5
A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Wacana
a. Pengertian Wacana
Wacana secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta yaitu wac/wak/vak yang berarti ’berkata’, ‘berucap’. Santhi (2019: 1) menyebutkan bahwa “wac” termasuk kata kerja yang mendapat akhiran – ana sehingga membentuk kata wacana. Senada dengan hal tersebut, Mulyana (2005: 3) juga memaparkan bahwa kata wacana berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu wac/wak/vak yang kemudian terdapat sufiks (akhiran) –ana yang bermakna ‘membendakan’. Berdasarkan penjelasan tersebut, arti dari kata wacana yaitu ‘perkataan’ atau ‘tuturan’.
Wacana merupakan satuan kebahasaan yang lengkap. Wacana juga menduduki tingkat tertinggi dalam hierarki satuan kebahasaan. Hal tersebut sependapat dengan Djajasudarma (2012: 4) yang menyatakan wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang berkesinambungan dapat disampaikan secara lisan dan tulisan. Djajasudarma juga menambahkan bahwa wacana itu memiliki awal dan akhir nyata yang kohesif serta koheren. Selanjutnya, menurut Mulyana (2005: 6) “wacana sebagai satuan gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistik mengandung semua unsur kebahasaan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi”. Didasarkan pada pendapat kedua ahli tersebut diisyaratkan bahwa yang dikatakan wacana merupakan unsur kebahasaan yang utuh baik dari bentuk/struktur dan makna.
Wacana memiliki keterkaitan antar unsur di dalam wacana yang membentuk suatu kesatuan. Moeliono menerangkan “wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu
dengan lainnya dalam kesatuan makna” (Mulyana, 2005). Kesempurnaan suatu wacana dapat dilihat dari berbagai aspek. Melalui aspek tersebut selanjutnya akan membentuk suatu keutuhan dalam wacana. Aspek yang dimaksud yaitu aspek semantis, leksikal, gramatikal, dan fonologis. Astuti (2019: 49) berpendapat bahwa pada umumnya kesempurnaan wacana menggunakan aspek semantis. Aspek semantis tersebut diantaranya adalah 1) sebab akibat, 2) perbandingan, 3) parafrastis substitusi, 4) amplifikasi, 5) adtif (konjungsi), 6) identifikasi, dan 7) generik-spesifik.
Dari beberapa pemaparan ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari wacana adalah satuan kebahasaan yang tertinggi dan terlengkap baik dari segi bentuk dan makna yang kemudian terbentuk saling keterikatan dan keterpaduan makna.
b. Unsur wacana
Menurut Mulyana (2005: 7) unsur wacana dibagi menjadi dua unsur utama yaitu unsur internal dan unsur eksternal wacana. Unsur internal wacana berhubungan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berhubungan dengan hal-hal terdapat di luar wacana. Selanjutnya dari kedua unsur tersebut akan menciptakan kepaduan pada suatu struktur yang utuh dan lengkap. Unsur internal wacana terdiri dari kata dan kalimat.
Persyaratan kata/kalimat yang dapat dikategorikan sebagai wacana yaitu memiliki kelengkapan makna, informasi dan konteks yang jelas. Selain itu, dari aspek semantiknya kata/kalimat tersebut memiliki makna yang menyatakan gagasan/pikiran yang lengkap dan logis. Oleh alasan tersebut, kalimat berperan penting dalam pembentukan suatu wacana. Selain itu, teks dan koteks juga termasuk unsur internal wacana.
Selanjutnya, wacana juga memiliki unsur yang berasal dari luar wacana. Mulyana membagi unsur eksternal wacana meliputi implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks. Unsur eksternal wacana ini tidak tampak secara eksplisit karena terdapat di luar satuan lingual wacana.
Hadirnya unsur eksternal ini menurut Mulyana (2005: 11) berfungsi sebagai pelengkap keutuhan suatu wacana.
Unsur-unsur dalam wacana juga dijelaskan oleh Dewi dalam bukunya yang berjudul “Wacana dalam Bahasa Indonesia”. Dewi (2018: 2) memaparkan unsur utama dari wacana yang disimpulkan dari beberapa definisi/pengertian wacana. Unsur-unsur wacana tersebut antara lain:
1) Satuan bahasa meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, atau kalimat;
2) Satuan bahasa terlengkap dan tertinggi;
3) Satuan bahasa di atas klausa atau kalimat;
4) Wacana dibentuk dari satuan bahasa yang teratur dan tersusun rapi sehingga memiliki koherensi;
5) Wacana dibentuk dari satuan bahasa yang berkesinambungan atau saling berhubungan;
6) Wacana memiliki rasa kepaduan atau kohesi yang tinggi;
7) Wacana dapat diwujudkan dalam bentuk tulis maupun lisan;
8) Wacana harus menunjukkan awal dan akhir yang nyata.
c. Syarat-syarat wacana
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat menjadi sebuah wacana. Wacana sendiri berfungsi untuk menyampaikan gagasan yang utuh dari penulisnya. Dewi (2018: 29) menjelaskan sebuah wacana yang baik harus memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Maksud dari pernyataan tersebut adalah wacana tersebut dapat mudah dipahami oleh sebagian pembacanya. Adapun syarat syarat yang harus dipenuhi sebuah wacana menurut Dewi (2018: 29) adalah sebagai berikut.
1) Adanya kohesi atau kesatuan
Sebuah wacana dikatakan memiliki kesatuan apabila keseluruhan kalimat dalam paragraf mengandung pokok pikiran yang sama. Kohesi digunakan untuk membentuk kepaduan secara struktural. Kohesi ditunjukkan melalui kepaduan bentuk atau aspek formal bahasa. Aspek
kohesi wacana diklasifikasikan menjadi kohesi gramatikal dan leksikal.
Untuk pemaparan lebih lengkapnya dijelaskan dalam subbab tersendiri.
2) Adanya koherensi atau kepaduan
Koherensi merupakan hubungan pertalian dalam suatu wacana.
Djajasudarma (2012: 4) berpendapat koherensi merupakan kepaduan dalam wacana sehingga komunikatif mengandung suatu ide. Definisi mengenai koherensi lebih rinci dipaparkan oleh Mulyana (2005: 31) yang menerangkan bahwa hubungan koherensi merupakan suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis.
Pertalian yang terbentuk dalam koherensi tidak hanya berupa pertalian bentuk tetapi juga terdapat pertalian makna. Tujuan dari penggunaan aspek atau sarana koherensi adalah agar terbentuk susunan dan stuktur wacana yang mempunyai sifat serasi, runtut, dan logis (Mulyana, 2005).
Kridalaksana dalam Santhi (2019) membagi hubungan koherensi antara lain yaitu a) hubungan sebab-akibat; b) hubungan sarana-hasil; c) hubungan alasan-sebab; d) hubungan sarana-tujuan; e) hubungan latar- kesimpulan; f) hubungan kelonggaran-hasil; g) hubungan syarat-hasil;
h) hubungan perbandingan; i) hubungan parafrastis; j) hubungan amplikatif; k) hubungan aditif waktu; l) hubungan aditif nonwaktu; m) hubungan identifikasi; n) hubungan generik-spesifik; serta o) hubungan ibarat.
3) Kelengkapan
Suatu wacana disebut lengkap apabila terdiri dari paragraf pembuka paragraf penghubung, dan paragraf penutup.
4) Memiliki tema, topik dan judul
Adanya tema, topik dan judul termasuk salah satu aspek penting wacana. Pemilihan tema suatu wacana berkaitan dengan perumusan topik dan pemilihan judul wacana. Tema wacana dapat dikatakan sebagai kerangka umum suatu wacana. Turunan dari tema besar merupakan sebuah topik. Kemudian penjabaran topik menjadi lebih
kecil dan spesifik disebut sebagai judul wacana. Ketiga aspek tersebut saling berhubungan langsung dengan isi dari wacana.
d. Jenis wacana
Menurut Djajasudarma (2012: 5-12) jenis wacana dapat dibedakan berdasarkan atas realitasnya (segi eksistensinya), media komunikasi, cara pemaparan dan jenis pemakaian. Berikut ini pemaparan dari Djajasudarma berkaitan dengan jenis wacana.
1) Berdasarkan realitas wacana
Berdasarkan realitasnya (segi eksistensi), wacana dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Wacana verbal yaitu wacana yang memiliki kelengkapan struktural bahasa dan mengacu pada struktur apa adanya.
b) Wacana non-verbal yaitu wacana yang mengacu pada rangkaian nonbahasa (rangkaian isyarat atau bahasa isyarat).
2) Berdasarkan media komunikasi
Jenis wacana berdasarkan media komunikasinya dibedakan menjadi wacana lisan dan tulis. Djajasudarma (2012: 6-7) menerangkan lebih rinci mengenai wujud dari jenis wacana ini yaitu sebagai berikut a) Wacana lisan dapat berbentuk sebuah percakapan yang lengkap
atau hanya satu penggalan bagian percakapan yang memuat situasi yang komunikatif.
b) Suatu wacana tulis dapat berupa sebuah teks yang diungkapkan dengan berurutan dan utuh; sebuah alinea; dan sebuah kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem elipsis (khusus pada bahasa Indonesia).
3) Berdasarkan cara pemaparan
Pendapat dari Djajasudarma (2012: 7) jenis wacana berdasarkan cara pemakaiannya sama dengan tinjauan isi, cara penyusunan, dan sifat wacana. Adapun jenis wacana berdasarkan cara pemaparannya terdiri dari:
a) Wacana naratif merupakan wacana yang menceritakan atau menyajikan suatu hal/kejadian melalui penonjolan para pelakunya.
b) Wacana prosedural merupakan wacana yang memaparkan sesuatu dengan urutan yang kronologis.
c) Wacana hortatori adalah tuturan yang memuat ajakan atau nasihat yang digunakan untuk mempengaruhi dan meyakinkan pendengar atau pembaca.
d) Wacana ekspositori merupakan wacana yang berisi penjelasan sesuatu dengan cara menguraikan bagian-bagian dari pokok pikiran.
Wacana ekspositori memiliki tujuan yaitu untuk mencapai tingkat pemahaman terhadap suatu hal.
e) Wacana deskriptif adalah rangkaian tururan yang melukiskan sesuatu secara objektif atau imajinatif.
f) Wacana dramatik merupakan rangkaian tuturan yang pemaparannya menyangkut beberapa orang dan memiliki bagian naratif yang sedikit.
g) Wacana epistoleri adalah wacana yang sering digunakan dalam surat-menyurat dengan sistem dan bentuk tertentu. Struktur dari wacana epistoleri meliputi alenia pembuka, isi, dan alenia penutup.
h) Wacana seremonial merupakan bentuk wacana yang berkaitan dengan kegiatan upacara adat.
4) Berdasarkan jenis pemakaian
Klasifikasi wacana berdasarkan jenis pemakaiannya terdiri dari:
a) Wacana monolog yaitu wacana yang tidak memuat tuturan percakapan.
b) Wacana dialog yaitu wacana yang melibatkan percakapan antara dua pihak yang terdapat pada suatu konversasi.
c) Wacana polilog yaitu wacana yang melibatkan partisipan pembicaraan dalam konversasi. Partisipan konversasi melibatkan lebih dari dua orang penutur).
Menurut Djajasudarma (2012:12) yang menerangkan bahwa jenis pemakaian wacana jika dihubungkan dengan kenyataan data terbagi menjadi wacana naratif, ekspositori, prosedural, hortatori, dramatik serta wacana aktivitas. Wacana naratif, ekspositori, prosedural, hortatori merupakan macam dari wacana pokok. Sedangkan wacana dramatik dan wacana aktivitas merupakan wujud dari wacana minor. Selanjutnya jenis pemakaian dari wacana dapat pula dibagi berdasarkan medium dan sifatnya.
Berdasarkan mediumnya terdapat wacana lisan dan tulisan. Kemudian, jenis pemakaian wacana berdasarkan sifatnya terbagi menjadi wacana transaksional dan interaksional.
Selain pendapat dari Djajasudarma di atas, Mulyana juga memaparkan klasifikasi wacana dalam bukunya yang berjudul “KAJIAN WACANA, Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana”.
Mulyana (2005: 47-66) mengklasifikasikan wacana berdasar atas segi bentuk, media, jumlah penutur, dan sifat. Pengklasifikasian jenis wacana menurut Mulyana ini hampir sama dengan pendapat dari Djajasudarma (2012). Perbedaannya terdapat pada istilah yang digunakan. Mulyana menerangkan jenis wacana berdasarkan bentuknya terbagi atas wacana naratif, prosedural, ekspositori, hortatori, dramatik, epsitoleri, dan seremonial. Dilihat dari media penyampaian wacana terdiri atas wacana tulis dan lisan. Jenis wacana berdasarkan jumlah penuturnya terbagi menjadi wacana monolog dan dialog. Ketiga klasifikasi wacana dari Mulyana ini mirip dengan pemaparan Djajasudarma yaitu jenis wacana berdasarkan cara pemaparan, media komunikasi dan jenis pemakaian wacana. Sedangkan jenis wacana berdasarkan sifatnya, Mulyana membagi menjadi wacana fiksi dan nonfiksi.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik inti mengenai pembagian jenis wacana. Jenis wacana dapat digolongkan menjadi beberapa kategori yakni berdasarkan media komunikasi wacana, cara pemaparan, dan jumlah penutur dari wacana.
2. Hakikat Kohesi a. Pengertian Kohesi
Kohesi menurut Chaer (2012: 267) adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu wacana. Lebih lanjut Mulyana (2005: 26) menerangkan kohesi dalam lingkup wacana merupakan kepaduan bentuk yang akan membentuk ikatan sintaktikal secara struktural.
Djajasudarma (2012: 4) menerangkan “kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren”. Pendapat dari para ahli di atas dapat ditarik inti pengertian dari kohesi yaitu hubungan antarunsur wacana secara sintaktial yang membentuk pertalian makna dalam wacana.
Kohesi dapat terbentuk apabila penafsiran dari suatu bagian dalam teks (wacana) bergantung pada bagian yang lain. Hal ini sependapat dengan Karadeniz (2017: 94) “Cohesion in a text is to use other elements to explain or interpret an element within the text and to make explanations based on these elements” ‘Kohesi dalam sebuah teks menggunakan elemen lain untuk menjelaskan atau menafsirkan elemen yang terdapat di dalam teks dan membuat penjelasan berdasarkan elemen tersebut’.
Aspek kohesi selain erat kaitannya dengan sintaksis juga erat berhubungan dengan semantik. Senada dengan hal tersebut, Michael, Muthusamy, Suppiah, Joseph, dan Razali (2013: 130) berpendapat bahwa
“A cohesive text has a tendency to link its sentences as one semantically.
This semantic feature of cohesion has a connection with the reader who understands the elements in a particular co-text depending on the other element within the same co-text” ‘Teks kohesif memiliki kecenderungan untuk menghubungkan kalimatnya menjadi satu secara semantik. Fitur kohesi semantik ini memiliki hubungan dengan pembaca yang memahami elemen dalam teks bersama tertentu bergantung pada elemen lain dalam teks bersama yang sama’.
Kohesi merupakan aspek yang penting dalam wacana. Seperti yang telah dijelaskan bahwa kohesi dapat menciptakan wacana yang koheren.
Santhi (2019: 120) menjelaskan bahwa keutuhan wacana dapat terbentuk apabila satuan-satuan dalam wacana memiliki ikatan yang erat. Jika salah satu bagian dipisahkan, nilai kesatuan wacana akan berkurang. Selanjutnya, Mulyana (2005: 26-30) menjelaskan unsur kohesi terbagi menjadi dua jenis yaitu kohesi gramatikal dan leksikal.
Penelitian ini relevan dengan penelitian Fauzi (2018) yang berjudul
“Analisis Bentuk Kohesi dan Koherensi wacana Berita dalam Majalah Panjebar Semangat sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Jawa di SMP”.
Hasil analisis dari Fauzi (2018) ditemukan sejumlah 631 data kohesi dan 76 data koherensi yang berasal dari 10 sampel edisi Januari-Mei tahun 2017 Majalah Panjebar Semangat. Data kohesi yang ditemukan meliputi aspek kohesi gramatikal dan leksikal. Temuan aspek kohesi gramatikal didominasi oleh konjungsi, sedangkan data aspek kohesi leksikal terbanyak ditemukan pada repetisi. Pada penelitian Fauzi (2018) disimpulkan bahwa berita pada majalah Panjebar Semangat yang telah diteliti menggunakan aspek kohesi yang tepat dan selanjutnya dapat dipakai dan dikembangkan menjadi bahan ajar pembelajaran menelaah teks berita kelas VIII SMP.
b. Jenis Kohesi
1) Kohesi Gramatikal
Kohesi gramatikal merupakan kepaduan yang terbentuk melalui adanya elemen dan aturan gramatikal. Sumarlam (2009: 88) menegaskan bahwa kohesi gramatikal berkaitan dengan segi bentuk atau struktur lahir wacana. Senada dengan pendapat Rochma dan Triyono (2019: 4) yang menyatakan “The grammatical cohesion, in which it is related to the text structure of grammar within a text”
‘Kohesi gramatikal dalam hal ini berkaitan dengan struktur teks tata bahasa’. Kohesi gramatikal menurut Sumarlam (2009: 23-32) meliputi pengacuan (referensi), penggantian (substitusi), pelesapan (elipsis), dan perangkaian (konjungsi). Klasifikasi tersebut serupa dengan penjelasan Mulyana (2005) bahwa kohesi gramatikal terdiri dari referensi,
substitusi, elipsis, dan konjungsi. Adapun berikut penjelasan mengenai klasifikasi kohesi gramatikal menurut Sumarlam (2009).
a) Pengacuan (Referensi)
Pengacuan atau referensi merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam, 2009). Pendapat Santhi (2019) menjelaskan bahwa terdapatnya referensi menunjukkan hubungan suatu bentuk dengan bentuk lain dalam wacana. Sumarlam (2009) menerangkan bahwa pengacuan dibedakan berdasarkan tempatnya yang meliputi pengacuan endofora dan eksofora.
Pengacuan endofora merupakan referensi yang acuannya (satuan lingual yang diacu) terdapat di dalam wacana itu. Sedangkan yang dimaksud dengan pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar wacana. Referensi eksofora dapat diidentifikasi berdasarkan penyebutan beberapa frasa nominal (Santhi, 2019). Pengacuan endofora terbagi lagi menjadi dua berdasarkan arah acuannya yaitu ada pengacuan anaforis dan pengacuan kataforis. Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang mendahuluinya atau berada di sebelah kirinya atau unsur yang telah disebutkan sebelumnya (Sumarlam, 2009).
Sementara pengacuan kataforis merupakan pengacuan satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya atau berada di sebelah kanannya atau pada unsur yang baru disebutkan kemudian. Menurut Mulyana (2005: 27) aspek referensi terlihat adanya bentuk-bentuk pronomina (kata ganti orang, kata ganti tempat, dan kata ganti lainnya). Jenis referensi (pengacuan) dibedakan menjadi tiga macam yaitu (1) pengacuan persona; (2) pengacuan demonstratif; dan (3) pengacuan komparatif (Sumarlam, 2009).
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang) (Sumarlam, 2009). Pronomina persona tersebut meliputi persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak. Klasifikasi pengacuan pronomina persona dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah.
Tabel 2.1 Pengacuan persona
PERSONA
I II III
Tunggal Jamak Tunggal Jamak Tunggal Jamak aku, saya,
hamba, gua/gue, ana/ane Terikat lekat kiri:
ku- Terikat lekat kanan: - ku
kami, kami semua
kamu, anda, anta/ente Terikat lekat kiri:
kau- Terikat lekat kanan: - mu
kamu semua, kalian, kalian semua
ia, dia, beliau Terikat lekat kiri:
di- Terikat lekat kanan: - nya
mereka, mereka semua
Sumber: Sumarlam (2009: 25)
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pronomina demonstratif waktu (temporal) dan (2) pronomina demonstratif tempat (lokasional) (Sumarlam, 2009). Pengacuan demonstratif waktu mengacu pada waktu kini (seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti besok yang akan datang), dan waktu netral (seperti pagi dan siang). Selanjutnya, untuk pengacuan demonstratif tempat mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunujuk tempat secara eksplisit.
Jenis pengacuan yang terakhir adalah pengacuan komparatif.
“Pengacuan komparatif (perbandingan) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang memiliki kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya” (Sumarlam, 2009). Lebih lanjut, Sumarlam menerangkan kata-kata yang biasa digunakan untuk membandingkan adalah bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan.
b) Penyulihan
Penyulihan disebut juga subtitusi atau penggantian.
“Substitusi adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar” (Mulyana, 2005).
Sementara itu, Sumarlam (2009:28) menjelaskan penyulihan/
substitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Lebih lanjut Sumarlam menerangkan bahwa penggunaan penyulihan dimaksudkan untuk memperoleh unsur pembeda.
Sejalan dengan hal tersebut, Santhi (2019: 128) menerangkan tujuan terjadinya substitusi yaitu antara lain a) agar memberi kesan lain kepada pembaca; b) untuk memberikan efek tertentu pada sebuah wacana; c) untuk mencegah penyebutan satuan tertentu secara berulang-ulang sehingga menimbulkan kesan membosankan; serta d) untuk memberi informasi tambahan dengan penyebutan fakta lain dari satuan lingual tertentu.
Dilihat dari segi satuan lingualnya, subtitusi dapat dibagi menjadi empat antara lain:
(1) Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual berupa kata benda dengan satuan lingual lain yang berupa kata benda.
(2) Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba/kata kerja dengan satuan lingual lain yang berupa verba atau kata kerja.
(3) Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lain yang berupa frasa.
(4) Substitusi klausal penggantian satuan lingual yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lain berupa klausa atau frasa (Sumarlam, 2009).
c) Pelesapan (elipsis)
Elipsis merupakan pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Sumarlam (2009: 30) pelesapan (elipsis) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut Santhi (2019) penggunaan elipsis memiliki fungsi yakni untuk membentuk kepaduan dan menjadikan kalimat efektif. Sementara itu, Rohma dan Triyono (2019: 6) berpendapat bahwa pelesapan mampu menjelaskan struktur dalam sebuah kalimat sekaligus menunjukkan korelasi antara kalimat tersebut dengan aspek penting dari sebuah tekstur. Sumarlam (2009) juga menjelaskan fungsi dari pelesapan yaitu antara lain untuk 1) menghasilkan kalimat yang efektif; 2) efisiensi dalam pemakaian bahasa; 3) mencapai aspek kepaduan wacana; 4) bagi pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikiran terhadap hal-hal yang tidak dimuat dalam satuan bahasa; dan 5) kepraktisan bahasa terutama pada komunikasi lisan. Dari pendapat tersebut tampak bahwa pelesapan/elipsis merupakan aspek penting untuk menguji kohesi gramatikal dan analisis pada wacana tertulis. Proses pelesapan dalam wacana dapat dilakukan dengan beberapa macam cara yaitu dengan elipsis nominal, verbal, frasal, dan klausal.
d) Perangkaian (konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur satu dengan unsur yang lain dalam wacana (Sumarlam, 2009). Konjungsi disebut juga sebagai sarana perangkaian unsur-unsur kewacanaan (Mulyana, 2005). Fungsi dari konjungsi dijelaskan oleh Michael, et al. (2013) sebagaimana dalam kutipan berikut “Conjunction, functions as a cohesive tie among clauses or parts of text in such a way as to demonstrate a significant pattern between them” ‘Konjungsi, berfungsi sebagai pengikat kohesif antar klausa atau bagian teks sedemikian rupa untuk menunjukkan pola yang signifikan di antara keduanya’. Unsur yang dapat dirangkaikan dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat dan unsur yang lebih besar daripada itu. Sumarlam (2009: 33) mengklasifikasikan makna perangkaian beserta macam konjungsi menjadi 15 macam, yaitu sebagai berikut.
(1) Sebab-akibat : sebab, karena, maka, makanya (2) Pertentangan : tetapi, namun
(3) Kelebihan (eksesif) : malah (4) Perkecualian (ekseptif) : kecuali
(5) Konsesif : walaupun, meskipun
(6) Tujuan : agar, supaya
(7) Penambahan (aditif) : dan, juga, serta (8) Pilihan (alternatif) : atau, apa
(9) Harapan (optatif) : moga-moga, semoga (10) Urutan (sekuensial) : lalu, terus, kemudian (11) Perlawanan : sebaliknya
(12) Waktu : setelah, sesudah, usai, selesai (13) Syarat : apabila, jika (demikian) (14) Cara : dengan (cara) begitu
(15) Makna lainnya : (yang ditemukan dalam tuturan).
2) Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal merupakan kepaduan yang terbentuk melalui hubungan leksikal antar bagian-bagian wacana. Rochma dan Triyono (2019: 4) “the lexical cohesion which is related to the words within a text” ‘kohesi leksikal yang berkaitan dengan kata-kata dalam suatu teks’. Sumarlam (2009: 35) menekankan bahwa kohesi leksikal itu berhubungan dengan segi semantis/makna dalam wacana. Tujuan penggunaan aspek leksikal dalam wacana menurut Mulyana (2005: 29) antara lain yaitu untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya. Sumarlam (2009:
35) mengklasifikasikan unsur kohesi leksikal terdiri dari enam macam yaitu repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), kolokasi (sanding kata), hiponim (hubungan bagian), antonimi (lawan kata), dan ekuivalensi (kesepadanan).
a) Repetisi
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual untuk memberi tekanan dalam wacana (Santhi, 2019). Menurut Sumarlam (2009:
35) menjelaskan repetisi adalah pengulangan satuan lingual dapat berupa bunyi, silabe, kata, frasa, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi penekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan letak pengulangan satuan lingual, repetisi dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Berikut ini penjelasan dari jenis-jenis repetisi.
(1) Repetisi epizeuksis yaitu repetisi yang bersifat langsung, pengulangan satuan lingual (kata) yang dianggap penting dilakukan berkali-kali dalam wacana secara berturut-turut.
(2) Repetisi tautotes adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) yang terjadi beberapa kali dalam sebuah konstruksi.
(3) Repetisi anafora adalah repetisi yang berupa pengulangan kata atau frasa pertama di setiap baris atau kalimat secara berurutan.
(4) Repetisi epistrofa adalah pengulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat secara berturut-turut.
(5) Repetisi simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat secara berturut-turut.
(6) Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan yang terjadi di tengah-tengah baris dalam beberapa kalimat secara berurutan.
(7) Repetisi epanalepsis merupakan pengulangan kata/frasa terakhir yang merupakan pengulangan dari kata awal dalam satu kalimat.
(8) Repetisi anadiplosis adalah pengulangan pada kata atau frasa terakhir suatu kalimat menjadi kata/frasa pertama kalimat selanjutnya (Sumarlam, 2009)
b) Sinonimi
Sinonimi merupakan salah satu kohesi leksikal yang digunakan dalam suatu wacana. Istilah sinonim berasal dari sin yang berarti ‘sama’ atau ‘serupa’ dan onim yang berarti nama (Santhi, 2019). Sinonimi menurut Sumarlam adalah salah satu aspek leksikal yang mendukung kepaduan wacana. Lebih lanjut Sumarlam (2009:
39) memaparkan bahwa sinonimi berfungsi untuk membentuk hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lainnya dalam wacana. Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat diperinci sebagai berikut a) sinonimi morfem bebas dengan morfem terikat; b) sinonimi kata dengan kata;
c) sinonimi kata dengan frasa; d) sinonimi frasa dengan frasa; e) sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.
c) Antonimi
Istilah dari antonim berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu anti yang berarti ‘lawan’ dan onuma berarti ‘nama’ sehingga antonim dapat berarti kata yang memiliki arti keberlawanan.
Antonimi sering juga disebut sebagai oposisi makna (Santhi, 2019).
Antonimi dapat dibagi menjadi beberapa kategori didasarkan atas
sifatnya. Menurut Santhi (2019: 141) antonim dibagi menjadi lima berdasarkan atas sifatnya antara lain sebagai berikut.
(1) Antonim mutlak yaitu pertentangan arti secara mutlak dan tidak dapat diganti dengan kata lain.
(2) Antonim kutub adalah pertentangan arti yang tidak bersifat mutlak tetapi bersifat gradasi. Maksudnya terdapat tingkatan dari makna kata tersebut.
(3) Antonim hubungan adalah keberlawanan arti tetapi bersifat saling melengkapi.
(4) Antonim hierarkial merupakan keberlawanan arti berdasarkan satuan hierarki tertentu.
(5) Antonim majemuk merupakan keberlawanan arti yang melibatkan pertentangan banyak kata.
d) Hiponimi (hubungan atas-bawah)
Hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu hypo dan onoma. Hypo berarti ‘di bawah’ dan onoma yang berarti ‘nama’.
Santhi (2019) menerangkan hiponimi adalah kata yang merupakan bagian dari kata lain. Sementara itu, Triasmoro, Sumarlam dan Djatmika (2016: 45) berpendapat hiponimi adalah hubungan makna yang umum (generik) dengan makna khusus (spesifik). Pada hiponimi terdapat dua bagian yaitu hiponim dan hipernim/superordinat. Hiponim adalah satuan bahasa yang maknanya merupakan bagian dari satuan lingual yang lain.
Sedangkan hipernim adalah satuan lingual yang meliputi beberapa unsur di bawahnya (hiponim). Fungsi dari penggunaan hiponimi menurut Sumarlam (2009: 45) adalah untuk mengikat hubungan antarunsur atau antarsatuan lingual dalam wacana secara semantis.
e) Kolokasi (sanding kata)
Kolokasi adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan (Sumarlam, 2009). Michael, et al. (2013) berpendapat bahwa
kolokasi menunjukkan hubungan semantik dan struktural antarkata, yang dapat digunakan secara tidak sengaja oleh penutur asli untuk memahami atau membuat teks. Kolokasi juga sering disebut sebagai sanding kata. Sumarlam (2009: 44) menerangkan bahwa kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain tertentu.
f) Ekuivalensi
Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma (Sumarlam, 2009). Dalam hal ini, suatu hubungan kesepadanan ditunjukkan dengan sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama.
3. Hakikat Berita
a. Pengertian berita
Kata berita berasal dari bahasa Sansekerta yaitu vrit yang berarti ada atau terjadi. Cahya (2018) menjelaskan berita adalah semua hasil pelaporan baik secara lisan ataupun tertulis yang bersumber dari realitas kehidupan sehari-hari. Muda menerangkan bahwa berita adalah suatu fakta atau ide atau opini yang aktual, menarik, dan akurat serta dianggap penting bagi sebagian pembaca, pendengar maupun penonton (Fauzi, 2018). Sedangkan dalam KBBI Online kata berita memiliki arti yaitu 1) cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat, kabar; 2) laporan; dan 3) pemberitahuan, pengumuman. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian berita adalah suatu cerita berisi fakta atau opini yang aktual, akurat dan menarik dapat berbentuk lisan ataupun tulisan.
b. Nilai berita
Berita menyajikan informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca, pendengar ataupun penontonnya. Cahya (2018: 9-12)
menerangkan bahwa sebuah berita yang bermanfaat harus memiliki nilai berita. Adapun nilai-nilai berita menurut Cahya (2018) adalah sebagai berikut.
1) Keluarbiasaan;
2) Kebaruan (aktual);
3) Kedekatan;
4) Menimbulkan ketertarikan manusiawi (Human Interest);
5) Berhubungan dengan orang penting;
6) Menimbulkan dampak bagi masyarakat; dan 7) Informatif.
Menurut Fajar M. N (2010: 23) dalam bukunya yang berjudul
“Mahir Menulis Berita” juga memaparkan hal serupa. Fajar memaparkannya sebagai kriteria kelayakan berita. Suatu peristiwa dapat menjadi berita apabila memenuhi kriteria berikut 1) penting; 2) baru terjadi;
3) unik; 4) asas keterkenalan; 5) asas kedekatan; 6) magnitude (dampak dari suatu peristiwa); 7) trend.
c. Jenis-jenis berita
Menurut Cahya (2018:13-16) secara umum berita dikelompokkan menjadi lima jenis. Adapun kelima jenis berita tersebut antara lain:
1) Berita langsung (straigt news);
2) berita mendalam (depth news report);
3) Berita menyeluruh (comprehensive news report);
4) Berita pelaporan interpretatif (interpretative news report); dan 5) Berita pelaporan cerita khas (feature story report).
Selain pengelompokkan berita secara umum, Cahya (2018) juga mengelompokkan berita berdasarkan sifat kejadiannya, masalah/fokus berita, dan lingkup pemberitaan. Berdasarkan sifat kejadiannya berita dikelompokkan menjadi empat, yaitu berita yang sudah diduga akan terjadi, peristiwa yang telah terjadi, peristiwa yang direncanakan akan terjadi, dan berita tentang gabungan peristiwa terduga dan tak terduga.
Adapun jenis berita yang dilihat dari masalah atau fokus berita, dikelompokkan menjadi tujuh antara lain 1) Berita politik; 2) ekonomi; 3) kriminal; 4) olahraga; 5) pendidikan; 6) pemerintahan; serta 7) seni, hiburan dan keluarga.
Selanjutnya pengelompokkan berita dilihat dari lingkup pemberitaannya. Berdasarkan lingkup pemberitaanya berita terdiri dari 1) berita lokal; 2) regional; 3) nasional; dan 4) berita internasional. Dari pemaparan di atas, peneliti akan meneliti berita majalah Panjebar Semangat yang memiliki kategori tema/fokus berita tentang olahraga.
4. Majalah Panjebar Semangat
Majalah Panjebar Semangat merupakan majalah berbahasa Jawa yang lahir pada tahun 1933 tepatnya pada 2 September 1933. Majalah ini berdiri dipelopori oleh Dr. Soetomo yang juga menjadi pendiri Boedi Oetomo.
Majalah yang lahir pada masa kolonial Belanda ini diterbitkan oleh PT Pancaran Semangat Jaya di Surabaya, tepatnya di Jl. Bubutan 85-B Surabaya 60174. Majalah ini juga dikenal sebagai majalah berbahasa Jawa tertua di Indonesia. Sejak mulai terbitnya majalah berbahasa Jawa sempat mengalami kejayaan, pada Majalah Panjebar Semangat mengalami masa emasnya sekitar tahun 1950-1960. Meskipun demikian, Majalah Panjebar Semangat tetap eksis sampai sekarang.
Majalah Panjebar Semangat termasuk majalah yang memiliki isi yang lengkap. Isi rubrik dalam Majalah Panjebar Semangat meliputi Layang saka Warga, Pangudarasa, Sariwarta, Yok Apa Rek Kabare,,, Surabaya?, Crikak (Crita Cekak), Cerbung, Narayana, Olah raga, Obrolan, Paran pitakon bab hukum, Padhalangan, Kok rena-rena, Ngleluri tulisan Jawa, Widyamakna basa Jawa, Kawruh agama Islam, Kasarasan, Taman geguritan, Apa tumon, Glanggang remaja, Ngarang Ajaran, Manja (Roman Remaja), Wacan bocah, Astrologid,dan rubrik Cangkriman prapatan PS.
Majalah Panjebar Semangat sering dijadikan sebagai objek penelitian karena substansinya yang baik dan penting diketahui oleh masyarakat luas. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang dilakukan menggunakan objek Majalah Panjebar Semangat. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Triasmoro, dkk. (2016). Objek penelitian dalam penelitian tersebut adalah teks cerita pada majalah Panjebar Semangat. Teks cerita yang diteliti oleh Triasmoro, dkk (2016) menggunakan sebanyak tiga macam rubrik yang berbeda sekaligus yaitu Wacan Bocah, Manja (Roman Remaja), dan Crita Cekak.
5. Materi Pembelajaran
Menurut Ratumanan dan Rosmiati (2019: 290) menerangkan bahwa bahan ajar (learning materials) atau dapat disebut sebagai bahan pembelajaran atau materi pembelajaran (instructional materials) merupakan segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu pendidik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Materi pembelajaran merupakan sesuatu yang membawa pesan untuk tujuan pembelajaran (Pane & Dasopang, 2017).
Sementara itu, Ajoke (2017: 36) berpendapat bahwa materi pembelajaran merupakan alat penting dan signifikan yang diperlukan untuk pengajaran dan pembelajaran guna mendorong efisiensi guru dan meningkatkan performa peserta didik. Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa materi pembelajaran merupakan sarana yang dapat membantu guru melaksanakan pembelajaran dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pemaparan Ajoke (2017: 36-37) mengenai kegunaan materi pembelajaran dalam pembelajaran bahasa yaitu meliputi a) untuk membangkitkan dan meningkatkan minat peserta didik; b) mendorong kinerja akademik siswa; c) meningkatkan kualitas pendidikan; d) membuat pembelajaran lebih efektif dan efisien; e) membantu dalam mewujudkan ide dan merangsang imajinasi peserta didik; f) meningkatkan partisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran; serta g) menghemat energi guru dan mengurangi keterpusatan mengajar pada guru. Pemaparan tersebut menandakan bahwa penggunaan materi pembelajaran berperan penting dalam meningkatkan kinerja dari peserta didik.
Dalam menentukan untuk menggunakan suatu materi harus diperhatikan dahulu hal-hal berikut ini, yaitu a) mencakup pengetahuan penuh mengenai materi; b) mempersiapkan lingkungan yang akan digunakan; c) materi tersebut akan menarik perhatian dan memotivasi bagi peserta didik (Ajoke, 2017). Pemilihan suatu bahan ajar sangat bergantung pada tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut. Zain (2017: 177) berpendapat bahwa pemilihan suatu bahan ajar berkaitan erat dengan dua aspek yaitu ruang lingkup keluasan dan tahapan hierarkis bahan ajar. Kemudian, Zain juga merumuskan kriteria dalam pengembangan pembelajaran yaitu 1) mempunyai tujuan; 2) keserasian dengan tujuan; 3) sistematik; 4) mempunyai kegiatan evaluasi; dan 5) menyenangkan.
Pembelajaran bahasa mempelajari empat keterampilan berbahasa yang meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Salah satu keterampilan berbahasa yang dipelajari ialah membaca. Kegiatan membaca ini juga diterapkan dalam pembelajaran dengan kompetensi dasar menelaah isi teks wacana berita. Kegiatan membaca teks wacana berita merupakan pelajaran membaca tingkat lanjut yang mendorong siswa untuk membaca dalam hati.
Ketika siswa membaca dalam hati, siswa harus berusaha memahami isi teks semaksimal mungkin (Iswara, 2016). Berdasarkan Kurikulum muatan lokal bahasa Jawa jenjang pendidilan SMP/SMPLB/ MTs Provinsi Jawa Tengah, kompetensi dasar menelaah isi teks wacana berita merupakan kompetensi yang dipelajari oleh peserta didik jenjang SMP/sederajat kelas VIII di semester ganjil. Menelaah teks berita mengutamakan pemahaman terhadap isi wacana berita yang dibaca. Pemahaman terhadap isi dari suatu wacana tak terlepaskan dari menemukan pokok pikiran dari wacana tersebut. Dalam menemukan pokok pikiran hal yang utama harus dilakukan adalah menentukan kata kunci.
Iswara (2016: 91-92) mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan ketika pembelajaran membaca khusunya pada indikator menemukan pokok pikiran. Adapun langkah-langkah tersebut adalah a) menentukan kata kunci; b) membimbing peserta didik untuk memahami wacana; c) kegiatan membaca dilakukan dengan adanya pembatasan waktu; d) berdiskusi dengan peserta
didik mengenai isi wacana yang telah dibaca; e) apabila masih terdapat kendala dalam memahami isi kemudian dilakukan pengajaran paragraf yaitu membagi peserta didik untuk membaca pada paragraf tertentu saja.
B. Kerangka Berpikir
Pada penelitian ini mengkaji analisis bentuk kohesi yaitu aspek kohesi gramatikal dan kohesi leksikal pada wacana berita Majalah Panjebar Semangat tahun 2019. Analisis aspek kohesi gramatikal meliputi pengacuan (referensi), penyulihan (substitusi), pelesapan (elipsis), dan konjungsi (perangkaian).
Sedangkan pada aspek kohesi leksikal meliputi repetisi (pengulangan), sinonimi, antonimi, hiponimi (hubungan atas-bawah), kolokasi (sanding kata), dan ekuivalensi (kesepadanan). Pada tahap akhir, hasil penelitian ini akan direlevansikan sebagai materi pembelajaran pada KD menelaah teks berita di SMP kelas VIII. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini secara sistematis adalah sebagai berikut.
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
Analisis wacana pada berita berbahasa Jawa Majalah Panjebar Semangat
Aspek Kohesi Gramatikal Aspek Kohesi Leksikal
Relevansinya sebagai materi pembelajaran
Simpulan