2013) menjelaskan representasi adalah citra atau gambaran apa saja yang terdapat dalam karya sastra. Gambaran tersebut dapat berupa kehidupan manusia, budaya, dan agama. Rekflektivitas akan menghasilkan fenomena budaya yang bertujuan untuk mengungkap citra diri maupun kelompok secara reflektif.
Refleksivitas merujuk pada bagaimana seorang antropolog sastra memancing, memberi umpan, dan memaknai sebuah representasi.
Sedangkan representasi sendiri merujuk pada daya pantul di balik fenomena. Representasi muncul dalam berbagai tindakan simbolis.
Representasi adalah cermin yang dapat menangkap segala hal tentang aspek budaya dalam karya sastra. Kendati demikian melalui kajian antropologi sastra dapat mengungkap pencitraan budaya yang terdapat dalam karya sastra. Kemudian (Farida & Andalas, 2019) juga berpendapat bahwa representasi adalah penggambaran karya sastra yang merekam berbagai kejadianhidup dalam masyarakat. Dalam hal ini salah satunya adalah novel.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa representasi adalah perwakilan, penggambaran, pencitraan, cerminan terhadap suatu objek seperti sosial, agama, dan budaya. Penggambaran tersebut dilakukan sebagai wujud penyampaian segala hal berkaiatan dengan masyarakat melalui sebuah karya sastra. Dalam hal ini, representasi yang muncul dalam novel-novel Khilma Anis ini memberikan cerminan banyaknya budaya Jawa dan pendidikan karakter yang dapat diambil manfaatnya.
Oleh sebab itu, penelitian ini berusaha merepresentasikan budaya-budaya Jawa dan pendidikan karakter apa saja yang terdapat di dalam novel-novel Khilma Anis.
Kebudayaan berasal dari kata kata kultur. Cultura sebagai bahasa latin dari kultur memiliki makna memelihara, mengolah, dan mengerjakan.
Dalam hal ini kebudayaan memiliki cakupan yang begitu luas tidak hanya dalam lingkup kasat mata tetapi dalam hal abstrak yang berkaitan dengan kehidupan manusia untuk memelihara, mengerjakan, dan mengolah untuk
menghasilkan tindak budaya (Endraswara, 2006). Menurut (Hall, 2003) istilah lain yang lebih tradisional dari budaya adalah wujud yang terbaik yang telah dipikirkan dan dikatakan dalam sebuah masyarakat. Menurut (Zeptnek & Mukherjee, 2013) studi budaya dapat menarik dan dikerjakan ke dalam sejumlah besar disiplin ilmu pengetahuan yang mapan dalam humaniora dan ilmu sosial, termasuk studi secara umum dan teori sastra, sosiologi budaya, teori sosial yang dapat digunakan sebagai kajian studi budaya.
Definisi budaya sendiri sebagai jaringan pengetahuan bersama yang membantu membedakan budaya dari sekelompok satu dengan kelompok lainnya. Selain itu, potensi kausal budaya berada pada aktivasi pengetahuan budaya bersama, yang membawa konsekuensi afektif, kognitif, dan perilaku (Wyer, Chiu, & Hong, 2009). Kebudayaan Jawa sarat akan nilai mistik, yang paling mencolok dari orang Jawa sering dikutip dan luar biasa berjuang untuk keharmonian. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh (Schele, 2010) bencana alam gempa bumi yang berada di Indonesia pada tahun 2006 dan meletusnya gunung merapi ada sangkut pautnya dengan kemurkaan Nyai Roro Kidul sehingga terjadilah bencana tersebut. Namun hasil wawancara dengan tokoh agama, bencana-bencana tersebut murni ujian dari Allah dan tidak ada sangkut pautnya dengan Nyai Roro Kidul.
Dalam budaya masyarakat Jawa sendiri (Paul, 2008) menjelaskan karakteristik yang terdapat dalam masyarakat Jawa adalah adanya kompleksitas dalam memahami sebuah rasa. Rasa yang ditekankan adalah sebagai penghubung antara pengindraan fisik (selaras dan sentuhan), kemduian emosi (perasaan dan hati) serta penghayatan mistik terdalam yang hakiki dari jiwa manusia itu sendiri. Jadi dalam hal ini rasa menciptakan rangkaian gubungan antara makna yang dangkal dengan taraf batin yang terdalam.
