• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI SOSIAL MITOS KUTUKAN DALAM MASYARAKAT MUNTI GUNUNG, TIANYAR BARAT, KARANGASEM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSTRUKSI SOSIAL MITOS KUTUKAN DALAM MASYARAKAT MUNTI GUNUNG, TIANYAR BARAT, KARANGASEM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

KONSTRUKSI SOSIAL MITOS KUTUKAN DALAM

MASYARAKAT MUNTI GUNUNG, TIANYAR BARAT,

KARANGASEM

Gde Darma Setiawan1), Wahyu Budi Nugroho2), Ni Made Anggita Sastri Mahadewi3) 1,2,3)Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana

Email: odeesetiawan@gmail.com1, wahyubudinug@yahoo.com2, anggitasastrimahadewi@unud.ac.id3

ABSTRACT

Munti Gunung is an area known as the village of beggars, this is because beggars who are met in various cities in Bali always claim to be from Munti Gunung. This research was also conducted to analyze the social construction of the famous Dewi Danu curse myth in Munti Gunung and the impact caused by the myth of Dewi Danu's curse on the life of the Munti Gunung community. This study uses a qualitative approach with descriptive and explanative types. The theory used in this research is the social construction theory from Peter L. Berger with three dialectical stages, namely externalization, objectivation, and internalization. The impact of the myth of the curse of Dewi Danu are on the cultural poverty of Munti Gunung beggars, the construction of Padpad holy water spiritual tourism, the construction of a statue of Dewi Danu, and spiritual education through Pasraman Jiwan Mukti.

Keywords: Poverty, Beggar, Curse, Goddess Danu

1. PENDAHULUAN

Di balik keindahan Pulau Bali sebagai Pulau Dewata ataupun Pulau Surga terdapat suatu sisi gelap di dalamnya, yaitu persoalan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Bali pada bulan Maret 2018 mencapai 171,76 ribu orang, mengalami penurunan sebesar 4,72 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2017 yang berjumlah 176,48 ribu (BPS, 2018).

Berdasarkan data BPS Maret 2018, Kabupaten Badung memiliki persentase penduduk terendah yaitu sekitar 1,98%, sedangkan persentase kemiskinan tertinggi yaitu 6,28% total penduduk di Karangasem (Maya, 2018).Salah satu daerah miskin di Kabupaten

Karangasem adalah Munti Gunung yang terletak di Desa Tianyar Barat, Kubu, Kabupaten Karangasem. Mendengar kata Munti Gunung tentu kebanyakan masyarakat Bali sudah tidak asing lagi, persepsi mereka akan langsung tertuju pada gelandangan dan pengemis yang sering berlalu-lalang di jalan. Sampai bulan November 2018, dari 1500 KK terdapat 50 KK penduduk Munti Gunung mengambil profesi sebagai pengemis yang merantau ke kota-kota baik di Singaraja, bahkan sampai di terminal-terminal di Kota Denpasar. Kepercayaan turun-temurun masyarakat Munti Gunung terhadap mitos menjadi salah satu faktor yang mengacaukan program-program bantuan pemerintah, dari kecil sebagian masyarakat sudah ditanamkan sifat-sifat kemiskinan kultural yaitu pasrah karena

(2)

2 nasib akibat mitos kutukan tersebut.Salah satu mitos yang masih ajeg dalam masyarakat Bali di daerah Munti Gunung, Tianyar, Karangasem adalah mitos kutukan Dewi Danu. Beberapa masyarakat sekitar sedikit mempercayai mitos tersebut sehingga mempengaruhi kepasrahan perilaku masyarakatnya terhadap kenyataan kemiskinan yang dihadapi. Peranan dari tokoh-tokoh adat di Munti Gunung untuk menangani kemiskinan kultural ini adalah dengan memberikan pendidikan spiritual kepada masyarakat Munti Gunung melalui Pasraman Jiwan Mukti dan melakukan ritual pemujaan kepada Dewi Danu dalam wujud patung, agar dapat memperbaiki mental mereka sehingga dapat melakukan hal yang lebih bermanfaat daripada menjadi pengemis. Daerah Munti Gunung memang sudah mendapat julukan sebagai daerah dengan jumlah gelandangan dan pengemis terbanyak, karena memang rata-rata masyarakatnya merantau hanya sebagai gepeng saja. Solusi pendidikan di Pasraman Jiwan Mukti dan ritual pemujaan kepada Dewi Danu melalui patung Dewi Danu yang dilakukan tokoh adat dan tokoh agama di Munti Gunung untuk melepas kutukan Dewi Danu dan memperingatkan masyarakat agar tidak pasrah dalam keadaan miskin menjadi gepeng seakan menjadi salah satu dampak dari pengaruh mitos terhadap masyarakat Munti Gunung. Melalui serangkai uraian singkat di atas, kiranya fenomena kemiskinan yang terjadi di Munti Gunung menarik untuk dikaji lebih jauh dalam persepktif sosiologi. Hal ini yang membuat penulis hendak meneliti lebih jauh dalam skripsi berjudul Konstruksi Sosial Mitos Kutukan Dewi Danu Dalam

Masyarakat Munti Gunung, Tianyar Barat, Karangasem.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2

.

1 KAJIAN PUSTAKA

Pada penelitian pertama yaitu dari Rahmawati Dewi (2017) dengan judul “Konstruksi Sosial Mitos Telaga Rambut Monte sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Kresik Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar”. Hasil dari penelitian ini adalah: sejarah Telaga Rambut Monte ada sejak jaman Majapahit, mitos Telaga Rambut Monte tidak terlepas dari konstruksi sosial yang dibentuk masyarakat secara turun-temurun, dan bentuk kearifan lokal dari mitos yang berkembang yaitu nyadran, bersih desa, doa lintas agama, dan larung kedhus mendhit.

Penelitian kedua yaitu dari Budi Prasojo (2015) dengan judul “Konstruksi Sosial Masyarakat terhadap Alam Gunung Merapi: Studi Kualitatif tentang Kearifan Lokal yang Berkembang di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali”. Hasil dari penelitian ini adalah konstruksi sosial pada masyarakat Tlogolele yang memiliki pandangan bahwa Gunung Merapa merupakan berkah bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, konstruksi sosial masyarakat Tlogolele diimplementasikan melalui bentuk tradisi ritual syukur berharap agar masyarakat Desa Tlogolele selalu diberi berkah dan perlindungan.

Penelitian ketiga yaitu penelitian dari Andini Putri Rizki (2019) dengan judul “Konstruksi Sosial Kawin Kontrak di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor” di mana pada penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana konstruksi sosial kawin kontrak di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan,

(3)

3 perkawinan yang dibatasi jangka waktu sesuai kesepakatan kedua belah pihak ini berakhir dengan sendirinya tanpa ada kata cerai. Penelitian ini juga memfokuskan pada pemaknaan perempuan pelaku kawin kontrak terhadap aktivitas perkawinannya.

Penelitian keempat yaitu jurnal dari Nonoriati (2014) dengan judul “Tradisi Ngrekes di Desa Pakraman Munti Gunung, Kubu, Karangasem, Bali (Latar Belakang, Sistem Ritual, dan Potensi Nilai-nilainya Sebagai Media Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Sejarah di SMA)”. Hasil dari penelitian tradisi ngerekes ini dimana tradisi ini memiliki nilai-nilai yang menjadi pembelajaran penting karakter yaitu pada nilai religius, cinta damai, tanggung jawab, dan kepedulian sosial

Penelitian kelima yaitu dari Zakiyah Jamal yang berjudul “Fenomena Wanita Bercadar (Studi Fenomenologi Konstruksi Realitas Sosial, dan Interaksi Sosial, Wanita Bercadar di Surabaya)”. Hasil dari penelitian ini adalah konstruksi reaalitas sosial wanita bercadar yang memiliki berbagai citra sebagai wanita muslimah, wanita terhormat, dan mendorong agar berperilaku baik.

2.2 KERANGKA KONSEP

2.2.1 KONSTRUKSI SOSIAL

Berger dan Luckmann (dalam Bungin, 2015: 6) mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui interaksi dan tindakan dari manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Konstruksi sosial itu berkarakter plural,

relatif, dan dinamis, dalam artian lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat memiliki kehendak dalam membangun realitas sosial dan setiap kehendak tersebut harus berhadapan satu sama lain dan berusaha saling mendominasi (Schutz dalam Narwoko dan Suyatno, 2004: 428).

Jadi, sebenarnya yang dimaksud Peter L. Berger dan Luckmann adalah telah terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Dialektika ini terjadi melalui proses eksrernalisasi, objektivasi, dan internalisasi, yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat secara simultan dengan cara membentuk pengetahuan masyarakat. Dialektika Peter L. Berger inilah yang membantu peneliti dalam menganalisis atau membedah bagaimana mitos dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat sehingga berpengaruh kepada tindakan atau aktivitas keseharian masyarakat Munti Gunung terutama yang berprofesi sebagai gepeng.

2.2.2 KEBERADAAN MITOS DALAM

MASYARAKAT BALI

Mitos seperti yang dijelaskan dalam definisinya yang berupa kisah dari para dewa di masa lampau, manusia memiliki kebudayaan yang erat kaitannya dengan kisah para dewa, dimana para dewa merupakan sebuah symbol yang dinilai suci sejak jaman dahulu, tidak mengheranan jika masyarakat menganggap sacral berbagai mitos yang mengisahkan para dewa. Salah satunya adalah masyarakat Hindu Bali. Dewa dalam bahasa sansekerta yaitu “div” yang berarti sinar, dewa merupakan manifestasi dari Tuhan yang mempunyai peranannya masing-masing

(4)

4 terhadap alam semesta, contohnya adalah tiga dewa utama yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa (Tri Murti) (Titib, dkk, 2003: 189). Keberadaan dewa yang suci dan disembah umat Hindu dapat dikatakan berperan dalam mudahnya proses penerimaan suatu kisah dari mitos dalam kehidupan bermasyarakat masyarakat Bali. Masuknya mitos secara terus-menerus dan diwariskan dari generasi ke generasi membuat keberadaan mitos tetap langgeng dalam masyarakat Bali. Biasanya dalam mitos juga terdapat pesan moral yang dapat menjadi proses belajar masyarakat agar dapat berperilaku baik.

2.3 LANDASAN TEORI

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER

Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun selalu berkaitan dengan kepentingan-kepentingan. Realitas sosial yang dimaksud Berger dan Luckmann ini terdari dari realitas objektif, realitas simbolis, dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi.

Melalui proses dialektika, realitas sosial dapat dilihat dari tiga tahap. Eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar, dengan demikian, tahap

eksternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta dalam suatu masyarakat, kemudian individu melakukan penyeusaian diri ke dalam dunia sosiokulturalnya sebagai bagian dari produk manusia (Berger dan Luckmann dalam Bungin, 2007: 91). Dunia

kelembagaan adalah aktivitas manusia yang diobyektivasi dan begitu pula halnya dengan setiap lembaganya. Dengan kata lain, tahapan ini merupakan sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu dikatakan memanifestasikan diri dalam berbagai produk aktivitas sehari-hari manusia. Eksternalisasi dan obyektivasi merupakan momen-momen dalam suatu proses dialektis yang terjadi terus-menerus (Parera, 2013: 91). Momen ketiga dalam dalam proses ini yaitu internalisasi (dunia sosial yang sudah diobyektivasi dimasukkan kembali ke dalam kesadaran selama berlangsungnya sosialisasi). Dalam sosialisasi sekunder telah terjadi internalisasi (subdunia) kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga. Karena itu wilayah jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya.

3. METODE PENELITIAN

Metode penelitian kualitatif adalah metode mengumpulkan dan menganalisis berbagai data dari berbagai kata maupun perbuatan manusia, peneliti tidak berusaha menganalisis angka-angka. Angka-angka dalam penelitian kualitatif hanyalah digunakan sebagai pendukung argument.

(5)

5 Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan eksplanatif yaitu membuat suatu deskripsi, gambaran, secara sistematis mengenai fenomena yang diteliti. Penelitian ini akan menggambarkan bagaimana kisah dari mitos Kutukan Dewi Danu dan keadaan masyarakat Munti Gunung yang masih mempercayai mitos tersebut dalam kesehariannya. Sedangkan eksplanatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab dan akibat terjadinya suatu peristiwa (Firmanto, 2016).

3.1.1 JENIS DATA

Penelitian ini menggunakan baik jenis data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitati berupa angka-angka, data kuantitatif seperti persentase jumlah kemiskinan di Bali khususnya di Kabupaten Karangasem, data jumlah masyarakat Munti Gunung yang masih menjadi gepeng dan keadaan pendidikan masyarakat Munti Gunung. Data kualitatif berupa narasi dan analisis mengenai suatu fenomena, Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mengenai kisah mitos Kutukan Dewi Danu dan bagaimana kepercayaan masyarakat Munti Gunung terhadap mitos tersebut.

3.1.2 SUMBER DATA

Sumber data primer dan sumber data sekunder merupakan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini. Data primer merupakan sumber data yang didapat peneliti secara langsung (Sugiyono, 2016: 225). Data primer didapatkan dari wawancara dengan subjek penelitian, jajak pendapat, maupun observasi. Data primer didapat melalui metode wawancara ataupun observasi dengan

masyarakat Munti Gunung, tokoh adat di Munti Gunung, maupun perangkat desa yang mengetahui kisah mitos tersebut. Data sekunder yaitu sumber data tidak langsung yang digunakan untuk mendukung data awal yang sudah didapat. Contoh dari sumber data primer seperti buku, literatur, penelitian terdahulu, maupun laporan yang membahas mengenai kemiskinan di Munti Gunung ataupun kisah dari mitos Kutukan Dewi Danu.

3.4 PENENTUAN INFORMAN

Para tokoh adat yang mewakili setiap banjar adat di Munti Gunung dan masyarakat Munti Gunung dari setiap banjar dari berbagai latar pendidikan ataupun profesi merupakan imforman kunci. Informan utama, dalam penelitian ini adalah perangkat desa di desa Tianyar Barat, seperti kepala desa Tianyar Barat ataupun kepala dusun Munti Gunung yang mengetahui bagaimana keadaan masyarakat Munti Gunung secara keseluruhan. nforman tambahan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di luar Munti Gunung, peranan dari informan tambahan ini nantinya memberikan informasi dari sudut pandang yang berbeda mengenai keadaan masyarakat Munti Gunung.

3.5 INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen atau alat penelitian dalam penelitian kualitatif yaitu peneliti itu sendiri melalui wawancara maupun observasi. Peneliti sebagai instrumen utama karena Hanya peneliti yang bisa berperan sebagai alat dan juga mampu responsif terhadap fenomena yang sedang diteliti.

(6)

6

3.6

TEKNIK PENGUMPULAN DATA

3.6.1 OBSERVASI

Observasi dapat dikatakan sebagai pemanfaatan pancaindera dalam melakukan suatu pengamatan terhadap suatu fenomena. Penelitian ini menggunakan observasi partisipatif, yaitu peneliti turun langsung ke lapangan dan terlibat dengan aktivitas sehari-hari informan-informan yang akan memberikan data.

3.6.2 WAWANCARA

Peneliti dalam melakukan pengumpulan data menggunakan wawancara mandalam. Wawancara mendalam yaitu peneliti sendiri menggali informasi secara mendalam dengan cara terlibat langsung dengan aktivitas sehari-hari dari informan. Dalam penelitian ini tentunya peneliti ingin mengetahui lebih lanjut kisah mitos Kutukan Dewi Danu yang berkembang di Munti Gunung, untuk lebih mengetahui dan memahami kisah mitos ini, maka perlu dilakukan wawancara mendalam dari berbagai informan baik kunci, utama, ataupun pendukung demi mendapatkan kisah yang lebih lengkap.

3.6.3 DOKUMENTASI

Teknik pengumpulan data melalui arsip foto, jadwal kegiatan, maupun catatan harian. Dalam penelitian ini dokumentasi menggunakan foto, rekaman suara, dan video sebagai pendukung informasi di lapangan. Dokumentasi didapatkan dari internet dan terjun langsung ke lapangan yaitu ke Munti Gunung.

3.7

TEKNIK ANALISIS DATA

Reduksi data merupakan proses penamaan dari hasil penelitian. Hasilnya adalah

didapatkannya berbagai tema atau pengklasifikasian hasil penelitian. Tahap kedua yaitu penyajian data, pada tahap ini merupakan lanjutan analisis dimana peneliti menyajikan temuan penelitian berupa kategori atau pengelompokan. Penyajian hasil penelitian yang merupakan hasil temuan dianjurkan secara narasi agar memudahkan peneliti dalam menyajikan tema. Tahap ketiga yaitu, tahap penarikan kesimpulan atau verifikasi di mana merupakan tahapan dari peneliti untuk menarik kesimpulan dari hasil temuan data yang berasal dari wawancara atau berbagai dokumen.

4. PEMBAHASAN

4.1 GAMBARAN UMUM PENELITIAN

4.1.1 SEJARAH DUSUN MUNTI GUNUNG

Terdapat dua versi sejarah Dusun Munti Gunung yang dipercaya oleh masyarakat Munti Gunung . Versi pertama mengisahkan tentang pelarian Gangga Tirta yang merupakan putra dari Dewa Wisnu dengan Dewi Njung Asti sampai ke lereng timur Gunung Batur, berpusat di Kulkul. Pelarian yang dilakukan Gangga Tirta dikarenakan Gangga Tirta menghamili Dewi Ayu Mas dari Gelgel, Dalem Sekar Angsana yang merupakan kerabat dari Dewi Ayu Mas pun tidak tinggal diam dan ingin membunuh Gangga Tirta. Daerah yang didirikan Gangga Tirta mengalami perkembangan yang pesat, dibuktikan dari kekuasaannya yang tersebar dari daerah Kangkang sampai dengan Gretek. Pada suatu ketika daerah yang didirikan Gangga Tirta terjangkit wabah penyakit yang membuat masyarakatnya pindah ke Tirta Arum.Setelah lama kemudian masyarakat yang tersisa memindahkan pemukiman mereka ke daerah

(7)

7 yang lebih rendah dari daerah asal yang terkena wabah. Daerah tempat mereka berpindah inilah yang dikenal sebagai Munti Gunung. Versi kedua dari sejarah Dusun Munti Gunung adalah asal mula dari masyarakat Munti Gunung berasal dari Desa Taman Bali, Bangli. Penduduk pelarian dari perang tersebut berjumlah 40 KK yang mengungsi dalam waktu lama sampai perang berakhir. Selama tinggal tinggal di pegunungan, penduduk pelarian dari perang sudah nyaman dan membuat tempat persembahyangan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Tempat penduduk pelarian inilah yang lama kelamaan dinamakan Munti Gunung. Keberadaan daerah Munti Gunung erat kaitannya dengan terbentukan Desa Tianyar, Maharsi Bawu Rauh dari Majapahit memohon sebuah mata air yang dapat menghidupi masyarakat Munti Gunung yang daerahnya gersang, mata air itu dinamakan toya anyar yang lambat laun menjadi Tianyar.

4.1.2 KEADAAN GEOGRAFIS

Nama masing-masing dusun Munti Gunung menyesuaikan dengan letaknya yaitu sebelah timur yang diberi nama Munti Gunung Kangin, sebelah tengah yang diberi nama Munti Gunung Tengah, di sebelah barat yang diberi nama Munti Gunung Kauh, dan Munti Gunung Induk. Secara geografis daerah Munti Gunung memiliki batas-batas wilayah yaitu, di sebelah utara dekat dengan banjar dinas Kerthabuana, di sebelah timur dekat dengan Desa Tianyar Tengah, di sebelah selatan dan barat dekat dengan Desa Songan B. Dusun Munti Gunung berada pada ketinggian 400-650 m.dpl dengan topografi daerah yang bergelombang dan curam.

Tingkat kemiringan daerah Munti Gunung sekitar 31-45%. Keadaan lahan di Munti Gunung dapat dikatakan kering dengan tekstur tanah liat berdebu, berbatu, dan pasir berdebu (Profil Dusun Munti Gunung, 2018).

4.1.3 KONDISI DEMOGRAFI

Pada tahun 2019 jumlah penduduk Dusun Munti Gunung terpadat adalah Dusun Munti Gunung Kauh sebanyak 2001 jiwa, kemudian diikuti oleh Dusun Munti Gunung Induk sebanyak 1506 jiwa, Dusun Munti Gunung Kangin sebanyak 1189 jiwa, dan Dusun Munti Gunung Tengah sebanyak 1014 jiwa.

4.1.4 KONDISI SOSIAL BUDAYA

Kehidupan sosial budaya masyarakat Munti Gunung merupakan wujud penerapan dari ajaran agama Hindu. Pelaksanaan aktivitas sehari-hari masyarakat Munti Gunung bersumber dari filosofi Hindu Tri Hita Karana. Hubungan yang harmonis antara masyarakat Munti Gunung dengan Tuhan diwujudkan dengan tempat suci Kahyangan Tiga meliputi Pura Desa atau Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Hubungan harmonis antar masyarakat Munti Gunung yaitu dengan rutin diadakannya pertemuan secara musyawarah dan demokrasi demi membahas berbagai permasalahan ataupun kegiatan-kegiatan kemasyarakatan melalui sangkep. Hubungan harmonis masyarakat Munti Gunung dengan lingkungan diwujudkan dengan rutinnya dilakukan gotong royong membersihkan daerah Munti Gunung seperti menjaga kebersihan fasilitas dan menjaga kebersihan objek wisatanya.

(8)

8

4.2 KISAH MITOS KUTUKAN DEWI DAN

Inti dari kisah mitos kutukan Dewi Danu adalah keangkuhan masyarakat Munti Gunung pada saat mereka masih makmur dan memiliki daerah subur. Pada saat itu Dewi Danu yang menyamar sebagai pria tua lusuh melakukan perjalanan membawa air suci melewati Munti Gunung yang masyarakatnya pada saat itu sedang melakukan yadnya atau korban suci persembahan kepada Tuhan. Dewi Danu yang ingin memberi bantuan air malah diperlakukan kasar, beliau dihina karena penampilannya yang menyerupai pengemis. Dewi Danu akhirnya marah dan memberikan kutukan kepada masyarakat Munti Gunung agar merasakan sesuai dengan hinaan yang mereka berikan, mereka kesulitan air dan dihina oleh masyarakat lain seperti sekarang yaitu diberi label pengemis.

4.3 ANALISIS KONSTRUKSI SOSIAL

MITOS KUTUKAN DEWI DANU DALAM

MASYARAKAT MUNTI GUNUNG

Berger dan Luckmann (dalam Parera, 2013: xxiv), masyarakat mengalami proses dialketikan melalui tiga momen yaitu, eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial buatan mayarakat dari waktu ke waktu. Begitu juga dengan mitos kutukan Dewi Danu yang dapat dikatakan sebagai kenyataan sosial merupakan konstruksi sosial buatan para leluhur penduduk Munti Gunung, dipercayai sampai saat ini sampai memiliki dampak dalam bidang wisata spiritual Munti Gunung, penyebab kemiskinan, dan membangun sarana pendidikan mental masyarakat melalui pasraman. Tidak menutup kemungkinan mitos kutukan Dewi Danu ini akan

terus tersebar ke keturunan selanjutnya dari masyarakat Munti Gunung.

EKSTERNALISASI: PENYESUAIAN DIRI

DENGAN

DUNIA

SOSIO-KULTURAL

SEBAGAI PRODUK MANUSIA

Pada tahap ini realitas subjektif dan objektif dibentuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Munti Gunung. Dewi Danu yang memiliki kisah memberikan kutukan kepada masyarakat Munti Gunung merupakan realitas subjektif. Dalam tahap ini keberadaan pengemis, kekeringan yang terjadi di Munti Gunung, dan adanya air suci Padpad merupaan realitas objektif yang membentuk pengetahuan baru dalam segala aspek kehidupan masyarakat Munti Gunung. Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa proses eksternalisasi yang terjadi dalam masyarakat Munti Gunung merupakan bentuk penyesuaian diri terhadap produk pemahaman agama dan moral dalam agama Hindu. Dewi Danu merupakan manifestasi dari Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa sebagai dewi penjaga danau dan dewi kesuburan sehingga kisah yang diceritakan secara turun-temurun dianggap suci dan mudah untuk diyakini oleh masyarakat Munti Gunung yang mengalami kesulitan air, penyesuaian diri terhadap moral yaitu perbuatan buruk yang dilakukan leluhur masyarakat Munti Gunung yang sombong dan menghina penyamaran Dewi Danu sebagai kakek tua kotor yang ingin memberikan air kepada masyarakat Munti Gunung, sehingga kutukan yang terjadi merupakan Karma Phala yaitu hasil dari perbuatan leluhur mereka yang harus mereka

(9)

9 terima di masa sekarang, baik kekeringan maupun mental pengemis.

OBJEKTIVASI:

INTERAKSI

SOSIAL

DALAM

DUNIA

INTERSUBYEKTIVASI

YANG

DILEMBAGAKAN

ATAU

MENGALAMI

PROSES

INSTITUSIONALISASI

Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Berger dan Luckmann dalam Parera, 2013: 83). Proses dalam objektivasi dapat diuraikan menjadi dua yaitu: pelembagaan atau institusional dan habituasi atau pembiasaan. Pelembagaan atau institusional yaitu proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan, nilai dan norma sosial dalam masyarakat dijadikan acuan dalam berperilaku. Masyarakat Munti Gunung yang sampai membangun Pasraman Jiwan Mukti dan melakukan pemujaan kepada Dewi Danu dalam wujud patung Dewi Danu adalah masyarat yang memiliki tujuan khusus untuk memperbaiki mental pengemis yang menjadi permasalahan dari generasi ke generasi di Munti Gunung. Habituasi atau pembiasaan yang dilakukan dalam keseharian masyarakat. Proses ini memerlukan agen-agen yang dapat menyadarkan masyarakat, melembagakan, dan habitualisasi. Tokoh-tokoh penting yang menjadi agen dalam proses habituasi ini adalah leluhur masyarakat Munti Gunung yang secara turun-temurun mewariskan kisah kutukan Dewi Danu ini sehingga masyarakat seperti terdoktrin untuk mempercayainya.

INTERNALISASII:

INDIVIDU

MENGIDENTIFIKASIKAN

DIRINYA

DENGAN LEMBAGA-LEMBAGA SOSIAL

ATAU ORGANISASI SOSIAL TEMPAT

INDIVIDU MENJADI ANGGOTANYA

Menurut Berger (dalam Robin, 20120, pada tahap internalisasi individu sudah mampu mengidentifiksi diri di tengah lembaga-lembaga sosial dan organisasi sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya. Dalam tahap ini masyarakat Munti Gunung sudah mampu mengidentifikasikan diri mereka bersama mitos kutukan Dewi Danu dengan berbagai aktivitas masyarakat seperti pemujaan terhadap Dewi Danu dalam wujud patung Dewi Danu, memanfaatkan Tirta Padpad untuk menyembuhkan penyakit atau menenangkan diri, dan pembelajaran spiritual di Pasraman Jiwan Mukti.

4.4 DAMPAK MITOS KUTUKAN DEWI

DANU DALAM MASYARAKAT MUNTI

4.4.1 DAMPAK MITOS KUTUKAN DEWI

DANU

TERHADAP

OBJEK

WISATA

SPIRITUAL MUNTI GUNUNG

Masyarakat Munti Gunung mempercayai bahwa selain memberikan kutukan kepada masyarakat Munti Gunung berupa kesulitan air dan hidup susah dengan memiliki mental pengemis, Dewi Danu juga meninggalkan anugerah berupa sumber air abadi yang tetap tersedia walaupun daerah Munti Gunung mengalami kekeringan. Pada awalnya, masyarakat Munti Gunung memanfaatkan air Padpad sebagai sumber air utama mereka, dikarenakan sungai-sungai di Munti Gunung mengalami kekeringan yang tidak menyediakan kebutuhan air untuk masyarakat Munti Gunung. Khasiat dari mata air Padpad yang diyakini memiliki khasiat menyembuhkan

(10)

10 penyakit dimanfaatkan sebagai wisata spiritual yang mampu menarik para wisatawa yang ingin berobat maupun bersantai menikmati kesegaran air Padpad.

4.4.2 DAMPAK MITOS KUTUKAN DEWI

DANU TERHADAP KEKERINGAN DAN

KEMISKINAN KULTURAL MASYARAKAT

MUNTI GUNUNG

Kekeringan yang terjadi juga dipercaya oleh masyarakat Munti Gunung sebagai salah satu isi dari kutukan Dewi Danu yang pada saat itu sedang menawarkan air untuk masyarakat Munti Gunung, namun karena pada saat itu masyarakat Munti Gunung tidak kekurangan air dan merasa jijik melihat wujud dari Dewi Danu yang menyamar sebagai kakek tua renta yang kotor dan penuh luka sehingga tidak mau membeli air dari kakek tua itu. Bahkan masyarakat Munti Gunung juga sampai menghina Dewi Danu yang sedang menyamar dengan mengatakannya sebagai pengemis. Hinaan dan kesombongan yang dilakukan masyarakat Munti Gunung kepada Dewi Danu inilah yang menyebabkan terjadinya kutukan Dewi Danu, salah satunya adalah kesulitan air karena kesombongan mereka. Keberadaan pengemis dari Munti Gunung juga diyakini oleh masyarakat setempat dipengaruhi oleh adanya mitos kutukan Dewi Danu. Mitos kutukan Dewi Danu mengisahkan tentang Dewi Danu yang menyamar sebagai kakek tua renta yang badannya penuh luka menjual air kepada masyarakat Munti Gunung, namun dikarenakan kesombongan masyarakat Munti Gunung yang tidak mau membeli air dari Dewi Danu dan juga sampai menghina beliau.

4.4.3 DAMPAK MITOS KUTUKAN DEWI

DANU

TERHADAP

PENDIDIKAN

SPIRITUAL

MASYARAKAT

MUNTI

GUNUNG

Masalah mental pengemis seperti yang penulis rangkum dari pernyataan beberapa tokoh masyarakat Munti Gunung menjadi salah satu permasalahan serius yang disebabkan oleh kutukan dari Dewi Danu. Mental pengemis masyarakat ditakutkan sulit untuk dirubah sehingga menyebabkan perkembangan daerah Munti Gunung sulit untuk berkembang. Cara yang dilakukan oleh Perbekel Tianyar Barat untuk memperbaiki mental masyarakatnya adalah dengan membuat pasraman yang fokus mendidik masyarakat secara spiritual atau keagamaan. Sistem pendidikan ini sangat menekankan ajaran etika dan agama (moralitas) di samping pengetahuan tentang agama, seperti filsafat Hindu yang akan langsung diberikan praktik seperti mengerjakan tugas tata cara melakukan kewajiban agama seperti upacara yadnya (korban suci yang tulus ikhlas).

5.

KESIMPULAN

Pertama, Terbentuknya konstruksi sosial mitos kutukan Dewi Danu dalam masyarakat Munti Gunung, Tianyar Barat, Karangasem adalah melalui tiga momen dialektikan yang melalui: eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Mitos kutukan Dewi Danu memiliki dampak besar dalam masyarakat Munti Gunung, mental pengemis dan kekeringan yang melanda Munti Gunung dipercaya masyarakat sebagai kutukan dari Dewi Danu. Masyarakat Munti Gunung percaya bahwa cara yang dapat

(11)

11 mengatasi solusi dari berbagai permasalahan di Munti Gunung adalah dengan memohon maaf kepada Dewi Danu agar mencabut kutukannya, sehingga masyarakat membangun patung Dewi Danu sebagai sarana pemujaan untuk Dewi Danu dan Pasraman Jiwan Mukti sebagai sarana pendidikan mental bagi masyarakat Munti Gunung.

6. DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Afrizal. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana

_____________. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers

Damsar. 2015. Pengantar Teori Sosiologi. Jakarta: Kencana

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Dwi Narwoko, J., dan Suyanto, Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Kencana

Parera, M. Frans. 2013. Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3S

Poloma, M. Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT: Grafindo Parsada Suryadana, M. Liga. 2013. Sosiologi Pariwisata Kajian Kepariwisataan Dalam Paradigma Integratif-Transformatif Menuju Wisata Spiritual. Bandung: Humaniora

Titib, Made.,dkk. 2011. Ensiklopedia Hindu. Surabaya: Paramita Surabaya

Publikasi Institusi:

Profil Dusun Munti Gunung 2018. Pemerintah Desa Tianyar Barat (2018)

Jurnal :

Budiasih, Made. (2017). Pariwisata Spiritual di Bali. Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya Fakultas Darma Duta. 1(2), 75-76 Citra, Ananda & Sarmita. (2019). Pemetaan

Potensi Wisata Untuk Pengembangan Desa Wisata Munti Gunung di Tianyar Barat. Widya Laksana. 1(8). 2-3

Nonoriati, Ni Wayan. (2014). Tradisi Ngrekes di Desa Pakraman Munti Gunung, Kubu, Karangasem, Bali (Latar Belakang, Sistem Ritual, dan Potensi Nilai-nilainya Sebagai Media Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Sejarah di SMA). Widya Winayata. 1(2), 9-10

Yasa, Sri. (2013). Peranan Desa Adat Dalam Menanggulangi Gepeng Asal Dusun Muntigunung, Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, l1(6). 1-2

Skripsi dan Disertasi:

Arjani, Ni Luh. 2012. Feminisasi Kemiskinan Pada Rumah Tangga Pengemis Di Dusun Munti Gunung, Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Karangasem. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana

(12)

12 Dewi, Rahmawati. 2017. Konstruksi Sosial Mitos

Telaga Rambut Monte Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Kresik Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar. Skripsi. Malang: Universitas Negeri MalangUdayana

Jamal, Zakiyah. 2013. Fenomena Wanita Bercadar (Studi Fenomenologi Konstruksi Realitas Sosial dan Interaksi Sosial Wanita Bercadar di Surabaya). Skripsi. Surabaya: UPN Veteran

Mulyaningtyas, Herliana Tri. 2002. Budaya Kemiskinan Pada Komunitas Pengemis (Studi Kasus Pengemis di Kampung Bedeng, Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kotamadya Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skirpsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Prasojo, Budi. 2015. Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Alam Gunung Merapi: Stufi Kualitatif Tentang Kearifan Lokal Yang Berkembang Di Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret

Rizki, Andini. 2019. Konstruksi Sosial Kawin Kontrak Di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Skripsi. Denpasar: Universitas Udayana

Subagia, Wisesa. Persepsi Masyarakat Terhadap Konsep Tri Hita Karana Sebagai Implementasi Hukum Alam. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung

Internet :

Andini, R. 2016. Menilik Dusun Pengemis di Bali diakses pada 20 Maret 2019 melalui http://www.google.com/amp/s/news.okezone .com/amp/2016/0729/340/1449640/menilik-dusun-pengemis-di-bali

Beritabali.com. 2017. Desa Wisata di Munti Gunung, Solusi Tuntaskan Gepeng diakses pada 20 Maret 2019 melalui http://beritabali.com/amp/20170202/desa- wisata-di-munti-gunung-solusi-tuntaskan-gepeng

BPS. 2019. Maret 2018, Jumlah Penduduk Miskin di Bali Mencapai 171,76 Ribu Orang diakses pada 1 April 2019 melalui https://bali.bps.go.id/pressrelease/2018/07/1 6/717091/maret-2018--jumlah-penduduk- miskin-di-bali-mencapai-171-76-ribu-orang-.html

Harefa, B. 2012. Gelandangan dan Pengemis diakses pada 1 April 2019 melalui https//www.academia.edu/6492300/GELAN DANGAN_DAN_PENGEMIS_Makalah_Gep eng

Maya, C. 2019. Masuk Kategori Kerak Kemiskinan, Bali Sulit Turunkan Angka Kemiskinan Jadi 1% diakses pada 1 April

2019 melalui

http://www.balipost.com/news/2019/02/07/6

8194/Masuk-Kategori-Kerak-Kemiskinan,BaliJhtml

Prasetyo, A. 2016. Pengertian Penelitian Deskriptif Kualitatif diakses pada 1 April 2019 melalui

https://www.linguistik.com/2016/09/pengertia n-penelitian-deskriptif-kualitatif.html?m=1

(13)

13 Raharjo, S. 2015. Pengumpulan Data Penelitian

Dengan Observasi diakses pada 10 Juni

2019 melalui:

https://www.konsistensi.com/2013/04/pengu mpulan-data-penelitian-dengan13html?m=1 Riana, K. 2000. Memuja Dewa Kemakmuran di Pura Batur diakses pada 28 April 2019 melalui:

https://www.babadbali.com/pura/plan/ulun/d anu/batur.htm

Rohim, S. 2018. Perbekel Blak-blakan Soal Warga Munti Gunung Mengemis, Agung: Ada Faktor Kutukan Dewi Danu diakses pada

20 Maret 2019 melalui

http://bali.tribunnews.com/amp/2018/02/06/p erbekel-blak-blakan-soal-arga-munti- gunung-mengemis-agung-ada-faktor-kutukan-dewi-danu

Zulfikar, A. 2019. Pura Tirta Empul, Tempat Pembersihan Diri diakses pada 1 Juli 2020 melalui

http://kompasiana.com/amp/andrizulfikar284 2/pura-tirta-empul-bali-tempat-pembersihan-dir

Referensi

Dokumen terkait

Mengacu pada pendapat para ahli di atas dan karena keterbatasan akan waktu dan biaya yang dimiliki penulis, maka teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam

Nurmansyah, (2011 : 184) mengatakan ada beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan diantaranya : Motivasi, Pendidikan, Disiplin

Meski investor X tadi hanya membayar Rp60 juta, tapi pada saat jatuh tempo nanti (10 tahun kemudian) ia akan menerima pokok obligasi sebesar Rp 100 juta. Jadi dalam kurun 10

32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis

risiko bisnis untuk meminimalkan tingkat kerugian kemudian tujuan dari permasalahan ini adalah Mengidentifikasi risiko yang akan dihadapi oleh perusahaan,

Di negara-negara sedang berkembang masyarakat cenderung menerima informasi dari sumber yang banyak memiliki kesamaan dengan dirinya, seperti bahasa, agama dan

Kolam 3 merupakan kolam lanjutan dari kolam 1 dan 2 yang berfungsi sebagai sediment pond atau pengendap awal sehingga partikel padatan yang masuk ke kolam 3 kecil karena

<,okade se,ekti dari sekresi HSH <,okade se,ekti dari sekresi HSH dan kastrasi kimia:i %erikutn!a te,a$ dica'ai se%e,umn!a me,a,ui disensitasi $i'oisis