• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Analisis Kesalahan Berbahasa

Subbab ini menguraikan tiga hal pokok, yaitu pengertian kesalahan berbahasa, klasifikasi kesalahan berbahasa, dan pengertian analisis kesalahan berbahasa. Penjelasan masing-masing hal pokok yang berhubungan dengan teori analisis kesalahan berbahasa adalah sebagai berikut.

a. Pengertian Kesalahan Berbahasa

Kegiatan komunikasi baik secara lisan maupun tertulis tidak lepas dari kesalahan berbahasa. Kesalahan berbahasa adalah terjadinya penyimpangan kaidah dalam tindak bahasa, baik secara lisan maupun tertulis (Suwandi, 2008: 165). Seperti pendapat Suwandi, Setyawati (2010: 13) menjelaskan bahwa “Kesalahan berbahasa adalah penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tertulis yang menyimpang dari faktor-faktor penentu berkomunikasi atau menyimpang dari norma kemasyarakatan dan menyimpang dari kaidah tata bahasa Indonesia.” Pranowo (2014: 118) menjelaskan pengertian kesalahan berbahasa secara singkat, “Kesalahan berbahasa adalah penyimpangan kaidah dalam pemakaian bahasa.”

Tarigan dan Tarigan (1988: 145) menjelaskan bahwa ada empat taksonomi atau pengklasifikasian kesalahan berbahasa, yaitu taksonomi kategori linguistik, taksonomi siasat permukaan, taksonomi komparatif, dan taksonomi efek komunikatif. Taksonomi kategori linguistik adalah klasifikasi kesalahan berbahasa berdasarkan komponen linguistik tertentu yang dipengaruhi oleh kesalahan. Taksonomi siasat permukaan adalah klasifikasi kesalahan berbahasa berdasarkan cara-cara struktur permukaan berubah. Taksonomi komparatif adalah klasifikasi kesalahan berbahasa berdasarkan perbandingan antara struktur kesalahan B2 dan tipe konstruksi tertentu lainnya. Taksonomi efek komunikatif adalah klasifikasi kesalahan berbahasa berdasarkan efek kesalahan terhadap penyimak atau pembaca.

(2)

8 Setyawati (2010: 13-14) mengemukakan bahwa ada tiga kemungkinan penyebab seseorang dapat salah dalam berbahasa, yaitu terpengaruh bahasa yang lebih dahulu dikuasai, kekurangpahaman pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya, dan pengajaran bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna. Berikut ini merupakan uraian masing-masing penyebab kesalahan berbahasa berdasarkan pandangan Setyawati (2010: 13-14).

1) Terpengaruh bahasa yang lebih dahulu dikuasainya. Penyebab pertama ini dapat diartikan bahwa kesalahan berbahasa disebabkan oleh interferensi bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) terhadap bahasa kedua (B2) yang sedang dipelajari si pembelajar (siswa). Dengan kata lain sumber kesalahan terletak pada perbedaan sistem linguistik B1 dengan sistem linguistik B2.

2) Kekurangpahaman pemakai bahasa terhadap bahasa yang dipakainya. Pemakai bahasa yang kurang memahami kaidah bahasa dapat menimbulkan kesalahan berbahasa. Pemakai bahasa salah atau keliru menerapkan kaidah bahasa karena ia tidak paham mengenai kaidah tersebut. Kesalahan berbahasa karena kekurangpahaman kaidah bahasa misalnya kesalahan generalisasi, aplikasi kaidah bahasa secara tidak sempurna, dan kegagalan mempelajari kondisi-kondisi penerapan kaidah bahasa. Kesalahan semacam itu sering disebut dengan istilah kesalahan intrabahasa (intralingual error). Kesalahan tersebut disebabkan oleh: (a) penyamaran berlebihan, (b) ketidaktahuan pembatasan kaidah, (c) penerapan kaidah yang tidak sempurna, dan (d) salah menghipotesiskan konsep.

3) Pengajaran bahasa yang kurang tepat atau kurang sempurna. Kesalahan berbahasa dapat disebabkan oleh pengajaran bahasa yang kurang tepat. Hal tersebut berkaitan dengan bahan yang diajarkan atau yang dilatihkan dan cara pelaksanaan pengajaran. Bahan pengajaran menyangkut masalah sumber, pemilihan, penyusunan, pengurutan, dan penekanan. Sementara itu, cara pengajaran menyangkut masalah

(3)

9 pemilihan teknik penyajian, langkah-langkah dan urutan penyajian, intensitas dan kesinambungan pengajaran, dan alat-alat bantu dalam pengajaran.

Selain tiga kemungkinan penyebab kesalahan berbahasa yang diungkapkan oleh Setyawati tersebut, kesalahan berbahasa dapat pula terjadi karena penghilangan salah satu atau beberapa unsur bahasa. Menurut Slamet (2014: 34), faktor penyebab penghilangan unsur bahasa oleh penutur dapat bermacam-macam, misalnya penutur malas menggunakan bentuk kata atau kalimat yang panjang, penutur tidak menguasai struktur bahasa, penutur meniru bahasa yang digunakan orang lain (pejabat), dan penutur terpengaruh struktur bahasa daerah.

Bahasa yang mengandung kesalahan dapat dikatakan sebagai bahasa yang tidak baku karena kesalahan berbahasa berkaitan dengan pelanggaran kaidah berbahasa. Penggunaan bahasa tidak baku tidak dibenarkan dalam situasi resmi. Bahasa yang seharusnya digunakan dalam situasi resmi adalah bahasa baku yang tidak mengandung kesalahan berbahasa. Bahasa baku ialah suatu bentuk pemakaian bahasa yang menjadi model yang dapat dicontoh oleh setiap pemakai bahasa yang hendak berbahasa secara benar (Moeljono, 1989: 23). Sementara itu, Moeliono (1989: 43) berpendapat bahwa “Bahasa baku atau bahasa standar adalah suatu ragam bahasa yang berkekuatan sanksi sosial dan yang diterima oleh masyarakat bahasa sebagai acuan atau model.”

Sabariyanto (2001: 3) merangkum beberapa pendapat ahli mengenai pengertian bahasa baku, yaitu (1) bahasa baku merupakan sebuah ragam bahasa, (2) dalam ragam itu harus tercermin penggunaan kaidah yang benar, (3) bahasa yang benar akan dijadikan acuan atau model oleh masyarakat pemakai bahasa, dan (4) ragam baku itu digunakan dalam situasi resmi.

Kesalahan berbahasa harus dikaji dan diperbaiki untuk menegakkan penggunaan bahasa Indonesia baku. Siswa atau pelajar sebagai generasi muda harus dibiasakan menggunakan bahasa baku,

(4)

10 terutama dalam situasi resmi, mengingat fungsi bahasa baku yang cukup beragam. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003: 14-15) menjelaskan bahwa “Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif: (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.” Sejalan dengan pendapat tersebut, Nasucha, Rohmadi, dan Wahyudi (2014: 16) menyatakan bahwa “Bahasa baku menghubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa, fungsi mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat.”

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan berbahasa adalah penyimpangan kaidah atau tata bahasa dalam tindak bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan berbahasa, di antaranya pengaruh bahasa pertama, kekurangpahaman terhadap strukrur bahasa yang dipakai, pengajaran bahasa yang kurang sempurna, penghilangan unsur bahasa, dan kemalasan si penutur. Kesalahan berbahasa Indonesia harus diatasi untuk menegakkan penggunaan bahasa Indonesia baku. Hal tersebut perlu dilakukan karena fungsi bahasa baku sangat banyak dan penting.

b. Klasifikasi Kesalahan Berbahasa

Kesalahan berbahasa dibedakan menjadi dua, yaitu mistake dan

error. Mistake adalah penyimpangan yang disebabkan oleh faktor-faktor

performance seperti keterbatasan ingatan, mengeja dalam lafal, keseleo,

kelelahan, tekanan emosional, dan sebagainya (Parera, 1986: 50). Kesalahan semacam itu mudah diperbaiki karena kesalahan terjadi akibat suatu keadaan yang mudah diubah. Kesalahan seperti itu tidak akan terjadi berulang-ulang dan terus-menerus. Kesalahan kategori mistake dapat diperbaiki dengan cara mengingatkan si penutur. Error adalah penyimpangan-penyimpangan yang sistematik dan konsisten dan menjadi ciri khas dari sistem bahasa siswa yang belajar bahasa pada tingkat tertentu

(5)

11 (Parera, 1986: 50). Pranowo (2014: 124) menjelaskan bahwa error merupakan penyimpangan bentuk lahir dari struktur baku yang terjadi karena pemakai belum menguasai sepenuhnya kaidah bahasa.

Kesalahan berbahasa dapat terjadi dalam berbagai tataran linguistik dan berbagai jenis kegiatan berbahasa. Jenis kesalahan berbahasa sangat beragam dan bervariasi karena banyak hal yang membedakan jenis kesalahan berbahasa. Menurut Tarigan (1987: 48-49), kesalahan berbahasa dalam bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu berdasarkan tataran linguistik, berdasarkan kegiatan berbahasa atau keterampilan berbahasa, berdasarkan sarana atau jenis bahasa yang digunakan, berdasarkan penyebab kesalahan berbahasa, dan berdasarkan frekuensi kesalahan berbahasa.

1) Berdasarkan tataran linguistik, kesalahan berbahasa dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu kesalahan berbahasa di bidang fonologi, morfologi, sintaksis (frasa, klausa, kalimat), semantik, dan wacana.

2) Berdasarkan kegiatan atau keterampilan berbahasa, kesalahan berbahasa dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu kesalahan berbahasa dalam menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

3) Berdasarkan sarana atau jenis bahasa yang digunakan, kesalahan berbahasa dapat berwujud kesalahan berbahasa secara lisan dan secara tertulis.

4) Berdasarkan penyebab kesalahan, kesalahan berbahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kesalahan berbahasa karena pengajaran dan kesalahan berbahasa karena interferensi.

5) Berdasarkan frekuensi terjadinya kesalahan, kesalahan berbahasa dapat dibagi menjadi kesalahan yang paling sering, sering, sedang, kurang, dan jarang terjadi.

Penelitian ini difokuskan pada kesalahan berbahasa dalam kegiatan menulis pada tataran sintaksis. Kesalahan berbahasa pada tataran sintaksis dapat dibagi lagi menjadi jenis-jenis kesalahan berbahasa yang

(6)

12 lebih spesifik. Berkaitan dengan hal tersebut, Slamet (2014: 159) mengemukakan bahwa di dalam berbahasa kita sering menemukan berbagai kesalahan penggunaan bahasa di antaranya: (1) ketidakefektifan kalimat, (2) pemilihan kata (diksi), (3) kesalahan pemakaian tanda baca, (4) ketidaktepatan penulisan kata jadian, dan (5) gejala kontaminasi kata dan kalimat.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik simpulan bahwa jenis kesalahan berbahasa dapat dibedakan oleh beberapa hal, yaitu berdasarkan tataran linguistik, keterampilan berbahasa, sarana bahasa yang digunakan, penyebab kesalahan, dan frekuensi terjadinya kesalahan. Berdasar pada berbagai pertimbangan, penelitian ini difokuskan pada kesalahan berbahasa dalam karangan siswa. Jenis kesalahan yang diteliti adalah kesalahan berbahasa tataran sintaksis. Kesalahan berbahasa tataran sintaksis dapat dibagi lagi menjadi beberapa jenis. Namun, penelitian ini dikerucutkan pada kesalahan berbahasa bidang kalimat karena pada dasarnya bahasa adalah kesatuan kalimat.

c. Pengertian Analisis Kesalahan Berbahasa

Analisis kesalahan sering disingkat Anakes. Analisis kesalahan adalah metode dalam memberikan dan menjelaskan kesalahan berbahasa siswa (Parera, 1986: 48). Sementara itu, Suwandi (2008: 166) menjelaskan bahwa “Analisis kesalahan adalah suatu kegiatan mengidentifikasi kesalahan, mengklasifikasikan kesalahan, menentukan tingkat keseriusan kesalahan, dan menjelaskan penyebab kesalahan itu terjadi.” Dalam penelitian ini, analisis kesalahan yang dimaksud adalah analisis kesalahan berbahasa. Analisis kesalahan berbahasa adalah suatu prosedur kerja yang biasa digunakan oleh peneliti atau guru bahasa, yang meliputi: kegiatan mengumpulkan sampel kesalahan, mengidentifikasi kesalahan yang terdapat dalam sampel, menjelaskan kesalahan tersebut, mengklasifikasikan kesalahan itu, dan mengevaluasi taraf keseriusan kesalahan itu (Tarigan dan Sulistyaningsih, 1997: 25).

(7)

13 Analisis kesalahan berbahasa sangat bermanfaat dalam bidang pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suwandi (2008: 169), “Analisis kesalahan berbahasa memberikan banyak keuntungan, terutama yang bertalian dengan kegiatan pengajaran bahasa dan juga pelatihan yang bertalian dengan pembinaan bahasa.” Manfaat yang diperoleh dari analisis kesalahan berbahasa dapat berupa manfaat praktis dan teoretis. Manfaat praktis analisis kesalahan adalah untuk memperbaiki kesalahan bahasa siswa pelajar bahasa dan mungkin bagi guru sebagai alat penjelas tentang kesalahan itu. Sedangkan manfaat teoretis ialah usaha untuk memberikan landasan yang lebih kuat tentang bahasa anak atau bahasa perolehan dalam menguasai bahasa ibunya sendiri (Parera, 1986: 48). Selain itu, analisis kesalahan berbahasa sangat bermanfaat bagi keberhasilan pembelajaran bahasa. Hal tersebut ditegaskan oleh Pranowo (2014: 134) bahwa “Analisis kesalahan dapat diterapkan untuk meningkatkan keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran bahasa.”

Tarigan dan Tarigan (1988: 142) menjelakan bahwa analisis kesalahan berbahasa mengandung beberapa keuntungan. Keuntungan analisis kesalahan berbahasa menurut Tarigan dan Tarigan (1988: 142) antara lain: (1) untuk mengetahui penyebab terjadinya kesalahan; (2) untuk memahami latar belakang kesalahan; (3) untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh para pelajar; dan (4) untuk mencegah atau menghindari kesalahan yang sejenis pada waktu yang akan datang, agar para pelajar dapat menggunakan bahasa dengan baik dan benar.

Parera (1986: 53) menyebutkan langkah-langkah pelaksanaan atau metodologi analisis kesalahan, yaitu sebagai berikut.

Pertama, pengumpulan data dari karangan-karangan siswa

bahasa ajaran atau dari hasil-hasil ujian. Kedua, identifikasi kesalahan baik yang mendapat perhatian khusus dengan tujuan tertentu maupun penyimpangan yang umum. Ketiga, klasifikasi atau pengelompokan kesalahan. Keempat, pernyataan tentang frekuensi tipe kesalahan. Kelima, identifikasi lingkup kesalahan dalam bahasa ajaran. Keenam, usaha perbaikan.

(8)

14 Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis kesalahan berbahasa adalah kegiatan pengumpulan sampel dan identifikasi kesalahan berbahasa untuk menentukan solusi perbaikan yang tepat. Analisis kesalahan berbahasa sangat bermanfaat dalam bidang pendidikan. Secara garis besar, analisis kesalahan berbahasa berfungsi sebagai usaha pemecahan masalah kesalahan berbahasa dan landasan untuk memperbaiki kualitas pengajaran selanjutnya.

Penelitian yang serupa dengan penelitian ini pernah dilakukan Praptiningsih (2007) dengan judul Analisis Kesalahan Berbahasa dalam Karangan Siswa Kelas VII Sekolah Menengah Pertama (Studi Kasus di

SMP Negeri 1 Selogiri Kabupaten Wonogiri Tahun Pelajaran 2006/2007).

Dalam penelitian tersebut, Praptiningsih (2007) menganalisis empat jenis kesalahan berbahasa, yaitu kesalahan dalam bidang ejaan, kesalahan dalam bidang morfologi, kesalahan dalam bidang sintaksis, dan kesalahan dalam bidang leksikon. Dalam penelitian Praptiningsih (2007), kesalahan berbahasa bidang sintaksis terdiri dari tiga jenis kesalahan, yaitu penggunaan preposisi dan konjungsi, kalimat tidak efektif, dan struktur kalimat. Kesalahan berbahasa yang dianalisis dalam penelitian tersebut beragam dan dengan cakupan yang luas, tidak difokuskan pada satu jenis kesalahan.

Penelitian berjudul Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia dalam Teks Berita Tulisan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 8 Surakarta

Tahun Ajaran 2014/2015 yang dilakukan oleh Fitriyani (2015) juga

relevan dengan penelitian ini. Dalam penelitian tersebut, Fitriyani (2015) menyimpulkan bahwa bentuk kesalahan berbahasa aspek kalimat efektif dalam tulisan berita siswa terdiri dari lima jenis kesalahan, yaitu kesepadanan struktur, keparalelan bentuk, kehematan kata, kecermatan dan kesantunan, serta kepaduan makna.

Selain relevan dengan penelitian Praptiningsih dan Fitriyani, penelitian ini juga relevan dengan penelitian Loka (2014) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia dalam Tulisan

(9)

15 Argumentasi Siswa Kelas XI Administrasi Perkantoran 2 di SMK Negeri 1

Banyudono Tahun Pelajaran 2013/2014. Ia menganalisis beberapa aspek

kesalahan berbahasa, yaitu kesalahan morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan ejaan.

Penelitian ini mengkaji kesalahan berbahasa seperti penelitian-penelitian tersebut. Namun, penelitian-penelitian ini difokuskan pada kesalahan berbahasa bidang kalimat. Jenis kesalahan berbahasa yang dianalisis dalam penelitian ini hanya berupa penggunaan kalimat. Peneliti fokus pada kesalahan berbahasa bidang kalimat karena masih jarang ditemui penelitian analisis kesalahan berbahasa Indonesia yang difokuskan pada bidang kalimat. Penelitian-penelitian sebelumnya kebanyakan seperti penelitian Praptiningsih, Fitriyani, dan Loka yang menganalisis berbagai jenis kesalahan berbahasa. Penelitian yang demikian ternyata lebih banyak mengulas kesalahan berbahasa bidang ejaan, sehingga analisis kesalahan berbahasa bidang kalimat masih minim. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada kesalahan berbahasa bidang kalimat.