Secara sederhananya, budaya adalah tentang makna bersama. Pendapat lain ditambahkan oleh (Geertz, 1973) bahwa pola budaya, yaitu sistem
atau kompleks simbol yang bersangkutan sifat generik dan memiliki kepentingan bagi masyarakat yang mana sumber informasinya berasal dari luar atau ekstrinsik. Selain itu, memiliki nilai-nilai pada individu yang menggambarkan dunia mereka, mengekspresikan perasaan mereka, dan membuat penilaian bagi mereka. Ia juga mengklasifikasikan masyarakat jawa dalam tiga strata sosial, pertama adalah abangan, santri dan priyai.
Kaum Abangan adalah pola masyarakat dari desa masih menggunakan pola sinkretik. Contohnya seperti sopir, pedagang, petugas, atau buruh- kurang lebih independen. Kemudian santri adalah kelompok yang cenderung sebagai penyeimbang Islam pluralistik dan beberapa dari mereka diadopsi sebagai kerangka keagamaan umum di mana untuk menetapkan mereka lebih khusus. Santri adalah sekelompok murid laki- laki dan perempuan, di mana dari tiga atau empat sampai seribu, disebut santri.
Secara tradisional, dan sampai sekarang para santri tinggal di pondok pesantren atau beberapa orang menyebutnya asrama (Geertz, 1960).
Seorang muslim yang lebih sadar diri, mendasarkan pada keyakinan dan praktik agamanya secara lebih eksplisit pada doktrin internasional dan universalistik Mohammad; di sisi lain muncul "nativis" yang lebih sadar diri, berusaha mengembangkan sistem keagamaan umum dari unsur-unsur yang lebih Islam dari tradisi keagamaannya yang diwariskan. Selanjutnya adalah kaum priyai Geertz menjelaskan bahwa kaum priyai adalah mereka yang memiliki darah bangsawan atau ningrat. Apabila dikaitkan di era sekarang, maka para priyai tersebut adalah kiai, bu Nyai dan keturunan dari keraton yang berdarah bangsawan atau biru (Geertz, 1973).
Menurut (Geertz, 1993), peran ibadah yag berasal dari leluhur dalam mengatur suksesi politik, hari raya kurban dalam mendefinisikan kewajiban kekerabatan, ibadah roh dalam menjadwalkan praktik pertanian, keilahian dalam memperkuat kontrol sosial, atau ritual inisiasi dalam mendorong pematangan kepribadian, adalah bentuk tradisi yang masih dijalankan oleh masyarakat Jawa.
Endraswara dalam (Astuti, 2017) juga menegaskan bahwa kedamaian bagi orang Jawa adalah nomor satu. Kedamaian tersebut menegaskan bahwa budaya Jawa memiliki nilai luhur yang mampu menciptakan kehidupan yang harmonis bagi masyarakatnya, baik dengan cara patuh, menghormati, saling membantu, menghargai, menjaga harga diri, toleransi, bekerja sama dan lain-lain. Masyarakat Jawa sendiri terbagi menjadi tiga golongan, pertama priyai, santri, dan abangan. Priyai adalah kaum bangsawan atau yang lahir dari keturunan darah biru, bisa berupa Kiai, Habib dan lain-lain.
Menariknya Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa pengantar di pesantren, bukan bahasa melayu. Murid atau santri dari berbagai nusantara harus belajar bahasa jawa terlebih dahulu sebelum belajar islam dipesantren. Ini artinya bahasa jawa digunakan sebagai bahasa lingua franca pendidikan Islam Nusantara. (Sulistiyono & Rochwulaningsih, 2013). Kemudian kaum santri adalah kaum-kaum yang taat dalam beribadah, sedangkan kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau kejawen.
Oleh sebab itu, konsep wanita Jawa dibentuk agar nantinya menjadi wanita sejati yang bisa mematuhi, mengabdi, dan menjadi pengurus rumah tangga bersama suami. Selain itu, prinsip yang harus dipegang oleh wanita Jawa adalah adanya istilah mikul duwur mendem jero atau menjunjung tinggi derajat orang tua dan menutupi kekurangan atau aib keluarga.
Termasuk dalam hal ini yang dimaksudkan adalah ketika perempuan Jawa nantinya telah berumah tangga, maka wajib ia menerapkan prinsip tersebut. Satu ciri khas lagi mengenai orang Jawa adalah rasa malu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Subandi & Good, 2018) bahwa rasa malu adalah emosi universal manusia. Tetapi ekspresi dan manifestasinya berbeda antar budaya. Rasa malu terjadi dalam konteks perilaku makan dan manifestasi tata krama. Bahkan ia menambahkan pendapat Geertz mengenai rasa malu yang terbagi mejadi tiga. Yakni isin (Malu), isin (Wedi), isin sungkan (menghormati).
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai budaya Jawa dapat disintesiskan bahwa adanya aturan yang digunakan dalam masyarakat Jawa bersifat kompleks, yakni tidak hanya mengatur secara sosioal kemasyarakat tetapi juga aturan dalam hal-hal yang kaitannya dengan sesuatu yang abstrak atau mistis. Masyarakat Jawa mengedepankan adanya perdamaian sebagai tujuan nomor satu. Dengan perdamaian tersebut nantinya akan memunculkan keharmonisan diantara sesama manusia.
Maka, sikap-sikap yang menjadi khas orang Jawa adalah sopan santu, toleransi, lemah lembut, gotong royong, bekerja sama, ringan tangan dan lain-lain.
Adapun wujud budaya menurut J.J Honigman dalam (Koentjaraningrat, 1985) yang berupa gagasan, aktivitas dan artefak akan menjadi teori utama dalam penelitin ini, berikut adalah penjelasannya.
a. Gagasan : Wujud kebudayaan berupa gagasan berkaitan dengan sesuatu yang kompleks, mengenai ide atau gagasan, nilai-nilai, norma- norma, falsafah hidup dan peraturan yang terdapat dalam masyarakat tersebut. (Geertz, 1973) menambahkan mengenai gagasan dapat berupa akal sehat, ilmu pengetahuan, filosofis, mitos yang digunakan sebagai pegangan masyarakat dalam mengatur tradisi dan kebudayaannya. Contohnya seperti mitos, legenda, falsafah, dan prinsip hidup masyaakat Jawa.
b. Aktivitas : konsep kedua dari wujud kebudayaan adalah aktivitas, yakni sebagai sesuatu yang kompleks berupa aktivitas serta tindakan berpola dari masyarakat. Wujud aktivitas berupa sistem sosial atau social system mengenai tindakan yang berpola dari masyarakat itu sendiri. Sistem sosial tersebut terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul dengan masyarakat lainnya yag selalu berdasarkan pola-pola tertentu dan berdasar pada adat tata kelakuan. Aktivitas lebih bersifat konkret, dapat dilihat dan diobservasi serta didokumentasi. Contohnya, bersikap menghormati sesama manusia, menunduk, membungkuk, bersimpuh.
c. Artefak : pengertian artefak sebagai wujud ketiga dari kebudayaan adalah bentuk fisik dari kebudayaan yang berbentuk jelas dan tidak memerlukan banyak penjelasan. Artefak berupa hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat.
Makna sifatnya paling konkret berupa benda-benda, dokumentasi, sesuatu yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Contoh: tari-tarian, keris, bangunan, wayang dan lain-lain.
Pendapat lain mengenai wujud kebudayaan juga dijelaskan oleh (Koentjaraningrat, 1985) yang terdiri dari empat wujud budaya, diantaranya adalah:
a. Wujud budaya sebagai ide, gagasan, nilai dan norma
Wujud ketiga adalah sistem gagasan, ide, nilai dan norma merupakan sistem yang dapat dipelajari apabila memperdalam dengan wawancara intensif. Wujud budaya berupa gagasan, ide dan lain-lain yang dipelajari masyarakat dalam suatu kebudayaan sejak usia dini dan menjadi hal yang sukar diubah. Seperti falsafah, prinsip hidup, bahasa dan aturan-aturan yang ada dalam suatu masyarakat.
b. Wujud kebudayaan berupa aktivitas dan pola tindakan dalam masyarakat
Sistem kedua selanjutnya adalah tindakan berpola, makna dari kalimat tersebut adalah semua gerik manusia yang dilakukan setiap saat. Berupa interaksi masyarakat, pola tingkah laku yang didasarkan pada sistem, sehingga disebut dengan „sistem sosial‟. Adapun contohnya adalah interaksi sesama masyarakat dan tindakan maupun aktivitas sehari-hari masyarakat.
c. Wujud budaya berupa benda-benda hasil karya manusia
Wujud budaya berupa artefak dimaknai sebagai benda-benda fisik yang dapat dilihat, diraba dan difoto. Seperti: candi, gamelan, seni tari, wayang dan benda-benda yang bersifat konkret.
Berdasarkan dua teori yang telah dijelaskan, fokus teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah wujud budaya milik J.J Hoenigman
yang terdiri dari tiag wujud kebudayaan berupa gagasan, aktivitas dan artefak. Kemudian, pada tahap selanjutnya, peneliti akan berfokus pada dua wujud kebudayaan yakni gagasan dan aktivitas yang akan digunakan sebagai bahan materi pembentuk karakter siswa di SMA.
c. Pendekatan Antropologi Sastra
Menurut (Hall, 2003) kata budaya digunakan untuk merujuk pada apa pun yang khas tentang cara hidup seseorang, komunitas, bangsa atau kelompok sosial yang menggambarkan nilai-nilai bersama dari suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Selain itu, (Danesi, 2004) definisi antropologis adalah pendekatan khusus yang mempelajari hubungan antara bahasa, pemikiran, dan budaya dikenal sebagai ilmu antropologis.
Kemudian (Haviland, 1975) menambahkan mengenai antropologi adalah ilmu yang membebaskan diri dari semua ilmu pengetahuan. Sebab keberhasilannya dalam mengekspos kekeliruan dan keunggulan ras juga budaya, tetapi juga pengabdiannya pada studi semua orang. Selain itu, (Jacoby & Kibbe, 1966) menyebutkan sebagian besar daya pikat antropologi terletak pada kesempatan untuk tenggelam dalam budaya lain, apakah dengan masyarakat adat di lokal eksotis atau di sudut dengan remaja lokal. Pada dasarnya, antropologi sastra merupakan dua rangkaian ilmu yang terdiri dari antropologi dan sastra. Selanjutnya (Jourdan &
Tuite, 2006) memberikan penjelasan singkat mengenai antropologi, bahwa ilmu tersebut menjadi salah satu ilmu yang mengeksplorasi hubungan menarik antara bahasa, budaya, dan interaksi sosial.
Menurut (Endrawasara, 2013) Antropologi sastra dipahami sebagai potret budaya yang lahir secara estetis, dengan begitu antropologi sastra akan memburu makna sebagai sebuah ekspresi budaya yang akan dituangkan dalam karya sastra. Ia juga menambahkan bahwa antropologi sastra berupaya untuk mengkaji sikap dan perilaku yang muncul sebagai gambaran budaya dalam karya sastra. Sebab manusia kerap kali bersikap dan bertindak dengan tata krama yang memuat asusila dan unggah-ungguh bahasa yang menjadi ciri dari sebuah peradaban.
Dengan begitu, sastra berusaha menyuarakan tata krama dalam interaksi budaya yang satu dengan yang lain melalui simbol-simbol.
Easthope (1991) menyebutkan bahwa mempelajari budaya populer bersama teks kanonis dalam bentuk studi budaya yang diperbesar, biasa dilakukan melalui studi sastra untuk mempertahankan posisinya. Sebab, budaya mulai mengalami kemunduran sehingga, hal tersebut disertakan dalam karya sastra. Hal ini terangkum dalam studi antropologi sastra.
Selain iitu, (Hart, 2011) menjelaskan dalam literarur dan budaya memunculkan paradigma yang sangat penting dan interplay terjadi dalam sistem dan antisistem. Hubungan antara sistem dan lingkungan.
Ia mengungkapkan harapan yang signifikan untuk dasar bersama yang mendasari antara berbagai teori literatur sebagai sistem atau bidang.
