• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN KUOTA IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus: PT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN KUOTA IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus: PT."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN KUOTA IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA

PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus: PT. XYZ Rumpin Bogor)

Geby Satriya Puma Rinda NIM. 11150920000057

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M/1442 H

(2)

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN KUOTA IMPOR SAPI BAKALAN TERHADAP DAYA SAING USAHA

PENGGEMUKAN SAPI POTONG (Studi Kasus: PT. XYZ Rumpin Bogor)

Geby Satriya Puma Rinda NIM. 11150920000057

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 M/1442 H

(3)

PENGESAHAN UJIAN

(4)

SURAT PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR- BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, 5 Juli 2021

Geby Satriya Puma Rinda NIM. 11150920000057

(5)

RIWAYAT HIDUP

Data Diri

Nama : Geby Satriya Puma Rinda Jenis Kelamin : Lak-laki

Tempat/Tanggal Lahir : Gunung Kidul, 05 Mei 1997 Kewarganegaraan : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jalan Damai PDK III No. 77, RT/RW:11/02 Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan

No. HP : 081310591400

Email : gebysatria55@gmail.com

IPK : 3,47

Riwayat Pendidikan

2002-2003 : TK Ekadiyasa

2003-2009 : SD Negeri 09 Jakarta

2009-2012 : SMP Negeri 29 Kota Jakarta Selatan 2012-2015 : SMA Negeri 90 Kota Jakarta Selatan

2015-2021 : S-1 Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

(6)

vi Pengalaman Organisasi dan Prestasi

2015 – 2016 : Anggota Departemen Minat Bakat Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta 2016 : Finalis Paper Competition PADMAKSATRIA VII

2016 – 2017 : Kepala Departemen Sosial Kemasyarakatan Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta

2017 – 2019 : Sekertaris Umum Majelis Pertimbangan Agung (MPA) Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI) 2018 – 2019 : Anggota Bidang Perekonomian Dewan Eksekutif

Mahasiswa UIN Jakarta

Pengalaman Kerja

2016 : Surveyor Pemilihan Gubernur DKI Jakarta

2017 : Tim Quick Count Pilkada DKI Jakarta Kel. Marunda 2018 : PT. Karya Anugerah Rumpin (Divisi Feed Control) 2019 : Tim Saksi Pemilihan Presiden dan Legislatif DKI Jakarta 2019 : Halal Network International HPAI (Volunteer)

2019 : Ismaya Group (Event Staff) 2019 : Pouch Nation (Event Staff)

2020 : Big Bad Wolf Book Sale (Volunteer)

2018 - 2021 : Arifudin & Susanto Partnership (ASP) Law Firm (Internship)

(7)

RINGKASAN

Geby Satriya Puma Rinda, Dampak Kebijakan Pembatasan Kuota Impor Sapi Bakalan Terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus:

PT. XYZ, Rumpin Bogor). Dibawah bimbingan Lilis Imamah Ichdayati dan Dewi Rohma Wati.

Sejak tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang merupakan kesepakatan antar negara ASEAN untuk menyatukan perekonomian ASEAN yang berarti menyepakati pembebasan arus barang, jasa, tenaga kerja, investasi dan modal. Selain itu, untuk kesepakatan di bidang pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) yang kemudian dalam rangka AANZFTA (Agreement Establishing the ASEAN Australia New Zealand Free Trade Area) telah disepakati dengan adanya penururan tarif bea masuk. Kesepakatan di bidang pertanian antar negara ASEAN dan Australia New Zealand salah satunya adalah kerja sama ekonomi Indonesia dengan Australia dalam bidang ekspor impor sapi bakalan. Kerja sama ini penting karena penyediaan daging sapi di Indonesia belum mampu memenuhi jumlah permintaan daging sapi nasional.

PT. XYZ merupakan salah satu perusahaan yang menggunakan sapi impor bakalan sebagai input produksinya, tetapi kuota dari impor sapi bakalan PT. XYZ dibatasi oleh intervensi atau kebijakan dari pemerintah guna menjaga kestabilan harga serta produksi didalam negeri. Sehingga muncul pertanyaan tentang bagaimana daya saing PT. XYZ setelah kebijakan pembatasan kuota impor itu di berlakukan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak dari kebijakan pembatasan kuota impor sapi bakalan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di PT. XYZ yang dilihat dari beberapa indikator menggunakan metode Policy Analysis Matriks (PAM).

Berdasarkan hasil analisis, nilai PCR>DRC sebesar 0,57 dan 0,50 yang artinya, dengan diberlakukannya kebijakan pembatasan kuota impor sapi bakalan menimbulkan dampak pada perusahaan, yaitu PT. XYZ lebih banyak menerima keuntungan ketika tidak ada intervensi atau kebijakan. Namun dalam hal ini dengan adanya kebijakan tersebut PT. XYZ juga tetap berdaya saing dalam usaha penggemukan sapi potong.

Kata Kunci : Daya saing, impor sapi bakalan, kebijakan & PAM.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Dampak Kebijakan Pembatasan Kuota Impor Sapi Bakalan Terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong (Studi Kasus: PT.

XYZ, Rumpin Bogor)”. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan peranan banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta dan juga kakak kandung penulis atas do’a, kasih sayang, saran dan dukungan yang selalu diberikan, sehingga semua menjadi lebih mudah.

2. Kepada kedua dosen pembimbing saya, Ibu Dr. Lilis Imamah Ichdayati, selaku dosen pembimbing 1 dan Ibu Dewi Rohma Wati, S.P., M.Si. selaku dosen pembimbing 2 yang telah membimbing penulis dengan baik dan memberikan kritik dan saran yang membangun sehingga membantu penulis dalam menyusun penelitian ini.

3. Bapak Nashrul Hakiem,S.Si.,M.T.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

4. Bapak Akhmad Mahbubi, S.P, M.M, Ph.D selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Ibu Rizki Adi Puspita Sari, S.P. M.M. selaku Sekretaris Prodi Agribisnis yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

(9)

ix 5. Seluruh dosen, staff dan karyawan Program Studi Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat yang telah memberikan ilmu, pengalaman, dan kenangan selama perkuliahan maupun di luar perkuliahan.

6. Teman–teman Agribisnis angkatan 2015 yang senantiasa memberi dukungan, motivasi dan keceriaan kepada penulis.

7. Serta semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu;

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna.

Namun melalui bimbingan dan pengujian skripsi yang telah dilewati maka menjadikan skripsi ini lebih baik dan bermanfaat, serta menambah wawasan bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 5 Juli 2021

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

PENGESAHAN UJIAN ... x

SURAT PERNYATAAN ... xi

RIWAYAT HIDUP ... v

RINGKASAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Penggemukan Sapi Potong ... 11

2.2 Perdagangan Internasional ... 13

2.3 Daya Saing ... 14

2.3.1 Keunggulan Komparatif ... 16

2.3.2 Keunggulan Kompetitif ... 17

2.4 Kebijakan Pemerintah Terkait Perdagangan Internasional ... 19

2.4.1 Kebijakan Harga Output ... 20

2.4.2 Kebijakan Harga Input ... 25

(11)

xi

2.5 Teori Matriks Kebijakan (Policy Analysis Matrix) ... 29

2.6 Penelitian Terdahulu ... 31

2.7Kerangka Pemikiran ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 39

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 40

3.4 Metode Pengolahan Data ... 41

3.5 Policy Analysis Matrix (PAM) ... 42

3.5.1 Analisis Keuntungan ... 45

3.5.2 Analisis Efisiensi (Keunggulan Kompetitif dan Komparatif) ... 47

3.5.3 Dampak Kebijakan Pemerintah... 49

3.5.4 Alokasi Komponen Input dan Output ... 57

3.5.5 Penetapan Harga Sosial Input dan Output ... 57

3.6 Definisi Operasional... 62

BAB IV USAHA TERNAK SAPI POTONG PT. XYZ ... 66

4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan ... 66

4.2 Letak Geografis Perusahaan ... 67

4.3 Struktur Organisasi Perusahaan ... 68

4.4 Struktur Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong PT. XYZ ... 70

4.5 Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Usaha Penggemukan Sapi Potong PT. XYZ ... 73

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 83

5.1 Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Usaha Penggemukan Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 83

5.2 Indikator - indikator PAM pada Usaha Penggemukan Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 86

5.2.1 Analisis Daya Saing PT. XYZ ... 87

5.2.2 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ... 89

(12)

xii

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 96

6.1 Kesimpulan ... 96

6.2 Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98

LAMPIRAN ... 102

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Populasi Ternak Besar di Indonesia Tahun 2014-2018 ... 2

2. Permintaan Daging Sapi Indonesia 2014-2018 ... 3

3. Total Impor Sapi Bakalan di Pulau Jawa Tahun 2014-2018... 6

4. Klasifikasi Kebijakan Harga Pemerintah ... 21

5. Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu... 34

6. Policy Analysis Matrix (PAM) ... 43

7. Alokasi Komponen Tradable & Non Tradable PT. XYZ ... 57

8. Variabel Usaha Penggemukan Sapi Potong Berdasarkan PAM ... 62

9. Investasi Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 74

10. Biaya Variabel Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 75

11. Biaya Tetap Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 75

12. Penerimaan Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 75

13. Keuntungan Privat Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 75

14. Investasi Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 80

15. Biaya Variabel Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 81

16. Biaya Tetap Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 81

17. Penerimaan Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 81

18. Keuntungan Sosial Usaha Ternak Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018... 81

19. PAM Usaha Penggemukan Sapi Potong PT. XYZ Tahun 2018 ... 85

20. Indikator-Indikator PAM pada PT. XYZ Tahun 2018 ... 87

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pajak dan Subsidi pada Input Tradable ... 26

2. Pembatasan dan Penambahan Kuota pada Input Tradable ... 27

3. Pajak dan Subsidi pada Input Non-Tradable ... 28

4. Kerangka Pemikiran ... 38

5. Struktur Organisasi PT. XYZ ... 69

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar Pertanyaan Wawancara ... 103

2. Shadow Exchange Rate (SER) Tahun 2018 ... 104

3. Penentuan Harga Sosial Sapi Bakalan (Input) ... 104

4. Penentuan Harga Sosial Sapi Potong (Output) ... 104

5. Usaha Penggemukan Sapi Potong di PT. XYZ Tahun 2018 Berdasarkan Harga Privat ... 105

6. Usaha Penggemukan Sapi Potong di PT. XYZ Tahun 2018 Berdasarkan Harga Sosial ... 106

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang merupakan kesepakatan antar negara ASEAN untuk menyatukan perekonomian ASEAN yang berarti menyepakati pembebasan arus barang, jasa, tenaga kerja, investasi dan modal. Selain itu, untuk kesepakatan di bidang pertanian (Agreement on Agriculture/AoA), yang merupakan bagian dari Kesepakatan Umum dibidang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tarif and Trade/GATT). Adanya pembebanan tarif bea masuk atas barang impor

berdasarkan Harmonized System tahun 2012 dari negara anggota ASEAN, Australia dan Selandia Baru. Kemudian, dalam rangka AANZFTA (Agreement Establishing the ASEAN Australia New Zealand Free Trade Area) mulai pada

tahun 2014 sampai dengan tahun 2020 telah disepakati skema penurunan tarif bea masuk (Lestari dkk, 2017:102).

Kesepakatan di bidang pertanian antar negara ASEAN salah satunya adalah kerja sama ekonomi Indonesia dengan Australia dalam bidang ekspor impor sapi bakalan. Kerja sama ini penting karena penyediaan daging sapi di Indonesia tidak mampu memenuhi jumlah permintaan daging sapi nasional.

Selama periode Januari-September 2017 sapi bakalan impor yang beredar di Indonesia didominasi dari tiga negara asal yaitu Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat yaitu sebesar 169.208 ton (Ditjen PKH, 2018:78). Australia merupakan negara eksportir terbesar daging sapi ke Indonesia dengan 85.000 ton

(17)

2 atau sekitar 50,24% dengan nilai perdagangan mencapai US$296,3 juta (Kementerian Pertanian, 2018: 21).

Sapi potong yang menjadi penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia (hewan pemamah biak) terhadap produksi daging nasional

menjadikan usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Hal tersebut menjadi prioritas dalam pembangunan peternakan sejalan dengan wacana swasembada daging yang direncanakan oleh pemerintah.

Perkembangan populasi ternak besar di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Populasi Ternak Besar di Indonesia Tahun 2014-2018

Komoditi Jumlah Populasi (000 ekor) Pertumbuhan 2014 2015 2016 2017 2018 (%)

Sapi Potong 14.727 15.420 15.997 16.429 17.050 3,7

Sapi Perah 503 519 534 540 550 2,2

Kerbau 1.335 1.347 1.355 1.322 1.356 0,4

Kuda 428 430 424 409 421 (0,4)

Jumlah 16.993 17.716 18.310 18.700 19.377 3,33

Sumber: Ditjen PKH (2018:83)

Berdasarkan Tabel 1, populasi ternak besar di Indonesia didominasi dengan komoditi sapi potong. Dimana dapat dilihat dari tahun 2014-2018 jumlah populasi sapi potong meningkat sebesar 3,7%. Pada 2014 sapi potong memiliki populasi sebanyak lebih dari 14 juta ekor, dan meningkat menjadi lebih dari 17 juta ekor sapi pada tahun 2018.

Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2018:74), pertumbuhan produksi daging sapi lokal hanya dapat terpenuhi sebesar 30% dari permintaan daging sapi nasional. Jumlah populasi sapi potong dalam negeri yang

(18)

3 ada saat ini belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi yang terus meningkat. Laju permintaan daging sapi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi dan Ketersediaan Daging Sapi Indonesia 2014-2018 Uraian

(Ton) 2014 2015 2016 2017 2018 Pertumbuhan (%) Produksi Lokal 497.670 506.661 518.484 486.320 496.302 (0,06)

Impor 76.887 50.309 116.761 118.646 160.600 20,2

Permintaan 568.617 605.220 596.613 623.404 662.541 3,9 Ketersediaan 4.940 (48.250) 38.632 (18.438) (5.639) - Sumber: Ditjen PKH, (2018:74) (diolah)

Berdasarkan Tabel 2, permintaan daging sapi di Indonesia dari tahun 2014-2018 mengalami peningkatan yang fluktuatif sebesar 3,9%. Dari hasil tersebut menjelaskan adanya peningkatan konsumsi daging sapi dari tahun 2014- 2018. Hal ini selain dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh peningkatan pengetahuan pentingnya protein hewani. Menurut Purnomo dkk (2017:485) pola konsumsi masyarakat berubah yang semula banyak mengkonsumsi karbohidrat beralih mengkonsumsi protein dari daging, telur dan susu, hal tersebut diharapkan dapat menciptakan pola hidup sehat. Pertumbuhan permintaan konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2014-2018 sebesar 3,9%

belum mampu dipenuhi oleh produksi lokal yang mengalami pertumbuhan sebesar – 0,06%. Oleh karena itu, pemerintah melakukan impor sapi bakalan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional.

Menurut Agus dan Ayuningsasi (2016:758) bahwa selain dikarenakan penawaran domestik yang tidak terpenuhi, ternyata faktor harga impor yang lebih murah dari harga domestik juga mempengaruhi kecenderungan untuk mengimpor bahan pangan. Kecenderungan impor dalam beberapa tahun terakhir tidak

(19)

4 terkendali dan cenderung obral impor, sehingga dampaknya peternak sapi lokal menjadi sulit untuk bertahan. Minimnya pengetahuan sebagian peternak tentang usaha ternak sapi potong menyebabkan rendahnya produktivitas dan efisiensi peternakan yang diusahakan. Keadaan ini tidak hanya menyebabkan rendahnya pendapatan peternak, tetapi secara umum akan menyebabkan rendahnya produksi daging sapi secara nasional.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait pembatasan kuota impor sapi bakalan yaitu Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Permentan/PK.440/2/2017 Tentang Pemasukan Hewan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia ayat (2) pasal 7 yang berbunyi bahwa: “setiap hewan ternak yang masuk ke dalam negeri harus dicantumkan jumlah indukan dan bakalan dengan rasio perbandingan jumlah indukan dan bakalan 1:5 untuk pelaku usaha dan 1:10 untuk koperasi peternak atau kelompok peternak”. Diharapkan dengan kebijakan ini Indonesia dapat mengurangi impor sapi bakalan dan dapat mengontrol keberlangsungan para pelaku usaha peternak sapi lokal.

Kebijakan pembatasan kuota impor sapi bakalan dapat mempengaruhi proses produksi para pelaku usaha penggemukkan sapi bakalan (feedloter). Hal tersebut sama seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), dikutip oleh Yuniartha dalam majalah online Kontan 08 Juli 2018 bahwa importir sapi bakalan (feedloter) tidak akan sanggup menjalankan kebijakan tersebut, jika dipaksakan satu per satu perusahaan akan menutup bisnisnya. Peningkatan produksi lokal memang prioritas utama, namun

(20)

5 impor sapi dalam bentuk daging beku dan sapi bakalan masih tetap diperlukan demi memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia.

Berdasarkan kebijakan tersebut menjadikan suatu hal yang dilematis bagi pemerintah dan para pelaku usaha penggemukan sapi potong, karena impor sapi bakalan untuk selanjutnya digemukan pada usaha penggemukan sapi ternyata tetap menjadi pilihan dibandingkan harus mengimpor daging sapi beku, hal ini dikarenakan kualitas daging sapi beku yang diimpor belum sebanding dengan daging sapi fresh jika dilihat dari kualitas dagingnya (Prasetyo dkk, 2009: 24).

Selain itu, di sisi lain ternyata usaha penggemukan sapi dalam negeri secara tidak langsung memiliki potensi dalam meningkatkan daya saing domestik dibandingkan hanya dengan melakukan impor daging sapi karena Indonesia memiliki potensi dalam hal usaha penggemukan sapi potong.

Indonesia memiliki beberapa wilayah unggulan untuk produksi sapi potong yaitu provinsi NTT/NTB, Jawa Timur dan Jawa Barat. Tingginya hasil produksi dari Jawa Barat disebabkan karena daerah ini menjadi salah satu sentra dan juga fokus pemerintah menerapkan kebijakan swasembada sapi di samping Jawa Timur dan NTT/NTB. Karenanya, Jawa Barat diharapkan dapat memenuhi permintaan daging sapi di Indonesia. Namun, kebutuhan konsumsi daging sapi di Jawa Barat dan DKI Jakarta masih kekurangan dan masih ditopang sebagian besar oleh impor sapi bakalan (Kementerian Pertanian, 2018:14). Berdasarkan kondisi demikian, pemerintah berinisiatif mengawali upaya untuk meningkatkan produksi ternak sapi potong dalam negeri khususnya di Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu sentra produksi daging sapi sehingga ke depan kebutuhan

(21)

6 daging sapi impor dalam negeri dapat dikurangi.Total impor sapi bakalan di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Total Impor Sapi Bakalan di Pulau Jawa Tahun 2014-2018

Sumber: Ditjen PKH (2018:155) (diolah)

Pada Tabel 3 terlihat bahwa impor sapi bakalan di Pulau Jawa pada tahun 2014-2018 mengalami penurunan sebesar 35,5%. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah tertinggi yang melakukan impor sapi bakalan hingga tahun 2017, namun terjadi penurunan drastis pada tahun 2018 sebesar 41%. Hal ini mengakibatkan, tingkat produksi sapi potong menurun dikarenakan banyaknya pelaku usaha penggemukkan sapi potong di Jawa Barat yang menggunakan sapi bakalan impor sebagai input produksinya (Karina dkk, 2015:277).

Salah satu perusahaan yang bergerak dibidang penggemukan sapi potong yang berada di Jawa Barat adalah PT. XYZ yang menggunakan sapi bakalan impor sebagai input produksinya. Kebijakan pembatasan kuota impor sapi bakalan menyebabkan terjadinya hambatan dalam pengadaan sapi bakalan impor sehingga, harga sapi bakalan impor yang merupakan input utama usaha penggemukan sapi potong meningkat. Pelaku usaha mengurangi jumlah produksi yang berdampak pada penurunan pendapatan. Harga sosial atau harga dimana semua kebijakan atau intervensi dari pemerintah ditiadakan, diperlukan untuk mengetahui bagaimana dampak atau peranan dari kebijakan pembatasan kuota impor sapi bakalan

Wilayah Tahun (ekor) Pertumbuhan

2014 2015 2016 2017 2018 (%)

DKI Jakarta 93.232 98.466 125.365 25.083 27.020 (26,6) Jawa Barat 318.120 219.545 257.350 220.670 38.413 (41) Jawa Tengah 94.137 78.458 88.161 72.110 72.831 (6,2) DI. Yogyakarta 7.265 23.860 24.250 24.900 25.000 36,2

Jawa Timur 461 462 2.938 4.420 5.067 82,0

Jumlah 973.754 882.329 498.064 347.183 168.331 (35,5)

(22)

7 terhadap usaha penggemukan sapi potong di PT. XYZ. Struktur biaya dalam usaha penggemukan sapi potong memiliki peranan penting demi keberlangsungan suatu usaha, dengan struktur biaya dapat ditentukan harga sosial maka dapat diketahui juga keuntungan sosial atau keuntungan yang diperoleh dari harga dengan tanpa adanya suatu kebijakan.

Semakin terbatasnya input yang tersedia akan mempengaruhi proses produksi usaha penggemukan sapi potong sehingga berdampak pada tingkat keunggulan kompetitif dan komparatif usaha penggemukan sapi potong pada PT.

XYZ. Kondisi tersebut memaksa setiap perusahaan menciptakan metode penggemukan sapi masing-masing dalam upaya mengungguli persaingan di pasar.

Mengetahui harga dan keuntungan berdasarkan harga sosial dalam suatu usaha sangat diperlukan, untuk menunjang kegiatan usaha dan kebijakan pemerintah.

Keunggulan secara kompetitif maupun komparatif sangat perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam situasi seperti ini, karena tingkat keunggulan kompetitif dan komparatif dapat mencerminkan tingkat daya saing usaha penggemukan sapi potong yang terjadi pada PT. XYZ, Rumpin Bogor.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dinamika yang terjadi pada usaha penggemukan sapi potong Indonesia dan khususnya di wilayah Jawa Barat yang digambarkan oleh PT. XYZ memiliki tingkat daya saing (keunggulan kompetitif dan kompartif). Maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

(23)

8 1. Bagaimana nilai keuntungan privat dan sosial serta tingkat daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha penggemukan sapi potong pada PT. XYZ

2. Bagaimana dampak kebijakan pembatasan kuota impor sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi potong pada PT. XYZ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis nilai dari keuntungan privat dan sosial serta tingkat daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usaha penggemukan sapi potong PT.

XYZ.

2. Menganalisis dampak dari kebijakan pembatasan kuota impor sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi potong PT. XYZ.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut:

1. Bersifat Teoritis:

a. Syarat untuk lulus strata satu di Program Studi Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mendapatkan gelar Sarjana Pertanian.

b. Untuk kepentingan peneliti dalam rangka menerapkan ilmu yang diperoleh selama proses belajar pada Program Studi Agribisnis, khususnya menambah kemampuan dalam memahami aspek Teori Matriks Kebijakan (Policy Analysis Matrix), analisis daya saing serta keunggulan kompetitif dan komparatif.

(24)

9 2. Bersifat Praktis:

a. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dari sektor peternakan khususnya usaha penggemukan sapi potong, yaitu dengan menetapkan kebijakan yang mendukung kinerja usaha penggemukan sapi potong di Indonesia khususnya Provinsi Jawa Barat.

b. Memberikan informasi kepada para pelaku usaha yang bergerak dalam usaha penggemukan sapi untuk meningkatkan kinerja dan daya saing usaha di Provinsi Jawa Barat.

c. Menambah khasanah literatur mengenai studi usaha penggemukan sapi di Indonesia bagi pihak yang berkepentingan sehingga dapat menambah wawasan baru bagi masyarakat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian mengambil studi kasus pada PT. XYZ Rumpin Bogor dengan asumsi bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan dengan usaha penggemukan sapi potong yang memiliki kapasitas maksimal ±4000 ekor. Dengan semakin ketatnya peraturan atau kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tentang ternak sapi maka semakin ketat juga para pelaku usaha untuk melakukan proteksi hal-hal yang dianggap penting oleh para pelaku usaha.

Penelitian ini menggunakan Analisis Matriks Kebijakan (Policy Analysis Matrix). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Microsoft Excel 2016. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data struktur biaya unutk

(25)

10 mengetahui besaran atau nilai dari harga sosial dan keuntungan sosial pada usaha penggemukan sapi potong PT. XYZ yang terkena dampak kebijakan pembatasan kuota impor sapi bakalan dan bagaimana dampak kebijakan terhadap daya saing usaha (keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif) penggemukan sapi potong.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggemukan Sapi Potong

Sapi potong merupakan jenis sapi yang diarahkan untuk memproduksi daging, oleh karena itu penggemukan yang dilakukan bertujuan untuk mencapai bobot badan secara maksimal (Darmono, 2007:16). Menurut Meat and Livestock Australia Limited (2012:1) bahwa penggemukan sapi potong didefinisikan sebagai

suatu lokasi/kandang yang dilengkapi oleh fasilitas pakan dan minuman, baik secara manual ataupun mekanis berguna bagi peningkatan produksi.

Penggemukan sapi potong menjamin formula pakan konsentrat yang digunakan untuk mencapai target berat badan pada suatu periode tertentu. Produk utama peternakan sapi potong adalah daging, tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut dipengaruhi oleh faktor genetis ternak itu sendiri dan faktor lingkungan (Rianto dan Purbowati, 2011:39).

Penggemukan sapi potong merupakan usaha yang umumnya dilakukan dalam waktu singkat karena mempercepat perputaran modal (Yulianto dan Saparinto, 2010:135). Ada berbagai sistem penggemukan sapi, namun yang biasa diterapkan di Indonesia adalah dry lot fattening yaitu sistem penggemukan sapi yang ditempatkan dalam kandang sepanjang waktu dengan pemberian pakan konsentrat sebagai porsi utama ransum yang diberikan (Siregar, 2013:27).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa penggemukan ternak sapi sebenarnya merupakan usaha mengubah bentuk protein pakan menjadi protein hasil ternak yang dapat dimanfaatkan oleh manusia (Murtidjo, 2008:56).

(27)

12 Sapi tipe pedaging memiliki ciri-ciri antara lain tubuh dalam, besar dan berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya maksimum dan mudah untuk dipasarkan, laju pertumbuhannya cepat serta efisiensi pakannya tinggi (Santoso, 2012:46). Sapi jantan maupun sapi betina dapat digunakan sebagai bakalan dalam usaha penggemukan sapi, namun sapi jantan lebih diminati dari pada sapi betina karena pertambahan bobot badannya lebih cepat dibandingkan dengan sapi betina (Siregar, 2008:11). Selain itu, di Indonesia ada peraturan mengenai larangan memotong sapi betina produktif. Sumber sapi bakalan yang dapat digunakan untuk usaha penggemukan yaitu sapi lokal, sapi impor dan jenis sapi hasil persilangan (Brahman Cross).

Sapi bakalan Brahman Cross impor yang dipelihara dan digemukkan di Indonesia banyak berasal dari Australia. Ciri khas yang membedakan sapi Brahman Cross dengan bangsa yang lain ialah ukuran tubuh besar, dengan

kedalaman tubuh sedang, warna abu-abu muda, tapi ada pula yang merah atau hitam. Warna pada jantan lebih gelap daripada yang betina. Kepalanya panjang, telinganya bergantung, ukuran tanduk sedang, lebar, dan besar. Ukuran ponok pada jantan lebih besar dari pada yang betina. Sapi ini merupakan jenis sapi potong terbaik di daerah tropis (Abidin, 2002:16). Walaupun tumbuh dan berkembang di negeri empat musim namun mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan yang baru, tahan terhadap panas dan gigitan serangga. Potensi kenaikan bobot badan harian 0,8 - 1,2 kg/hari, lama penggemukan sekitar 3 - 4 bulan dengan bobot bakalan sekitar 250 - 300 kg, persentase karkas 54,2% (Fikar dan Ruhyadi, 2010:11).

(28)

13 Sapi Brahman Cross didatangkan dengan cara impor dari Australia. Sapi jenis ini membutuhkan adaptasi yang baik karena terdapat perbedaan lingkungan pemeliharaan antara daerah asalnya yang memiliki iklim subtropis dan Indonesia yang beriklim tropis. Kegiatan impor dilakukan dalam rangka penyelesaian permasalahan nasional, yakni produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan. Menurut Soeharsono, dkk (2010) dalam Muslim, dkk (2013:18) sapi Brahman Cross dipelihara untuk pembibitan sapi bakalan bagi usaha penggemukan karena sapi Brahman Cross mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan sapi lokal bila dipelihara dengan ransum berbahan baku pakan lokal.

2.2 Perdagangan Internasional

Perdagangan Internasional merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh setiap negara (Salvatore, 2014:57). Tidak ada satupun negara dapat berada dalam kondisi tanpa adanya hubungan perdagangan ekonomi dengan negara lain. Hal ini terjadi oleh karena setiap negara tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya secara mandiri. Perdagangan internasional dapat terjadi jika adanya perbedaan sumber dan daya yang dimiliki oleh tiap negara, juga kemampuan suatu negara untuk memproduksi suatu barang maupun jasa.

Perdagangan antara dua negara atau lebih dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam segi permintaan dan penawaran. Menurut Nopirin (2014) dalam Mahdani (2018:8) perbedaan permintaan dapat disebabkan oleh perbedaan pendapatan dan selera, adapun perbedaan penawaran lebih disebabkan oleh

(29)

14 perbedaan jumlah dan kualitas dari faktor produksi, kemajuan teknologi yang dimiliki, dan faktor eksternal lain. Gagasan utama terjadinya perdagangan internasional adalah adanya perbedaan karunia sumber-sumber daya yang dimiliki oleh setiap negara. Hal ini merupakan suatu landasan teori yang sangat berpengaruh dalam ilmu ekonomi internasional.

Menurut Supardi (2019:7) manfaat adanya perdagangan internasional bagi suatu negara antara lain, adalah :

1. Dapat menjual kelebihan barang di suatu negara ke negara lain yang membutuhkan dengan harga yang lebih baik.

2. Memperluas pasar serta mendapatkan keuntungan tambahan dalam bentuk devisa.

3. Menjalin persahabatan antar negara.

4. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

5. Memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa di dalam negeri.

6. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi baik keahlian, sumber alam, teknologi maupun hal-hal lainnya yang tidak dimiliki negara lain.

7. Memungkinkan terjadinya pertukaran teknologi antara negara maju dan negara berkembang.

2.3 Daya Saing

Daya saing merupakan salah satu kriteria untuk menentukan keberhasilan dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara dalam peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Daya saing diidentifikasi

(30)

15 dengan masalah produktifitas, yakni dengan melihat tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktifitas ini disebabkan oleh peningkatan jumah input fisik, modal, tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan teknologi (Porter (1990) dalam Abdullah (2002:11)).

Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak (1992) dalam Irawati dkk, 2015:4). Dengan kata lain daya saing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik.

Usaha peternakan di Indonesia dihadapkan pada persaingan yang semakin ketat. Di dalam negeri sendiri, usaha peternakan rakyat yang mengusahakan secara komersial bersaing dengan usaha penggemukan sapi (feedlot) pada tingkat perusahaan yang mengaplikasikan teknologi pakan dalam usahanya, sedangkan di luar negeri, perdagangan bebas menjadi salah satu tantangan terbesar produk- produk peternakan Indonesia seperti daging sapi dan susu. Adanya berbagai kesepakatan perdagangan yang diikuti oleh Indonesia memberikan sinyal bahwa produk-produk pertanian termasuk produk perternakan harus memiliki daya saing, untuk menghadapi persaingan bebas secara global.

(31)

16 2.3.1 Keunggulan Komparatif

Menurut Boediono (1997) dalam Mahdani (2018:9) suatu negara hanya akan mengekspor barang yang mempunyai keunggulan komparatif tinggi, dan mengimpor barang yang mempunyai komperatif yang rendah. Adanya keunggulan komparatif bisa menimbulkan manfaat perdagangan (gains from trade) kepada kedua belah pihak dan selanjutnya akan mendorong timbulnya

perdagangan antar negara. Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage).

Menurut Salvatore (2014:58) teori keunggulan komparatif Ricardo kemudian disempurnakan oleh Haberler (1936) yang mengemukakan konsep keunggulan komparatif yang berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory). Biaya dari satu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik

yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan pertama. Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori Heckscher-Ohlin (1933) yang menekankan pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori H-O menganggap bahwa setiap negara akan mengekspor komoditas yang relatif intensif menggunakan faktor produksi yang melimpah karena biayanya akan cenderung murah, serta mengimpor komoditas yang faktor produksinya relatif langka dan mahal.

(32)

17 Simatupang (1995) dalam Sudiyarto (2006:3), mengemukakan bahwa untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dapat dilakukan dengan strategi pengembangan agribisnis dalam konsep industrialisasi pertanian yang diarahkan pada pengembangan agribisnis sebagai suatu sistem keseluruhan yang dilandasi prinsip-prinsip efisiensi dan berkelanjutan, dimana konsolidasi usahatani diwujudkan melalui koordinasi vertikal sehingga produk akhir dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir.

Menurut Saptana, dkk (2003:5) keunggulan komparatif bersifat dinamis, artinya suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan memberdayakan secara optimal sehingga dapat bersaing dengan negara lain. Dengan kata lain, keunggulan komparatif adalah suatu keunggulan yang dimiliki oleh suatu organisasi untuk dapat membandingkannya dengan yang lainnya. Maka keunggulan komparatif adalah keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh organisasi seperti SDM, fasilitas, dan kekayaan lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan organisasi atau perpaduan keunggulan beberapa organisasi untuk mencapai tujuan bersama (Badudu-Zain (1994) dalam Sahban (2018:76)).

2.3.2 Keunggulan Kompetitif

Menurut Radhi (2010:1) untuk dapat memenangkan persaingan di pasar global, setiap bisnis dituntut untuk mengelola teknologi dalam menciptakan keunggulan bersaing (competitive advantages). David (2009:123) menggambarkan keunggulan kompetitif sebagai suatu keadaan dimana ketika sebuah perusahaan dapat melakukan sesuatu sedangkan perusahaan lain tidak,

(33)

18 atau ketika sebuah perusahaan memiliki sesuatu yang diinginkan pesaingnya.

Untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, perusahaan harus secara terus-menerus beradaptasi dengan tren dan kejadian ekternal, kemampuan, kompetensi, dan sumber daya internal, serta secara efektif memformulasikan, mengimplementasi, dan mengevaluasi strategi yang mengambil keuntungan dari faktor-faktor tersebut. Keunggulan kompetitif berkelanjutan merupakan sarana perusahaan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu kinerja yang menghasilkan keuntungan tinggi. Pada intinya, manajemen strategi adalah tentang bagaimana memperoleh dan mempertahankan keunggulan kompetitif. Istilah ini dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang dapat dilakukan dengan jauh lebih baik oleh perusahaan bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pesaing”.

Menurut Rustan (2019:135) keunggulan kompetitif yang berkelanjutan merupakan salah satu bentuk dari strategi bagi para aktor ekonomi untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Pelaku usaha dikatakan memiliki keunggulan kompetitif ketika pelaku usaha tersebut memiliki sesuatu yang tidak dimiliki para pesaing lain. Memfokuskan untuk keberlangsungan keunggulan kompetitif yang dimiliki dapat dilakukan dengan cara efektivitas operasional.

Efektivitas operasional jika dikombinasikan dengan strategi yang tepat adalah jalan untuk mencapai keunggulan kompetitif. Efektivitas operasional menjadikan para pelaku usaha menampilkan sesuatu yang lebih baik dan tidak dimiliki oleh pesaing. Hal ini dapat dilakukan melalui memanfaatkan dan mengefisienkan proses input produksi, misalnya dengan mengurangi cacat pada produk dan

(34)

19 menghasilkan produk dengan waktu yang lebih cepat dan lebih baik dari para pesaing.

2.4 Kebijakan Pemerintah Terkait Perdagangan Internasional

Kebijakan pemerintah saat ini masih tetap diimplementasikan dalam perdagangan baik perdagangan domestik maupun internasional, khususnya oleh negara-negara yang sedang berkembang. Kebijakan pemerintah tersebut diterapkan dalam rangka meningkatkan stabilitas produk dalam negeri ataupun sebagai usaha meningkatkan ekspor untuk memperbesar devisa suatu negara.

Menurut Mustopadidjaya (2002:62), kebijakan adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam:

1) Pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan.

2) Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan.

Kebijakan pemerintah yang dimaksud yaitu diberlakukan terhadap input seperti sapi bakalan, pakan ternak, tenaga kerja, maupun output berupa sapi yang mengakibatkan adanya perbedaan antara harga input atau output yang diterima produsen dengan harga yang seharusnya diterima pada kondisi tanpa intervensi pemerintah atau pada pasar persaingan sempurna. Pada akhirnya kebijakan

(35)

20 pemerintah yang diterapkan pada input dan output akan mempengaruhi daya saing suatu komoditas.

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk membatasi jumlah impor dan meningkatkan jumlah ekspor sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri (Purnastuti dan Mustikawati, 2006:71). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada tiga bentuk yaitu berupa pajak dan subsidi, hambatan perdagangan dan pengendalian langsung. Dalam hal pajak, aliran sumber daya mengalir kepada pemerintah, sedangkan dalam hal subsidi aliran sumberdaya berasal dari pemerintah. Hambatan perdagangan internasional adalah berupa tarif dan kuota.

Sementara itu, pengendalian langsung harus disertai dengan hambatan perdagangan atau pajak dan subsidi agar kebijakan tersebut bisa efektif (Pearson, dkk, 2005:9).

2.4.1 Kebijakan Harga Output

Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi mapun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO).

Klasifikasi kebijakan harga pemerintah yang diterangkan oleh Monke dan Pearson (1995) dalam Nurtini dan Mujtahidah (2014:36) digambarkan pada Tabel 4.

(36)

21 Tabel 4. Klasifikasi Kebijakan Harga Pemerintah

Instrumen Dampak Pada Produsen Dampak Pada Konsumen Kebijakan Subsidi

• Tidak merubah harga pasar domestik

• Merubah harga pasar domestik

Subsidi Pada Produsen - Pada barang-barang

subtitusi impor (S+PI ; S-PI) - Pada barang-barang

orientasi ekspor (S+PE ; S-PE)

Subsidi Pada Kosumen - Pada barang-barang

subtitusi impor (S+CI ; S-CI) - Pada barang-barang

orientasi ekspor (S+CE ; S-CE) Kebijakan

Perdagangan (merubah harga pasar domestik)

Hambatan pada barang impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor (TCE)

Sumber: Monke and Pearson (1995) dalam Nurtini dan Mujtahidah (2014:36)

Keterangan:

S+ = Subsidi S- = Pajak

PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang subtitusi impor CI = Konsumen barang subtitusi impor CE = Konsumen barang subtitusi ekspor TCE = Hambatan barang ekspor

TPI = Hambatan barang impor

Tabel 4 menunjukkan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama, tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan perdagangan.

Kedua, kelompok penerima, meliputi produsen atau konsumen. Dan ketiga, tipe komoditas yang berupa komoditas dapat diimpor atau dapat diekspor.

1. Tipe Instrumen

Kebijakan pemerintah tipe instrumen, dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Apabila dibayar dari pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan dibayar untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau

(37)

22 produsen dalam negeri (Monke dan Pearson (1995) dalam Nurtini dan Mujtahidah (2014:36)).

Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Untuk barang yang diimpor misalnya dapat dilakukan dengan menekan tarif per unit (pajak impor) maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi kuantitas yang diimpor dan meningkatkan harga domestik di atas harga internasional. kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah yang diekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar dunia/harga internasional. Kebijakan subsidi dan perdagangan berbeda dalam tiga aspek : (Monke dan Pearson (1995) dalam Nurtini dan Mujtahidah (2014:36-37)).

a. Implikasi Pada Anggaran Pemerintah

Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah dan subsidi negatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah.

(38)

23 b. Tipe Alternatif Kebijakan

Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor (PE) dan barang subtitusi impor (SI) yaitu:

1) Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) 2) Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) 3) Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) 4) Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) 5) Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) 6) Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) 7) Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) 8) Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)

Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan lebih rendah demikian halnya bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan sebelum ada kebijakan subsidi positif, sedangkan penerapan subsidi negatif (pajak) akan membuat harga yang diterima produsen lebih rendah, dan jika diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum subsidi negatif (pajak) diterapkan.

Pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan perdagangan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE), Aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang

(39)

24 efektif untuk mengontrol penyelundupan, sedangkan dampak dari perluasan ekspor atau impor (lawan dari hambatan perdagangan pada ekspor dan impor) tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan, namun kegiatan ini merupakan kebijakan subsidi bukan kebijakan perdagangan.

c. Tingkat Kemampuan Penerapan

Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas tradable maupun komoditas non tradable, sedangkan kebijakan perdagangan

hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable).

2. Kelompok Penerima

Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan dimaksudkan untuk konsumen atau produsen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan ketika konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian. Pada kondisi seperti ini menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang, maka keuntungan yang akan diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita.

Oleh karena itu manfaat yang diperoleh kelompok tertentu (konsumen, produsen atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari

(40)

25 kelompok lainnya (Monke dan Pearson (1995) dalam Nurtini dan Mujtahidah (2014:37)).

3. Tipe Komoditas

Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga pasar internasional dimana untuk barang yang dapat diekspor digunakan adalah harga FOB (free on board/ harga dipelabuhan ekspor) dan untuk barang yang dapat diimpor digunakan harga CIF (cost insurance freight/ harga di pelabuhan impor).

Kebijakan harga yang ditetapkan pada output dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan yang berupa tarif kuota. Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan harga barang, jumlah barang, surplus produsen dan surplus konsumen berubah (Monke dan Pearson (1995) dalam Nurtini dan Mujtahidah (2014:38)).

2.4.2 Kebijakan Harga Input

Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif

dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input domestik (non tradable) hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri (Monke dan Pearson (1989) dalam Novianto (2012:32)).

(41)

26 1. Kebijakan Input Tradable

Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Pajak dan Subsidi pada Input Tradable

Sumber: Monke and Pearson (1989) dalam Novianto (2012:33)

Keterangan:

S-II = Pajak untuk Input Impor S+I = Subsidi untuk Input Impor

Gambar 1(a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat output yang sama output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang dalah sebesar ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1-C-A-Q2 dengan ongkos produksi dari output Q2-B-C-Q1. Gambar 1(b) menggambarkan dampak subsidi input yang menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva suplai bergeser ke bawah (S1) dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilangdari produksi adalah sebesar ABC yaitu

Q P

P

D C

B A

S

Q2 Q1 S1

Q P

P

D C

A

S1

Q1 Q2 S

B

(a) S-II (b) S+I

I

(42)

27 perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output dengan peningkatan nilai input.

Teori mengenai pajak dan subsidi tersebut dapat juga terjadi dalam keadaan lain. Kebijakan yang mengenai input tradable tidak hanya berupa pajak atau subsidi, namun ada kebijakan tentang kuota. Kebijakan kuota ini dapat merupakan kebijakan pembatasan kuota input ataupun penambahan kuota input tergantung dengan kondisi yang terjadi. Dapat digambarkan pengaruh dari kebijakan pembatasan kuota ataupun penambahan kuota sebagai berikut.

Gambar 2. Pembatasan dan Penambahan Kuota pada Input Tradable

Sumber: Monke and Pearson, 1989

Keterangan:

S-II : Kebijakan pembatasan kuota S+II : Kebijakan penambahan kuota

Gambar 2(a) menunjukkan pengaruh pembatasan kuota terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pembatasan pada input menyebabkan biaya

produksi khususnya biaya tetap yang digunakan tetap sama, tetapi output yang dihasilkan menjadi sedikit karena input yang digunakan menurun. Output domestikpun turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai bergeser ke atas atau ke kiri.

(a) S-II (b) S+II

Q P

P

D C

B A

S

Q2 Q1 S1

Q P

P

D C

B A

S1

Q1 Q2

S

(43)

28 Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1-C-A-Q2 dengan ongkos produksi dari output Q2-B-C-Q1. Gambar 2(b) menggambarkan dampak penambahan kuota input yang menyebabkan biaya produksi yang digunakan dapat dipakai seoptimal mungkin karena sesuai dengan kapasitas yang ada sehingga kurva suplai bergeser ke bawah atau ke kanan dan produksi naik dari Q1 ke Q2.

2. Kebijakan Input Non Tradable

Pada input non tradable kebijakan pemerintah meliputi kebijakan pajak dan subsidi karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi dalam negeri, sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non tradable.

Ilustrasi mengenai kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Pajak dan Subsidi pada Input Non-Tradable

Sumber: Monke and Pearson (1989) dalam Novianto (2012:34)

Keterangan:

S-N = Pajak untuk Barang Non Tradable S+N = Subsidi untuk Barang Non Tradable

P

Pp

D S

Q1 Q2

Q3

A C

D

B

Pd Pc

Q Q P

Pc

D S

Q2 Q1

Q3

A C

D

Pd Pp Pp’

(a) S-N (b) S+N

N

(44)

29 Pada Gambar 3(a), keseimbangan awal berada pada titik A dengan tingkat output sebesar Q1 dan pada tingkat harga Pd. Adanya pajak (Pc-Pp) menyebabkan produksi yang dihasilkan turun menjadi Q2, harga yang diterima produsen menurun menjadi Pp, dan harga yang harus dibayar konsumen meningkat menjadi Pc. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada Gambar 3(b), keseimbangan awal berada pada titik A dengan tingkat harga Pd dan output sebesar Q1. Adanya subsidi, menyebabkan produk meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc.

Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.

2.5 Teori Matriks Kebijakan (Policy Analysis Matrix)

Menurut Pearson, dkk (2005:22) PAM (Policy Analysis Matrix) digunakan untuk mengkaji dampak kebijakan harga maupun kebijakan investasi pertanian.

Analisis ini digunakan oleh para ahli ekonomi pertanian untuk melakukan pengkajian tentang pengaruh kebijakan harga dan kebijakan investasi. Menurut Pearson, dkk (2005:23-24), terdapat tiga tujuan dari analisis PAM yaitu:

1. Menghitung tingkat keuntungan privat sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual.

(45)

30 2. Menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity cost).

3. Menghitung transfer effect sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan biaya, untuk selanjutnya dinamakan sebagai budget sebelum dan sesudah penerapan kebijakan.

Matriks PAM terdiri atas dua identitas, identitas keuntungan (profitability identity) dan identitas penyimpangan (divergences identity). Baris pertama

mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keunggulan ekonomi dan daya saing (komparatif), yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah, sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi (Pearson dkk, 2005:25-29).

Hasil analisis PAM dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu perusahaan atau negara memiliki daya saing yang tinggi atau rendah dalam suatu sistem produksi komoditi dilihat dari teknologi dan wilayah tertentu, serta bagaimana suatu kebijakan dapat memperbaiki daya saing tersebut melalui penciptaan efisiensi usaha dan pertumbuhan pendapatan. Selain digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas, PAM juga dapat melihat sejauh mana dampak kebijakan harga input, kebijakan harga output, atau kombinasi keduanya yang dilakukan pemerintah terhadap produsen. Laba atau profit didefinisikan

(46)

31 sebagai perbedaan antara jumlah (atau per unit) pendapatan penjualan dan biaya produksi. Definisi ini menghasilkan identitas pertama dari matriks akuntansi.

PAM merupakan profitabilitas yang diukur horizontal dikolom dari matriks (Pearson dkk, 2005:119-129).

2.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang dijadikan rujukan untuk penelitian ini menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah dan daya saing sektor peternakan pada unit usahtani yang terkait dengan komoditas sapi potong. Penelitian terdahulu dikaji secara mendalam dan menjadi referensi yang relevan dalam mendukung hasil penelitian.

Banumastya (2011) melakukan penelitian tentang dampak pembatasan volume impor sapi bakalan terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong pada PT. Widodo Makmur Perkasa. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Policy Analysis Matrix (PAM) dan analisis sensitivitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pembatasan volume impor sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi potong di PT. WMP untuk sapi betina dan sapi jantan menguntungkan bagi perusahaan karena perusahaan menerima keuntungan yang lebih besar. Kemudian untuk hasil penelitian terkait daya saing atau keunggulan kompetitif menunjukan usaha penggemukan sapi potong di PT. WMP berdasarkan nilai PP yaitu bernilai positif.

Dengan demikian, usaha penggemukan sapi potong PT. WMP menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat. Adapun nilai PCR

(47)

32 untuk sapi betina yaitu 0,35 dan untuk sapi jantan yaitu 0,31. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka akan semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. Sementara itu, hasil penelitian untuk keunggulan komparatif menunjukan usaha penggemukan sapi potong di PT. WMP memiliki daya saing.

Adapun nilai DRC untuk sapi betina sebesar 0,78 dan sapi jantan sebesar 0,89.

Nilai DRC<1 menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong di PT. WMP memiliki keunggulan komparatif. Hasil penelitian berdasarkan analisis sensitivitas yaitu, ketika kebijakan pembatasan impor sapi bakalan semakin diperketat maka tingkat daya saingnya semakin meningkat.

Rouf (2014) melakukan penelitian tentang daya saing komoditas sapi potong di Kabupaten Gorontalo. Metode yang digunakan adalah analisis Policy Analysis Matrix (PAM), analisis regresi berganda dan analisis sensitivitas. Hasil

penelitian berdasarkan analisis keuntungan, menunjukan bahwa usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo pada harga privat dan harga sosial bernilai positif. Maka dari itu, usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo memberikan keuntungan atau layak secara finansial maupun ekonomi. Analisis keunggulan kompetitif berdasarkan nilai PCR dan keunggulan komparatif berdasarkan nilai DRC, menunjukan bahwa usaha sapi potong di Kabupaten Gorontalo memiliki nilai keunggulan kompetitif sebesar PCR = 0,945 dan keunggulan komparatif sebesar DRC = 0,857. Oleh karena itu, daya saing yang dimiliki dapat dikategorikan lemah. Hasil penelitian berdasarkan analisis sensitivitas, menunjukan bahwa: (1) kenaikan harga daging domestik dan dunia masing-masing sebesar 8,4% dan 10%

akan meningkatkan daya saing; (2) peningkatan harga sapi bakalan sebesar 3,3%,

(48)

33 biaya pakan hijauan sebesar 10% dan upah tenaga kerja sebesar 10% akan membuat usaha sapi potong tidak memiliki keunggulan kompetitif namun tetap memiliki keunggulan komparatif serta, (3) kenaikan produksi daging sebesar 12,7% akan meningkatkan daya saing sapi potong. Faktor yang mempengaruhi daya saing usaha sapi potong berdasarkan fungsi dugaan model daya saing tersebut adalah tenaga kerja, hijauan, pertambahan bobot badan harian (PBBH) dan harga jual sapi, sedangkan jumlah sapi dan lama penggemukan tidak berpengaruh nyata. Variabel tenaga kerja, hijauan dan lama penggemukan memiliki hubungan nyata positif terhadap indikator SCB atau berhubungan nyata negatif terhadap daya saing sedangkan PBBH dan harga jual berpengaruh sebaliknya.

Lestari, dkk (2017) melakukan penelitian tentang daya saing usaha penggemukan sapi potong peternakan rakyat di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Metode pengolahan data berupa analisis kuantitatif yaitu menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) dan analisis elastisitas. Daya saing dalam metode PAM ini dianalisis melalui indikator keunggulan komparatif (DRC) dan keunggulan kompetitif (PCR). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebijakan input dan output yang diterapkan pemerintah belum mampu melindungi peternak sehingga, usaha penggemukan sapi potong skala peternakan raykat di Kabupaten Bojonegoro tidak memiliki daya saing. Hal ini ditunjukan oleh nilai DRC dan PCR yang >1, yaitu DRC sebesar 1,04 dan PCR sebesar 1,05. Implikasi kebijakan yang dapat diterapkan agar usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro berdaya saing adalah dengan meningkatkan pertambahan bobot badan

Gambar

Tabel 1. Populasi Ternak Besar di Indonesia Tahun 2014-2018
Tabel 2. Produksi dan Ketersediaan Daging Sapi Indonesia 2014-2018 Uraian  (Ton)  2014  2015  2016  2017  2018  Pertumbuhan (%)  Produksi Lokal  497.670  506.661  518.484  486.320  496.302  (0,06)  Impor  76.887  50.309  116.761  118.646  160.600  20,2  Pe
Tabel 3. Total Impor Sapi Bakalan di Pulau Jawa Tahun 2014-2018
Tabel 4 menunjukkan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga  kriteria. Pertama, tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan perdagangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al- Qur‟an, (Cet.. Merujuk pada hakekat khalifah dan konsep amanah yang dibebankan kepada

To determine which indicators are more dominant in influencing the interest of students, researchers distributing questionnaires to 60 students of Office Education program

Faktor penghambat Kepolisian Resor Lampung Timur dalam menanggulangi kejahatan pemerasan oleh kelompok preman di jalan lintas timur adalah kurangnya kontak

DC. Stapf.) terhadap pembentukan granuloma pada tikus putih betina inflamasi akibat penanaman butiran kapas yang telah dicelupkan ke dalam suspensi kaolin I 0%. Ekstrak

Analisis petrofisika pada formasi reservoar Baturaja dilakukan untuk perhitungan kandungan serpih ( Shale Volume ), porositas, resistivitas air, saturasi air, dan permeabilitas

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan: 1).Dengan pemberian reward dan punishment akan mendorong karywan untuk dapat melaksanakan tugas

Syarat khusus Tanda Kehormatan berupa Satyalancana Karya Satya adalah PNS yang telah bekerja dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik