Perspektif, Rev.Pen. Tan. Industri Vol. 19 No. 2 /Des. 2020. Hlm 136-148 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v19n2.2020.136-148 ISSN: 1412-8004 e-ISSN: 2540-8240
STRATEGI PENINGKATAN PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT SAPI
Strategies for Increasing the Use of Organic Fertilizers in the Palm Cattle Integration System
SUCI WULANDARI dan DECIYANTO S.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesian Center of Estate Crops Research and Develompent
Jalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111, Indonesia E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Sistem integrasi sawit sapi merupakan salah satu model penerapan teknologi yang memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas sawit. Pola manajemen ternak (intensif, semi intensif, dan ekstensif) memberikan potensi dan permasalahan yang berbeda terhadap penggunaan pupuk organik yang bersumber dari ternak sapi. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah penyediaan dan pemanfaatan pupuk organik pada berbagai pola manajemen ternak, serta pemetaan kendala dan strategi dalam penerapannya.
Manajemen ternak memberikan pengaruh yang berbeda dalam pengelolaan dan pemanfaatan pupuk organik ditinjau dari jumlah bahan baku, kemudahan pengelolaan bahan baku, efektivitas pemanfaatan pupuk organik, komponen biaya, dan aplikasi pupuk organik. Pola intensif memberikan peluang pengelolaan pupuk organik yang lebih baik. Dari sisi pengolahan dan aplikasi pada perkebunan sawit, pola intensif juga relatif lebih baik. Pemanfaatan pupuk organik dari sistem integrasi sawit sapi masih dihadapkan pada berbagai kendala terkait dengan ketersediaan bahan baku, ketersediaan peralatan pengolahan dan bahan pembantu, ketersediaan modal, ketersediaan tenaga kerja, pemasaran dan distribusi, serta minat dan pengetahuan petani. Berdasarkan kendala yang dihadapi, maka strategi mendorong pemanfaatan pupuk organik bertujuan untuk membangun sistem produksi yang menjamin ketersediaan bahan baku, ketersediaan peralatan pengolahan dan bahan pembantu, ketersediaan modal, dan ketersediaan tenaga kerja. Selainuntuk meningkatkan minat petani, strategi juga bertujuan untuk menjamin distribusi dan pemasaran produk,sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani. Berdasarkan kendala dan tujuan yang ingin dicapai, maka strategi untuk meningkatkan pemanfaatan pupuk organik pada sistem integrasi sawit sapi terdiri dari: penguatan kelembagaan petani,
pengembangan aspek kewirausahaan, percepatan alih teknologi melalui diseminasi partisipatif, pengembangan unit pengolahan pupuk organik berbasis agribisnis, pendirian unit percontohan, penguatan dukungan lembaga penelitian, peningkatan akses permodalan, serta formulasi kebijakan mendukung sistem produksi dan pemanfaatan pupuk organik. Strategi dibangun dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan internal petani atau kelompok tani dan untuk memanfaatkan dukungan dari pihak lain.
Keywords: produktivitas, sawit, sapi, pupuk organik ABSTRACT
The palm cattle integration system is a model for applying technology that can increase oil palm productivity. The cattle management model (intensive, semi-intensive, and extensive) provides different potentials and problems to organic fertilizers usage.
This paper aims to examine the supply and use of organic fertilizers in various cattle management mode,also mapping constraints and application strategies. Livestock management has different effects in the management and utilization of organic fertilizers in terms of the number of raw materials, ease of management of raw materials, the effectiveness of organic fertilizers, cost components, and the application of organic fertilizers.The intensive system provides opportunities for better organic fertilizer management. In terms of processing and application in oil palm plantations, the intensive system is also relatively better. The use of organic fertilizers from the palm cattle integration system is still faced various obstacles related to the availability of raw materials, availability of processing equipment and supporting materials, availability of capital, availability of labor, marketing and distribution, and farmers’ interests and knowledge. Based on the constraints faced, the strategy
aims to build a production system that ensures the availability of raw materials, the availability of processing equipment and supporting materials, availability of capital, and labor availability. The strategy also aims to provide product distribution and marketing, increase farmers’ interest, and increase farmers’ income. Based on the constraints and objectives,the strategies include strengthening farmer institutions, developing entrepreneurial aspects, accelerating technology transfer through participatory dissemination, developing agribusiness-based organic fertilizer processing units, establishing pilot units, enhancing the support of research institutions, increasing access to capital, and formulating policies to support the production and use of organic fertilizers.
The strategy is built to overcome farmers or farmer groups’ internal problems and take advantage of support from other parties.
Keywords: productivity, oil palm, cattle, organic fertilizer
PENDAHULUAN
Perkembangan volume ekspor minyak sawit dalam bentuk Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO) pada periode 2010–2017 meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,63%/th, dimana pada tahun 2017 volume ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 29,14 juta ton atau senilai US$ 20,80 milyar (Pusdatin Kementerian Pertanian, 2019). Luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2018 mencapai 14.326.350 ha. Berdasarkan pengusahaannya, sebesar 55,09% atau seluas 7.892.706 ha merupakan Perusahaan Besar Swasta (PBS), Perkebunan Rakyat (PR) seluas 5.818.888 hektar atau 40,62%, sedangkan sebagian kecil diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) yaitu 614.756 hektar atau 4,29% (Ditjenbun, 2020).Daerah utama penghasil sawit di Indonesia adalah provinsi Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan.
Jumlah petani sawit PR pada tahun 2019 mencapai 2,74 juta Kepala Keluarga (KK) atau meningkat 2,5% dibanding tahun 2018 sebanyak 2,67 juta KK. Petani sawit rakyat umumnya hanya mengandalkan penghasilannya dari hasil panen dan penjualan Tandan Buah Segar (TBS), sehingga tingkat pendapatannya tergolong rendah. Terlebih harga TBS sering berfluktuasi
pada tingkat yang rendah sehingga sangat berdampak pada rendahnya pendapatan petani sawit. Produktivitas CPO mencapai 3,60 t/ha/th pada periode 2013-2018, sedangkan di Malaysia dapat menghasilkan 4-6 t/ha/th, bahkan pada lokasi tertentu dengan pengelolaan yang baik bisa menghasilkan CPO 10 t/ha/th. Secara spesifik, berdasarkan status pengusahaannya, rata-rata produktivitas PR lebih rendah dibandingkan dengan PBN dan PBS.
Variabel yang sangat menentukan produktivitas adalah pupuk. Produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat akan berpeluang meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman, serta meningkatnya penggunaan pupuk organik untuk tanaman yang telah menghasilkan (TM) dan pupuk NPK untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) (Hafif, Ernawati and Pujiarti, 2014).
Sistem integrasi sawit sapi, merupakan sistem yang dapat menyediakan pupuk organik secara mandiri. Langkah ini selain diyakini dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan petani, juga dapat mendukung program peningkatan populasi sapi dalam negeri (Diwyanto, Matondang and Handiwirawan, 2013) dengan memanfaatkan biomassa yang ada di lokasi perkebunan sawit (Prastowo, 2007) (Prastowo and Richana, 2014).
Berdasarkan perbedaan manajemen ternak, terdapat tiga pola manajemen ternak pada sistem integrasi sawit sapi yaitu sistem intensif, semi intensif, dan ekstensif (Suryana and Yasin, 2015).
Setiap pola memberikan potensi dan permasalahan yang berbeda terhadap penggunaan pupuk organik yang bersumber dari ternak sapi. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah penyediaan dan pemanfaatan pupuk organik pada berbagai pola manajemen ternak, serta pemetaan kendala, dan strategi dalam penerapannya
PERKEMBANGAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS
KELAPA SAWIT
Produktivitas kelapa sawit selama periode 2014-2020 cenderung fluktuatif namun relatif meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 0,37%/th (Ditjenbun, 2020). Berdasarkan
status pengusahaan, produktivitas TBS pada PR umumnya sangat rendah yaitu berkisar antara 31,45-36,46 t/ha/th, dibawah PBN sebesar 38,97- 44,13 t/ha/th dan PBS sebesar 39,06-42,21 t/ha/th (Gambar 1). Berdasarkan produktivitas CPO, pada PR mencapai nilai 3,17 t/ha/th, lebih rendah dibanding produktivitas CPO pada PBN sebesar 3,35 t/ha/th dan PBS sebesar 4.0 t/ha/th(Pusdatin Kementerian Pertanian, 2019)(Ditjenbun, 2020).
Perkebunan rakyat diusahakan oleh petani pola plasma dan petani pola swadaya. Pada petani pola plasma, perusahaan inti membina dan mengembangkan perkebunan plasma dengan penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha sesuai dengan UU nomor 9 tahun 1995. Sebagai konsekuensinya, petani harus menjual hasil kelapa sawitnya ke perusahaan inti. Sedangkan petani swadaya merupakan petani yang dengan inisiatif dan biaya sendiri membuka dan mengelola lahan, serta tidak terkait dengan perusahaan tertentu. Dalam pola swadaya, petani menyediakan semua modal usahataninya dan mempunyai kebebasan untuk menjual hasil kepada pedagang (Lestari, Prasmatiwi and Ismoyo, 2018). Petani plasma umumnya adalah
petani transmigran yang awalnya hanya memiliki lahan perkebunan sawit seluas 2 ha, sedangkan petani mandiri luas lahannya sangat bervariasi, dari 2-40 ha (Lestari, Prasmatiwi and Ismoyo, 2018).
Produktivitas kelapa sawit petani plasma pada umumnya lebih tinggi dibandingkan petani swadaya, karena petani plasma memperoleh jaminan ketersediaan modal dan bimbingan dari perusahaan inti (Aring Hepiana Lestari, Erry Prasmatiwi and Ismoyo, 2018). Produktivitas kelapa sawit petani plasma yang lebih tinggi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan (Lestari, Prasmatiwi and Ismoyo, 2018). Petani plasma pada umumnya mendapatkan pendapatan yanglebih tinggi karena biaya produksi yang lebih rendah dari petani swadaya (Lifianthi, Oktarina and Rosana, 2018).
Produktivitas berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya dalam memproduksi output, dimana efektivitas adalah derajat pencapaian output dari sistem produksi dan efisiensi adalah ukuran yang menunjuk sejauh mana sumber-sumber daya digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output (Laborde and Piñeiro, 2018).
Keterangan: *angka sementara dan **angka prediksi.
Gambar 1. Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit (2014-2020) Sumber: (Ditjenbun, 2020).
2014 2015 2016 2017 2018 2019* 2020**
Total 3601 3625 3588 3634 3666 3811 4006
PR 3145 3147 3231 3165 3369 3436 3646
PBN 3897 3802 3070 3349 4024 4228 4413
PBS 3906 3948 3931 4003 3840 4039 4221
2500 2700 2900 3100 3300 3500 3700 3900 4100 4300 4500
Produktivitas (kg/ha)
Produktivitas dapat ditinjau secara genetik, potensi hasil lapang (site yield potential), dan hasil aktual (Lubis and Lubis, 2018). Produktivitas secara genetik merupakan potensi produksi maksimal yang dimiliki oleh bahan tanaman pada suatu lingkungan tanpa atau dengan sedikit mengalami hambatan baik faktor lingkungan, maupun teknik budidaya dan manajemen.
Potensi hasil lapang (site yield potential) merupakan produksi yang dapat dicapai oleh bahan tanaman tertentu sesuai dengan kondisi suatu tempat setelah mengalami hambatan oleh faktor pembatas yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia, seperti faktor iklim. Hasil aktual merupakan produksi yang telah dicapai oleh bahan tanaman tertentu pada suatu lokasi setelah mengalami hambatan oleh faktor pembatas yang tidak dapat dikendalikan.
Produktivitas pada tanaman kelapa sawit dapat dibedakan atas hasil potensial (potential yield), hasil maksimum (maximum yield), hasil maksimum secara ekonomi (maximum economic yield), dan hasil dengan nutrisi terbatas (nutrient limited yield) (Siahaan, 2016). Perbedaan pada setiap tingkatan produktivitas ini tertera pada Tabel 1. Hasil potensial (potential yield merupakan hasil yang potensial dicapai sesuai dengan sifat genetik tanaman. Hasil maksimum (maximum yield) merupakan hasil yang diperoleh pada kondisi persyaratan terpenuhi. Hasil dengan
nutrisi terbatas (nutrient limited yield) menunjukkan hasil yang dipengaruhi oleh penerapan standar budidaya anjuran.
Berbagai kajian menunjukkan sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas sawit. Faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi kelapa sawit yaitu luas lahan, jumlah tenaga kerja, penggunaan pupuk, penggunaan pestisida dan umur (Ridha, 2019).
Umur tanaman, tenaga kerja panen, curah hujan, dan hari hujan berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa sawit (Yohansyah and Lubis, 2014). Variabel luas lahan, jumlah populasi, umur tanaman, jumlah penggunaan pupuk, jumlah pestisida, curahan tenaga kerja, dan jenis lahan mempengaruhi produksi kelapa sawit (Alfayanti and Efendi, 2013) (Ariyanto et al., 2017). Faktor yang mempengaruhi produktivitas sawit dapat digolongkan menjadi faktor genetik, faktor lingkungan, dan teknik budidaya tanaman (Pahan, 2007). Faktor genetik terdiri dari varietas dan umur tanaman kelapa sawit, faktor lingkungan terdiri dari faktor abiotik dan biotik, sedangkan teknik budidaya meliputi pemupukan, konservasi tanah dan air, pengendalian gulma, hama, dan penyakit tanaman, serta kegiatan pemeliharaan lainnya.
Pemupukan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit selain faktor iklim, umur tanaman, dan jumlah pohon
Tabel 1. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Produktivitas Berdasarkan Tingkatannya
Tingkatan Produktivitas Faktor yang Berpengaruh Sub Faktor yang Berpengaruh Hasil potensial (potential yield) Genetik tanaman Varietas dan umur tanaman Hasil maksimum (maximum yield) Kondisi dan kesesuaian
Lahan
Kemarau dan asap
Kondisi lahan yang tidak dapat diperbaiki Bahan tanam Kesesuaian bahan tanaman
Populasi tanaman Populasi berlebih atau kurang
Adanya pokok kerdil dan tidak produktif Hasil maksimum secara ekonomi
(maximum economic yield)
Rekomendasi pemupukan
Kesalahan rekomendasi pemupukan Kesalahan pengambilan sampel daun/tanah Hasil dengan nutrisi terbatas
(nutrient limited yield)
Teknik budidaya Penunasan tidak sesuai
Hama dan penyakit tidak terkendali
Drainase buruk tidak tertangani dengan baik Gulma tidak terkendali
Aplikasi pupuk tidak 6 Tepat
Panen dan pengangkutan tidak maksimal Sumber: (Siahaan, 2016).
per hektar (Maharany, Tarigan and Ghazali, 2019).
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi tersebut maka terdapat beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas, dimana salah satunya yaitu perbaikan teknik budidaya yang ditempuh melalui pemupukan berimbang dimana penyediaan pupuk organik dilakukan melalui penerapan sistem integrasi sawit sapi.
SISTEM INTEGRASI SAWIT SAPI Integrasi tanaman ternak merupakan sistem yang dicirikan oleh keterkaitan erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu unit usahatani atau dalam suatu wilayah (Gupta, Rai and Risam, 2012). Sistem integrasi sawit sapi merupakan salah satu sistem integrasi tanaman ternak (Integrated Crop Livestock System – ICLS) yang menerapkan sistem produksi tertutup dimana output dari satu subsistem penggunaan lahan digunakan sebagai input subsistem lainnya. Sistem integrasi sawit sapi memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas sawit.
Hal ini tidak terlepas dari manfaat sistem integrasi tanaman ternak yaitu diversifikasi penggunaan sumber daya, mengurangi resiko usaha, efisiensi penggunaan tenaga kerja, efisiensi penggunaan input produksi, mengurangi ketergantungan energi kimia, ramah lingkungan, meningkatkan produksi, dan pendapatan rumah tangga petani secara berkelanjutan (Handaka, Hendriadi and Alamsyah, 2009).
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 105/Permentan/
PD.300/8/2014 pada pasal 1 yang dimaksud dengan Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budidaya Sapi Potong yang selanjutnya disebut Integrasi Usaha Sapi Sawit adalah penyatuan usaha perkebunan dengan usaha budi daya sapi potong pada lahan perkebunan kelapa sawit. Integrasi dapat dilakukan oleh pekebun dan perusahaan perkebunan.
Sistem integrasi sawit sapi merupakan model dimana kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dan peternakan sapi dipadukan pada satu areal yang sama dengan adanya keterkaitan yang
erat antara komponen tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan limbah (Edwina et al., 2019). Usaha pengembangan integrasi sawit sapi dapat digunakan sebagai upaya menyediakan ternak sapi siap potong melalui unit usaha penggemukan (fattening) dan ternak sapi bibit sebar melalui unit usaha pembibitan (breeding).
PENYEDIAAN BAHAN PUPUK ORGANIK PADA BERBAGAI POLA MANAJEMEN
TERNAK
Produktivitas perkebunan kelapa sawit dapat optimal dengan menerapkan teknologi yang dapat mengatasi faktor ketersediaan air, retensi hara, dan bahaya erosi sebagai faktor pembatas pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Penggunaan bahan organik dan kapur untuk menurunkan tingkat retensi hara merupakan teknologi pengelolaan kebun yang diperlukan untuk mengatasi faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan produksi tanaman, selain bangunan jebakan air (rorak), peningkatan daya simpan air tanah, pengendalian erosi, penggunaan bahan organik dan kapur untuk menurunkan tingkat retensi hara (Hafif, Ernawati and Pujiarti, 2014).
Tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan limbah perkebunan berupa daun pelepah kelapa sawit yang diperoleh ketika panen TBS, sedangkan industri kelapa sawit menghasilkan tiga jenis limbah utama yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak yaitu serat buah sawit, lumpur minyak sawit, dan bungkil inti sawit (Ahmad and Nur, 2019). Perkebunan kelapa sawit dapat menjadi pemasok pakan ternak melalui penyediaan hijauan pakan ternak berupa gulma dan rumput yang ditanam diantara tegakan kelapa sawit, penyediaan pakan melalui pemanfaatan limbah tanaman kelapa sawit, dan limbah hasil pengolahan kelapa sawit (Umar 2009).
Sumber bahan organik dari sistem integrasi sawit sapi dapat diperoleh dari: (1) limbah ternak sapi yaitu kotoran sapi, (2) limbah tanaman sawit yaitu pelepah daun, daun sawit, sisa-sisa tanaman, cover crop, sisa pakan ternak, (3) limbah industri kelapa sawit seperti tandan buah kosong, bahan solid yang disebut dryed decanted sludge (DDS), limbah cair disebut palm oil mill
effluent (POME) dan bahan abu (fly ash) berasal dari penggunaan serat buah sawit untuk bahan bakar pabrik, dan (4) limbah padat biogas bila terdapat instalasi biogas dalam sistem integrasi sawit sapi (Husnain and Nursyamsi, 2016).
Keberadaan bahan organik dapat dijadikan bahan utama pembuatan pupuk organik, baik padat maupun cair yang sangat berguna bagi perbaikan tekstur dan struktur tanah sekaligus menyediakan unsur hara yang berguna bagi tanaman(Juarsah, 2014). Penggunaan pupuk organik sapi pada perkebunan kelapa sawit dapat memperbaiki pertumbuhan TBM dan meningkatkan produksi TM (Suryana and Yasin, 2015). Bahan organik tersebut sangat bermanfaat untuk memperbaiki kualitas tanah baik secara fisik, kimia, dan biologi (Husnain and Nursyamsi, 2016).
Menurut Permentan No. 70/Permentan/
SR.140/10/2011, pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral, dan/atau mikroba yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Salah satu pupuk organik yang dapat dihasilkan adalah pupuk kandang, yang memiliki kandungan unsur hara yang sangat bervariasi tergantung waktu dan cara penyimpanannya, jenis hewan, dan kesehatan hewan (Kurniadinata, 2007).
Ketersediaan kotoran hewan dipengaruhi oleh manajemen ternak yang digunakan. Berdasarkan prosesnya, penyediaan pupuk organik asal limbah ternak dapat digunakan secara langsung, diolah menjadi pupuk padat dan pupuk cair, serta penggunaan melalui pengembangan biogas (Adityawarman, Salundik and Lucia, 2015).
Dengan sistem pengumpulan dan pengambilan kotoran sapi yang dilakukan setiap 90 hari, diketahui bahwa produksi kotoran yang diperoleh dapat mencapai 2.313 kg. Jumlah nitrogen harian yang dapat diperoleh dari kotoran sapi untuk setiap Satuan Ternak (ST) dan dengan periode pengumpulan kotoran setiap tiga bulan sekali atau 90 hari adalah sejumlah 14,9 kg,
atau setara dengan dengan 32 kg urea (46%
nitrogen) (Mathius and Udiati, 2013)
Dalam satu tahun diperkirakan akan dihasilkansekitar 0,5t pupuk organik berdasarkan produksi pupuk organik sekitar 2-3 kg/hari yang diperoleh dari 8-10 kg/hari (basah) feses setiap ekor sapi dewasa. Hasil analisis kandungan unsur hara pupuk kompos (N = 0,89%, P = 0,06%
dan K = 0,51%) maka setiap ton kompos setara dengan 19,2 kg Urea, 10,87 kg TSP dan 92,52 Muriate of Potash (MOP). Dengan kebutuhan pupuk rata-rata per pohon sebanyak 2 kg Urea, 1,5 kg TSP dan 2,5 MOP, maka setiap ekor sapi dalam satu tahun mampu menggantikan kebutuhan pupuk komersial sebesar 5 batang kelapa sawit (Siswati and Rizal, 2017).
Melalui integrasi sawit sapi, akan diperoleh produk samping budidaya ternak dalam bentuk feses, sisa pakan dan urin, yang dapat digunakan sebagai bahan utama pembuatan pupuk organik (Mathius et al., 2004 dan Mathius and Udiati, 2013). Urin sapi dapat dijadikan sebagai pupuk organik berupa biourin. Biourin adalah pupuk cair yang mengandung unsur yang lengkap yaitu nitrogen, fosfor, dan kalium dalam jumlah yang sedikit, serta seng, besi mangan dan tembaga.
Urin yang dihasilkan sekitar 5 l/ekor/hari. Pupuk urin sapi mengandung hormon tertentu yang dapat merangsang perkembangan tanaman dan mengandung lebih banyak N dan K dibandingkan dengan pupuk kandang sapi padat (Aisyah, Sunarlim and Solfan, 2011). Standar pupuk cair yang telah ditetapkan pada Permentan No.70/Permentan/SR.140/10/2011 menyatakan bahwa persyaratan teknis minimal pupuk cair untuk kadar N, P dan K mempunyai standar antara 3-6%. Hasil penelitian (Indriani., et al 2013) menunjukkan bahwa pupuk cair urin sapi tanpa penambahan bahan apapun mempunyai kandungan N, P dan K masing masing sebesar 5,80%, 3,80% dan 0,45%.
Aplikasi pupuk kandang untuk tanaman sawit yang telah berproduksi dilakukan dengan menebar atau membenamkan pupuk organik disekitar piringan tanaman sejumlah 15-20 kg/pohon setiap tiga atau empat bulan. Secara visual tanaman kelapa sawit yang diberi pupuk organik menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan batang tanaman
menjadilebih besar, rentangan atau jatuhnya pelepah sawit yang lebih baik, warna daun menjadi lebih hijau dan cerah, warna buah sawit kelihatannya kuning kecoklatan atau lebih dan tandan buah sawit lebih besar (Mathius and Udiati, 2013). Pengaruh penggunaan kompos pada tanaman sawit dapat dilihat dari perbedaan pada daun yang menjadi lebih hijau dibandingkan sebelum diberi kompos, di musim kemarau tidak terjadi penurunan produksi TBS secara nyata, dan secara kumulatif terjadi kenaikan produksi TBS meningkat sampai 10- 15%/tahun (Puastuti, et al, 2013). Secara ekonomi, penggunaan pupuk organik menurunkan biaya pupuk organik dan biaya tenaga kerja. Anjuran penggunaan pupuk kimia NPK dan lainnya adalah sebanyak 8 kg/pohon/
thn, namun pemupukan dengan kombinasi pupuk organik hanya 4 kg/pohon/thnpupuk kimia dan 10 kg/pohon/thnpupuk kompos (Puastuti, et al, 2013).
Peningkatan produktivitas sawit pada sistem integrasi sawit sapi dipengaruhi oleh pola manajemen ternak yang diterapkan. Terdapat tiga pola integrasi sawit sapi berdasarkan manajemen ternak yaitu: intensif, (2) semi
intensif, dan (3) ekstensif. Model pengembangan sistem integrasi sawit sapi pada sistem pemeliharaan intensif, semi intensif, dan ekstensif pada dasarkan dapat meningkatkan produktivitas dan populasi sapi, memberikan tambahan penghasilan dari hasil penjualan sapi, meningkatkan hasil panen dan penjualan TBS, memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk organik dan mengurangi jumlah tenaga kerja (Matondang and Talib, 2015), namun demikian ketiga model ini memberikan kontribusi terhadap ketersediaan pupuk organik dalam jumlah yang berbeda, sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap produktivitas sawit (Tabel 2).
Manajemen Ternak Pola Intensif
Pemeliharaan sistem intensif dilakukan dengan cara mengandangkan sapi secara terus menerus. Semua kebutuhan sapi seperti pakan, air, perkawinan, penanganan penyakit dan kebersihan disediakan oleh peternak. Pada pola sawit inti plasma, peranan inti adalah memberikan lahan untuk usaha peternakan, membantu peternak menyediakan sarana dan prasarana pendukung, mengijinkan peternak Tabel 2. Keragaan Pengelolaan Pupuk Organik berdasarkan Jenis Manajemen Ternak
Aspek Jenis Manajemen Ternak
Pola Intensif Pola Semi Intensif Pola Ekstensif Jumlah bahan baku
(kotoran ternak) terkumpul
Lebih banyak Lebih sedikit Tidak ada
Kemudahan pengelolaan bahan baku
Lebih mudah karena terkumpul pada kandang
Lebih sulit karena tersebar pada perkebunan sawit dan sebagian terkumpul pada kandang
Lebih sulit karena tersebar pada perkebunan sawit
Determinasi efektivitas pemanfaatan pupuk organik
Dipengaruhi pengolahan kotoran hewan di kandang
Dipengaruhi pengolahan kotoran hewan di kandang dan kemampuan
pengaturan pengembalaan
Dipengaruhi oleh ratio sapi per lahan dan pengaturan
penggembalaan berpindah (rotational grazing).
Komponen biaya 1. Biaya pengolahan pupuk organik 2. Biaya pengangkutan
pupuk ke perkebunan sawit
1. Biaya pengolahan pupuk organik 2. Biaya pengangkutan
pupuk ke perkebunan sawit
Tidak ada biaya pengolahan dan pengangkutan
Aplikasi pupuk organik
Lebih merata Lebih sedikit dan tidak merata
Acak
untuk memanfaatkan vegetasi alam di bawah kebun kelapa sawit secara cut and carry atau mengolah bahan pakan menjadi pakan siap pakai dan mengembangkannya dalam jangka panjang kearah usaha industri pakan. Inti bersama-sama dengan peternak mengolah dan memanfaatkan kotoran sapi sebagai bahan pupuk organik yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman perkebunan.
Peluang pengembangan ke depan yaitu inti dapat membangun industri pabrik pakan mini dan kompos secara komersial.
Pada petani mandiri, pemeliharaan sapi dengan sistem intensif memungkinkan pengumpulan dan penggunaan kotoran sapi untuk diaplikasikan pada kebun sawit sendiri.
Hal ini dapat terjadi apabila jarak antara kandang dan kebun relatif terjangkau, sehingga petani dapat membawa kotoran sapi secara mandiri.
Manajemen Ternak Pola Semi Intensif
Sistem pemeliharaan semi intensif dilakukan dengan cara menggembalakan sapi secara terkendali dari pagi sampai dengan sore hari pada lahan perkebunan kelapa sawit.
Pemeliharaan sapi dengan sistem ini harus dijamin kecukupan pakan dan tidak merusak kebun kelapa sawit. Peluang peternak menyediakan pakan tambahan adalah pada sore atau malam hari karena kapasitas tampung pakan hanya 0,7-1,5 ST/ha (Puastuti, Suryana and Matondang, 2013).
Pada sistem semi intensif, jumlah limbah ternak yang dapat dikumpulkan relatif lebih sedikit dan pergerakan hewan yang bersifat acak pada saat dilepaskandangkan telah menyebabkan aplikasi pupuk organik lebih sedikit dan tidak merata. Pada petani dengan kebun sawit yang relatif jauh, penggembalaan dilakukan pada lahan milik petani lain sehingga pemilik ternak tidak secara langsung merasakan manfaat.
Manajemen Ternak Pola Ekstensif
Pada sistem pemeliharaan ekstensif, sapi digembalakan sepanjang hari secara terkendali pada lahan perkebunan sawit. Sapi hanya memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan pakannya selama penggembalaan.
Penerapan sistem ekstensif dilakukan secara komunal pada kelompok tani atau pada
perusahaan dengan menerapkan penggembalaan berpindah (rotational grazing) yang memperhati- kan kapasitas tampung perkebunan sawit agar ketersediaan pakan dapat berkesinambungan (Matondang and Talib, 2015). Pada kondisi tertentu, perlu tindakan untuk mempertahankan ketersediaan tanaman untuk pakan ternak dilakukan dengan mengurangi intervensi pengendalian gulma.
Penggembalaan sapi di perkebunan sawit dengan tanaman yang berumur lebih dari 3 tahun tidak memberi dampak negatif terhadap tanaman sawit, karena sapi tidak memakan daun sawit dan tidak terjadi pemadatan tanah. Analisis produktivitas pada sistem ekstensif menunjuk- kan bahwa produktifitas kelapa sawit pada areal integrasi memiliki nilai yang lebih tinggi pada areal non integrasi. Areal integrasi memiliki kemampuan menyimpan air yang lebih baik serta memiliki kerapatan massa tanah yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan akumulasi bahan organik yang berinteraksi dengan tanah di dalam areal kelapa sawit (Rizki, Sastrowiratmo and Gunawan, 2017). Efektivitas peningkatan produktivitas pada pola ekstensif dipengaruhi oleh ratio sapi per lahan dan pengaturan penggembalaan berpindah (rotational grazing) (Matondang and Talib, 2015)
KENDALA PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK DALAM SISTEM INTEGRASI
SAWIT SAPI
Pengolahan limbah ternak berupa kotoran, urin, dan sisa-sisa pakan ternak yang tidak habis menjadi pupuk organik, memberikan manfaat terhadap tanaman sawit, selain juga menciptakan kondisi yang lebih baik bagi kesehatan ternak dan lingkungan (Muis, 2015). Berdasarkan karakteristik inovasi yaitu: keunggulan relatif (relative advantage), kompatibilitas (compatibility), kerumitan (complexity), kemampuan diuji cobakan (trialability), dan kemampuan diamati (observability), pembuatan dan pemanfaatan pupuk organik dari kotoran sapi memiliki keunggulan secara ekonomi, sesuai dengan proses usahatani di tingkat petani, tidak rumit, mudah diujicobakan, dan dapat diamati hasilnya.
Pada sisi lain, pemanfaatan pupuk organik dalam rangka peningkatan produktivitas
perkebunan sawit pada sistem integrasi sawit sapi, tidak terlepas dari keberhasilan percepatan adopsi sistem integrasi yang dipengaruhi oleh faktor modal kerja, faktor kelompok petani, dan tujuan meningkatkan pendapatan petani (Andriati dan Rahmawati 2018). Pada perkebunan rakyat, produksi pupuk organik menghadapi permasalahan terkait dengan pengadaan sapi, ketersediaan dana, SDM penunjang, proses produksi, dan pemasaran produk (Gunawan and Talib, 2014).
Pemanfaatan pupuk organik dari sistem integrasi sawit sapi masih dihadapkan pada berbagai kendala terkait dengan:
a. Ketersediaan bahan baku. Untuk pengolahan 1 ton kotoran sapi menjadi pupuk kompos organik maka dibutuhkan stardec sebagai mikroba pengubah struktur kompos sebanyak 2,5 kg, kapur dolomit sebanyak 10 kg, dan urea sebanyak 2,5 kg (Muis, 2015).
Pengolahan pupuk dapat dilakukan jika kotoran sapi sudah mencukupi dari segi volume. Oleh karena itu diperlukan bahan baku dalam jumlah tertentu secara berkesinambungan.
b. Ketersediaan peralatan pengolahan dan bahan pembantu. Pengolahan urin sapi membutuhkan peralatan drum besar, selang air, dan aerator.
c. Ketersediaan modal. Pengolahan pupuk organik memerlukan modal awal yang diperlukan untuk pengadaan alat, biaya bangunan, atau biaya instalasi. Proses penyediaan pupuk organik dapat dilakukan melalui pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar dahulu kemudian residunya digunakan sebagai pupuk. Biaya investasi melalui biogas lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan langsung ataupun diolah terlebih dahulu.
d. Ketersediaan tenaga kerja. Pengolahan pupuk organik memerlukan tenaga kerja dalam proses pengumpulan kotoran, pengolahan, dan pengangkutan hasil.
e. Pemasaran dan distribusi. Efektivitas pemupukan ditentukan oleh 6T yaitu tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu, tepat cara, tepat tempat, dan tepat alat, selain kehilangan pupuk (losses), dan prestasi kerja
penabur (Khalida and Lontoh, 2012).
Pemanfaatan pupuk organik dapat dilakukan apabila pupuk tersebut tersedia di kebun secara tepat.
f. Minat dan pengetahuan petani. Teknologi biogas merupakan teknologi pemanfaatan limbah ternak yang sederhana, murah, bersih, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, dan merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui, namun demikian, adopsi di tingkat petani sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki petani.
STRATEGI PENINGKATAN PEMANFAATAN PUPUK ORGANIK DALAM SISTEM INTEGRASI SAWIT SAPI
Optimalisasi pemanfaatan pupuk organik pada sistem integrasi sawit sapi tidak hanya terkait dengan masalah teknis, tetapi juga terkait dengan aspek manajerial dan kelembagaan.
Faktor yang berpengaruh pada sistem produksi pupuk organik yaitu faktor teknologi, faktor pengetahuan petani, faktor modal, faktor bahan baku, faktor tenaga kerja, faktor waktu tanam, dan faktor kebijakan pemerintah (Sardjono, 2012).
Pengoptimalan potensi manfaat integrasi sawit sapi dapat dilakukan dengan menyusun regulasi khusus untuk pengembangan industri pupuk, serta menyediakan pembiayaan penunjang dari hulu sampai hilir secara berkelanjutan (Gunawan and Talib, 2014).
Berdasarkan kendala yang dihadapi, maka strategi mendorong pemanfaatan pupuk organik bertujuan untuk membangun sistem produksi yang menjamin ketersediaan bahan baku, ketersediaan peralatan pengolahan dan bahan pembantu, ketersediaan modal, ketersediaan tenaga kerja. Strategi juga bertujuan untuk menjamin distribusi dan pemasaran produk, serta peningkatan minat petani. Selain itu strategi yang dibangun juga diarahkan kepada peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan kemandirian petani dalam pengelolaan integrasi sawit sapi yang berkelanjutan (Sulistiawati, 2018).
Berdasarkan kendala dan tujuan yang ingin dicapai, maka strategi untuk meningkatkan pemanfaatan pupuk organik pada sistem integrasi sawit sapi terdiri dari: (1) penguatan
kelembagaan petani, (2) pengembangan aspek kewirausahaan, (3) percepatan alih teknologi melalui diseminasi partisipatif, (4) pengembangan unit pengolahan pupuk organik berbasis agribisnis, (5) pendirian unit percontohan, (6) penguatan dukungan lembaga penelitian, (7) peningkatan akses permodalan, dan (8) formulasi kebijakan mendukung sistem produksi dan pemanfaatan pupuk organik.
Strategi dibangun dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan internal petani atau kelompok tani danuntuk memanfaatkan dukungan dari pihak lain.Aktor yang berperan dalam implementasi strategi pemanfaatan pupuk organik tersebut yaitu petani pengguna pupuk organik, pengelola Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO), swasta, dan pemerintah (Sardjono, 2012).
Dalam penerapannya, model agribisnis dilakukan melalui pengembangan bisnis oleh kelompok tani. Kelompok tani di Kalimantan Barat telah membuktikan keberhasilan pengembangan bisnis dalam sistem integrasi sawit sapi. Anggota kelompok tani sebagai pemilik perkebunan sawit merasakan kebutuhan pupuk organik yang tinggi, kemudian mengembangkan kegiatan pemeliharaan sapi dengan tujuan untuk menghasilkan kotoran sapi yang akan dijadikan kompos (Puastuti, et al 2013). Usaha ternak sapi dilakukan dengan pendekatan corporate farming. Pemeliharaan sapi, pembuatan pakan dan pengolahan kompos tidak dilakukan oleh masing-masing anggota, tetapi dengan mempekerjakan tenaga kerja khusus sehingga anggota kelompok tani tetap dapat mengelola perkebunan sawit.
Kegiatan penyuluhan yang partisipatif merupakan sebuah metode dalam membangun kapasitas petani secara berkelanjutan. Alih teknologi melalui kegiatan penyuluhan akan menjadi kondisi interaksi sosial yang partisipatif, bila ada faktor lingkungan yang mendukung (enabling-environment) bagi penyuluh pertanian (Jafri, Febriamansyah and Syahni, 2015). Oleh karena itu perlu dibangun sistem transfer pengetahuan dan teknologi yang dinamis dan partisipatif.
Pendirian unit percontohan pengolahan pupuk organik bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan teknis dan jiwa wirausaha petani.
Oleh karena itu unit percontohan tidak sebatas pada bagaimana mengoperasikan sistem pengolahan pupuk organik, tetapi juga bagaimana mengelolaunit bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan.
Peningkatan akses permodalan terkait dengan penyediaan kredit industri pupuk organik pedesaan yang skemanya sesuai dengan pola produksi dan perkembangan usaha. Dari sisi kebijakan dan dukungan stakeholder lain, peningkatan pemanfaatan pupuk organik akan terkait dengan dukungan kebijakan pemerintah terhadap pengembangan sistem integrasi sawit sapi, fasilitasi kerjasama pekebun atau kelompok tani dengan perkebunan sawit besar dan pabrik kelapa sawit, serta insentif terkait dengan pengembangan sistem produksi dan pemanfaatan pupuk organik.
KESIMPULAN
Sistem integrasi sawit sapi memberikan manfaat dalam bentuk penyediaan pakan ternak dan limbah hewan yang dapat digunakan sebagai bahan pupuk organik. Manajemen ternak pada sistem integrasi (intensif, semi intensif dan ekstensif) memberikan pengaruh yang berbeda dalam pengelolaan dan pemanfaatan pupuk organik ditinjau dari jumlah bahan baku, kemudahan pengelolaan bahan baku, determinasi efektivitas pemanfaatan pupuk organik, komponen biaya, dan aplikasi pupuk organik. Pola intensif memberikan peluang pengelolaan pupuk organik yang lebih baik, sehingga dalam satu tahun diperkirakan mampu menghasilkan sekitar 0,5 t pupuk organik yang diperoleh dari akumulasi feses ternak sebanyak 8-10 kg/ekor/hari. Dari sisi pengolahan dan aplikasi pada perkebunan sawit, pola intensif juga relatif lebih baik.
Kendala dalam pemanfaatan pupuk organik dari sistem sistem integrasi sawit sapi terkait dengan ketersediaan bahan baku, ketersediaan peralatan pengolahan dan bahan pembantu, ketersediaan modal, ketersediaan tenaga kerja, pemasaran dan distribusi, serta minat dan pengetahuan petani. Strategi mendorong pemanfaatan pupuk organik dapat diatasi melalui penguatan kelembagaan petani,
pengembangan aspek kewirausahaan, percepatan alih teknologi melalui diseminasi partisipatif, pengembangan unit pengolahan pupuk organik berbasis agribisnis, pendirian unit percontohan, penguatan dukungan lembaga penelitian, peningkatan akses permodalan, dan formulasi kebijakan mendukung sistem produksi dan pemanfaatan pupuk organik. Melalui pemanfaatan pupuk organik pada sistem integrasi sawit sapi maka akan terjadi penurunan biaya produksi dan peningkatan produktivitas tanaman, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Dalam jangka panjang, pemanfaatan pupuk organik akan mendukung pengembangan perkebunan sawit yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Adityawarman, A., Salundik and Lucia (2015)
‘Pengolahan Limbah Ternak Sapi Secara Sederhana di Desa Pattalassang Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan’, Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Pertanian, 3(3), pp. 171–177. doi: 10.29244/jipthp.3.3.171- 177.
Ahmad, S. N. and Nur, A. S. (2019) ‘Pengaruh Integrasi Ternak Sapi dengan Kelapa Sawit terhadap Produktivitas Sapi dan Kelapa Sawit’, 5 (April), pp. 43–50.
Aisyah, S., Sunarlim, N. and Solfan, B. (2011)
‘Pengaruh Urine Sapi Terfermentasi dengan Dosis dan Interval Pemberian yang Berbeda terhadap Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica juncea L.)’, Jurnal Agroteknologi, 2(1), pp. 1–5. doi:
http://dx.doi.org/10.24014/ja.v2i1.127.
Alfayanti and Efendi, Z. (2013) ‘Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Mukomuko’, Agrisep, 13(1), pp. 1–10.
Aring Hepiana Lestari, D., Erry Prasmatiwi, F.
and Ismoyo, R. H. (2018) ‘Analisis Perbandingan Biaya Transaksi, Pendapatan, dan Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit Plasma dengan Swadaya di Kabupaten Tulang Bawang’, AGRARIS:
Journal of Agribusiness and Rural Development Research, 4(2). doi:
10.18196/agr.4266.
Ariyanto, A. et al. (2017) ‘Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Produksi Kelapa Sawit Rakyat Pola Swadaya di Kabupaten Kampar-Riau’, INA-Rxiv, Oct. doi:
http://doi.org/10.17605/OSF.IO/PDWBS.
Ditjenbun (2020) Statistik Perkebunan Indonesia 2018-2020, Kelapa Sawit.
Diwyanto, K., Matondang, R. H. and Handiwirawan, E. (2013) ‘Perkembangan Sistem Integrasi Sawit Sapi di Beberapa Lokasi Mendukung Program Swasembada Daging Sapi’, in Tiesnamurti, B. et al. (eds) Model Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman-Sapi Berbasis Inovasi. IAARD Press, pp. 13–52.
Edwina, S. et al. (2019) ‘Kajian perbandingan produktivitas dan pendapatan perkebunan pola Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (SISKA) dengan perkebunan tanpa pola SISKA di Kabupaten Siak’, Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis, 5(1), pp. 90–103.
Gunawan and Talib, C. (2014) ‘Potensi pengembangan bioindustri dalam sistem integrasi sapi sawit’, Wartazoa, 24(2), pp.
67–74.
Gupta, V., Rai, P. K. and Risam, K. S. (2012)
‘Integrated crop-livestock farming systems:
a strategy for resource conservation and environmental sustainability’, Indian Research Journal of Extension Education, II(Volume II), pp. 49–54.
Hafif, B., Ernawati, R. and Pujiarti, Y. (2014)
‘Peluang Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit Rakyat di Provinsi Lampung’, Jurnal Littri, 20(2), pp. 100–108.
Handaka, A., Hendriadi and Alamsyah, T. (2009)
‘Perspektif Pengembangan Mekanisasi Pertanian dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis Sawit, Padi dan Kakao’, in Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak-Tanaman : Padi, Sawit, Kakao. Bogor: BadanLitbang Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Husnain, H. and Nursyamsi, D. (2016) ‘Peranan Bahan Organik dalam Sistem Integrasi Sawit-Sapi’, (July 2015), pp. 26–36.
Indriani, F., Sutrisno, E. and Sumiyati, S. (2013)
‘Studi Pengaruh Penambahan Limbah Ikan
Pada Proses Pembuatan Pupuk Cair dari Urin Sapi terhadap Kandungan Unsur Hara Makro (CNPK)’, Jurnal Teknik Lingkungan, 2(2), pp. 1–8.
Jafri, J., Febriamansyah, R. and Syahni, R. (2015)
‘Interaksi Partisipati antara Penyuluh Pertanian dan Kelompok Tani Menuju Kemandirian Petani’, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 33 Nomor 2, Oktober 2015: 161-177, 33(2), pp. 161–177. doi: 10.1088/0004- 637X/794/2/154.
Juarsah, I. (2014) ‘Pemanfaatan pupuk organik untuk pertanian organik dan lingkungan berkelanjutan’, in Seminar Nasional Pertanian Organik, pp. 127–136.
Khalida, R. and Lontoh, A. P. (2012) ‘Manajemen Pemupukan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.), Studi Kasus pada Kebun Sungai Sagu’, Buletin Agrohorti, 53(9), pp.
1689–1699. doi: 10.1017/CBO9781107 415324.004.
Kurniadinata, O. F. (2007) ‘Pemanfaatan Feses Dan Urin Sapi Sebagai Pupuk Organik dalam Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacg.)’, in Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Ternak, pp.
65–72.
Laborde, D. and Piñeiro, V. (2018) ‘Monitoring Agricultural Productivity for Sustainable Production and R&D Planning’, Economics:
The Open-Access, Open-Assessment E-Journal, 12, pp. 1–11. doi: 10.5018/economics- ejournal.ja.2018-66.
Lestari, D., Prasmatiwi, F. and Ismoyo, R. (2018)
‘Analisis Perbandingan Biaya Transaksi, Pendapatan, dan Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit Plasma dengan Swadaya di Kabupaten Tulang Bawang’, AGRARIS:
Journal of Agribusiness and Rural Development Research, 4(2), pp. 111–119. doi:
10.18196/agr.4266.
Lifianthi, Oktarina, S. and Rosana, E. (2018)
‘Analisis Produktivitas dan Pendapatan Kelapa Sawit Petani Plasma dan Swadaya di Sumatera Selatan’, Agripita, 2(1), pp. 38–
42.
Lubis, M. F. and Lubis, I. (2018) ‘Analisis Produksi Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis
Jacq.) Di Kebun Buatan, Kabupaten Pelalawan, Riau’, Buletin Agrohorti, 6(2), p.
281. doi: 10.29244/agrob.6.2.281-286.
Maharany, R., Tarigan, S. M. and Ghazali, S. Al (2019) ‘Analisa Kesenjangan (GAP) Produktivitas Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Tiga Tahun Tanam di Afdeling V Kebun Lama PT.
Perkebunan Nusantara I’, BERNAS Agricultural Research Journal, 15(1), pp. 185–
193.
Mathius, I. and Udiati, U. (2013) ‘Bahan organik asal kotoran sapi sebagai titik ungkit pengembangan sapi potong dalam kawasan industri sawit’, in Tiesnamurti, B.
et al. (eds) Model Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman-Sapi Berbasis Inovasi, pp.
251–278.
Mathius, I. W. et al. (2004) ‘Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Buah Kelapa Sawit sebagai Bahan Dasar Pakan Komplit untuk Sapi: Suatu Tinjauan’, Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, (2004), pp. 120–128.
Matondang, R. and Talib, C. (2015) ‘Model Pengembangan Sapi Bali dalam Usaha Integrasi di Perkebunan Kelapa Sawit’, Wartazoa, 25(3), pp. 147–157. doi:
http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v25i3.1 159.
Muis, J. M. (2015) ‘Kinerja dan Prospek Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Ramah Lingkungan di Sumatra Barat’, Widyariset, 18(1), pp. 59–70.
Pahan, I. (2007) ‘Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir’. Penebar Swadaya, p. 160.
Prastowo, B. (2007) ‘Potensi Sektor Pertanian Sebagai Penghasil dan Pengguna Energi Terbarukan’, Perspektif, 6(2), pp. 84–92.
Prastowo, B. and Richana, N. (2014) Biodiesel Generasi-1 Generasi-2. IAARD Press.
Puastuti, W., Handiwirawan, E. and Diwyanto, K. (2013) ‘Perkembangan Sistem Integrasi Sawit-Sapi di Kelompok Tani Subur Makmur Provinsi Kalimantan Tengah: Pola Pemeliharaan Sapi Secara Intensif’, in Model Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman-Sapi Berbasis Inovasi, pp. 145–172.
Puastuti, W., Suryana and Matondang, R. (2013)
‘Perkembangan Sistem Integrasi Sawit-Sapi di Kalimantan Selatan: Pola Pemeliharan Sapi Semi Intensif’, in Tiesnamurti, B. et al.
(eds) Model Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman-Sapi Berbasis Inovasi, pp. 173–198.
Pusdatin Kementerian Pertanian (2019) Outlook Komoditas Perkebunan Kelapa Sawit. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.
Ridha, A. (2019) ‘Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Kelapa Sawit di Kabupaten Aceh Timur’, Jurnal Samudra Ekonomika, 2(January 2018), pp. 13–19.
Rizki, M. R., Sastrowiratmo, S. and Gunawan, S.
(2017) ‘Kajian Interaksi Budidaya Kelapa Sawit dengan Sapi’, Jurnal Agromast, 2(2).
Sardjono, N. (2012) ‘Strategi Pengembangan Sistem Produksi Pupuk Organik pada Unit Pengolahan Pupuk Organik (Uppo) di Desa Bangunsari Kabupaten Ciamis’, Jurnal Teknologi Pertanian, 13(2), pp. 138–148.
Available at: https://www.academia.edu.
Siahaan, D. (2016) ‘Kajian Potensi Rendemen Untuk Mencapai Produkvitas CPO Tinggi
di Perkebunan Kelapa Sawit’. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, p. 54.
Siswati, L. and Rizal, M. (2017) ‘Peningkatan Pendapatan Petani Pertanian Terpadu Ternak Sapi Perah dan Kelapa Sawit di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau’, Jurnal ilmu-Ilmu Peternakan, 20(2), pp. 51–
58.
Sulistiawati, R. (2018) ‘Peningkatan Kesejahteraan Melalui Kemandirian Petani dalam Pengelolaan Integrasi Sawit Sapi Berkelanjutan’, Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 11(2), p. 200. doi: 10.24843/jekt.
2018.v11.i02.p09.
Suryana, S. and Yasin, M. (2015) ‘Prospek Pengembangan Integrasi Sawit-Sapi di Kalimantan Selatan’, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 34(1), p. 9. doi:
10.21082/jp3.v34n1.2015.p9-18.
Yohansyah, W. M. and Lubis, I. (2014) ‘Analisis Produktivitas Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di PT. Perdana Inti Sawit Perkasa I, Riau’, Buletin Agrohorti, 2(1), p.
125. doi: 10.29244/agrob.2.1.125-131.