Pemertahanan budaya tersebut menghubungkan gambar dan kata-kata dengan tempat manusia di alam bahwa pertukaran tersebut melibatkan komunikasi dan miskomunikasi, pengakuan dan misrekognisi. Dalam buku lain, (Endrawara, 2018) juga memberi pengertian bahwa antropologi sastra sebagai ilmu interdisipliner yang membahas warna budaya dalam sastra. Pemecahan suatu masalah tersebut yang menggunakan ilmu interdisipliner dengan menggunakan tinjauan dari berbagai sudut ilmu yang padu dapat menjadikan ilmu antropologi terbaca melalui sebuah karya sastra, sehingga dapat dipadukan menggunakan kajian ilmu antropologi sastra.
Karya sastra tidak akan terlepas dari suatu kebudayaan. Sebab penulis karya sastra sendiri adalah bagian dari suatu masyarakat yang hidup dan memiliki kebudayaan. Maka tidak heran apabila karya sastra di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya dari masyarakat itu sendiri. Pengertian lain dijelaskan oleh Ratna dalam (Rahmat, 2019) antropologi sastra berkaitan dengan karya-karya yang dihasilkan manusia seperti bahasa, religi, adat istidat, karya seni, sejarah, mitos, hukum, yang kemudian dituangkan dalam wujud karya sastra.
Ia juga menuliskan antara kedekatan antropologi dan sastra yang tidak dapat diragukan lagi, sebab antropologi sastra muncul dari maraknya karya sastra yang syarat akan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamya.
Pendapat lain dikemukakan oleh (Djirong, 2014) bahwa antropologi sastra adalah teori atau kajian dalam bidang sastra yang menelaah hubungan antara sastra dan budaya. Tujuan utamanya adalah untuk mengamati bagaimana penggunaan sastra dalam sehari-hari sebagai alat dan tindakan bermasyarakat juga berbudaya. Angelis (2002) menjelaskan mengenai sastra maupun antropologi adalah disiplin yang bersatu dan mandiri bahwa diskusi kritis di setiap bidang tidak berasal dari satu pusat tetapi berasal dari berbagai sumber. Peran ganda literatur dan reposisi antropologi memungkinkan banyaknya kemungkinan dalam membaca, menulis tentang, dan menafsirkan orang, tempat dan perspektif, nyata atau dibayangkan.
Sintesis berdasarkan penjelasan di atas bahwa antropologi sastra berfokus pada kajian kebudayaan baik tradisi, mitos, religi, sikap dan hal- hal yang berkaitan dengan budaya di masyarakat yang diekspresikan atau diceritakan melalui sebuah karya sastra. Karya sastra tidak akan terlepas dari kebudayaan pengarang itu sendiri. Oleh sebab itu, media tulis maupun lisan yang berupa karya sastra akan semaksimal mungkin memaparkan kebudayaan yang ada di sekitar pengarang. Selain itu, karya sastra bertujuan mengeksplorasi budaya di suatu masyarakat yang nantinya dapat memberikan sumbangsih keberanekaragaman budaya kepada pembaca.
Begitu halnya dengan kebudayaan, yang terlebih akan menyadarkan para pembaca bahwa keberanekaragaman tersebut sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan.
2. Hakikat Nilai Karakter a. Pengertian Karakter
Pengertian karakter dalam sebuah karya adalah sikap yang menggambarkan perilaku seseorang secara dramatis atau naratif, yang kemudian ditafsirkan oleh para pembaca sebagai pemilik kualitas moral,
intelektual, dan emosional tertentu dengan penjelasan yang dikatakan para tokoh secara khas melalui dialog tersebut (Abrams, 2009). Penjabaran tersebut dimaknai sebagai pengertian karakter yang terdapat dalam sebuah karya sastra yang dapat di contohkan dan diambil nilainya dalam dunia nyata.
Selain itu, menurut (Pitaloka, Andayani, & Suyitno, 2019) produk dari cara berpikir dan berperilaku di masyarakat salah satunya tertuang dalam karya sastra yang berbentuk cerita. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dapat berupa nilai tersirat maupun tersurat, nilai-nilai tersebut mampu dikembangkan untuk membentuk kepribadian manusia dari beragai dimensi kehidupan. Tradisi yang muncul di masyarakat dari generasi ke generasi tentunya akan mempengaruhi kualitas nilai pendidikan baik dalam berpikir maupun berperilaku.
Penjelasan lain disampaikan oleh (Kim, Choe & Kaufman, 2019) mengenai kolaborasi antara pendidikan karakter dan kretivitas. Karakter yang bersifat terbuka, memunculkan toleransi pada sesama, memaafkan.
Pada gilirannya, pendidikan kreativitas juga dapat membantu karakter.
Misalnya, peningkatan kreativitas dikaitkan dengan peningkatan toleransi dan pemikiran yang merata dan pemikiran yang terbuka, juga diperlukan untuk merangkul pandangan yang beragam ketika memproduksi ide yang kreatif.
Pendidikan karakter menurut (Lickona, 2013) mendefinisikan karakter yang baik adalah karakter yang diharapkan bagi orang tua kepada anak- anaknya. Bahkan Aristoteles mendefiniskan karakter yang baik sebagai karakter hidup dengan tingkah laku yang benar, dengan cara berhubungan dengan orang lain secara baik, dan kepada diri sendiri.
b. Jenis Nilai Karakter
Pembagian nilai karakter oleh Lickona, dibagi menjadi tiga jenis yang meliputi; Pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral.
1) Pengetahuan tentang moral a) Kesadaran moral
Dalam hal ini pengetahuan mengenai moral dibutuhkan sebagai landasan dalam melakukan penilaian moral. Apabila pengetahuan moral bersifat samar, hal ini memungkinkan anak untuk berbuat negatif. Oleh sebab itu, kesadaran moral dalam membentuk dua aspek yakni anak menggunakan akal untuk melihat kapan memerlukan penilaian moral, dan kapan anak memahami kendala yang di dapat dalam memperoleh informasi.
Kedua aspek tersebut berjalan beriringan untuk memastikan kebenaran sebelum membuat penilaian moral.
b) Mengetahui nilai-nilai moral
Nilai-nilai moral berikut ini dapat membentuk pribadi yang baik diantaranya adalah menghormati kemerdekaan, menghormati orang lain, bertanggung jawab, toleransi, adil, sopan santun, disiplin, memiliki integritas, kasih sayang terhadap sesama, dermawan, dan berani. Dalam hal ini, sebuah nilai dapat dditerapkan sebagai warisan moral yang diwarsikan dari generasi ke generasi.
c) Pengambilan perspektif
Pada pengambilan keputusan, anak dilatih untuk mempertimbangkan hal-hal yang dilihat dari berbagai sudut pandang. Pola pikir, membayangkan, cara pandang orang lain, berekasi dengan tujuan bahwa anak diberi pemahaman untuk menghargai keberadaan orang lain yang berbeda.
d) Penalaran moral
Penalaran tersebut didapatkan anak secara bertahan. Ketika kecil sampai beranjang dewasa. Tingkat tertinggi dari penalaran moral adalah memahami makna untuk menjadi manusia yang bermoral dan suatu keharusan yang dilakukan sedari kecil hingga beranjak dewasa.
e) Pengambilan keputusan
Dalam hal ini pengambilan keputusan mengarahkan anak untuk memikirkan langkah-langkah sebelum mengambil keputusan. Sebab, dalam pengambilan suatu keputusan semua memiliki risiko. Oleh sebab itu, anak diarahkan untuk memikirkan bagaimana meminimalisir risiko yang nantinya akan diambil sebagai suatu keputusan.
f) Pengetahuan diri
Pengetahun diri bertujuan untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan yang ada dalam diri anak sendiri. Hal ini mampu mengembangkan karakter anak dan memberikan kontribusi terhadap pengetahuan dari pembentukan karakter.