2. Hakikat Kalimat

Subbab hakikat kalimat membahas tentang pengertian kalimat efektif, jenis-jenis kalimat, unsur-unsur pembentuk kalimat, dan kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat.

a. Pengertian Kalimat Efektif

Pada hakikatnya, bahasa merupakan kesatuan kalimat. Kalimat ialah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan, 2001: 23). Lazimnya, kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan ataupun tulis, yang mengungkapkan pikiran dan gagasan yang utuh (Rahardi, 2009: 127).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis kesalahan penggunaan kalimat efektif dalam karangan siswa. Dalam menyusun karangan, siswa seharusnya menggunakan kalimat efektif.

(10)

16 Analisis kesalahan berbahasa yang peneliti lakukan secara umum akan mencari kalimat-kalimat yang tidak efektif di dalam karangan siswa. Sebelum berlanjut ke teori-teori selanjutnya, perlu disampaikan terlebih dahulu teori mengenai kalimat efektif.

Kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan menimbulkan kembali gagasan atau pikiran pada diri pendengar atau pembaca, seperti apa yang ada dalam pikiran dan benak pembicara atau penulisnya. Jadi dengan kalimat efektif, ide atau gagasan penulis atau pembicara itu akan dapat diterima secara utuh (Rahardi, 2009: 129).

Nasucha, Rohmadi, dan Wahyudi (2014: 24) menjelaskan bahwa kalimat dikatakan efektif apabila berhasil menyampaikan pesan, gagasan, perasaan, maupun pemberitahuan sesuai dengan maksud si pembicara atau penulis. Selain mampu menyampaikan pesan, Nasucha, Rohmadi, dan Wahyudi juga menjelaskan pengertian kalimat efektif dari segi kelengkapan struktur kalimat. Kalimat dapat dikatakan efektif apabila memenuhi kelengkapan struktur kalimat. Kalimat efektif terdiri atas S + P yang disusun hendaknya memiliki kelengkapan struktur (Nasucha, Rohmadi, dan Wahyudi, 2014: 23).

Kalimat efektif sangat bermanfaat dalam kegiatan menulis, terutama menulis karangan deskripsi yang bertujuan untuk menggambarkan objek dengan sejelas mungkin. Pembaca mudah memahami maksud penulis apabila kalimat yang digunakan adalah kalimat efektif dan jelas. Termasuk dalam karangan deskripsi, pembaca akan kesulitan mengimajinasikan objek yang dideskripsikan apabila kalimat dalam karangan tersebut bertele-tele, tidak lengkap, dan bermakna ganda. Jadi, agar makna dalam karangan deskripsi mudah dipahami pembaca, penulis hendaknya menggunakan kalimat efektif. Seperti halnya disampaikan oleh Razak (1990: 3), “Kalimat yang efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikannya itu tergambar lengkap dalam pikiran si penerima (pembaca), persis seperti apa yang disampaikan.”

(11)

17 Analisis kesalahan berbahasa memerlukan suatu acuan untuk menentukan letak kesalahan berbahasa. Terdapat ciri-ciri kalimat efektif yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menilai keefektifan sebuah kalimat. Berkaitan dengan hal tersebut, Rahardi (2009: 129-135) menjelaskan ciri-ciri kalimat efektif, yaitu kesepadanan struktur, keparalelan bentuk, ketegasan makna, kehematan kata, kecermatan dan kesantunan, kepaduan makna, dan kelogisan makna.

1) Kesepadanan Struktur

Kesepadanan struktur adalah keseimbangan antara gagasan atau pikiran dan struktur bahasa yang digunakan. Kesepadanan pikiran ditunjukkan oleh keutuhan dan kepaduan ide atau gagasan pada kalimat itu. Adapun kesepadanan struktur ditunjukkan oleh kejelasan kehadiran subjek dan predikat, tidak adanya subjek yang ganda, tidak adanya konjungsi intrakalimat yang digunakan dalam kalimat tunggal, dan tidak adanya kata ‘yang’ di depan predikat.

2) Keparalelan Bentuk

Keparalelan bentuk adalah kesamaan atau kepararelan bentuk kata atau frasa yang digunakan dalam sebuah kalimat. Artinya, jika dalam konstruksi yang beruntun pada kalimat, bentuk yang pertama menggunakan nomina, bentuk yang kedua dan seterusnya juga pasti menggunakan nomina. Demikian juga kalau bentuk yang pertama menggunakan ajektif, bentuk yang kedua, ketiga, dan seterusnya juga harus menggunakan ajektif.

3) Ketegasan Makna

Ciri ketiga kalimat efektif dalam bahasa Indonesia adalah adanya ketegasan makna. Adapun yang dimaksud dengan ciri ketegasan makna itu adalah bahwa perlakuan penonjolan pada gagasan pokok kalimat tersebut. Dengan perkataan lain, gagasan yang hendak ditonjolkan itu harus diletakkan pada posisi depan pada sebuah kalimat. Dengan pengedepanan gagasan atau ide yang hendak ditonjolkan itu, ketegasan makna dapat diperoleh dalam kalimat itu.

(12)

18 Informasi yang harus diketahui dan diperoleh terlebih dahulu oleh para pembaca, akan mudah diketemukan secara langsung oleh pembaca, yakni dengan mengidentifikasi bentuk kebahasaannya yang ditonjolkan itu.

4) Kehematan Kata

Ciri kalimat efektif yang keempat adalah ‘kehematan kata’. Akan tetapi, juga harus diingat di sini bahwa tidak selalu yang hemat kata-kata, yang pendek bentuknya, pasti bersifat efektif. Jadi, prinsip ketercukupan dalam pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan saya rasa sangat penting ditekankan di sini. Dalam kaitannya dengan rumusan kalimat yang berciri hemat dan efektif demikian ini, lazimnya didapatkan pula bahwa di dalam kalimat itu harus ada: 1) penghilangan pengulangan subjek; 2) penghilangan superordinat; 3) penghilangan kesinoniman.

5) Kecermatan dan Kesantunan

Kecermatan bahasa adalah kehati-hatian dalam menyusun kalimat dan bentuk-bentuk kebahasaan yang lain sehingga hasilnya tidak akan menimbulkan tafsir ganda. Bentuk-bentuk kebahasaan yang memiliki tafsir ganda itu biasanya adalah bentuk-bentuk kebahasaan yang memiliki makna ambigu, atau makna yang lebih dari satu. Bahasa yang cermat pertimbangan dimensi-dimensi konteksnya, biasanya juga adalah bahasa yang cenderung bersifat santun.

6) Kepaduan Makna

Kalimat efektif dalam bahasa Indonesia juga harus memiliki ciri kepaduan makna. Adapun yang dimaksud dengan ‘padu’ adalah ‘bersatu’. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa bentuk kebahasaan yang ‘padu’ adalah bentuk kebahasaan yang ‘tidak terpecah-pecah’, atau bentuk kebahasaan yang ‘bersatu’. Kebersatuan atau kepaduan bentuk-bentuk kebahasaan demikian itu jelas sekali akan sangat berpengaruh terhadap makna atau maksud sebuah bentuk

(13)

19 kebahasaan. Bentuk kebahasaan yang padu, juga dipastikan akan dapat menjadikan makna kebahasaan tersebut padu.

7) Kelogisan Makna

Kelogisan makna sangat berkaitan dengan ‘nalar’, maka sesungguhnya dapat dikatakan pula bahwa kalimat yang logis itu sesungguhnya adalah kalimat yang bernalar. Secara lebih khusus lagi dapat dikatakan bahwa kalimat yang logis atau kalimat yang bernalar itu adalah kalimat yang ide atau gagasannya sejalan dengan akal dan nalar yang benar dan berlaku universal.

Kalimat efektif erat kaitannya dengan bahasa baku. Agar sebuah kalimat dapat dikatakan efektif, tentu harus mengikuti kaidah-kaidah berbahasa Indonesia, sehingga kalimat efektif sudah pasti merupakan bahasa baku. Rahardi (2009: 136) menjelaskan bahwa “Bahasa baku merupakan salah satu ragam di dalam bahasa Indonesia.” Kalimat baku pada hakikatnya adalah kalimat yang benar. Kalimat yang benar adalah kalimat yang susunannya sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku. Kalimat yang benar sedikit dibedakan dengan kalimat yang baik karena keduanya tidak sama dalam hal kaidah penentunya. Kaidah penentu untuk kalimat yang benar adalah kaidah-kaidah kebahasaan, sedangkan kaidah penentu untuk kalimat yang baik adalah kaidah-kaidah kemasyarakatan yang berlaku.

Selanjutnya, berkaitan dengan kebakuan dan kebenaran sebuah kalimat, Rahardi (2009: 136) menyebutkan ciri-ciri kalimat baku atau kalimat benar. Adapun ciri-ciri kalimat baku atau kalimat benar adalah ejaan benar, fungsi-fungsi kalimat eksplisit, struktur dan urutan kata benar, struktur tidak rancu, kata-kata baku, bentuk-bentuk tepat, verba ditulis lengkap, posisi konjungsi tepat, tidak berkonstruksi partisip, tidak mereduksi bentuk idiomatis, penggunaan bentuk korelatif tepat, dan tidak berkonjungsi ganda.

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang mampu menyampaikan pesan, gagasan,

(14)

20 perasaan, dan pemberitahuan sesuai dengan maksud si pembicara atau penulis. Kalimat efektif berkaitan dengan bahasa baku. Kosakata dalam kalimat efektif harus baku. Struktur kalimat harus tepat agar kalimat menjadi efektif dan tidak rancu. Bahasa baku harus senantiasa diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia agar siswa terbiasa menggunakan bahasa baku. Kesalahan berbahasa khususnya penggunaan kalimat efektif harus dianalisis untuk mencari tahu penyebabnya dan menentukan solusi yang tepat agar tidak berlanjut menjadi masalah kebahasaan yang semakin serius.

b. Jenis-jenis Kalimat

Kalimat dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi beberapa macam. Rahardi ( 2005: 71) menyatakan bahwa “Kalimat dapat dibedakan dengan dua macam cara. Cara yang pertama adalah pembedaan berdasarkan bentuknya, sedangkan cara yang kedua adalah pembedaan berdasarkan nilai komunikatifnya.” Pembedaan berdasarkan bentuk adalah pembagian jenis kalimat secara gramatik. Sementara itu, pembedaan berdasarkan nilai komunikatif dapat diartikan pembagian jenis kalimat berdasarkan fungsinya.

Rahardi (2009: 128) menjelaskan bahwa “Secara gramatik, kalimat dapat dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat majemuk dapat dibedakan lebih lanjut menjadi kalimat majemuk setara dan tidak setara.” Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri dari satu subjek dan satu predikat. Adapun kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari lebih satu subjek dan satu predikat.

Pendapat Rahardi mengenai jenis-jeis kalimat sesuai dengan pembagian jenis kalimat menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003: 39-40) menjelaskan bahwa “Jika ditinjau dari jumlah klausanya, kalimat dapat berupa kalimat tunggal dan kalimat majemuk.” Kalimat tunggal adalah kalimat yang proposisinya satu dan karena itu predikatnya pun satu, atau dianggap satu karena merupakan predikat majemuk. Sementara itu,

(15)

21 kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas lebih dari satu proposisi sehingga mempunyai paling tidak dua predikat yang tidak dapat dijadikan suatu kesatuan. Lebih lanjut, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003: 40) menjelaskan bahwa “Jika hubungan antara klausa yang satu dengan klausa yang lain dalam satu kalimat itu menyatakan hubungan koordinatif, maka kalimat macam itu dinamakan kalimat majemuk setara.” Jika hubungan subordinatif, yakni yang satu merupakan induk, sedangkan yang lain merupakan keterangan tambahan, maka kalimat macam itu dinamakan kalimat majemuk bertingkat (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 40).

Selain secara gramatik, Rahardi membagi kalimat berdasarkan fungsinya. Rahardi (2009: 129) membagi kalimat berdasarkan fungsinya menjadi empat, yakni; (1) kalimat pernyataan/deklaratif; (2) kalimat pertanyaan/interogatif; (3) kalimat perintah/imperatif; (4) kalimat seruan/eksklamatif. Kalimat pernyataan atau kalimat deklaratif difungsikan ketika orang hendak menyatakan sesuatu secara lengkap kepada orang lain. Adapun kalimat pertanyaan atau interogatif digunakan apabila orang hendak mendapatkan reaksi jawaban yang diharapkan kepada orang lain. Dengan perkataan lain, kalimat pertanyaan atau interogatif difungsikan ketika orang hendak mendapatkan informasi atau respon dari orang lain yang menjadi mitra wicaranya. Kalimat perintah atau imperatif digunakan jika orang ingin menyuruh atau melarang orang lain untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu. Adapun yang terakhir, kalimat seruan atau kalimat eksklamatif adalah kalimat yang digunakan jika seseorang ingin mengungkapkan perasaan yang kuat atau perasaan yang sifatnya spontan atau mendadak.

Teori-teori di atas dapat dipersingkat agar lebih mudah dipahami. Kalimat dapat dibedakan dengan dua cara, yaitu berdasarkan bentuknya dan berdasarkan fungsinya. Berdasarkan bentuknya, kalimat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Sedangkan berdasarkan fungsinya, kalimat dapat dibedakan menjadi

(16)

22 empat, yaitu kalimat pernyataan, kalimat pertanyaan, kalimat perintah, dan kalimat seruan.

c. Unsur-unsur Pembentuk Kalimat

Kalimat terbentuk dari unsur-unsur yang memiliki kedudukan dan fungsi masing-masing. Sebelumnya telah dipaparkan teori mengenai kalimat efektif. Kalimat efektif harus mengandung kelengkapan struktur kalimat atau unsur-unsur pembentuk kalimat. Berkaitan dengan hal tersebut, Razak (1990: 11-14) menyebutkan beberapa unsur kalimat, yaitu subjek, predikat, pelengkap, kata perangkai, kata penghubung, kata modalitas, frase, klausa, dan bentuk absolut.

1) Subjek

Subjek adalah unsur yang diperkatakan atau dibicarakan dalam sebuah kalimat. Subjek dapat diikuti oleh kata-kata yang membuat subjek itu lebih jelas (mempertegas kedudukan subjek). Kata-kata demikian disebut keterangan subjek.

2) Predikat

Predikat adalah kata yang berfungsi memberitahukan apa, mengapa, atau bagaimana subjek. Seperti halnya subjek, predikat juga sering didampingi oleh kata atau kelompok kata lain yang berfungsi sebagai keterangan predikat. Keterangan predikat dapat membuat predikat menjadi terang dan jelas.

3) Pelengkap

Pelengkap adalah unsur lain yang melengkapi sebuah predikat dalam kalimat sehingga terjadilah suatu pernyataan yang lengkap.

4) Kata Perangkai

Kata perangkai adalah unsur yang berfungsi merangkaikan dua unsur subjek, dua unsur predikat, atau dua unsur pelengkap di dalam sebuah kalimat.

(17)

23 5) Kata Penghubung

Kata penghubung adalah unsur yang berfungsi menghubungkan (jika perlu) dua buah informasi di dalam satu kalimat. Kata penghubung dapat berupa kata atau kelompok kata.

6) Kata Modalitas

Unsur ini sering juga disebut “kata warna”, berfungsi untuk mengubah keseluruhan arti sebuah kalimat. Contoh kata modalitas adalah

sebetulnya, memang, sungguh, dan sering. Apabila kata modalitas

dimasukkan ke dalam sebuah kalimat, kalimat itu mungkin berubah menjadi sebuah pernyataan yang tegas, yang ragu-ragu, yang lembut, yang pasti, dan lain sebagainya.

7) Frase

Frase merupakan sebuah kelompok kata dan sering berfungsi sebagai keterangan pedikat untuk keperluan-keperluan tertentu. Misalnya, untuk menyatakan keterangan waktu, keterangan sebab, keterangan tempat, dan lain sebagainya.

8) Klausa

Sama dengan sebuah frase, klausa juga berbentuk sebuah kelompok kata. Bedanya, klausa mempunyai unsur subjek dan predikat, sedangkan frase tidak mempunyai unsur subjek dan predikat.

9) Bentuk Absolut

Selain unsur-unsur yang dikemukakan di atas, ada lagi sejenis unsur lain yang sering muncul di dalam sebuah kalimat. Unsur ini dinamakan bentuk absolut, sebab secara gramatikal tidak mempunyai hubungan dengan unsur yang lain di dalam sebuah kalimat.

Seperti halnya pendapat Razak, Rahardi (2010: 77) juga menyebutkan unsur-unsur pembangun kalimat, yaitu subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Unsur pembangun kalimat yang wajib ada di dalam kalimat adalah subjek dan predikat. Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam bahasa resmi, baik itu dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis, harus memiliki unsur pokok yang lazim disebut dengan

(18)

24 subjek dan predikat. Kalau tidak memiliki dua unsur pokok itu, bentuk kebahasaan tersebut bukanlah sebuah kalimat, tetapi hanyalah frasa atau kelompok kata (Rahardi, 2009: 127).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum unsur pembentuk kalimat adalah subjek, predikat, objek, pelengkap, dan kata keterangan. Masing-masing unsur memiliki kedudukan dan fungsi tertentu di dalam kalimat. Namun, unsur yang wajib ada di dalam sebuah kalimat adalah subjek dan predikat. Dengan kata lain, kelompok kata yang tidak memiliki subjek dan predikat tidak dapat disebut kalimat.

d. Kesalahan Berbahasa dalam Bidang Kalimat

Penelitian ini difokuskan pada kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat. Oleh karena itu, paparan teori mengenai kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat perlu disampaikan. Setyawati (2010: 76-91) menyebutkan macam-macam kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat sebagai berikut.

1) Kalimat Tidak Bersubjek

Kalimat itu paling sedikit harus terdiri atas subjek dan predikat, kecuali kalimat perintah atau ujaran yang merupakan jawaban pertanyaan. Biasanya kalimat yang subjeknya tidak jelas terdapat dalam kalimat rancu, yaitu kalimat yang berpredikat verba aktif transitif di depan subjek terdapat preposisi, misalnya dari, untuk, di, dan di dalam.

