• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEIKSIS PERSONA BAHASA INDONESIA DIALEK AMBON:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEIKSIS PERSONA BAHASA INDONESIA DIALEK AMBON:"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

DEIKSIS PERSONA BAHASA INDONESIA DIALEK AMBON:

KAJIAN SOSIOPRAGMATIK

PERSONAL DEIXES OF INDONESIAN LEANGUAGE WITH AMBONESE DIALECT: A SOSIOPRAMATIC STUDY

TAUFIK

PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

(2)

Tesis

Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA

Disusun dan diajukan oleh

TAUFIK

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

(3)
(4)

iv Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Taufik

NIM : P1200215011

Jurusan/Program Studi : S-2 Bahasa Indonesia

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang berjudul

“Deiksis Persona Bahasa Indonesia Dialek Ambon: Kajian Sosiopragmatik” merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini adalah hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 12 September 2017 Yang membuat pernyataan,

Taufik

(5)

v

Puji syukur patut dipanjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga tesis yang berjudul “Deiksis Persona Bahasa Indonesia Dialek Ambon: Kajian Sosiopragmatik” ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak ditemui hambatan. Akan tetapi, berkat bantuan dari berbagai pihak sehingga hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, melalui lembaran ini, penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U., selaku ketua komisi penasihat dan kepada Dr. Hj. Asriani Abbas, M.Hum., selaku anggota komisi penasihat dan sekaligus sebagai ketua Program Studi Magister Bahasa Indonesia yang telah memberikan bimbingan secara bertahap dan penuh kesabaran sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik;

(6)

2. Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, M.S., Dr. Hj. Nurhayati, M.Hum., dan Dr. Kaharuddin, M.Hum., atas segala saran dan kritikan yang bersifat konstruktif untuk penyelesaian tesis ini;

3. kedua orang tua penulis, yaitu bapak Salamun dan mama Sahinda, yang telah mencurahkan kasih sayang yang tidak ternilai harganya sejak penulis dilahirkan hingga saat ini. Semoga keduanya selalu dilimpahkan rahmat dan kesehatan dari Allah Swt. dan dipanjangkan umur mereka;

4. kakak-kakak penulis, Sahaluddin, S.Pd., bersama istri Sri Mastuti, S.Pd., Salmiati, S.Pd., bersama suami Ahmad Patta, S.Pd., juga untuk adik tersayang Asmita Salamun, terkhusus pula untuk keponakan tercinta Safitri Ramadani, Safatan Al-Saban, dan Farhan Hudzaifah Patta, serta seluruh keluarga penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan dorongan dan dukungan kepada penulis untuk selalu sabar melanjutkan studi ini. Semoga mereka selalu diberikan oleh Allah Swt. kesehatan, panjang umur, rezeki yang cukup;

5. sahabat seperjuangan penulis di Program Studi Magister Bahasa Indonesia, A. Aryana, M. Nawir, Sumiaty, Susiati, Risman, Karim, A.

Yusdianti, Harziko, Sutrisno, Asrifal K., Raviqa, Rima, Nur Rahma Al- Haqq, dan Nur Sariati yang tak henti-hentinya memberikan semangat kepada penulis;

(7)

6. rekan-rekan Magister Linguistik dan English Leanguage Study program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang selalu memberikan dukungan selama proses penyelesaian tesis ini;

7. sang motivator Nadir Ladjamudi, M.Pd., yang tak henti-hentinya memotivasi dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan studi;

8. Pak Muctar, Pak Muhlar, dan Daeng Nai yang selalu membantu dalam pengurusan administrasi dan teknis selama menempuh pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin;

9. seluruh dosen dan staf pegawai Program Magister Bahasa Indonesia Universitas Hasanuddin, yang telah memberikan ilmu dan bantuan dengan tulus kepada penulis selama ini.

Pada proses penulisan tesis ini, penulis menghadapi banyak masalah dan hasilnya mungkin kurang sempurna. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas semua kekurangan di dalam penulisan ini. Saran dan kritikan dari semua pihak yang sifatnya membangun demi penyempurnaan tesis ini, sangat penulis harapkan. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bermanfaat bagi pengembangan bahasa Indonesia yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Makassar, September 2017

Penulis

(8)

viii

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon; struktur posesif deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon; menjelaskan konteks penggunaan deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon.

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang mengkaji fenomena kebahasaan dengan pendekatan sosiopragmatik. Data dalam penelitian berupa data lisan yang bersumber dari tindak komunikasi masyarakat kota Ambon dan sekitarnya yang terdiri atas semua rentan usia, yang menggunakan bahasa Indonesia dialek Ambon. Data dikumpulkan menggunakan metode observasi melalui teknik rekam dan catat. Data yang telah diklasifikasi dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) deiksis bahasa Indonesia dialek ambon terdiri atas pronomina persona pertama tunggal dan jamak, pronomina persona kedua tunggal dan jamak, pronomina persona ketiga tunggal dan jamak, dan pronomina persona leksem kekerabatan; (2) letak deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon pada struktur posesif berada sebelum partikel pung dan diikuti lansung oleh nomina atau frasa nomina. Selain itu, tidak ada bentuk enklitik sebagai pemarkah posesif deiksis persona dalam bahasa Indonesia dialek Ambon; (3) konteks penggunaan deiksis persona bahasa Indonesia dialek ambon dipengaruhi oleh pembicara, lawan bicara, dan situasi pembicaraan. Terkait dengan konteks situasi, penggunaan deksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon dapat di temukan dalam situasi musyawarah, transaksi, diskusi, dan berbincang-bincang. Selain itu, penggunaan deiksis persona tertentu dapat menunjukkan kedekatan antara penutur dan petutur.

Kata kunci: deiksis, pronomina persona, struktur posesif, konteks.

(9)

ix

This study aims to: (1) describe the forms of personal deixes in Indonesian Leanguage with Ambon Dialect; (2) describe the structure of possessive personal deixes in Indonesian leanguage with Ambon Dialect; and (3) explain the context of the use of personal deixes in Indonesian Leanguage with Ambon dialect.

The research was conducted as a descriptive qualitative study. It analysed linguistic phenomenon using the sosiopragmatic approach. The data research were in the form of oral data obtained from communicative interaction in the society of Ambon city and its surroundings. The data were collected from people of various ages who used Indonesian language with Ambon dialect. The data were collected using the method of observation with recording and note- taking techniques. The classified data were analysed using the descriptive qualitative method.

The results show that: (1) the deixes in Indonesian leanguage with Ambon dialect consist of the first singular adan plural personal pronoun, second singular and plural pronoun, third singular and plural personal pronoun, and personal pronouns of kinsip lexeme; (2) the position of personal deixes of Indonesian leanguage with Ambon dialect in the possessive structures is before pung particle and is followed directly by the noun or noun phrase.

Moreover there is no enclitics form as a possessive marker the deixes in Indonesian leanguage with Ambon dialect; and (3) the context of the use of personal deixes in Indonesian language with Ambon dialect is influenced by the speaker, the listener, and the situation of the talks. In relation with the context of situation, the use of personal deixes of Indonesian language with Ambon dialect can be found in the situations of meetings to solve problem, transactions, disscussions, and conversations. In addition, the use of certain personal deixes may indicate proximity between a speaker and a hearer.

Keywords: deixis, personal pronoun, possessive structure, context

(10)

x

HALAMAN PENGAJUAN... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

PRAKATA ...v

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penellitian... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14

A. Hasil Penelitian yang Relevan... 14

B. Landasan Teori ... 18

1. Sosiopragmatik ... 18

2. Pengertian Deiksis ... 31

3. Deiksis Persona ... 35

a. Pronomina Persona Pertama ... 38

b. Pronomina Persona Kedua ... 43

(11)

c. Pronomina Persona Ketiga... 48

4. Struktur Posesif Pronomina Persona ... 53

5. Makna dan Referen ... 55

C. Kerangka Pikir... 62

D. Definisi Operasional ... 65

BAB III METODE PENELITIAN... 66

A. Jenis Penelitian dan Pendekatan ... 66

B. Sumber dan Jenis Data... 66

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 67

D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 67

E. Teknik Analisis Data... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 70

A. Bentuk Deiksis Persona Bahasa Indonesia Dialek Ambon ... 70

1. Pronomina Persona Pertama... 70

a. Pronomina Persoan Pertama Tunggal ... 70

b. Pronomina Persona Pertama Jamak... 74

2. Pronomina Persona Kedua ... 81

a. Pronomina Persona Kedua Tunggal... 81

b. Pronomina Persona Kedua Jamak ... 89

3. Pronomina Persona Ketiga ... 92

a. Pronomina Persona Ketiga Tunggal... 93

b. Pronomina Persona Ketiga Jamak ... 101

4. Pronomina Persona Leksem Kekerabatan ... 105

(12)

B. Struktur Posesif Deiksis Persona Bahasa Indonesia Dialek

Ambon... 123

C. Konteks Penggunaan Deiksis Persona Bahasa Indonesia Dialek Ambon dalam Ranah Sosial Kemasyarakatan ... 134

1. Musyawarah ... 135

2. Transaksi ... 139

3. Diskusi ... 143

4. Berbincang-bincang ... 147

BAB V PENUTUP ... 155

A. Simpulan ... 155

B. Saran... 156

DAFTAR PUSTAKA... 158 LAMPIRAN

(13)

xiii

Ambon... 119 Tabel 4.2 Matriks penggunaan deiksis persona bahasa Indonesia

dialek Ambon ... 122 Tabel 4.3. Struktur Deiksis Persona Bahasa Indonesia Dialek

Ambon... 134 Tabel 4.4. Konteks Penggunaan Deiksis Persona dalam Situasi

Musyawarah... 152 Tabel 4.5. Konteks Penggunaan Deiksis Persona dalam Situasi

Transaksi ... 152 Tabel 4.6. Konteks Penggunaan Deiksis Persona dalam Situasi

Diskusi ... 153 Tabel. 4.7. Konteks Penggunaan Deiksis Persona dalam Situasi

Berbincang-bincang ... 153

(14)

1

A. Latar Belakang

Hubungan sosial antara pembicara (pengirim pesan) dan pendengar (penerima pesan) dapat terjalin melalui komunikasi. Secara sederhana, komunikasi dapat diartikan sebagai peristiwa penyampaian pesan dari pembicara kepada pendengar. Agar pesan tersebut sampai kepada pendengar, seorang pembicara harus menggunakan bahasa yang juga dipahami oleh pendengar. Ketika seorang pembicara menggunakan bahasa yang tidak dipahami dalam komunikasi, pesan yang disampaikan oleh pembicara tidak akan sampai kepada pendengar. Dalam hal ini, bahasa sebagai alat komunikasi memunyai peranan yang sangat penting dalam interaksi sosial. Hal tersebut berlaku juga pada pemilihan kata yang berwujud deiksis karena kata-kata yang deiksis referennya selalu berubah-ubah bergantung pada konteks.

Secara umum, deiksis dalam bahasa Indonesia terdiri atas deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis sosial, dan deiksis wacana.

Namun, dari kelima deiksis ini, deiksis personalah yang intensitas kemunculannya dominan pada setiap percakapan. Hal tersebut ditandai dengan jumlah deiksis persona yang lebih banyak daripada deiksis yang lain. Jika dijumlahkan, sebagaimana yang telah diklasifikasikan oleh Purwo (1984: 36) deiksis persona lebih kurang berjumlah 23 termasuk dengan variasinya, yaitu berupa klitika. Belum lagi terdapat kata-kata

(15)

tertentu yang dapat digunakan sebagai pemarkah deiksis persona, seperti sapaan Bapak, Kakek, Adik, dan sebagainya. Selain itu, dalam suatu konteks tertentu, kata-kata yang menunjukkan lokatif dan demostratif dapat digunakan juga sebagai penanda deiksis persona. Hal ini dapat dilihat pada percakapan telepon yang kadang-kadang menggunakan kalimat “siapa ini?”. Kata ini pada contoh tersebut merupakan penunjukkan terhadap petutur dan berfungsi sebagai deiksis persona kedua tunggal. Kata ini dapat diganti dengan bentuk deiksis kamu sehingga dapat menjadi “siapa kamu”. Oleh karena itu, pemilihan deiksis persona yang tepat dalam komunikasi sangat penting dilakukan, agar komunikasi dapat terjalin dengan baik.

Begitu pentingnya deiksis persona dalam interaksi sosial sehingga menjadi hal yang menarik jika dalam kajian pragmatik ini dihubungkan dengan keadaan sosial suatu masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kajian khusus yang dapat mencakup keduanya. Sosiopragmatik merupakan suatu kajian yang dianggap sesuai karena kajian sosiopragmatik bertumpu pada konteks sosial yang didasarkan pada konteks situasional. Dengan perkataan lain, kajian tentang deiksis persona dengan menggunakan ancangan sosiopragmatik akan memperlihatkan penggunaan deiksis persona dalam situasi sosial yang dihubungkan dengan konteks situasional. Hal ini termasuk dalam penggunaan bahasa Indonesia dialek Ambon yang begitu akrab dipergunakan oleh masyarakat Maluku

(16)

Bahasa Indonesia dialek Ambon merupakan bahasa pengantar dan bahasa perdagangan di Provinsi Maluku. Sebagai bahasa pengantar dan bahasa perdagangan, bahasa Indonesia dialek Ambon sangat populer dipergunakan dalam tindak komunikasi. Kepopuleran bahasa Indonesia dialek Ambon dapat dilihat pada frekuensi penggunaannya di masyarakat yang begitu dominan. Anak-anak yang menggunakan bahasa Indonesia baku dalam komunikasi sehari-hari dianggap sok pintar dan sombong. Selain itu, pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu sebagian besar anak-anak di Maluku adalah bahasa Indonesia dialek Ambon.

Hal tersebut, sejalan dengan yang diungkapkan oleh Asrif (Kepala Balai Bahasa Provinsi Maluku) dalam Seminar dan Dialog Internasional Kemelayuan Indonesia Timur IV 2016 di Universitas Hasanuddin. Beliau mengatakan bahwa masyarakat yang berdomisili di wilayah Provinsi Maluku menggunanakan bahasa Indonesia dialek Ambon untuk berkomunikasi sehari-hari. Keberadaannya sangat populer sehingga penggunaannya mendominasi bahasa daerah. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa terdapat 49 bahasa daerah di Maluku. Namun, bahasa-bahasa daerah tersebut mulai terancam punah. Bahkan, sudah ada beberapa bahasa daerah di Maluku yang sudah punah. Kepunahan bahasa-bahasa daerah tersebut menunjukkan bahwa bahasa Indonesia dialek Ambon sangat populer dipergunakan di kalangan masyarakat Maluku.

(17)

Kepopuleran bahasa Indonesia dialek Ambon sejalan dengan variasi atau keragaman bentuk kata yang dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari. Secara umum bentuk kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia dialek Ambon sama dengan bentuk kata yang terdapat dalam bahasa Indonesia baku. Bentuk kata yang sama tersebut ada yang mengalami perubahan fonem dan ada pula kata yang tidak mengalami perubahan sama sekali. Sebagai contoh kata pantai dalam bahasa Indonesia baku mengalami perubahan fonem pada bahasa Indonesia dialek Ambon menjadi pante. Selain kata-kata yang sama, terdapat pula perbedaan beberapa kata dari segi bentuk, misalnya kata beliau dalam bahasa Indonesia baku menjadi antua dalam bahasa Indonesia dialek Ambon.

Selain itu, bahasa Indonesia dialek Ambon juga berbeda dengan bahasa Indonesia dialek Ternate. Perbedaan tersebut disebabkan oleh suku-suku yang memengaruhi perkembangan dialek Indonesia di Ambon sangat berbeda dari suku-suku yang ada di Ternate. Sebagai contoh, bahasa Indonesia dialek Ambon mendapat pengaruh dari bahasa Indonesia Makassar. Kemudian pada abad ke-16, Portugis menjajah Maluku sehingga cukup banyak kosakata bahasa Portugis masuk ke dalam bahasa Indonesia dialek Ambon. Terakhir, bangsa Belanda masuk juga ke Maluku, yang mengakibatkan cukup banyak kata serapan dari bahasa Belanda yang diterima menjadi kosakata dalam bahasa Indonesia dialek Ambon. Pada zaman Belanda inilah, bahasa Indonesia dialek

(18)

Ambon dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, di gereja- gereja, dan juga dalam terjemahan dari Alkitab.

Meskipun bahasa Indonesia dialek Ambon mendapat pengaruh dari bahasa Portugis dan Belanda, bahasa Indonesia dialek Ambon bukanlah bahasa yang serumpun dengan kedua bahasa tersebut. Hal itu sejalan dengan yang dikatakan oleh Saimima (dalam Indrayani, 2016: 4) bahwa dialek Indonesia Ambon merupakan bahasa yang tergolong sebagai rumpun atau dialek dari bahasa Indonesia standar yang dipertuturkan di wilayah Provinsi Maluku yang mencakup Kota Ambon, Pulau Ambon, Pulau-pulau Lease, yaitu Saparua, Haruku dan Nusa Laut, Pulau Buano, Pulau Manipa, Pulau Kelang, Pulau Seram, Pulau Buru, serta dipakai sebagai bahasa perdagangan atau trade language di Kepulauan Kei, Banda, Kepulauan Watubela, Maluku Tenggara sampai ke Maluku Barat Daya. Sebelum Bangsa Portugis pada tahun 1512 menginjakkan kakinya di Ternate, bahasa Indonesia telah ada di Maluku dan dipergunakan sebagai bahasa perdagangan.

Sebagai bahasa yang banyak mendapatkan pengaruh dari bahasa Portugis dan Belanda, bahasa Indonesia dialek Ambon memiliki beberapa ciri yang berbeda dari dialek bahasa Indonesia yang lain. Ciri khas dari bahasa Indonesia dialek Ambon tersebut salah satunya dalam hal penggunaan kata ganti persona atau deiksis persona. Secara garis besar, penggunaan deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon sama dengan penggunaan deiksis persona bahasa Indonesia baku yang sama-

(19)

sama mencakup deksis persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga. Hal yang berbeda dari bahasa Indonesia dialek Ambon adalah yang berkaitan dengan bentuk, makna, dan rujukan pada setiap kata yang mengandung pemarkah deiksis. Hal tersebut memungkinkan sebuah kata yang termasuk dalam kategori deiksis persona dalam bahasa Indonesia dialek Ambon, dapat memiliki makna dan acuan yang beragam.

Selain perbedaan dari segi bentuk, makna, dan rujukan, penanda posesif (kepemilikan) dalam bahasa Indonesia dialek Ambon pun berbeda dengan bahasa Indonesia baku. Pemarkah posesif dalam bahasa Indonesia baku ditandai dengan bentuk klitika dan pronomina persona selalu berada setelah nomina, sebagai contoh bukuku atau buku saya.

Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dialek Ambon, tidak mengenal adanya bentuk klitika sebagai pemarkah posesif. Selain itu, pronomina persona penanda posesif berada sebelum nomina, sebagai contoh beta pung buku (‘bukuku’ atau ‘buku saya’).

Perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan di atas sangat dipengaruhi oleh situasi sosial yang melekat pada bahasa itu. Dalam hal ini, situasi sosial yang dimaksud terdiri atas beberapa situasi pembicaraan, seperti situasi musyawarah, situasi transaksi, situasi diskusi, situasi berbincang-bincang, dan sebagainya. Konteks situasi ini dapat didukung oleh aspek usia, jenis kelamin, profesi, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemilihan deiksis tertentu dalam bahasa Indonesia dialek Ambon dapat

(20)

menunjukkan perbedaan usia dan tingkat keakraban antarpeserta percakapan.

Deiksis persona yang berupa kata atau frasa tentulah memiliki makna. Makna dari setiap kata atau frasa itu pun bervariasi, ada makna yang secara sebenarnya dimiliki oleh sebuah leksem atau disebut juga makna asli dan ada makna yang terbentuk berdasarkan nilai rasa.

Misalnya, kita menyebutkan kata buaya, maka makna asli dari kata tersebut yaitu ‘binatang berdarah dingin yang merangkak (reptilia) bertubuh besar dan berkulit keras, bernapas dengan paru-paru, hidup di air (sungai, laut). Selain itu, kata buaya juga dapat memiliki makna lain yang bergantung pada nilai rasa orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut, yaitu ‘seseorang yang tidak setia terhadap pasangannya’, sehingga makna kata buaya berkonotasi negatif.

Kata buaya pada contoh di atas, termasuk kata yang maknanya memiliki referen atau kata yang bermakna referensial. Kata yang disebut bermakna referensial jika kata tersebut ada referen atau acuannya. Kata- kata yang deiksis termasuk kata-kata yang bereferen atau yang memiliki acuan, seperi saya, kamu, dia, dan sebagainya, sedangkan kata-kata seperti dan, atau, karena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna refensial karena kata-kata itu tidak memiliki referens.

Berikut ini contoh percakapan dalam bahasa Indonesia dialek Ambon dalam ranah keluarga yang mengandung salah satu bentuk deiksis persona, yaitu deiksis mama.

(21)

Contoh (1) Percakapan:

Anak :mama tua, ada beta pung bapa di sini ka?

(mama tua, ada ayah saya di sini?) Mama tua : tadi ada, tapi skarang antua su pi.

(tadi ada, tapi sekarang beliau sudah pergi) Anak : antua pi mana e?

(beliau pergi ke mana ya?)

Mama tua : seng tau e, ka pante mungkin lia parao.

(tidak tahu, mungkin ke pantai lihat perahu)

Konteks: Percakapan terjadi di sebuah rumah, yaitu antara seorang anak dan seorang bibi dan dalam situasi informal, dengan konteks tuturan si anak mencari ayahnya dengan bertanya kepada bibinya. Pada contoh tersebut tampak bahwa adanya penggunaan bentuk deiksis persona mama tua.

Deiksis persona mama tua pada contoh (1) merupakan deiksis persona kedua tunggal dan merujuk pada lawan bicara si anak atau merujuk kepada si mama tua. Deiksis mama tua bermakna ‘saudara perempuan tertua ayah atau ibu dari si anak’. Deiksis mama tua ini bukanlah bermakna ibu kandung tertua dalam keluarga yang secara biologis memiliki hubungan darah dengan si penutur atau bukanlah ibu kandung dari si anak tersebut. Deiksis mama tua pada percakapan ini adalah sebuah sapaan yang biasa digunakan oleh sebagian masyarakat di Maluku kepada saudara perempuan tertua dari saudara ayah atau ibu.

(22)

Kemudian pada percakapan lain yang mengandung pemarkah deiksis persona “mama” dalam bahasa Indonesia dialek Ambon dalam ranah pasar.

Contoh (2):

Percakapan:

Anak : sabantarmama tutup jualan sandiri lai e.

(sebentar mama tutup jualan sendiri lagi ya) Ibunya : barang se mau pi mana?

(memangnya kamu mau pergi ke mana?) Anak : beta mau pi latihan bola deng tamang-tamang.

(saya mau pergi latihan bola dengan teman-taman) Ibunya : oh iyo, ingatang sabantar jang pulang malam e.

(oh iya, ingat sebentar jangan pulang malam ya) Anak : iyomama.

(iya mama)

Konteks: Percakapan terjadi di sebuah pasar tradisional, yang melibatkan seorang ibu dan seorang anaknya dan dalam situasi yang informal dengan konteks tuturan si anak meminta izin kepada ibunya untuk latihan bola. Pada percakapan ini tampak bahwa adanya penggunaan bentuk deiksis persona mama.

Deiksis mama pada contoh (2) merupakan deiksis persona kedua tunggal dan merujuk pada petutur atau ibu kandung dari si anak yang terlibat dalam percakapan tersebut. Deiksis mama pada contoh (2) bermakna ‘ibu kandung atau ibu yang secara biologis memiliki hubungan darah dengan si penutur’. Kata mama sendiri biasa dipakai oleh sebagian

(23)

besar masyarakat Maluku untuk menyapa atau menyebut orang tua perempuan kandung.

Penjelasan yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa deiksis persona yang terdapat pada bahasa Indonesia dialek Ambon sangatlah bervariasi dalam hal rujukan dan makna. Hal tersebut disebabkan oleh aspek sosial kemasyarakatan yang melekat pada deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon. Artinya, hubungan antara seseorang dan orang lain, antara seseorang dan kelompok, atau antara kelompok dan masyarakat dapat terwujud dalam sebuah tindak komuniksi. Agar komunikasi yang terjalin menjadi baik, pilihan kata yang tepat sangatlah penting. Oleh karena itu, dalam kajian pragmatik ini, dimensi-dimensi sosial akan dilibatkan dalam proses analisis.

Berdasarkan pencermatan penulis sendiri yang dilakukan pada sejumlah hasil penelitian terdahulu, didapatkan bahwa ternyata deiksis yang menjadi objek penelitian itu masih banyak berkutat pada pendeskripsian data yang hanya tampak pada teks. Dengan kata lain, hasil kajiannya belum menyentuh pada aspek yang berada di sekitar deiksis tersebut, seperti aspek sosial. Selain itu, beberapa peneltian tersebut masih secara umum membahas semua jenis deiksis dan belum berfokus pada salah satu deikisis saja.

Berkaitan dengan hal di atas, penulis mencoba meneliti lebih mendalam lagi penggunaan deiksis yang hanya difokuskan pada deiksis pesona yang dipadukan dengan aspek sosial masyarakat Maluku. Hal ini

(24)

dilakukan agar deiksis persona dapat dikaji lebih mendalam, yang tentu saja dengan pertimbangan bahwa bahasa yang digunakan dalam setiap percakapan, selalu memuat penggunaan deiksis persona. Untuk memahami penggunaan bahasa yang bersifat deiksis tersebut, perlu dilakukan suatu kajian. Selain itu, karakteristik penggunaan deiksis persona dalam bahasa Indonesia dialek Ambon sedikit berbeda dengan penggunaan deiksis bahasa yang lain. Untuk maksud tersebut, penelitian ini dilakukan terhadap deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar balakang yang menyatakan bahwa deiksis persona yang terdapat dalam bahasa Indonesia dialek Ambon memiliki karakteristik bentuk, makna, dan rujukan yang variatif, penulis merumuskan beberapa masalah berikut ini.

1. Bagaimanakah bentuk deiksis persona dalam bahasa Indonesia dialek Ambon?

2. Bagaimanakah struktur posesif deiksis persona dalam bahasa Indonesia dialek Ambon?

3. Bagaimanakah konteks penggunaan deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon dalam ranah sosial kemasyarakatan?

(25)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan bentuk deiksis persona dalam bahasa Indonesia dialek Ambon.

2. Mendeskripsikan struktur posesif deiksis persona dalam bahasa Indonesia dialek Ambon.

3. Menjelaskan konteks penggunaan deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon dalam ranah sosial kemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Manfaat teoretis dan praktis dari penelitian ini dapat diuraiakan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pengembangan ilmu kebahasaan, khususnya teori pragmatik dalam bidang deiksis persona yang dilihat dengan pendekatan sosial masyarakat tertentu.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat dari hasil penelitian ini dapat dijelaskan berikut ini.

(26)

a. Pembaca dapat mengetahui jenis-jenis deiksis persona dalam bahasa Indonesia dialek Ambon.

b. Pembaca dapat memahami makna dan rujukan dari setiap deiksis persona dalam bahasa Indonesia dialek Ambon.

c. Pembaca dapat mengetahui struktur posesif deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon.

d. Menjadi bahan rujukan bagi peneliti lain, khususnya yang ingin mengkaji terkait masalah yang relevan dengan penelitian ini; dan e. Menjadi bahan perbandingan bagi penelitian kebahasaan

selanjutnya.

(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian yang Relevan

Dalam peneltian ini akan ditinjau tulisan atau hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, yang sekaligus sebagai hasil peneltian yang relevan. Hasil peneltian yang dimaksud sebagai berikut.

Penelitian tentang deiksis pernah dilakukan oleh Abbas (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Penggunaan Deiksis dalam Drama Perahu Nuh II karya Aspar”. Penelitian ini difokuskan pada wujud penggunaan deiksis dan fungsi acuan penggunaan berbagai bentuk deiksis yang dihubungkan dengan konteks. Hasil penelitian yang dilakukannya tersebut menunjukkan bahwa ada berbagai jenis deiksis yang digunakan dalam drama tersebut. Deiksis yang dimaksud meliputi: persona pertama saya, aku, kami; persona kedua engkau, kau, kamu, kalian; dan persona ketiga dia, ia, -nya. Lebih lanjut, Abbas mengungkapkan dalam peneltiannya bahwa hanya persona ketiga dia, ia, dan –nya yang mengungkapkan tokoh-tokoh misterius dalam drama Perahu Nuh II karya Aspar.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Zamto (2013) dalam bentuk tesis yang juga membahas deiksis. Penelitian tersebut berjudul

“Penggunaan Deiksis dalam Novel Maryamah Karpov karya Andrea Hirata:

Kajian Pragmatik”. Dalam tesisnya, Zamto mendeskripsikan fungsi acuan penggunaan berbagai jenis deiksis yang digunakan dalam konteks yang

14

(28)

terdapat dalam novel Maryamah Karpov karya Andrea Hirata, serta mengungkapkan penggunaan jenis-jenis deiksis dalam novel tersebut.

Dalam penelitiannya dikatakan bahwa pada umumnya, fungsi acuan penggunaan berbagai jenis deiksis pada novel tersebut biasanya bertitik labuh pada pembicara atau tokoh yang berbicara. Tokoh yang berbicaralah yang menentukan atau memberikan makna acuan atau rujukan penggunaan kata-kata yang berisifat deiksis.

Penelitian selanjutnya yang menyangkut deiksis juga dilakukan oleh Aini (2015). Penelitain tersebut berbentuk Tesis dengan judul

“Analisis Deiksis dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi”.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan jenis deiksis dan pembalikan deiksis dalam novel tersebut. Hasil penelitian menujukkan bahwa ditemukan penggunaan deiksis persona pertama tunggal yang bersifat posesif maupun objektif. Selain itu, ditemukan juga deiksis persona pertama jamak, persona kedua tunggal, baik yang bersifat posesif maupun objektif, persona kedua jamak, persona ketiga tunggal, baik yang posesif maupun objektif, dan persona ketiga jamak, baik yang bersifat subjektif, objektif, maupun posesif. Ditemukan pula deiksis ruang yang digunakan dalam bentuk leksem yang bersifat statis dan dinamis yang ditandai dengan penggunan preposisi. Penggunaan deiksis waktu ditemukan dalam bentuk leksem waktu yang menyatakan waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu akan datang. Penggunaan deiksis wacana ditemukan dalam bentuk pemarkah anafora dan katafora persona.

(29)

Penggunaan pembalikan deiksis dalam novel Negeri 5 Menara ditemukan dalam bentuk pembalikan deiksis luar-tuturan dan dalam- tuturan. Pembalikan deiksis luar-tuturan terjadi dalam hal persona. Selain terjadi dalam dalam hal persona, pembalikan deiksis luar-tuturan juga terjadi dalam hal ruang.

Penelitian lain dilakukan juga oleh Syamsurizal (2015) dengan judul penelitian “Deiksis dalam Bahasa Pekal di Kabupaten Bengkulu Utara”.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk deiksis persona, waktu, tempat, dan wacana yang digunakan oleh masyarakat tutur bahasa Pekal di Kecamatan Ketahun dan Napalputih, Kabupaten Bengkulu Utara.

Berdasarkan hasil peneltian yang dilakukan olehnya, ditemukan bentuk deiksis persona pertama tunggal, yaitu akui dan deiksis persona pertama jamak, yakni aok, ‘kami’ kaming, dan kitung ‘kita’; deiksis persona kedua tunggal, yakni ikau, aban/kaban dan mamang; deiksis kedua jamak, yaitu kami siko dan masiko ‘kamu sekalian/kalian’; deiksis persona ketiga tunggal, yakni iyu/iyung ‘ia’, -yung dan ikau; deiksis persona ketiga jamak, yaitu masiko, asiko, dan toboh de. Leksem waktu yang ditemukan di antaranya petang ‘kemarin’, kining ‘sekarang’, tading ‘tadi’, paging ‘besok’, siang, metang ‘sore’, senju ‘senja’, malam, biae ‘pernah’, awit/garang

‘sering, terus ‘selalu’, kadang kaleu ‘kadang-kadang’, biasoyung

‘biasanya’, kining ‘sekarang, kalu ‘kalau’, dan bilu ‘kapan’. Bentuk- bentuk deiksis wacana ialah kata/frasa iko, itu/ tunah, cak iko/cak konah, nyo, yung, cak itu, dan sebagainya. Di antara bentuk-bentuk persona,

(30)

hanya deiksis persona ketiga yang dapat menjadi pemarkah anafora dan katafora. Pemarkah anafora dibedakan antara bentuk yang tunggal (-yung, e) dan bentuk yang jamak (–masiko ‘kalian’, toboh tui ‘mereka’).

Setelah menyimak dan membandingkan aspek-aspek pokok permasalahan pada peneitian ini dengan keempat hasil penelitian sebelumnya, terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Persamaan tersebut dapat dilihat dari segi pendeskrisian pemarkah deiksis. Namun, keempat penelitian tersebut baru sebatas mendeskripsikan bentuk-bentuk deiksis pada bidang kajian masing- masing, tanpa dikaitkan dengan aspek sosial masyarakat tertentu.

Adapun, dalam penelitian ini selain berusaha untuk menemukan bentuk- bentuk deiksis persona, juga dilakukan pendeskripsian bentuk-bentuk deiksis persona yang dikatikan dengan aspek sosial masyarakat di wilayah kota Ambon. Pendeskripsian tersebut untuk mengetahui makna dan rujukan dari tiap-tiap deiksis yang ditemukan. Selain itu, peneltian ini pun berusaha merekonstruksi struktur posesif deiksis persona bahasa Indonesia dialek Ambon. Peneltian ini lebih berfokus pada deiksis persona. Itulah yang menjadi perbedaan paling mendasar dari keempat penelitian sebelunmya dengan penelitian ini.

(31)

B. Landasan Teori 1. Sosiopragmatik

Sosiopramatik merupakan pertemuan antara dua disiplin ilmu, yaitu ilmu sosiologi dan pragmatik (Gusnawati, 2011: 18). Secara etimologi, sosiologi berasal dari bahasa latin, socios dan logos. Socios berarti teman, logos berarti ilmu. Secara etimologi, sosiologi berarti ilmu berteman. Dalam pengertian yang lebih luas, sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi manusia di dalam masyarakatnya. lstilah sosiologi pertama kali digunakan oleh Comte (dalam Nugroho, 2016:167).

Sebagaimana dengan ilmu sosial lainnya, objek studi sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat (Hanum, 2011: 2). Dalam hubungan itu, terjadi interaksi atau hubungan timbal balik antara manusia dengan sesamanya, baik sebagai individu maupun sekaligus sebagai anggota kelompok atau anggota masyarakat dalam budaya yang sama atau berbeda. Interaksi semacam ini dapat terjadi di lingkungan keluarga, di sekolah, dan di masyarakat.

Menurut Zainuddin (2009: 1) ilmu tentang sisiologi telah mengalami banyak perkembangan. Hal ini ditandai dengan banyaknya objek kajian dalam sosiologi sehingga sosiologi mulai terbagi-bagi menjadi, sosilogi politik, sosiologi hukum, sosiologi pendidikan, sosiologi agama, sosiologi kesehatan, dan sebagainya. Lebih lanjut Zainuddin (2009: 2) mengatakan

(32)

bahwa, meskipun terjadi diprensisasi objek kajian sosiologi, semuanya tetap berakar pada sosiologi yang memusatkan perhatian pada kehidupan manusia yang hubungannya dengan lingkungan.

Soekanto (1986: 17) menambahkan bahwa sifat dan hakikat sosiologi mencakup hal-hal berikut ini.

a. Bagian dari rumpun ilmu-ilmu sosial yang berkaitan dengan gejala- gejala kemasyarakatan

b. Pengetahuan yang katagoris, yaitu membatasi diri dengan apa yang terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi

c. Ilmu pengetahuan murni yang bertujuan membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak, bukan ilmu terapan. Namun, dapat diaplikasikan oleh ilmu terapan lainnya

d. Ilmu pengetahuan yang abstrak, artinya yang diperhatikan adalah pola dan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat

e. Bertujuan menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum, sosiologi menilai dan meneliti apa yang menjadi prinsip dan hukum- hukum umum dari interaksi antara·manusia dan perihal sifat, hakikat, isi, dan struktur masyarakat manusia

f. Ilmu pengetahuan yang rasional, terkait dengan metode yang dipergunakannya

g. Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan yang umum dan bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus. Artinya, sosiologi

(33)

mengamati dan mempelajari gejala­gejala umum yang ada pada setiap interaksi dalam masyarakat secara empiris.

Sebagai ilmu sosial yang objeknya masyarakat, sosiologi memunyai ciri-ciri utama yaitu memiliki sifat-sifat berikut ini.

a. Empiris karena didasarkan pada pengamatan terhadap keanyataan- kenyatan sosial dan hasilnya tidak bersifat spekulatif;

b. Teoritis, artinya sosiologi selalu berupaya untuk menyusun kesimpulan dari hasil­hasil observasi untuk menghasilkan teori keilmuan;

c. Kumulatif, artinya teori-teori dalam sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada sebelumnya yang diperbaiki, diperluas serta diperdalarn;

d. Nonetis, artinya sosiologi tidak mempersonalkan baik buruknya fakta tetapi yang lebih penting adalah menjelaskan fakta tersebut secara analitis dan apa adanya.

Berdasarkan hal yang telah dipaparkan, dapat dinyatakan bahwa manusia dalam melakukan interaksi sosial memiliki berbagai keinginan yang menghasilkan sikap-sikap tertentu. Keinginan dan sikap tersebut dapat diwujudkan melalui bahasa yang tentu saja dipengaruhi oleh nilai­nilai dan norma-norma yang terbentuk dalam masyarakat, struktur sosial, pola perilaku, serta tindakan. Dengan demikian, untuk memahaminya diperlukan sebuah pendekatan lain yang dapat dikolaborasikan dengan sosiologi, dalam hal ini adalah pragmatik.

(34)

Pragmatik yang dikenal secara umum adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis dan ditafsirkan oleh pendengar atau pembaca. Pragmatik juga berkaitan dengan kesesuaian makna terhadap suatu tuturan. Hal ini sajalan dengan yang terdapat dalam Depdiknas (2014), disebutkan bahwa pragmatik adalah yang berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan kajian bahasa dalam komunikasi yang berusaha mamahami makna dalam kaitannya dengan situasi tutur.

Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik ini secara berbeda-beda. Yule (2014: 3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Lebih lanjut, Rohmadi (2014: 54) menjelaskan bahwa kajian pragmatik tidak dapat terlepas dari konteks tuturan. Konteks yang dimaksudkan di sini adalah siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, dan dalam situasi apa.

Terkait dengan konteks situasi, Halliday (1994: 16) memberikan padangannya yang terdiri atas tiga unsur, yakni (1) medan wacana, (2) pelibat wacana, dan (3) modus wacana.

(35)

1. Medan wacana (field of discourse) merujuk pada hal yang sedang terjadi pada sifat tindakan sosial yang sedang berlansung: apa sesungguhnya yang disibukkan oleh para pelibat. Menurut Santoso, (2008: 4) untuk menganalisis medan, kita dapat mengajukan pertanyaan what is going on, yang mencakup tiga hal, yakni ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang.

a. Ranah pengalaman merujuk pada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh proses, partisipan, dan keadaan.

b. Tujuan jangka pendek merujuk pada tujuan yang harus segera dicapai. Tujuan itu bersifat amat konkret. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk transaksi, diskusi, berbincang-bindang dan sebagainya.

c. Tujuan jangka panjang merujuk pada tempat teks dalam skema suatu persoalan yang lebih besar. Tujuan tersebut bersifat lebih abstrak. Hal ini dapat diwujudkan melalui proses musyawarah.

2. Pelibat wacana (tenor of discourse) merujuk pada hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat, kita dapat mengajukan pertanyaan who is taking part, yang mencakup tiga hal, yakni peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.

a. Peran terkait dengan fungsi yang dijalankan individu atau masyarakat.

(36)

b. Status terkait dengan tempat individu dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, sejajar atau tidak.

c. Jarak sosial terkait dengan tingkat pengenalan partisipan terhadap partisipan lainnya, akrab atau memiliki jarak. Peran, status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula permanen.

3. Modus wacana (mode of discourse) atau sarana wacana merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan. Untuk menganalisis modus, pertanyaan yang dapat diajukan adalah what’s role assigned to language, yang mencakup lima hal, yakni peran bahasa, tipe interaksi, medium, saluran, dan modus retoris.

a. Peran bahasa terkait dengan kedudukan bahasa dalam aktivitas.

boleh saja bahasa bersifat wajib (konstitutif) atau tidak wajib/penyokong/tambahan. Peran wajib terjadi apabila bahasa sebagai aktivitas keseluruhan. Peran tambahan terjadi apabila bahasa membantu aktivitas lainnya.

b. Tipe interaksi merujuk pada jumlah pelaku, yaitu monologis atau dialogis.

c. Medium terkait dengan sarana yang digunakan, yaitu lisan, tulisan, atau isyarat.

d. Saluran berkaitan dengan bagaimana teks itu dapat diterima, yaitu fonis, grafis, atau visual.

(37)

e. Modus retoris merujuk pada perasaan teks secara keseluruhan, yakni persuasif, kesastraan, akademis, edukatif, mantra, dan sebagainya.

Selain konteks-konteks yang telah dijelaskan, dalam kajian pragmatik, dapat ditemukan berbagai fitur-fitur linguistik yang tentu saja terikat dengan konteks yang ada, seperti konteks sosial, waktu, tempat, suasana, pendidikan, dan budaya. Kajian pragmatik ini menyangkut aspek-aspek maksud dibalik tuturan seseorang. Oleh karena itu, peran konteks tuturan sangat kuat dalam memahami maksud tuturan dalam berkomunikasi.

Menurut Arifin (2013: 12) pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsiran atau interpretasi. Tanda-tanda yang dimasudkan di sini adalah tanda bahasa bukan yang lain. Pengertian/pemahaman bahasa merujuk pada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa, diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya. Berkaitan dengan hal ini, Subagyo (2010: 178) menambahkan bahwa dalam pragmatik konteks merupakan latar belakang pengetahuan apa pun yang diasumsikan bersama baik oleh penutur maupun petutur dan membantu pendengar menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Oleh karena itu, pemahaman bersama atas konteks menjadi dasar pemahaman atas fenomena bahasa. Artinya, dengan memahami konteks, pengguna bahasa dapat menyesuaikan

(38)

kalimatnya dalam setiap percakapan sehingga mudah dipahami oleh peserta percakapan.

Pragmatik sering juga dideskripsikan sebagai suatu kajian tentang bahasa dalam penggunaannya dan sering dibedakan, atau lebih terpatnya dikontraskan dengan kajian atas struktur bahasa. Ini berarti, pragmatik mengkaji struktur bahasa secara eksternal, yakni mengkaji bagaimana satuan kebahasaan digunakan di dalam komunikasi (Baskoro, 2014: 76).

Hal ini menandakan bahwa pragmatik mengkaji bagaimana faktor-faktor kontekstual interaksi dengan makna linguistik dalam interpretasi sebuah tuturan. Kita lihat percakapan pendek berikut ini.

Ayah : “Nak, bagaimana hasil ujianmu tadi?”

Ikot : “dapat 35 saja, Pak.”

Ayah : “Bagus, untuk ujian berikutnya main saja ya.”

Kata “bagus” pada percakapan di atas, apabila dikaitkan dengan konteks komunikasinya, justru mengandung makna sebaliknya, yaitu ‘tidak baik’ atau ‘buruk’. Dengan konteks yang sama pula, pada kalimat “untuk ujian berikutnya main saja ya” justru bermakna ‘jangan hanya main, kamu harus rajin belajar’.

Dari penjelasan contoh percakapan, tampak bahwa pragmatik merupakan ilmu yang mencoba mengkaji bagaimana seseorang dapat memahami dan menghasilkan tindak komunikatif atau tindak tutur dalam sebuah situasi tutur yang konkret. Situasi konkret itu biasanya berupa percakapan (Baskoro, 2014: 76). Kemampuan untuk memahami dan menghasilkan tindak komunikatif itulah yang disebut kompetensi

(39)

pragmatik, yang biasanya berupa pengetahuan tentang status sosial, jarak sosial antarpenutur yang terlibat, pengetahuan linguistik tentang yang tersurat dan tersirat.

Kaitannya dengan status sosial antarpenutur, pilihan kata antara yang sebaya atau seumuran akan berbeda dengan pilihan kata orang tua kepada anak, anak kepada orang tua, dan sebagainya. Pilihan kata tersebut juga dapat menunjukkan tingkat keakraban antarpenutur.

Meskipun penutur dan petutur berstatus sosial sebagai teman sebaya, belum tentu keduanya memiliki hubungan yang akrab. Oleh karena itu, pilihan-pilihan kata tertentu dapat menunjukkan seberapa dekat jarak sosial antarpenutur. Hal tersebut, berpengaruh pada tingkat kesopanan dalam berkomunikasi.

Leech (2011: 206) menyatakan bahwa sopan santun berkenaan dengan hubungan antara dua pemeran serta yang boleh kita namakan diri dan lain. Dalam percakapan, diri biasanya diidentifikasi dengan penutur (n), dan lain lazimnya diidentifikasi dengan petutur (t). Prinsip kesopanan Leech memiliki enam macam maksim, yaitu:

1. Maksim kebijaksanaan, para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun.

(40)

2. Maksim kedermawanan, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.

3. Maksim penghargaan, dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahakan pihak yang lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakn sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain.

4. Maksim kesederhanaan, dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.

5. Maksim pemufakatan, di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat bersikap santun.

6. Maksim simpati, di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak

(41)

yang satu dengan pihak lainya. Sikap antipati terdapat salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. Kesimpatisan terhadap pihak lain sering ditunjukan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya (Rahardi, 2002: 60).

Berdasarkan penjelasan sosiologi dan pragmatik yang telah dipaparkan, sosiopragmatik meliputi kepercayaan antara penutur dan petutur yang dibangun atas nilai-nilai budaya dan nilai-nilai sosial tertentu. Nilai-nilai tersebut penting, karena berupa pemahaman atas peraturan tak tertulis dalam suatu budaya tertentu yang bersifat lokal sehingga kemampuan sosiopragmatik adalah kemampuan menyesuaikan strategi ujaran, termasuk dalam pemilihan kata-kata yang bersifat deiksis pada suatu peristiwa tutur.

Para ahli sosiolinguistik mengatakan bahwa penutur yang terlibat dalam suatu peristiwa tutur, harus memiliki kompetensi komunikatif atau pengetahuan tentang sistem kebahasaan yang dikombinasikan dengan kaidah atau norma-norma yang ada dalam masyarakat agar dapat menggunakan bahasa secara patut dalam suatu situasi tutur. Sementara itu menurut Yule (2014: 3) pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar. Sehingga dapat

(42)

dikatakan bahwa kajian pragmatik berkaitan erat dengan konteks di mana, dalam situasi apa, dan kepada siapa bahasa itu digunakan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Rahardi (2009: 4) menyatakan bahwa sosok konteks yang lebih banyak diperhitungkan dalam kajian pragmatik lebih bercirikan konteks situasi tutur, yakni yang menunjuk pada lokasi dan waktunya, bukan pada entitas sosial dan kulturalnya, sekalipun dalam hal-hal tertentu keterlibatan konteks sosial dan konteks kultural tidak dapat dihindarkan dalam analisis pragmatik. Maka analisis terhadap entias kebahasaan yang menerapkan ancangan pragmatik yang demikian itu lazim disebut dengan analisis kontekstual.

Kajian pragmatik data kebahasaan harus sungguh dikaji dan diinterpretasi dengan melibatkan dan memperhitungkan konteks yang sifatnya spesial (berkaitan dengan tempat) dan temporal (berkaitan dengan waktu (Rahardi, 2009: 4). Dimensi tempat dan dimensi waktu bagi munculnya sebuah entitas kebahasaan itu dekat sekali berhubungan dengan maksud-maksud penutur dalam menuturkan entitas kebahasaan tertentu. Jadi, memang demikian itulah sesungguhnya hakikat dari konteks di dalam pragmatik. Sebuah entitas kebahasaan harus selalu dilihat, dicermati, diinterpretasi maknanya dengan memperhatikan, mempertimbangkan, dan memperhitungkan balutan-balutan konteks yang melingkupi dan mewadahinya, termasuk yang ada hubungannya dengan keadaan sosial suatu masyaratakat.

Tujuannya adalah agar maksud penutur dapat dipahami dengan setepat-

(43)

tepatnya. Oleh karena itu, kehadiran sosiopragmatik sebagai sebuah pendekatan yang dapat menelaah penggunaan bahasa pada masyarakat yang dikaitkan dengan keadaan sosial masyarakat tersebut sangatlah penting.

Istilah sosiopragmatik sendiri mulai berkembang di Prancis pada akhir tahun 1980-an sebagai bentuk analisis gaya baru yang mencoba menjembatani oposisi tradisional antara individu dan kolektif. Hal ini dapat diartikan bahwa bentuk analisis ini mencoba melepaskan diri dari pertentangan antara individu dan masyarakat.

Menurut Nurjamily (2015: 9) sosiopragmatik adalah telaah terhadap kondisi-kondisi masyarakat lokal yang lebih khusus mengenai penggunaan bahasa. Sebagai kondisi penggunaan bahasa yang ditarik dari situasi sosial, hal tersebut meliputi kajian bentuk bahasa dan fungsi sosial bahasa dalam latar sosial tertentu.

Lebih lanjut, Raimonda (2016: 236) mengakatakan bahwa tuturan yang terdapat pada lingkungan sosial tertentu akan berbeda dengan lingkungan sosial yang lain. Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan olehnya terhadap tuturan komunitas gamer online di Kota Solo.

Ia menemukan bahwa persentase kemunculan jenis tindak tutur berserta fungsinya yang dominan, berbeda antara satu lokasi peneltian dengan lokasi penelitian lainnya. Tiap-tiap lokasi penelitiannya memiliki ciri khas sendiri.

(44)

Berkaitan dengan pemaparan tersebut, sosiopragmatik mempelajari ilmu yang mengkaji bentuk tuturan untuk memahami maksud penutur sesuai dengan konteks sosialnya, misalnya konteks jenis kelamin, profesi, latar budaya, suku, adat-istiadat, perilaku atau gaya hidup.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kajian sosiopragmatik merupakan kajian pragmatik yang menggunakan pendekatan sosial.

Selain itu, kajian sosiopragmatik menganalisis aspek-aspek makna suatu peristiwa tindak tutur yang ditinjau dari konteks situasi pertuturan dan konteks sosial budaya tempat bahasa itu digunakan.

2. Pengertian Deiksis

Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang berarti

‘menunjuk’ atau ‘menunjukkan’ atau secara harfiah berarti hal penunjukkan secara lansung. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukkan’ disebut ungkapan deiksis (Yule, 2014: 13).

Dalam Depdiknas (2014) deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya. Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Cummings (2007: 31) menambahkan bahwa deiksis mencakup ungkapan-ungkapan dari kategori-kategori gramatikal yang memiliki keragaman sama banyaknya.

Sementara itu, (Usman 2013: 2) mengatakan bahwa deiksis adalah suatu

(45)

cara untuk mengacu pada hakikat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan

Lebih lanjut, Khayatun (2014: 15) menambahkan bahwa deiksis merupakan kata atau satuan unit linguistik yang rujukan atau maknanya bergantung pada konteks (sosial atau linguistik). Menurut Setyorini (2015:

421) deiksis adalah kata yang tidak memiliki referen yang tetap (tetapi berubah-ubah) seperti kata saya, sini, sekarang. Misalnya dalam dialog antara A dan B, saya secara bergantian mengacu kepada A atau B. Kata sini mengacu kepada tempat yang dekat dengan penutur, kata sekarang mengacu kepada waktu ketika penutur sedang berbicara.

Purwo (1984: 1) menambahkan bahwa sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, bergantung pada siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Kata-kata yang lazim disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjukkan sesuatu sehingga keberhasilan suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur, sedikit banyak akan bergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur (Nadar, 2009: 55). Deiksis digunakan pula untuk menunjukkan siapa penuturnya, apa yang dimaksud dalam tuturan, dan kapan waktu dalam tuturan tersebut sesuai konteks kalimatnya.

Deiksis berdasarkan prototipe adalah penggunaan pronomina demonstratif, pronomina persona I dan II, kala, temporal khusus dan lokasi

(46)

(misalnya sekarang, di sini) dan termasuk ciri-ciri gramatikal yang terikat lansung di dalam situasi tuturan (Djajasudarma, 2012: 50). Oleh karena itu, kata atau konstruksi yang bersifat deiksis hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan.

Deiksis dapat berupa lokasi (tempat), identifikasi orang, objek peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang diacu dalam hubungan dimensi ruang dan waktu pada saat dituturkan oleh pembicara atau lawan bicara (Djajasudarma, 2012: 51). Identitas pengujar menjadi akar referensi untuk kata aku dan kata kamu. Selain itu, kata yang tidak bersifat deiksis adalah apabila acuannya tidak berpusat orientasi pada pembicara. Prinsip deikisis sebagai suatu pernyataan berbeda dengan pesan dan menekankan pada referensi ucapan yang tergantung pada nosi (buah pikiran).

Deiksis berhubungan erat dengan cara menggramatikalisasikan ciri-ciri konteks ujaran atau peristiwa ujaran yang berhubungan pula dengan interpretasi tuturan yang sangat bergantung pada konteks tuturan itu sendiri (Djajasudarma, 2012: 51). Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata

(47)

atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora.

Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian.

Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.

Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.

Untuk lebih memahami deiksis, perlu dibedakan kata-kata yang tidak deiksis dan kata-kata yang deiksis. Kata yang tidak deiksis atau statis adalah kata yang walaupun acuan atau referennya diganti, muatan semantisnya tidak berubah-ubah. Salah satu contohnya dapat terlihat pada kata yang menyatakan waktu dengan menggunakanan waktu kalender atau jam, seperti tahun 2015, 7 September 1991, 27 Rajab 1435 H, pukul 05.00. Apabila ditinjau dari titik 0 (nol), jarak waktu antara titik tersebut dengan peristiwa yang ditempatkan dalam waktu oleh suatu unsur deiksis tidaklah berubah.

(48)

Kata yang deiksis atau dinamis adalah kata yang memiliki makna yang jelas apabila dihubungkan dengan suatu acuan atau referen. Apabila referennya diganti, muatan semantisnya juga berubah. Salah satu contohnya dapat terlihat pada unsur bahasa yang menyatakan waktu, seperti sekarang, tadi, nanti, hari ini, kemarin, besok, dan sebagainya.

Kata-kata tersebut dapat memiliki makna temporal yang jelas apabila dihubungkan dengan suatu referen berupa saat pengujaran. Saat pengujaran inilah yang dilambangkan dengan titik nol. Untuk mengetahui apakah suatu peristiwa terjadi bersamaan, sebelum, atau saat pengujaran dapat terlihat pada kejelasan titik nol. Sama halnya dengan deiksis yang berupa kata-kata penunjuk atau demonstratif. Si pembicara berada pada titik nol dan segala sesuatu diarahkan pada sudut pandangnya. Dengan kata lain, si pembicara merupakan pusat deiksis yang menimbulkan pengertian ‘jauh dan dekat’ terhadap deiksis itu dan ini. Kata itu menunjuk pada tempat yang jauh dari pusat deiksis, sedangkan kata ini menunjuk pada tempat yang dekat dengan pusat deiksis.

3. Deiksis Persona

Dalam penelitian ini digunakan istilah deiksis persona yang dikemukakan oleh Yule (2014: 15). Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah

(49)

persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan sandiwara (Djajasudarma, 2009: 52). Menurut Syamsurizal, (2015: 232) istilah persona disebut juga pronomina persona atau pronomina orang.

Pronomina persona merupakan pronomina yang memunyai kadar kedeiksisan yang tinggi karena mengacu pada orang (dalam hal ini orang merupakan penutur sebagai pusat orientasi deiksis yang menentukan referen yang akan ditunjuk dalam tuturan) (Rahyono, 2011: 250).

Pronomina persona juga paling produktif digunakana dalam tuturan.

Pronomina persona yang digunakan dalam tuturan menyatakan identitas penutur dan mitra tutur. Setiap bentuk pronomina tersebut menunjukkan status sosial antara si penutur dengan mitra tutur (Rahyono, 2011: 14).

Menurut Sudaryat (2009: 122) deiksis persona merupakan pronomina persona yang bersifat ekstralingual yang berfungsi menggantikan suatu acuan (antesetden) di luar wacana. Dalam kategori deiksis persona yang menjadi kriteria adalah peran/peserta dalam peristiwa berbahasa itu. Deiksis persona juga diartikan sebagai kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain atau untuk menggantikan nomina lain (Ramaniyar, 2015: 200).

Menurut Yule (2014: 15) untuk mempelajari ungkapan-ungkapan deiksis, kita harus menemukan pergantian percakapan tiap-tiap orang dari kedudukannya sebagai saya menjadi kamu secara konstan. Penggunaan sistem deiksis persona dalam percakapan atau tindak komunikasi tidak

(50)

hanya harus menguasai kaidah bahasanya, tetapi juga harus memerhatikan latar belakang budaya bahasa tersebut. Tanpa memerhatikan dua hal ini, dapat dimungkinkan tindak komunikasi tidak akan berhasil. Sebagai contoh, seorang mahasiswa Amerika menggunakan bentuk kamu untuk memanggil seorang dosen di Indonesia.

bentuk tersebut dirasa kurang tepat karena bentuk pronomina persona tersebut umumnya digunakan oleh seorang pembicara yang memunyai hubungan akrab dengan lawan bicara atau dari orang yang lebih tua ke yang muda. Sementara itu, ada bentuk lain yang sama-sama untuk merujuk pada orang kedua tapi khusus untuk memanggil seorang dosen yaitu bapak atau ibu sehingga apabila bentuk kamu yang dipilih, komunikasi akan terganggu bahkan mungkin terputus.

Deiksis persona juga ada yang berbentuk monomorfemik dan polimorfemik. Deiksis yang monomorfemik dibentuk oleh satuan gramatikal yang terdiri atas satu morfem. Deiksis yang polimorfemik dibentuk oleh satuan gramatikal yang terdiri dari dua morfem atau lebih.

Polimorfemik dapat dibentuk dari suatu proses morfologis, reduplikasi dan komposisi atau kata majemuk.

Sehubungan dengan ketepatan pemilihan bentuk deiksis persona, maka harus diperhatikan fungsi bentuk-bentuk pronomina persona. Ada tiga bentuk pronomina persona, yaitu (1) pronomina persona pertama, (2) pronomina persona kedua, (3) pronomina persona ketiga.

(51)

a. Pronomina Persona Pertama

Pronomina persona pertama adalah kategorisasi rujukan pembicara kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain, pronomina persona pertama merujuk pada orang yang sedang berbicara. Pronomina persona pertama dibagi menjadi dua, yaitu pronomina persona tunggal dan pronomina persona pertama jamak.

1. Pronomina Persona Pertama Tunggal

Pronomina persona pertama tunggal yang monomorfemik yaitu aku, saya dan bentuk –ku dan ku-. Bentuk-bentuk tersebut hanya terdiri atas satu morfem. Untuk bentuk polimorfemik deiksis pronomina persona pertama tunggal ditandai dengan pereduplikasian bentuk monomorfemiknya, misalnya saya-saya. Bentuk polimorfemik tersebut digunakan untuk memberikan warna emosi negatif (seperti kejengkelan, kejemuan) atau depresiatif (Purwo, 1984: 36).

Contoh:

1) Mengapa hanya saya-saya saja yang diberikan tugas berat seperti ini.

Setiawan (1997: 82) menyatakan bahwa pronomina persona pertama aku merupakan pronomina yang sebenarnya (asli), sedangkan bentuk saya merupakan pronomina persona pinjaman dari bentuk sahaya. Bentuk aku memunyai dua variasi bentuk, yang disebut klitika, yaitu ku- dan -ku sedangkan bentuk saya tidak memunyai variasi bentuk. Berdasarkan distribusi sintaksisnya bentuk

(52)

ku- merupakan bentuk lekat kiri atau disebut dengan proklitik, sedangkan bentuk -ku merupakan bentuk lekat kanan atau disebut enklitik yang biasanya dapat ditemukan dalam konstruksi posesif.

Selain digunakan dalam konstruksi posesif, bentuk –ku dapat pula menduduki fungsi objek yang berperan objektif (Purwo, 1984: 27).

Contoh:

2) “Dia masih saja menatapku dengan tatapan yang sinis.”

Bentuk ku- sebagai bentuk lekat kiri dalam hal pemakaiannya sama sekali berbeda dengan bentuk –ku lekat kanan. Bentuk ku- umumnya diletakkan pada kata yang terletak disebelah kirinya, dalam rangkain verba dan mengisi gatra konstituen pelaku.

Contoh:

3) “Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih nyata.”

Selain bentuk pronomina persona, digunakan pula nama-nama orang untuk menunjuk persona pertama tunggal (Samsuri, 1987: 238).

Anak-anak biasa memakai nama diri untuk merujuk pada dirinya, misalnya seorang anak bernama Ikot. Suatu ketika dia ingin makan dan dia mengucapkan “Ikot mau makan” yang berarti ‘Aku mau makan’

(bagi diri Ikot). Akan tetapi apabila kalimat itu diucapkan oleh seorang ayah atau seorang ibu dengan nada bertanya seperti “Ikot mau makan?” maka Ikot tidak lagi merujuk pada pembicara tetapi merujuk kepada persona kedua tunggal (mitra tutur).

(53)

Dalam hal pemakaiannya, ada perbedaan bentuk persona pertama saya dan aku. Bentuk saya adalah bentuk yang formal dan umumnya dipakai dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Untuk tulisan formal pada buku nonfiksi, pidato, sambutan bentuk saya banyak digunakan bahkan pemakaian bentuk saya sudah menunjukkan rasa hormat dan sopan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bentuk saya dipakai dalam situasi nonformal. Selain itu, kata saya dipakai juga dalam corak bahasa yang akrab ataupun yang adab/sopan, kalau pembicara menyertakan ketakziman. Dalam corak bahasa itu diindahkan “jarak psikologis” diantara pembicara dengan lawan bicara. Orang yang belajar bahasa Indonesia lebih aman memakai kata saya dalam situasi formal maupun informal, karena kata saya tidak bermarkah dan lebih bersifat netral (tidak mempertimbangkan akrab atau tidak) (Djajasudarma, 2009: 53).

Sebaliknya dengan bentuk aku lebih banyak dipakai dalam situasi yang tidak formal serta lebih menunjuk keakraban antara pembicara dan lawan bicara, kalau pembicara tidak mengutamakan faktor ketakziman. Dalam corak bahasa ini tidak terdapat “jarak psikologis” antara pembicara dengan yang diajak bicara (lawan bicara).

Dengan kata lain, bentuk saya tak bermarkah (unmarked), sedangkan bentuk aku bermarkah keintiman (marked intimacy) (Djajasudarma, 2009: 52).

(54)

Contoh:

4) “Aku pasti akan datang. Jangan risau tentang itu”.

5) “Aku harap aku betul tentang semua itu”.

6) “Ah bukan saya yang berkata seperti itu”.

7) “saya suka membaca buku sastra dan bahasa”.

Bentuk pronomina persona pertama aku pada kalimat (4) dan (5) bernada akrab dan digunakan dalam situasi yang tidak formal, sedangkan bentuk saya pada kalimat (6) dan (7) digunakan dalam tuturan yang bernada formal.

2. Pronomina Persona Pertama Jamak

Bentuk monomorfemik pronomina persona pertama jamak yaitu kami dan kita. Kedua bentuk tersebut hanya terdiri dari satu morfem saja. Untuk bentuk polimorfemik pronomina persona pertama jamak, dapat berupa hasil reduplikasi bentuk monomorfemiknya, misalnya kami-kami. Bentuk polimorfemik tersebut juga digunakan untuk memberikan warna emosi negatif atau depresiatif.

Contoh:

8) Kami-kami ini yang selalu kena tegur, sementara yang lain tidak pernah.

Bentuk dan fungsi persona pertama tunggal berbeda dengan bentuk dan fungsi pronomina persona pertama jamak. Bentuk pronomina persona jamak meliputi kami dan kita. Dalam bahasa Inggris, baik untuk merujuk kami dan kita hanya menggunakan satu

Referensi

Dokumen terkait

Hasil rataan pada Tabel 2, untuk jumlah daun pada pengamatan 7 dan 11 MSP menunjukkan pengaruh yang sama, yaitu media dengan konsentrasi air kelapa 50 ml/l merupakan media

Inti Sebelum peserta didik memahami pentingnya peranan lembaga peradilan, guru dapat menjelaskan secara umum dasar hukum peranan lembaga peradilan di Indonesia. Peserta didik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) strategi pembelajaran berpengaruh terhadap keterampilan berpikri krtisi mahasiswa, sehingga strategi integrasi

Metode analisis penelitian ini menggunkan analisis linier berganda.Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa : (1) variabel sistem penggajian

Pembina akan memberikan materi dengan cara memperagakan isyarat kode-kode alphabet dan numerik dari buku saku menggunakan bendera semaphore kepada siswa.. Siswa

Kedua : Pedoman Pendidikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya tahun akademik 2016/2017 diperuntukkan bagi mahasiswa angkatan 2016, sedangkan

Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diungkapkan, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui perbedaan pemahaman konsep

(3) Angsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilakukan secara teratur dan berturut-turut dengan dikenakan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan dari