2) Perasaan tentang moral a) Hati nurani
Dua aspek dari hati nurani seseorang, yakni aspek sisi kognitif (pengetahuan) dan aspek emosional. Dalam aspek kognitif maminta seseorang untuk menuntun kita dalam menentukan hal yang benar, sedangkan aspek emosional memberikan perintah dan kewajiban untuk melakukan hal yang benar. Namun pada realitanya orang-orang mengetahui kebenaran tetapi tidak berkewajiban untuk melakukannya. Hal tersebut disebabkan karena hati nuraninya tidak berkembang.
b) Penghargaan diri
Penghargaan terhadap diri sendiri ini bersifat positif, namun tidak dapat menjadi mampu membentuk moral secara baik. Oleh sebab itu, penghargaan diri harus berlandas pada nilai-nilai moral seperti tanggung jawab, jujur, keluhuran budi, dan berkeyakinan untuk menjadi pribadi yang baik.
c) Empati
Tingkat empati setiap orang berbeda-beda. Empati seseorang dapat diketahui secara dini dan merupakan bentuk emosional dari pengmabilan perspektif. Apabila empati seseorang tinggi
maka ia akan mampu merasakan kesedihan orang lain dengan cara membantu dan memberikan solusi, namun berbalik pada emspati seseorang yang rendah, justru akan memarahi dan memberikan efek buruk kepada seseorang yang sedang bersedih tersebut.
d) Menyukai kebaikan
Pembentukan karakter tertinggi adalah ketertarikan dalam kebaikan yang murni tanpa dibuat-buat. Potensi kebaikan sudah dimiliki anak sejak dini, potensi tersebut dapat berkembang apabila diberikan program-program yang baik.
e) Kontrol diri
Kontrol diri penting dilakukan untuk mengontrol diri agar tidak terlena dalam melakukan hal-hal yang tidak perlu pada saat konsidi tidak baik. Kontrol diri bertujuan untuk mengatasi dan mengarahkan untuk bersikap etis dalam segala tindakan.
f) Kerendahan hati
Kerendahan hati membantu anak untuk mengatasi kesombongan yang ditemui dalam lingkungannya. Upaya tersebut membantu agar anak tidak memandang rendah da negatif kepada orang lain. Sebab hal tersebut dapat menutup dan menghalangi pintu maaf.
3) Perilaku moral a) Kompetensi
Kompetensi moral ini adalah kemampuan mengubah pertimbangan dan perasan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Kompetensi moral ini membantu seseorang dalam menyelesaikan suatu masalah. Hal ini tentunya memerlukan rencana. Maka, terampil dalam menyelesaikan berbabgai masalah diperlukan kompetensi.
b) Kemauan
Kemauan adalah kehendak yang dibutuhkan untuk melihat dan memikirkan sesuatu melalui setiap nilai moral. Hal ini yang dapat membantu memberi pencerahan untuk mengutamakan kewajiban dari pada kesenangan. Kemauan sendiri adalah inti dari keberanian moral.
c) Kebiasaan
Dalam rananh ini anak-anak digiring untuk dibiasakan melalukukan kebaikan. Mereka dilatih berbuat baik sehingga akan menimbulkan suatu kebiasan, sebab rang-orang yang memiliki karakter baik kerap kali tidak sadar dalam melalkukan kebaikan, karena hal tersebut sudah menadi kebiasaan.
Berdasarkan penjabaran nilai karakter yang berangkat dari teori Licknona tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakter adalah sifat, watak yang mempengaruhi perilaku setiap anak. Apabila karakter yang dimiliki anak sudah terbentuk sedari kecil maka hal tersebut menjadi warisan yang penting untuk dijaga sebagai bekal anak dewasa. Lima belas nilai pendidikan moral di atas, diharapkan dapat diterapkan pada karakter anak- anak sebagai wujud upaya perbaikan karakter yang mulai menghilang.
3. Pemanfataan sebagai Materi Ajar di SMA
Penelitian yang dilakukan diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada dunia pendidikan. Sehingga, hasil dari penelitian yang dilakukan ini dapat dimanfaatkan sebagai materi ajar, baik secara esensial maupun eksistensial. Beberapa KD yang telah dipilih oleh peneliti dapat dijadikan sebagai rujukan atau referensi bagi guru sebagai penambah materi agar siswa dapat menikmati hasil penelitian yang telah dilakukan ini.
Diantaranya terdapat pada KD SMA sederajat yang terdiri dari KD 3.11 menganalisis pesan dari satu buku fiksi yang dibaca dan 4.11 menyusun ulasan terhadap pesan dari satu buku fiksi yang dibaca. Selain itu, kelas XII semester 1 berupa KD 3.1 Memahami struktur dan kaidah teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial atau opini, dan cerita fiksi dalam novel baik melalui lisan maupun tulisan dan 4.1 Menginterpretasi makna
teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel baik secara lisan maupun tulisan. Terakhir adalah KD 3.20 Menganalisis pesan dari dua buku fiksi (novel dan buku kumpulan puisi) yang dibaca dan 4.20 Menyusun ulasan terhadap pesan dari dua buku kumpulan puisi yang dikaitkan dengan situasi kekinian.
Ketiga KD yang disajikan dirasa mampu dan relevan apabila digunakan oleh guru bahasa Indonesia untuk memanfaatkan sebagai materi ajar yang berkaitan dengan hasil penelitian ini. Dalam penelitian yang dilakukan ini, selain dapat digunakan sebagai materi ajar, hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai materi pembentuk karakter siswa dan pengajaran seputar nilai karakter yang banyak terdapat dalam novel tersebut agar dapat diterapkan dan dicontoh oleh para siswa. Berdasarkan rumusan yang telah dijelaskan di atas, pembatasan masalah yang digunakan sebagai materi ajar karakter dalam penelitian ini adalah wujud budaya berupa gagasan dan aktivitas.
Keduanya memiliki pengaruh besar bagi pola pikir dan pembentuk karakter siswa. Wujud budaya berupa gagasan dapat bermanfaat untuk membuka pikiran dan mengajak siswa untuk berpikir, baik secara universal maupun berkaitan dengan hal-hal yang menjadi pola pikir atau falsafah orang Jawa pada khususnya. Kemudian wujud budaya berupa aktivitas akan membentuk pribadi siswa yang berkarakter baik, berbudi luhur dan berakhlakul karimah. Sebab, aktivitas berfokus pada tingkah laku yang ada di masayarakat. Kedua wujud budaya tersebut dapat digunakan sebagai materi ajar pembentuk karakter siswa. Tentunya pemanfaatan hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsing yang lebih kepada dunia pendidikan khususnya dan dunia luar pada umumnya.
B. KERANGKA BERPIKIR
Penelitian ini bermula dari Novel karya Khilma Anis yang berjudul Hati Suhita, Jadilah Purnamaku Ning, dan Wigati. Ketiga novel tersebut ditemui
banyak wujud budaya Jawa yang sarat akan makna dan filosofis serta nilai karakter yang ditemukan dalam setiap tokoh. Hal ini menjadi menarik mengingat di era sekarang generasi muda mulai kehilangan karakternya. Oleh sebab itu, penelitian ini mengkaji mengenai wujud budaya Jawa dan nilai karakter yang terdapat di dalamnya. Sebelum menelisik wujud budaya Jawa dan nilai karakter, peneliti lebih dulu menelisik hubungan antarunsur intrinsik dengan pendekatan struktural untuk mengetahui kesamaan dan hubungan dari ketiga novel Khilma Anis. Setelahnya penggunaan kajian antropologi sastra digunakan dalam menggali wujud budaya Jawa.
Hasil yang diperoleh dari analisis ketiga objek novel tersebut menghasilkan wujud budaya Jawa dan nilai karakter yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar, materi pembentuk karakter siswa, dan pengenalan serta pelestarian budaya Jawa oleh guru maupun siswa. Output yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya karakter yang unggul sebagai upaya menjaga dan melestarikan budaya Jawa.
Lebih jelasnya, di bawah ini merupakan gambar kerangka berpikir sebagai alur penelitian.
Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir Novel
Nilai Karakter Relasi
antarunsur Intrinsik
Representasi Budaya Jawa
Struktural
Pemanfaatan : 1. Bahan Ajar
2. Pembentukan karakter
3. Pengenalan dan pelestarian budaya Jawa
Siswa Guru
Horizon Baru
Terbentuknya karakter yang unggul sebagai upaya menjaga dan melestarikan budaya Jawa
Antropologi Sastra