Kalimat yang rancu akibat diawali oleh preposisi dapat diperbaiki dengan dua cara, yaitu: (a) jika ingin tetap mempertahankan preposisi yang mendahului subjek, maka predikat diubah menjadi bentuk pasif; dan (b) jika menghendaki predikat tetap dalam bentuk aktif, maka preposisi yang mendahului subjek harus dihilangkan.

Contoh:

(19)

25 Kalimat tersebut diawali dengan preposisi yang mengaburkan subjek. Kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat-kalimat berikut.

(a) Untuk kegiatan itu diperlukan biaya yang cukup banyak.

(b) Kegiatan itu memerlukan biaya yang cukup banyak.

2) Kalimat Tidak Berpedikat

Kalimat yang tidak memiliki predikat disebabkan oleh adanya keterangan subjek yang beruntun atau terlalu panjang, keterangan itu diberi keterangan lagi, sehingga penulis atau pembicaranya terlena dan lupa bahwa kalimat yang dibuatnya itu belum lengkap atau belum terdapat predikatnya. Kalimat yang terlalu panjang dan tidak memiliki predikat yang jelas dapat diperbaiki dengan cara memecah kalimat tersebut menjadi dua kalimat.

Contoh:

Bandar Udara Soekarno-Hatta yang dibangun dengan menggunakan teknik cakar ayam yang belum pernah digunakan di mana pun di dunia sebelum ini karena teknik itu memang dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini oleh pakar rekayasa Indonesia.

Kalimat tersebut belum selesai karena belum berpredikat. Kalimat tersebut dapat diperbaiki dengan cara menghilangkan kata yang agar dapat menghasilkan kalimat lengkap yang mengandung subjek dan predikat. Agar kalimat tidak terlalu panjang, penulis dapat memecah kalimat tersebut menjadi dua kalimat sebagai berikut.

Bandar Udara Soekarno-Hatta dibangun dengan menggunakan teknik cakar ayam yang belum pernah digunakan di mana pun di dunia sebelum ini. Teknik cakar ayam itu memang dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini oleh para pakar rekayasa Indonesia.

3) Kalimat Tidak Bersubjek dan Tidak Berpredikat (Kalimat Buntung) Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, kalimat tunggal tidak boleh diawali oleh kata-kata karena, sehingga, apabila, agar, seperti, kalau,

(20)

26 walaupun, jika, dan konjungsi yang lain. Konjungsi seperti itu dapat mengawali kalimat jika yang diawali oleh kata itu merupakan anak kalimat yang mendahului induk kalimat.

Contoh:

Seperti seekor belalang ia melompat menyerang begitu cepat. Kemudian seakan-akan menggeliat di udara.

Contoh di atas adalah susunan kalimat yang dipenggal-penggal. Kalimat yang dipenggal itu masih mempunyai hubungan gantung dengan kalimat lain (sebelumnya). Kalimat yang memiliki hubungan gantung itu disebut anak kalimat, sedangkan kalimat tempat bergantung anak kalimat tadi disebut induk kalimat. Kalimat kedua pada contoh di atas adalah kalimat buntung yang tidak bersubjek dan tidak berpredikat. Kalimat tersebut hanya merupakan keterangan kalimat sebelumnya. Contoh di atas dapat diperbaiki menjadi kalimat yang efektif, yaitu sebagai berikut.

Seperti seekor belalang ia melompat menyerang begitu cepat, kemudian seakan-akan menggeliat di udara.

4) Penggandaan Subjek

Penggandaan subjek dalam sebuah kalimat membuat bagian yang mendapat tekanan menjadi tidak jelas. Perbaikan kalimat yang bersubjek ganda dapat dilakukan dengan cara: (a) diubah menjadi kalimat pasif bentuk diri, atau (b) diubah menjadi kalimat aktif yang normatif, dan (c) salah satu di antara kedua subjek dijadikan keterangan.

Contoh:

Persoalan itu kami sudah membicarakannya dengan Bapak Direktur.

Kalimat tersebut dapat diperbaiki dengan cara mengubah menjadi kalimat-kalimat berikut.

(a) Persoalan itu sudah kami bicarakan dengan Bapak

(21)

27

(b) Kami sudah membicarakan persoalan itu dengan Bapak

Direktur. (kalimat aktif)

5) Antara Predikat dan Objek yang Tersisipi

Dalam kalimat aktif transitif, yaitu kalimat yang memiliki objek; verba transitif tidak perlu diikuti oleh preposisi sebagai pengantar objek. Dengan kata lain, antara predikat dan objek tidak perlu disisipi preposisi, seperti atas, tentang, atau akan.

Contoh:

Banyak anggota masyarakat belum menyadari akan pentingnya kesehatan lingkungan.

Kalimat tersebut dapat diperbaiki dengan cara mengubah menjadi kalimat berikut.

Banyak anggota masyarakat belum menyadari pentingnya kesehatan lingkungan.

6) Kalimat yang Tidak Logis

Kalimat tidak logis adalah kalimat yang tidak masuk akal. Hal itu terjadi karena pembicara atau penulis kurang berhati-hati dalam memilih kata.

Contoh:

Untuk mempersingkat waktu, kita lanjutkan acara ini.

Ketidaklogisan kalimat tersebut terletak pada makna kata

mempersingkat waktu. Kata mempersingkat memiliki makna leksikal

sama dengan ‘memperpendek’. Jadi, tidak mungkin kalau waktu sampai diperpendek karena sampai kapanpun waktu adalah hal yang tetap, sehari semalam tetap 24 jam. Kata yang tepat untuk menyatakan maksud tersebut adalah kata menghemat. Kalimat di atas harus diubah menjadi kalimat berikut agar menjadi kalimat logis.

Untuk menghemat waktu, kita lanjutkan acara ini. 7) Kalimat yang Ambiguitas

Ambiguitas adalah kegandaan arti kalimat, sehingga meragukan atau sama sekali tidak dipahami orang lain. Ambiguitas dapat disebabkan

(22)

28 beberapa hal, di antaranya intonasi yang tidak tepat, pemakaian kata yang bersifat polisemi, struktur kalimat yang tidak tepat.

Contoh:

Pintu gerbang istana yang indah terbuat dari emas.

Kalimat di atas bermakna ganda, kita dapat menafsirkan bahwa yang indah adalah pintu gerbang atau istana. Agar kalimat tersebut tidak bermakna ganda atau agar maknanya jelas, kalimat tersebut harus diubah menjadi kalimat-kalimat berikut.

(a) Pintu gerbang yang indah di istana itu terbuat dari emas.

(b) Pintu gerbang yang ada di istana yang indah itu terbuat

dari emas. 8) Penghilangan Konjungsi

Penghilangan konjungsi pada anak kalimat justru menjadikan kalimat tersebut tidak efektif (tidak baku). Konjungsi jika, apabila, setelah,

sesudah, ketika, karena, dan sebagainya sebagai penanda anak

kalimat sering ditanggalkan. Hal tersebut dikarenakan penulisnya terpengaruh oleh bentuk partisif bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia konjungsi pada anak kalimat harus digunakan.

Contoh:

Sering digunakan untuk kejahatan, komputer ini kini dilengkapi pula dengan alat pengaman.

Penghilangan konjungsi pada kalimat tersebut membuat kalimat tersebut menjadi tidak efektif. Agar kalimat tersebut efektif, perlu diubah menjadi kalimat berikut.

Karena sering digunakan untuk kejahatan, komputer ini kini dilengkapi pula dengan alat pengaman.

9) Penggunaan Konjungsi yang Berlebihan

Kekurangcermatan pemakai bahasa dapat mengakibatkan penggunaan konjungsi yang berlebihan. Hal itu terjadi karena dua kaidah bahasa bersilang dan bergabung dalam sebuah kalimat.

(23)

29 Walaupun dia belum istirahat seharian, tetapi dia datang juga di pertemuan RT.

Kalimat tersebut tidak efektif karena menggunakan dua konjungsi sekaligus. Seharusnya konjungsi yang digunakan salah satu saja. Perbaikan kalimat tersebut adalah sebagai berikut.

(a) Walaupun dia belum istirahat seharian, dia datang juga di pertemuan RT.

(b) Dia belum istirahat seharian, tetapi dia datang juga di

pertemuan RT. 10) Urutan yang Tidak Paralel

Jika dalam sebuah kalimat terdapat beberapa unsur yang dirinci, rinciannya itu harus diusahakan paralel. Jika unsur pertama berupa nomina, unsur berikutnya juga berupa nomina; jika unsur pertama berupa adjektiva, unsur berikutnya juga berupa adjektiva; unsur pertama bentuk di-…-kan, unsur berikutnya juga berbentuk di-…-kan, dan sebagainya.

Contoh:

Tahap terakhir penyelesaian rumah itu adalah pengaturan tata ruang, memasang penerangan, dan pengecatan tembok. Kata-kata yang dicetak miring pada kalimat di atas merupakan unsur yang dirinci. Kalimat tersebut tidak baku karena rincian unsur pada kalimat tersebut tidak paralel, maka perlu diubah menjadi kalimat berikut.

Tahap terakhir penyelesaian rumah itu adalah pengaturan tata ruang, pemasangan penerangan, dan pengecatan tembok. 11) Penggunaan Istilah Asing

Pengguna bahasa Indonesia yang memiliki kemahiran menggunakan bahasa asing tertentu sering menyelipkan istilah asing dalam pembicaraan atau tulisannya. Kemungkinannya adalah pemakai bahasa itu ingin memperagakan kebolehannya atau bahkan ingin memperlihatkan kesarjanaannya atau keintelektualannya pada

(24)

30 khalayak. Padahal kita tidak boleh mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing.

Contoh:

Kita segera menyusun project proposal dan sekaligus budgeting-nya.

Kalimat di atas tidak baku karena mengandung istilah asing yang sebenarnya memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kalimat di atas harus diubah menjadi kalimat berikut.

Kita segera menyusun rancangan kegiatan dan sekaligus rancangan biayanya.

12) Penggunaam Kata Tanya yang Tidak Perlu

Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai penggunaan bentuk-bentuk

di mana, yang mana, hal mana, dari mana, dan kata-kata tanya yang

lain sebagai penghubung atau terdapat dalam kalimat berita (bukan kalimat tanya). Penggunaan bentuk-bentuk tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Contoh:

Sektor pariwisata yang mana merupakan tulang punggung perekonomian negara harus senantiasa ditingkatkan.

Kalimat di atas tidak baku karena mengandung bentuk yang mana sebagai penghubung. Kalimat tersebut seharusnya diubah menjadi kalimat berikut.

Sektor pariwisata yang merupakan tulang punggung

perekonomian negara harus senantiasa ditingkatkan.

Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang kompleks karena terdiri dari unsur-unsur yang harus disusun dengan tepat agar dapat menyampaikan makna dengan jelas. Permasalahan kalimat yang ada di dalam bahasa Indonesia cukup kompleks, ada yang kacau susunan kalimatnya, ada yang salah satu klausanya dihilangkan karena memiliki fungsi yang sama, ada kalimat lanjutan yang belum selesai itu tidak dituliskan langsung di belakang kalimat yang tidak selesai tadi, tetapi

(25)

31 dituliskan sebagai kalimat yang memulai paragraf baru, dan sebagainya (Slamet, 2014: 135). Lebih lanjut, Slamet (2014: 135-145) menyebutkan beberapa problematika dalam bidang kalimat, yaitu kalimat rancu (kacau), problem kalimat majemuk, problem kalimat tidak tuntas, dan problem fungsi keterangan dalam kalimat. Uraian problematika dalam bidang kalimat menurut pandangan Slamet (2014: 135-145) adalah sebagai berikut.

1) Kalimat Rancu (Kacau)

Kalimat rancu (kacau) ialah kalimat yang kacau susunannya, namun kekacauan susunan kata dalam kalimat itu sifatnya khusus (khas). Umumnya kalimat rancu itu terdiri atas dua bagian yang tidak cocok hubungannya. Hal tersebut disebabkan oleh hasil penggabungan kalimat itu kurang sesuai. Jadi, susunan kalimat yang digabungkan dari dua bagian kurang benar (sesuai) sehingga hasilnya menjadi rancu atau kacau.

2) Problem Kalimat Majemuk

Sebuah kalimat yang memiliki dua klausa lebih dinamakan kalimat majemuk. Salah satu kalimat majemuk tersebut; kalimat majemuk rapatan (meminjam istilah S. Takdir Alisjahbana) – ialah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih yang memiliki kata dengan fungsi yang sama pada kedua klausa itu. Kemudian, kata yang sama fungsinya itu pada salah satu klausanya dihilangkan. Karena dihilangkan, maka salah satu bertumpu pada kata yang tiggal dalam klausa yang satu lagi.

3) Problem Kalimat Tidak Tuntas

Kebiasaan seseorang dalam membuat kalimat sering memberi titik pada akhir kalimat. Namun, ada kalimat yang diberi titik itu belum selesai, bahkan ada kalimat lanjutan yang belum selesai tersebut tidak dituliskan langsung di belakang kalimatnya, tetapi dituliskan sebagai kalimat yang memulai paragraf baru.

(26)

32 4) Problem Fungsi Keterangan dalam Kalimat

Di dalam tata bahasa Indonesia kita mengenal istiah subjek, predikat, objek, dan keterangan sebagai unsur pembentuk kalimat atau disingkat SPOK. Dari keempat unsur SPOK tersebut unsur terpenting yang harus ada dalam kalimat ialah S dan P. Unsur yang lain merupakan unsur tambahan yang memberi keterangan kepada P tersebut. Dengan kata lain, unsur POK itu sebenarnya adalah P dalam arti luas. Letak unsur K di dalam kalimat, ada K yang ditempatkan di awal kalimat, di tengah, atau di akhir kalimat. Misalnya keterangan tempat atau keterangan waktu. Di dalam kenyataannya ada juga unsur K, terutama yang berupa atribut baik sepatah ataupun frasa, yang harus ditempatkan langsung di belakang kata atau frasa yang diterangkannya itu. Bila tempatnya jauh dari kata atau frasa yang diterangkannya, maka kalimat secara keseluruhan menjadi kabur.

Sebelumnya telah dipaparkan teori mengenai kalimat efektif. Kalimat yang tepat untuk digunakan dalam menulis karangan deskripsi adalah kalimat yang efektif. Kesalahan berbahasa yang menyebabkan suatu kalimat menjadi tidak efektif dapat diketahui dengan melihat unsur-unsur yang membentuk kalimat tersebut. Slamet (2014: 160) menyebutkan beberapa problem ketidakefektifan kalimat, antara lain tampak pada subjek berkata depan, konstruksi yang subjeknya kosong, objek yang mempunyai kata depan, pemakaian bentuk-bentuk di mana, dalam mana, dan yang mana, konstruksi adalah/ialah vs yaitu/yakni, konjungsi, struktur paralel, dan konstruksi yang berjejalan.

Kesalahan berbahasa bidang kalimat juga bisa terjadi karena kesalahan penggunaan kata. Hal tersebut ditegaskan oleh Sugono (2009: 221) bahwa “Di dalam kenyataan tidak sedikit ditemukan kalimat tidak gramatikal yang disebabkan oleh penggunaan kata secara tidak tepat.” Lebih lanjut, Sugono (2009: 221-222) menjelaskan bahwa “Di dalam penyusunan kalimat diperlukan kecermatan dalam memilih kata supaya kalimat yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai kalimat yang baik”.

(27)

33 Kalimat bisa menjadi tidak efektif apabila kata-kata yang digunakan tidak baku, tidak tepat, dan berlebihan (mubazir).

Bertolak dari pendapat-pendapat ahli di atas, dapat ditarik garis besar bahwa kesalahan berbahasa dalam bidang kalimat cukup kompleks. Kesalahan berbahasa yang sering dijumpai dalam kalimat adalah kalimat tidak bersubjek, kalimat tidak berpredikat, kalimat tidak bersubjek dan tidak berpredikat, kalimat dengan penggandaan subjek, kalimat tidak logis, kalimat ambigu, kalimat dengan penghilangan konjungsi, kalimat dengan penggunaan konjungsi yang berlebihan, kalimat dengan urutan yang tidak paralel, kalimat dengan penggunaan istilah asing, kalimat dengan penggunaan kata tanya yang tidak perlu, kalimat dengan penggunaan kata-kata tidak baku, kalimat dengan penggunaan kata-kata-kata-kata tidak tepat, dan kalimat mubazir. Perlu diketahui jenis kesalahan yang paling sering terjadi dalam penulisan karangan deskripsi. Dengan demikian, peneliti dapat menentukan materi kebahasaan yang harus ditekankan oleh guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kemudian hari.

3. Hakikat Karangan Deskripsi

Subbab ini menjelaskan tentang pengertian karangan deskripsi, ciri-ciri karangan deskripsi, langkah-langkah menyusun karangan deskripsi, dan penilaian karangan deskripsi. Penjelasan serta teori masing-masing pokok bahasan adalah sebagai berikut.

a. Pengertian Karangan Deskripsi

Kusmana (2014: 83) menyatakan bahwa “Paragraf deskripsi adalah paragraf yang isinya menyajikan sesuatu berdasarkan hasil penginderaan penulis.” Lebih lanjut, Kusmana (2014: 83) menyatakan bahwa “Penyajiannya dapat dilakukan dengan cara melukiskan, menggambarkan, memerikan tentang objek atau sesuatu hal itu, sehingga pembaca dapat membayangkan seolah-olah ia menyaksikan atau mengalaminya.”

(28)

34 Sejalan dengan pendapat Kusmana, Dalman (2014: 94) menjelaskan bahwa “Karangan deskripsi merupakan karangan yang melukiskan atau menggambarkan suatu objek atau peristiwa tertentu dengan kata-kata secara jelas dan terperinci sehingga si pembaca seolah-olah turut merasakan atau mengalami langsung apa yang dideskripsikan si penulisnya.”

Rahardi (2009: 166) menjelaskan bahwa “Paragraf deskripsi disebut juga paragraf lukisan, yakni melukiskan atau menggambarkan apa saja yang dilihat di depan mata penulisnya.” Jadi, paragraf deskriptif ini bersifat loyal terhadap tata ruang atau tata letak objek yang dituliskan itu. Jadi, pelukisan untuk paragraf deskripsi ini berkaitan dengan segala sesuatu yang ditangkap atau diserap oleh pancaindera. Sedangkan menurut Holisoh (1996: 333), “Karangan deskripsi adalah karagan yang pokok gagasannya terdapat pada seluruh paragraf karangan tersebut.”

Adapun pendapat Supriyadi (1993: 270), “Karangan deskriptif adalah karangan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penulisnya.” Tujuan yang ingin dicapai oleh tulisan ini adalah tercapainya penghayatan yang agak imajinatif terhadap sesuatu, sehingga pembaca merasa seolah-olah ia sendiri mengalami atau mengetahuinya secara langsung. Supriyadi (1993: 270) lebih lanjut menyatakan bahwa “Karangan deskripsi memiliki dua jenis, yaitu karangan deskripsi yang objektif dan karangan yang imajinatif.” Karangan deskripsi objektif adalah karangan yang menginformasikan sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan karangan imajinatif ada penambahan daya hayal. Nasucha, Rohmadi, dan Wahyudi (2014: 53) menjelaskan bahwa “Paragraf deskripsi adalah paragraf yang bertujuan memberikan kesan atau impresi kepada pembaca terhadap objek, gagasan, tempat, peristiwa, dan semacamnya yang ingin disampaikan penulis.”

(29)

35 Jenis-jenis karangan deskripsi berdasarkan teknik pendekatannya menurut Dalman (2014: 97) dibagi menjadi dua macam, yaitu deskripsi ekspositoris dan deskripsi impresionistis.

1) Deskripsi Ekspositoris

Deskripsi Ekspositoris adalah deskripsi yang sangat logis, yang isinya merupakan daftar, rincian, semuanya, atau yang menurut penulisannya hal yang penting-penting saja, yang disusun menurut sistem dan urutan-urutan logis objek yang diamati itu.

2) Deskripsi Impresionistis

Deskripsi Impresionistis atau deskripsi simulatif adalah deskripsi yang menggambarkan inspirasi penulisnya, atau untuk menstimulus pembacanya.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa karangan deskripsi adalah karangan yang berisi gambaran atau deskripsi suatu objek dengan penjelasan yang rinci dan mendetail. Karangan deskripsi ditulis berdasarkan pengamatan dan penglihatan penulis sendiri terhadap suatu objek, sehingga penulis dapat mendeskripsikan objek tersebut dengan sejelas dan sedetail mungkin. Tujuan utama dari penulisan karangan deskripsi adalah untuk memberikan gambaran kepada pembaca mengenai objek yang dideskripsikan agar pembaca seolah-olah melihat atau mengalami sendiri.

b. Ciri-ciri Karangan Deskripsi

Setiap karagan tentu memiliki ciri-ciri atau karakteristik masing-masing, termasuk karangan deskripsi. Ciri-ciri karangan dapat dijadikan penanda untuk menentukan jenis karangan. Selain itu, ciri-ciri karangan dapat mempermudah seseorang ketika hendak menulis karangan. Karangan deskripsi memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan karangan jenis lain. Ciri karangan deskripsi tentunya tidak terlepas dari tujuan penulisan karangan deskripsi. Secara singkat deskripsi bertujuan membuat para pembaca menyadari dengan hidup-hidup tentang apa yang diserap penulis melalui pancainderanya, merangsang perasaan pembaca

(30)

36 mengenai apa yang digambarkannya, menyajikan suatu kualitas pengalaman langsung (Keraf, 1995: 17). Karakteristik paragraf deskripsi menurut Kusmana (2014: 84) adalah sebagai berikut.

1) Karangan yang disajikan berupa hal-hal dari hasil pengamatan atau pengindraan (sesuatu yang dilihat, dirasakan, atau dialami).

2) Sajian karangan berupa penggambaran sesuatu dengan maksud agar pembaca seakan menyaksikan sendiri.

3) Penggambaran yang dilakukan dalam karangan deskriptif dilakukan secara abstrak.

Melengkapi pendapat Kusmana, Dalman (2014: 94) menyebutkan ciri-ciri khas karangan deskripsi, antara lain: (1) memperlihatkan detail atau perincian tentang objek; (2) memberi pengaruh sensitivitas dan membentuk imajinasi pembaca; (3) disampaikan dengan gaya yang memikat dan dengan pilihan kata yang menggugah; dan (4) memaparkan tentang sesuatu yang dapat didengar, dilihat, dan dirasakan, misalnya benda, alam, warna, dan manusia.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri karangan deskripsi adalah menyajikan hasil pengindraan, memperlihatkan detail suatu objek, dan membentuk imajinasi pembaca. Deskripsi objek dalam karangan deskripsi sangat jelas dan mendetail dengan tujuan agar pembaca dapat terbawa imajinasi sehingga seakan-akan melihat atau mengalami seperti yang dilihat dan dialami penulis. c. Langkah-langkah Menyusun Karangan Deskripsi

Penyusunan karangan atau paragraf deskripsi tidaklah mudah, karena memerlukan pengamatan terhadap objek yang hendak dideskripsikan. Selain itu, kejelasan dalam penggambaran objek merupakan kunci utama dalam penulisan karangan deskripsi. Oleh karena itu, pemilihan kata untuk menyusun atau menulis karangan deskripsi harus benar-benar diperhatikan. Dalman (2014: 99) menyebutkan langkah-langkah menyusun deskripsi, yaitu menentukan objek atau tema yang akan dideskripsikan, menentukan tujuan, mengumpulkan data dengan

(31)

37 mengamati objek yang akan dideskripsikan, menyusun data tersebut ke dalam urutan yang baik (sistematis) atau membuat kerangka karangan, dan menguraikan/mengembangkan kerangka karangan menjadi karangan deskripsi yang sesuai dengan tema yang ditentukan.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Kosasih (dalam Dalman, 2014: 100) menyarankan bahwa langkah-langkah menyusun karangan deskripsi yaitu menentukan topik, tema, dan tujuan karangan, merumuskan judul karangan, menyusun kerangka karangan, mengumpulkan bahan/data, mengembangkan kerangka karangan, membuat cara mengakhiri dan menyimpulkan tulisan, dan menyempurnakan karangan.

Pendapat-pendapat ahli di atas dapat disimpulkan menjadi lebih singkat, langkah-langkah menyusun karangan deskripsi adalah menentukan topik dan tema, membuat kerangka karangan, mengumpulkan data, mengembangkan kerangka karangan, dan menyempurnakan tulisan. Pengumpulan data atau bahan perlu dilakukan ketika menyusun karangan deskripsi agar penggambaran objek didasarkan atas wujud nyata objek yang dideskripsikan.

d. Penilaian Karangan Deskripsi

Karangan dapat dikatakan baik apabila memenuhi beberapa kriteria penting dalam penulisan karangan. Kriteria yang dimaksud adalah aspek-aspek penting yang berkaitan dengan karangan. Kriteria tersebut biasanya menyangkut isi, bahasa, dan pilihan kata yang digunakan oleh penulis. Dalman (2014: 103-104) menyebutkan aspek yang akan dinilai dalam karangan deskripsi, yaitu kesesuaian judul dengan isi karangan, penggunaan dan penulisan ejaan, pilihan kata dan diksi, struktur kalimat, keterpaduan antarkalimat (dari segi ide), keterpaduan antarparagraf (dari segi ide), isi keseluruhan, dan kerapihan.

Aspek kesesuaian judul dengan isi karangan merupakan aspek terpenting karena judul karangan deskripsi harus mampu mewakili isi karangan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan pilihan kata dan keterpaduan kalimat merupakan kunci keberhasilan penulis dalam

(32)

38 penulisan karangan deskripsi. Kalimat-kalimat yang padu dapat menggambarkan objek yang dideskripsikan, sehingga pembaca akan memahami objek tersebut dengan mudah. Nurgiyantoro (2010: 439) berpendapat bahwa “Penilaian terhadap hasil karangan peserta didik sebaiknya juga menggunakan rubrik penilaian yang mencakup komponen isi dan bahasa masing-masing dengan subkomponennya.” Contoh rubrik penilaian mengarang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Contoh Rubrik Penilaian Mengarang dengan Tema Tertentu No. Aspek yang Dinilai Tingkat Capaian Kinerja

1 2 3 4 5

1. Kualitas isi karangan 2. Keakuratan dan keluasan isi 3. Organisasi penulisan 4. Kebermaknaan keseluruhan

tulisan

5. Ketepatan diksi 6. Ketepatan kalimat 7. Ejaan dan tata tulis

8. Kelengkapan sumber rujukan Jumlah Skor:

(Nurgiyantoro, Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi, 2010: 439)

Sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro, Djiwandono menyajikan tabel ikhtisar rincian kemampuan menulis sebagai berikut.

Tabel 2.2 Ikhtisar Rincian Kemampuan Menulis NO.

UNSUR KEMAMPUAN

MENULIS

RINCIAN KEMAMPUAN

1. ISI YANG RELEVAN Isi wacana tulis sesuai dan relevan dengan topik yang dimaksudkan untuk dibahas.

2. ORGANISASI YANG SISTEMATIS

Isi wacana disusun secara sistematis menurut suatu pola tertentu.

3. PENGGUNAAN

BAHASA YANG BAIK DAN BENAR

Wacana diungkapkan dengan bahasa dengan susunan kalimat yang gramatikal, pilihan kata yang tepat, serta gaya penulisan yang sesuai. (Djiwandono, Tes Bahasa: Pegangan Bagi Pengajar Bahasa, 2011: 122)

(33)

39 Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian karangan deskripsi melibatkan beberapa aspek. Namun, aspek yang paling penting dalam penilaian karangan deskripsi adalah isi karangan, organisasi tulisan, dan bahasa yang digunakan dalam karangan. Dua teori penilaian kemampuan menulis di atas dapat dipadukan untuk menilai karangan deskripsi. Rubrik penilaian karangan deskripsi hasil perpaduan teori Nurgiyantoro dan Djiwandono adalah sebagai berikut. Tabel 2.3 Rubrik Penilaian Karangan Deskripsi

No. Aspek yang Dinilai Tingkat Capaian Kinerja

1 2 3 4 5

1. Kualitas isi karangan 2. Organisasi penulisan 3. Penggunaan bahasa dalam karangan

Jumlah Skor: Keterangan tingkat capaian kinerja:

5 : sangat baik (skor 81-100) 4 : baik (skor 61-80)

3 : cukup baik (skor 41-60) 2 : kurang baik (skor 21-40) 1 : sangat kurang baik (skor 1-20)

Kriteria aspek dengan skor sangat baik adalah sebagai berikut.

1) Kualitas isi karangan: isi wacana tulis sesuai dan relevan dengan topik yang dimaksudkan untuk dibahas.

2) Organisasi penulisan: isi wacana disusun secara sistematis menurut suatu pola tertentu.

3) Penggunaan bahasa dalam karangan: pengungkapan wacana menggunakan bahasa dengan susunan kalimat yang gramatikal, pilihan kata yang tepat, serta gaya penulisan yang sesuai.

Kriteria tersebut relevan dengan kriteria penilaian dalam Buku Guru Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan. Di dalam buku tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 80-82) memaparkan kriteria skor sangat baik untuk menilai karangan deskripsi. Kriteria skor

(34)

40 sangat baik dalam penilaian menulis deskripsi menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014: 80-82) adalah sebagai berikut.

1) Isi: menguasai topik tulisan, substantif, pengembangan teks observasi lengkap, relevan dengan topik yang dibahas.

2) Organisasi: ekspresi lancar, gagasan diungkapkan dengan jelas, padat, tertata dengan baik, urutan logis, kohesif.

3) Penggunaan bahasa: konstruksi kompleks dan efektif, terdapat hanya sedikit kesalahan penggunaan bahasa (urutan/fungsi kata, artikel, pronomina, preposisi).

4) Mekanik: menguasai aturan penulisan, terdapat sedikit kesalahan ejaan, tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan penataan paragraf.

Berdasarkan uraian teori di atas, dapat ditarik simpulan bahwa tiga aspek penting dalam penilaian karangan deskripsi adalah kualitas isi karangan, organisasi tulisan, dan bahasa dalam karangan. Ketiga aspek tersebut merupakan aspek karangan deskripsi yang harus dinilai. Bahasa merupakan salah satu aspek yang harus dinilai, maka siswa harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penulisan karangan deskripsi. Kalimat-kalimat dalam karangan deskripsi harus jelas dan efektif agar pembaca mudah memahami makna yang disampaikan penulis.

4. Hakikat Materi Ajar

Subbab ini berisi tiga pokok bahasan, yaitu pengertian materi ajar, pemilihan materi ajar, dan pengembangan materi ajar. Uraian masing-masing pokok bahasan adalah sebagai berikut.

a. Pengertian Materi Ajar

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I). Berdasarkan pengertian tersebut, hal yang diajarkan dalam pembelajaran disebut sebagai materi ajar atau materi

(35)

41 pembelajaran yang berasal dari sumber belajar. Winkel (1996: 261) menjelaskan bahwa “Materi ajar adalah suatu alat yang digunakan dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan instruksional.” Materi ajar adalah salah satu komponen yang berperan penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal tersebut ditegaskan oleh Hamdani (2011: 48), “Materi pelajaran merupakan komponen utama dalam proses pembelajaran karena materi pelajaran akan memberi warna dan bentuk kegiatan pembelajaran.” Materi ajar atau materi pelajaran merupakan sesuatu yang diajarkan oleh pendidik kepada peserta didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.

Materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dikembangkan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD) pada standar isi yang harus dipelajari oleh siswa dalam rangka mencapai kompetensi yang telah ditentukan (Rohman dan Amri, 2013: 77). Dengan kata lain, cakupan materi ajar adalah pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Materi ajar harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran ketiga ranah tersebut.

Rohman dan Amri (2013: 78) menjelaskan bahwa “Isi materi pembelajaran yang berupa pengetahuan meliputi fakta, konsep, prinsip, dan prosedur.” Sementara itu, materi pembelajaran yang berhubungan dengan keterampilan antara lain kemampuan mengembangkan ide, memilih, menggunakan bahan, menggunakan peralatan, dan teknik kerja (Rohman dan Amri, 2013: 79). Lebih lanjut, Rohman dan Amri (2013: 79) menjelaskan bahwa materi pembelajaran ranah sikap adalah materi yang berkenaan dengan sikap ilmiah, misalnya nilai-nilai kebersamaan yang dapat dibangun dengan kerja kelompok, nilai kejujuran dalam mengerjakan tugas, serta semangat dan minat belajar.

Contoh sederhana materi ajar untuk jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah materi tentang pengertian karangan deskripsi, ciri-ciri karangan deskripsi, struktur kebahasaan dalam karangan deskripsi, dan

(36)

42 langkah-langkah menulis karangan deskripsi. Materi ajar tersebut dikembangkan berdasarkan Kompetensi Dasar (KD) 2.12 “Menulis wacana yang bercorak naratif, deskriptif, ekspositoris, dan argumentatif.” Materi tentang pengertian, ciri-ciri, dan struktur kebahasaan dalam karangan deskripsi berfungsi untuk mencapai tujuan pembelajaran ranah pengetahuan. Sementara itu, materi tentang langkah-langkah menulis karangan deskripsi diajarkan untuk mencapai tujuan pembelajaran ranah keterampilan, yakni keterampilan menulis karangan deskripsi. Tujuan pembelajaran ranah sikap dapat dicapai melalui penerapan nilai-nilai sikap selama proses belajar mengajar berlangsung. Dengan demikian, materi ajar tersebut dapat diajarkan kepada siswa untuk mencapai kompetensi menulis wacana deskriptif yang tercantum dalam KD 2.12.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa materi ajar adalah komponen yang diajarkan kepada peserta didik dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan instruksional. Cakupan materi ajar meliputi tiga ranah, yaitu ranah pengetahuan, ranah sikap, dan ranah keterampilan. Materi ajar dikembangkan berdasarkan Standar Kompetensi (SK) atau Kompetensi Dasar (KD), sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

b. Pemilihan Materi Ajar

Materi ajar dapat ditemukan dari berbagai sumber, misalnya buku pelajaran, majalah, surat kabar, internet, dan sebagainya. Rohman dan Amri (2013: 84-85) menyebutkan beberapa referensi yang dapat digunakan sebagai sumber materi ajar, yaitu buku teks, laporan hasil penelitian, jurnal, pakar bidang studi, profesional, standar isi, penerbitan berkala, internet, media audio visual, dan lingkungan. Meskipun materi ajar dapat diambil dari berbagai sumber, guru harus memperhatikan kesesuaian materi yang hendak digunakan dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sagala (2010: 162) yang menyatakan bahwa “Materi dan bahan pengajaran ditetapkan dengan mengacu pada tujuan-tujuan instruksional yang ingin dicapai.”

Gambar

Tabel 2.1 Contoh Rubrik Penilaian Mengarang dengan Tema Tertentu  No.  Aspek yang Dinilai  Tingkat Capaian Kinerja
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Karangan Deskipsi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pemaparan tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk melatih keterampilan proses sains dengan menggunakan model pembelajaran discovery learning pada

Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (8) menyampaikan dokumen Pemohon dan Berita Acara Hasil Verifikasi dan Validasi Awal Dokumen Permohonan dengan

Berdasarkan hasil penelitian pemberian tepung daun orok-orok berpengaruh terhadap konsumsi protein, kadar hemoglobin, dan titer ND, bahwa semakin tinggi

Sedangkan pada tingkat mikro, diposisikan pada "Rencana Detail Tata Ruang" yang mengatur pemanfaatan blok di kecamatan (Lokpri) yang berbatasan langsung

(1) Dengan terbentuknya BAPPEDA Tingkat II berdasarkan Peraturan Daerah ini, maka Surat Keputusan Bupati Kepala daerah Tingkat II Sumedang Nomor 60/Kpts/Bup/Smd/72,

Faktor-faktor yang menyebabkan kedua subjek dapat melakukan hubungan seksual pranikah adalah kurang terbukanya orang tua mengenai masalah seksual, adanya kesempatan

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat