• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PENGARUH TEMPERATUR PEMASUKAN DAN PENARIKAN BATANG PENGADUK TERHADAP PEMBENTUKAN STRUKTUR GLOBULAR PADA PROSES RHEOCASTING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI PENGARUH TEMPERATUR PEMASUKAN DAN PENARIKAN BATANG PENGADUK TERHADAP PEMBENTUKAN STRUKTUR GLOBULAR PADA PROSES RHEOCASTING"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGARUH TEMPERATUR PEMASUKAN DAN PENARIKAN

BATANG PENGADUK TERHADAP PEMBENTUKAN STRUKTUR

PADA PROSES

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

STUDI PENGARUH TEMPERATUR PEMASUKAN DAN PENARIKAN

BATANG PENGADUK TERHADAP PEMBENTUKAN STRUKTUR

GLOBULAR

PADA PROSES RHEOCASTING

Oleh :

JOKO SUSILO

NIM : I 0404044

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

STUDI PENGARUH TEMPERATUR PEMASUKAN DAN PENARIKAN

BATANG PENGADUK TERHADAP PEMBENTUKAN STRUKTUR

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Akhir-akhir ini perkembangan dunia otomotif, khususnya industri mobil sangat meningkat. Untuk mendapatkan perhatian dari konsumen maka terjadi persaingan dalam pengembangan sistem teknologi untuk penghematan bahan bakar. Disamping itu dengan adanya standar kebijakan pengurangan emisi gas, maka penghematan konsumsi bahan bakar penting untuk semua produsen mobil.

Sakurai (2008) menyatakan bahwa berbagai langkah diambil untuk mengurangi konsumsi bahan bakar termasuk dengan menerapkan sistem hybrid atau menggunakan mesin diesel. Tetapi cara yang paling efektif yaitu dengan menurunkan berat dari kendaraan. Pengurangan berat kendaraan sampai 100 kg dapat menurunkan konsumsi bahan bakar 1 l/km. Untuk menerapkan cara diatas maka dibutuhkan material yang ringan untuk menggantikan material baja yang selama ini telah banyak digunakan. Tren yang terbaru adalah penggunaan aluminium alloy dalam bidang otomotif. Aluminium memiliki beberapa keunggulan antara lain: lebih ringan, lebih ulet, mampu bentuknya baik, tidak mudah terkorosi dan titik leburnya rendah. Proses pengolahan bahan baku aluminium menjadi benda coran dalam dunia industri saat ini mengarah pada teknologi

semisolid forming.

Proses semisolid forming adalah proses pengerjaan logam yang dilakukan dalam kondisi campuran fasa cair dan padat (semisolid atau semiliquid). Pada proses semisolid forming ini diperlukan bahan baku paduan logam yang berstruktur mikro globular. Bahan baku dengan struktur mikro globular membutuhkan gaya pembentukan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan struktur mikro dendritik. Untuk memperoleh bahan baku paduan logam yang berstruktur mikro globular tersebut salah satunya dengan menggunakan metode rheocasting. Proses semisolid forming memiliki kelebihan dibandingkan dengan proses pengecoran dan pembentukan secara konvensional. Hal ini

(3)

karena dengan menggunakan proses semisolid forming, bentuk produk dapat dibuat relatif kompleks dan gaya pembentukannya relatif lebih kecil. Selain itu proses semisolid forming juga memiliki kelebihan karena cacat porositas yang relatif rendah sehingga diperoleh sifat mekanik yang lebih baik (Winterbottom, 2000).

Surdia (2000) menyatakan Rheocasting merupakan teknik pengecoran yang memberikan perlakuan pada logam cair sebelum menjadi benda coran dalam mesin cor cetak. Proses yang dilakukan yaitu dengan memutar logam cair yang sedang membeku agar butir-butir dendrit terpotong sehingga terbentuk butir baru yang bulat (globular). Proses rheocasting dipengaruhi beberapa faktor antara lain: bahan dan diameter pengaduk, kecepatan putar pengaduk, temperatur pemasukan dan penarikan batang pengaduk.

1.2. Perumusan masalah

Bagaimana pengaruh temperatur pemasukan dan penarikan batang pengaduk terhadap pembentukan struktur globular pada proses rheocasting.

1.3 Batasan masalah

Untuk menentukan arah penelitian yang baik, permasalahan dibatasi hal-hal berikut ini;

1. Bahan penelitian adalah velg bekas roda mobil paduan Al-Si.

2. Batang pengaduk terbuat dari poros baja karbon rendah dengan diameter 20 mm.

3. Batang pengaduk tidak diberikan preheat atau dalam temperatur kamar. 4. Cetakan terbuat dari pipa baja berdiameter 55 mm

5. Cetakan tidak diberikan preheat atau dalam temperatur kamar.

6. Variasi temperatur pemasukan batang pengaduk 635oC, 645oC dan 655oC

7. Variasi temperatur penarikan batang pengaduk 600oC, 610oC dan 618oC

(4)

9. Media quenching yang digunakan air suhu kamar. 10. Logam coran di-quench pada temperatur 585oC.

11. Pengujian yang dilakukan hanya pengamatan struktur mikro.

1.4 Tujuan dan manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh temperatur pemasukan batang pengaduk terhadap faktor bentuk.

2. Mengetahui pengaruh temperatur penarikan batang pengaduk terhadap faktor bentuk.

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Menambah pengetahuan dalam bidang pengecoran semi-solid aluminium khususnya rheocasting.

2. Menambah pengetahuan tentang analisa struktur mikro.

3. Menambah pengetahuan dalam pemanfaatan kembali paduan Al-Si yang didapatkan dari velg mobil bekas.

1.5 Sistematika penulisan

Sistematika penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan, menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Dasar teori, berisi tinjauan pustaka yang berkaitan dengan studi pembentukan struktur mikro globular pada sistem rheocasting, dasar teori tentang proses pengecoran, pembekuan logam, paduan aluminium, temperatur liquidus-solidus paduan aluminium, struktur mikro, metode rheocasting.

(5)

BAB III : Metodologi penelitian menjelaskan bahan penelitian, alat penelitian, langkah penelitian, teknik analisa data dan diagram alir penelitian. BAB IV : Data dan analisa, menjelaskan data hasil penelitian serta analisa hasil

dari perhitungan.

BAB V : Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan pustaka

Ivanchev (2006) menyatakan ada dua teknologi semi solid metal (SSM) yaitu

thixocasting dan rheocasting. Pada teknologi thixocasting menggunakan bahan baku utamanya billet dengan struktur mikro butir non-dendritik. Proses thixocasting di awali dengan pemanasan billet dalam mesin induksi sesuai temperatur yang diinginkan untuk menghasilkan semi-solid billet. Selanjutnya semi-solid billet diinjeksikan ke dalam cetakan logam dengan mesin die casting. Sedangkan proses rheocasting terdiri dari pengadukan logam cair pada temperatur semi solid untuk mengahasilkan semi solid metal dengan struktur mikro globular. Selanjutnya semisolid metal diinjeksikan kedalam cetakan logam. Proses rheocasting memiliki beberapa keunggulan dibandingkan

thixocasting antara lain : prosesnya lebih sederhana, scrap yang tidak terpakai dapat digunakan kembali sebagai bahan baku, dan biayanya lebih murah.

(6)

Martinez, dkk (2000) menyatakan bahwa sebagian besar dalam penelitian terhadap paduan aluminium, dilakukan peleburan dalam dapur induksi (induction furnace) pada suhu 856oC-875oC. Kemudian logam cair dituang ke dalam rongga cetakan

dalam kondisi telah mengalami drop temperature hingga temperatur menjadi 700o

C-800oC. Untuk mengurangi timbulnya thermal shock, cetakan permanen (permanent

mould) sebelumnya dilakukan pemanasan awal (preheated) pada suhu sekitar 260oC.

Surdia (2000) menyatakan Rheocasting merupakan teknik pengecoran yang memberikan perlakuan pada logam cair sebelum menjadi benda coran dalam mesin cor cetak. Proses yang dilakukan yaitu dengan memutar logam cair yang sedang membeku agar butir-butir dendrit terpotong sehingga terbentuk butir baru yang bulat (globular). Struktur mikro logam coran terdiri dari butir-butir kristal primer non dendrit berbentuk bulat dikelilingi fasa eutektik. Perubahan struktur mikro ini memberikan sifat-sifat coran terutama sifat mekanik yang lebih baik.

2.2 Dasar teori

2.2.1 Proses Pengecoran

Surdia (2000) pengecoran logam merupakan proses yang melibatkan pencairan logam, membuat cetakan, menuang, membongkar dan membersihkan coran. Dalam mencairkan logam dapat digunakan berbagai macam tanur seperti kupola atau tanur induksi frekuensi rendah dipergunakan untuk besi cor, tanur busur listrik atau tanur induksi busur tinggi dipergunakan untuk baja cor dan tanur kurs untuk paduan tembaga atau paduan coran ringan, karena tanur-tanur ini dapat menghasilkan logam yang baik dan sangat ekonomis untuk pengecoran logam-logam tersebut.

Cetakan biasanya dibuat dengan cara memadatkan pasir. Pasir yang digunakan adalah pasir alam atau pasir buatan yang mengandung tanah lempung. Kelebihan menggunakan cetakan pasir adalah mudah dibuat dan tidak mahal. Untuk mendapatkan komposisi pasir cetak yang baik biasanya dicampur dengan pengikat khusus, seperti semen, resin furan, resin fenol, atau minyak pengering karena penggunaan zat-zat

(7)

tersebut dapat memperkuat cetakan atau mempermudah pembuatan cetakan. Selain menggunakan cetakan pasir, dapat juga digunakan cetakan logam.

Pada umumnya logam cair dituangkan dengan pengaruh gaya berat, walaupun dalam prakteknya sering menggunakan tekanan pada logam cair selama atau setelah penuangan.

2.2.2 Pembekuan logam

Pada cairan logam murni jika didinginkan secara perlahan maka pembekuan terjadi pada temperatur yang konstan, temperatur ini disebut titik beku. Dalam pembekuan logam cair, tumbuhlah inti kristal, kemudian kristal-kristal tumbuh di sekeliling inti tersebut sampai proses pembekuan berakhir. Ukuran butir kristal tergantung pada laju pengintian dan pertumbuhan inti. Jika laju pertumbuhan lebih besar dari laju pengintian maka ukuran butir semakin besar dan jika laju pengintian lebih besar dari laju pertumbuhan inti maka didapatkan ukuran butir yang halus.

Pembekuan logam dimulai dari bagian yang bersentuhan dengan cetakan, yaitu ketika panas dari logam cair diserap oleh cetakan sehingga bagian logam yang bersentuhan dengan cetakan itu mendingin sampai titik beku. Setelah proses itu, kemudian inti-inti kristal tumbuh. Bagian dalam dari coran mendingin lebih lambat dari pada bagian luar, sehingga kristal-kristal tumbuh dari inti asal mengarah ke bagian dalam coran dan terbentuklah struktur kolom. Struktur ini muncul dengan jelas apabila gradien temperatur yang besar terjadi pada permukaan coran besar, umpamanya pada pengecoran dengan cetakan logam. Sebaliknya pengecoran dengan cetakan pasir menyebabkan gradien temperatur yang kecil dan membentuk struktur kolom yang tidak jelas. Struktur kolom dapat terlihat seperti Gambar 2.1 berikut.

(8)

Gambar 2.1 Struktur mikro pembekuan logam (ASM Handbook Vol.15, Casting)

2.2.3 Paduan Aluminium

Paduan aluminium khususnya aluminium silikon sangat banyak digunakan. Paduan ini mempunyai ketahanan korosi yang baik, ringan, koefisien pemuaian kecil, penghantar baik untuk listrik dan panas, mampu cor baik, densitas rendah dan properti mekanik mudah dikontrol. Kadar silikon di bawah 11% disebut aluminium hypoeutectic, 11-13% disebut eutectic, dan di atas 13% adalah aluminium hypereutectic. Paduan lain yang sering ditambahkan seperti Fe, Cu, Mg, Ni, Zn bertujuan untuk mendapatkan hasil pengecoran atau properti mekanik yang optimum.

Proses solidifikasi dimulai dari fasa cair pada suhu Ts kemudian berlanjut sampai mencapai suhu T1. Perbedaan temperatur antara Ts-T1 disebut temperatur

superheat. Solidifikasi sempurna terjadi setelah melewati temperatur eutektik (Te). Pada saat temperatur liquidus (T1), dendrit tumbuh dan mengalami pengintian yang lebih

(9)

banyak hingga mencapai temperatur eutektik (Te). Bentuk struktur dendrit dapat terlihat pada akhir pembentukan struktur mikro aluminium. Tetapi pada paduan aluminium eutektik (11-13% Si), solidifikasi terjadi pada temperatur eutektik. Pada temperatur eutektik semua sisa liquid akan membeku menjadi aluminium-silikon eutektik dalam paduan biner, terlihat pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2 Diagram fasa paduan Al-Si (Cook, 1998)

2.2.4 Temperatur liquidus dan solidus paduan aluminium

Dobrzański (2006) menyatakan bahwa paduan aluminium-silikon hypoeutectic

melalui tiga tahap reaksi solidifikasi. Proses solidifikasi dimulai pembentukan dendritik dan diikuti pembentukan dua fasa utama eutektik.

Temperatur liquidus (TL) adalah temperatur dimana proses solidifikasi dimulai,

sedangkan temperatur setelah proses solidifikasi selesai disebut temperatur solidus (TS).

(10)

kurva pendinginan. Parameter yang digunakan adalah perubahan temperatur terhadap waktu pada saat proses pendinginan dari fasa cair sampai fasa padat. Temperatur

liquidus (TL) dan temperatur solidus (TS) merupakan titik terjadinya perubahan gradien

pada kurva pendinginan (Altenpohl D, 1982).

Gambar 2.3 Grafik temperatur liquidus-solidus paduan aluminium (Altenpohl, 1982)

2.2.5 Struktur mikro

Hubungan antara struktur mikro dengan sifat mekanik logam dipengaruhi oleh kuantitas fasa, ukuran fasa dan pengaruh bentuk fasa. Oleh karena itu, untuk mendapatkan komposisi dari aluminium cor yang baik sangat dimungkinkan dengan mengoptimasi ukuran butir, struktur eutektik, ukuran sel, serta ukuran dan distribusi dari fase intermetalik. Semakin besar ukuran butir maka nilai kekerasannya semakin

% Si T e m p e ra tu r ( o C )

(11)

menurun. Penurunan nilai elongasi yang besar terjadi pada paduan aluminium yang ditambahkan grain refiner. Sifat mekanik aluminium juga dipengaruhi oleh ukuran sel dendrit. Tegangan tarik ultimate dan nilai elongasi mengalami penurunan dengan meningkatnya ukuran sel dendrit. Struktur eutektik dan ukuran sel pada aluminium paduan terdapat dendrite fibers, yang dapat ditingkatkan sifat mekaniknya melalui perlakuan panas (Granger dan Elliott, 1998).

Paduan Al-Si memiliki kombinasi karakteristik yang baik antara lain castability, ketahanan korosi yang baik (good corossion resistance), ketahanan aus (wear resistance), dan mampu mesin yang baik (machinability).

Hongmin, dkk (2008) melakukan analisa hasil ”Low Superheat Pouring with a Shear Field in Rheocasting of Aluminium Alloys” dengan menggunakan penurunan rumus matematis berikut ini:

F =

4

2

perimeter

A

p

...(2.1) A : luasan struktur mikro

F : faktor kebulatan struktur mikro, harga F semakin mendekati 1 semakin bulat struktur mikro tersebut.

2.2.6 Metode Rheocasting

Scamans dan Fan (2005) menyatakan bahwa metode rheocasting digunakan untuk menghasilkan semi-solid metal. Logam yang dicairkan pada temperatur cair (liquidus) atau di atas temperatur cair (superheat) akan melewati fasa semi-solid metal

(SSM) sebelum mencapai temperatur solidus. Jika pada fasa semi-solid diberikan gaya geser berupa putaran maka struktur mikro yang awalnya berbentuk kolumnar atau dendritik akan terpotong menjadi butir baru yang bulat (globular). Perbedaan struktur mikro dendritik dan globular diperlihatkan pada Gambar 2.4.

(12)

Tahap berikutnya dalam metode rheocasting adalah pengadukan. Batang pengaduk yang digunakan dalam proses rheocasting selain sebagai pengaduk aluminium cair dari temperatur liquidus hingga solidus juga membantu mempercepat pendinginan aluminium cair tersebut. Kemampuan mendinginkan logam cair sangat dipengaruhi difusivitas termal yang dimiliki material batang pengaduk. Selama pengadukan dalam aluminium cair, gradien temperatur batang pengaduk dapat diminimalisir bergantung dari difusivitas termal material.

(a) (b)

Gambar 2.4 (a) Struktur mikro dendritik, (b) Struktur mikro globular

(Ivanchev, 2006)

Setelah mengalami pengadukan logam semi-solid kemudian diproses dalam pengecoran tekanan tinggi (high-pressure die casting). Benda coran yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan hasil proses pengecoran tekan konvensional yang bahan bakunya logam cair. Hal ini disebabkan karena aliran turbulen lebih sedikit terjadi pada saat logam mengisi cetakan. Dengan demikian komponen yang

(13)

dihasilkan akan sedikit mengandung gas dan inklusi oksida. Proses rheocasting

diperlihatkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Proses rheocasting (Basner, 2000)

Bahan baku Peleburan Pengadukan Pencetakan

(14)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Bahan Penelitian

Bahan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu paduan aluminium yang berasal dari velg mobil bekas. Paduan Al-Si setelah dilakukan uji komposisi kimia yang terkandung dalam velg dapat ditentukan termasuk dalam paduan aluminium

hypoeutectic.

Tabel 1 Hasil pengujian komposisi velg

Unsur Komposisi (% wt) Unsur Komposisi (%wt) Al 92,89 Sn 0,025 Si 6,23 Ti 0,177

(15)

Fe 0,178 Pb 0,0012 Cu 0,0017 Be 0,0000 Mn 0,015 Ca 0,0017 Mg 0,411 Sr 0,0360 Cr 0,0041 V 0,0207 Ni 0,0078 Zr 0,0132 Zn 0,0000 3.2 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mesin rheocasting sederhana

Mesin rheocasting ini buatan Laboratorium Proses Produksi Teknik Mesin UNS. Alat ini terdiri dari beberapa bagian utama, yaitu;

a. Bed

Bed ini berfungsi sebagai tempat diletakannya mold dan isolator panas.

b. Motor listrik

Motor listrik yang digunakan adalah ¼ HP 3 phase.

c. Pully

Pully yang digunakan adalah 2 buah dengan diameter 5 cm dan 10 cm. Antara pully yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan V-belt.

d. Batang pengaduk

Batang pengaduk berfungsi sebagai media untuk mengaduk aluminium cair pada cetakan. Batang pengaduk dibuat dari baja karbon rendah

(16)

Gambar 3.1 Mesin rheocasting sederhana 2. Inverter

Inverter digunakan untuk mengatur kecepatan putar motor. Pengaturannya dilakukan secara manual dengan potensiometer.

Gambar 3.2 Inverter

3. Data akusisi

Alat ini digunakan untuk menentukan besarnya temperatur liquidus dan temperatur solidus dan membantu alat kontrol temperatur. Alat ini disambungkan dengan CPU pada komputer dan kabel termokopel tipe K,

(17)

sehingga pada layar monitor komputer dapat terlihat diagram perbandingan antara suhu dengan waktu.

Gambar 3.3 Data akusisi 4. Tungku Tahanan Listrik

Jenis tungku tahanan listrik yang digunakan pada penelitian ini berkapasitas 1100oC. Tungku tahanan listrik ini digunakan sebagai

tempat peleburan logam bahan penelitian. Tungku tahanan listrik yang digunakan merupakan milik Laboratorium Material Teknik Universitas Sebelas Maret.

Gambar 3.4 Tungku tahanan listrik 1100oC

5. Mikroskop Optik

Mikroskop optik digunakan untuk membantu mengamati struktur mikro spesimen. Mikroskop dilengkapi lensa obyektif dengan perbesaran 4X, 10X, 20X, 40X.

(18)

Gambar 3.5 Mikroskop optik 6. Mold

Mold atau cetakan dibuat dari pipa baja dengan diameter 55 mm yang didesain seperti gambar sehingga memudahkan dalam pengambilan dan tidak ikut diputar saat pengadukan.

Gambar 3.6 Mold 7. Ladle

Ladle berfungsi sebagai tempat peleburan bahan sekaligus tempat sebelum logam cair dituang ke dalam mold.

(19)

Gambar 3.7 Ladle

8. Isolator Panas

Isolator panas terbuat dari pipa baja dan dilapisi batu tahan api sehingga panas mold saat penuangan logam cair tidak mudah hilang akibat konveksi udara ruangan.

Gambar 3.8 Isolator panas 9. Termokopel

Termokopel digunakan sebagai sensor temperatur logam cair. Termokopel yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tipe K, karena termokopel ini mampu mengukur temperatur hingga 1250oC.

10. Perlengkapan bantu

Perlengkapan bantu ini berupa tang panjang yang digunakan saat pengambilan ladle yang berisi logam cair.

(20)

Gergaji ini digunakan untuk memotong spesimen yang akan diuji struktur mikronya.

12. Mesin Ampelas

Mesin ini dilengkapi amril dan digunakan untuk menghaluskan spesimen.

13. Autosol

Autosol digunakan untuk menghilangkan goresan akibat penghalusan hasil mesin pengampelas.

14. Larutan etsa

Etsa dilakukan sebelum melakukan pengujian struktur mikro, hasil pengetsaan adalah korosi pada batas butir, sehingga dapat diamati struktur mikronya. Larutan etsa yang digunakan adalah HF 40% dan air dengan perbandingan 1:5

3.3 Langkah Penelitian

Tahapan penelitian dilaksanakan sebagai berikut:

1. Memotong velg bekas dengan gerinda potong tangan menjadi potongan-potongan kecil agar mudah dalam proses peleburan.

2. Melakukan pengujian komposisi kimia velg di Politeknik Manufaktur, Ceper dengan Spektrometer.

3. Membuat cetakan dari pipa baja berdiameter 55 mm, dan isolator panas dengan pipa baja yang dilapisi batu tahan api.

4. Melebur potongan velg ke dalam tungku penghantar listrik dengan temperatur 850oC, ditahan selama 30 menit.

5. Merangkai alat (unit pengaduk, inverter, data akusisi, termokopel, cetakan, isolator panas dan unit komputer).

(21)

7. Menjalankan unit pengaduk dengan kecepatan putar 200 rpm berdiameter 20 mm.

8. Melakukan pengadukan dengan variasi temperatur pemasukan batang pengaduk 635oC, 645oC dan 655oC.

9. Melakukan penarikan batang pengaduk dengan variasi temperatur 600oC, 610oC dan 618oC.

10. Meng-quenching logam coran pada temperatur 585oC ke dalam air 11. Memotong logam coran pada daerah di sekeliling dan di bawah

pengaduk.

12. Menghaluskan spesimen dengan mesin amplas dengan kekasaran bertahap mulai 250, 600, 1000 dan 1200.

13. Memoles spesimen dengan autosol hingga mengkilap.

14. Membuat larutan etsa yang terdiri dari HF 40% dan air dengan perbandingan 1:5.

15. Memasukkan spesimen ke dalam larutan etsa selama 15 detik. 16. Mengamati spesimen di bawah mikroskop optik.

17. Mengukur luas, diameter dan keliling dengan software Image Pro-Plus 6. 18. Menghitung rata-rata dan standar deviasi data diameter, faktor bentuk

dari masing-masing data.

19. Menyajikan data dalam histogram dan menganalisa

3.4 Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh adalah struktur mikro dari berbagai variasi parameter penelitian. Dari gambar struktur mikro, selanjutnya diolah lebih lanjut untuk mendapatkan ukuran butir dan faktor bentuk. Ukuran butir ini dapat diketahui dengan menggunakan program image pro plus. Parameter yang dapat diperoleh dari program ini untuk menentukan faktor bentuk adalah luasan struktur mikro dan keliling (perimeter).

(22)
(23)

Gambar 3.9 Diagram alir penelitian Uji Komposisi Kimia

Velg bekas

Pemotongan Velg

Peleburan Aluminium

Penyiapan struktur mikro

Pengamatan Struktur mikro

Data dan Analisa

Selesai Mulai

Rheocasting

· Variasi temperatur pemasukan batang pengaduk 635oC, 645oC dan 655oC · Variasi temperatur penarikan batang

pengaduk 600oC, 610oC dan 618oC

(24)

BAB IV DATA DAN ANALISA

4.1 Temperatur Solidus-Liquidus

Temperatur solidus-liquidus merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan range temperatur semi-solid sehingga pengadukan pada proses

rheocasting dapat dilakukan pada fasa semi-solid aluminium dengan tepat. Penentuan temperatur ini dilakukan menuang aluminium cair pada CEmeter-cup, yang dihubungkan pada data akusisi sehingga dapat tercatat penurunan temperatur logam cair.

Gambar 4.1 Grafik temperatur solidus-liquidus

Berdasarkan Gambar 4.1 dapat ditentukan bahwa Tsolidus bahan baku

penelitian berkisar 580oC dan T

liquidus berkisar pada temperatur 620oC.

4.2 Hasil rheocasting

Benda coran pada penelitian ini terdapat bekas batang pengaduk. Bekas ini diakibatkan oleh perbedaan temperatur yang besar antara logam cair dan batang pengaduk. Hal ini mengakibatkan terbentuknya lapisan padat antara batang pengaduk

Temperatur Solidus-Liquidus 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 0 500 1000 1500 2000 waktu (s) Suh u (c ) Tliquidus=620oC Tsolidus=580oC

(25)

dan logam cair sehingga menghalangi proses mengisinya logam cair pada saat batang pengaduk ditarik dari cetakan (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Coran hasil rheocasting

4.3 Analisa Pengamatan Struktur Mikro

Sampel yang didapat dari proses rheocasting dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah A yang merupakan daerah sekeliling pengaduk dan daerah B merupakan daerah bawah pengaduk (Gambar 4.3). Setelah penyiapan spesimen kemudian sampel diamati dengan mikroskop optik.

(26)

Teknik pengecoran semi-solid rheocasting dapat menghasilkan coran dengan struktur globular. Gambar 4.4 menunjukkan perbandingan hasil pengecoran konvensional dan rheocasting.

(a) (b)

Gambar 4.4 Struktur mikro; (a) Pengecoran konvensional; (b) Rheocasting

4.3.1 Pengaruh Temperatur Pemasukan Batang Pengaduk terhadap Faktor Bentuk. Identifikasi struktur mikro pada paduan aluminium merupakan aspek yang penting dari metalografi. Struktur mikro paduan aluminium dari proses rheocasting

dengan variasi temperatur pemasukan batang pengaduk dapat di tunjukkan pada Gambar 4.5, 4.6 dan 4.7 Terdapat perbedaan bentuk struktur mikro pada posisi A dan B. Pada posisi A yang berada di sekitar batang pengaduk akan mendapatkan gaya pengadukan yang lebih merata jika dibandingkan posisi B yang berada di bawah batang pengaduk. Struktur mikro yang awalnya dendritik terpotong akibat dari gaya pengadukan. Pada tahap awal pertumbuhannya, potongan dendrit akan tumbuh menjadi dendrit. Akan tetapi dengan diberikan gaya geser terus menerus selama proses

rheocasting, maka pembekuan dendrit menjadi tidak sempurna dan tumbuh menjadi

rosete.Jika laju pendinginannya relatif lambat dan laju regangan gesernya relatif tinggi maka bentuk rosete akan berubah menjadi globular (Fleming, 1991).

(27)

Temperatur pemasukan batang pengaduk akan mempengaruhi efek gaya pengadukan pada aluminium cair. Gaya pengadukan akan lebih efektif memotong struktur dendrit pada temperatur semi-solid, sehingga temperatur pemasukan batang pengaduk harus dimulai di atas temperatur semi-solid.

VariasiTemperatur Pemasukan Batang Pengaduk

(oC)

A B

635-600

645-600

655-600

Gambar 4.5 Struktur mikro dengan variasi temperatur pemasukan batang pengaduk 635 oC, 645 oC dan 655 oC sedangkan temperatur

(28)

VariasiTemperatur Pemasukan Batang Pengaduk

(oC)

A B

635-610

645-610

655-610

Gambar 4.6 Struktur mikro dengan variasi temperatur pemasukan batang pengaduk 635 oC, 645 oC dan 655 oC sedangkan temperatur

(29)

VariasiTemperatur Pemasukan Batang Pengaduk

(oC)

A B

635-618

(30)

655-618

Gambar 4.7 Struktur mikro dengan variasi temperatur pemasukan batang pengaduk 635 oC, 645 oC dan 655 oC sedangkan temperatur

penarikan batang pengaduk 618 oC.

Pengaruh temperatur pemasukan batang pengaduk terhadap nilai faktor bentuk di daerah A dan B dapat ditunjukkan pada Gambar 4.8, 4.9 dan 4.10. Dari tiap variasi temperatur pemasukan batang pengaduk menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur pemasukan batang pengaduk diperoleh butir dengan nilai faktor bentuk yang semakin rendah. Hal ini disebabkan karena kecenderungan untuk terbentuknya struktur globular dipengaruhi oleh superheat. Temperatur superheat adalah temperatur di atas temperatur liquid. Pengaruhnya adalah semakin rendah superheat akan menghasilkan struktur yang semakin globular (Zhu, dkk, 2001). Jadi proses pengadukan pada rheocasting lebih efektif dilakukan mendekati temperatur semi-solid. Dari variasi yang dilakukan didapatkan temperatur pemasukan batang pengaduk yang menghasilkan faktor bentuk paling tinggi adalah pada temperatur 635 oC.

0.66 0.65 0.645 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F 0.635 0.631 0.622 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F 645 655 635 645 655 635

(31)

Gambar 4.8 Grafik harga F variasi temperatur pemasukan batang pengaduk dengan temperatur penarikan 600 oC.

(a) Daerah A (b) Daerah B

Gambar 4.9 Grafik harga F variasi temperatur pemasukan batang pengaduk dengan temperatur penarikan 610 oC.

(a) Daerah A (b) Daerah B 0.638 0.631 0.624 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F 0.616 0.599 0.595 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F 0.621 0.612 0.587 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F 0.601 0.597 0.58 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F 635 645 655 645 655 635 635 645 655 635 645 655

TEMPERATUR PEMASUKAN (oC) TEMPERATUR PEMASUKAN (oC) TEMPERATUR PEMASUKAN (oC) TEMPERATUR PEMASUKAN (oC)

(32)

dengan temperatur penarikan 618 oC.

Pada daerah pengamatan A dengan variasi temperatur pemasukan batang pengaduk memperlihatkan ukuran butir rata-rata α (Al) primer (Gambar 4.11). Energi kinetik yang semakin besar akan menghasilkan ukuran butir α (Al) primer yang semakin

kecil atau halus karena waktu pertumbuhan butir semakin sedikit.

Gambar 4.11 Grafik ukuran butir variasi temperatur pemasukan batang pengaduk. Ukuran butir yang besar juga diakibatkan oleh kecilnya energi kinetik yang diterima (Tabel 4.1) sehingga butir akan mengalami pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan pada variasi lain.

Tabel 4.1 Nilai energi kinetik variasi temperatur pemasukan batang pengaduk. Variasi Temperatur Energi kinetik

94 100 98 90 101 100 98 100 94 0 20 40 60 80 100 120 U K U R A N B U T IR ( µ m ) TEMPERATUR PENGADUKAN (oC) 635 645 655 635 645 655 635 645 655 600 610 618

(33)

635-600 1436,95 645-600 2320,70 655-600 2969,32 Variasi temperatur (oC) Energi kinetik (Joule) 635-610 720,97 645-610 1262,95 655-610 1955,85

4.3.2 Pengaruh Temperatur Penarikan Batang Pengaduk terhadap Faktor Bentuk. Struktur mikro hasil pengecoran rheocasting dengan variasi temperatur penarikan batang pengaduk dapat ditunjukkan Gambar 4.12, 4.13 dan 4.14. Dapat diketahui butir rosete lebih berpotensi terbentuk pada temperatur penarikan batang pengaduk yang tinggi yaitu 618 oC. Hal ini disebabkan karena pada temperatur 618 oC,

merupakan awal fasa semi-solid sehingga dendrit yang berhasil terpotong oleh gaya Variasi temperatur (oC) Energi kinetik (Joule) 635-620 249,47 645-620 638,64 655-620 1048,40

(34)

variasi penarikan batang pengaduk yang mendekati fasa solid yaitu 600 C justru dapat menghasilkan struktur globular yang lebih baik jika dibanding variasi yang lain.

VariasiTemperatur Penarikan

Batang Pengaduk (oC) A B

635-600

635-610

635-618

Gambar 4.12 Struktur mikro pada temperatur pemasukan batang pengaduk 635

oC dengan variasi temperatur penarikan batang pengaduk 600 oC,

(35)

VariasiTemperatur Penarikan

Batang Pengaduk (oC) A B

645-600

645-610

645-618

Gambar 4.13 Struktur mikro pada temperatur pemasukan batang pengaduk 645

oC dengan variasi temperatur penarikan batang pengaduk 600 oC,

(36)

655-600

655-610

655-618

Gambar 4.14 Struktur mikro pada temperatur pemasukan batang pengaduk 655 oC dengan

variasi temperatur penarikan batang pengaduk 600 oC, 610 oC dan 618 oC

Pengaruh temperatur penarikan batang pengaduk terhadap nilai faktor bentuk di daerah A dan B dapat ditunjukkan pada Gambar 4.15, 4.16 dan 4.17. Nilai faktor bentuk akan cenderung menurun seiring meningkatnya temperatur penarikan batang pengaduk. Hal ini disebabkan karena rentang waktu antara penarikan batang pengaduk dengan quenching relatif lebih lama sehingga struktur mikro yang awalnya globular akan tumbuh membesar sehingga mengurangi globularitas dari struktur mikro itu sendiri. Faktor bentuk paling tinggi adalah pada temperatur penarikan batang pengaduk 600 oC.

(37)

(a) Daerah A (b) Daerah B

Gambar 4.15 Grafik harga F temperatur pemasukan batang pengaduk 635 oC

dengan variasi temperatur penarikan batang pengaduk.

(a) Daerah A (b) Daerah B

Gambar 4.16 Grafik harga F temperatur pemasukan batang pengaduk 645 oC

dengan variasi temperatur penarikan batang pengaduk.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 H A R G A F 0.616 0.601 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 H A R G A F 0.65 0.631 0.612 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F 0.631 0.599 0.597 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F 600 610 618 600 610 618 600 610 618 600 610 618

TEMPERATUR PENARIKAN (oC) TEMPERATUR PENARIKAN (oC)

(38)

(a) Daerah A (b) Daerah B

Gambar 4.17 Grafik harga F temperatur pemasukan batang pengaduk 655 oC

dengan variasi temperatur penarikan batang pengaduk.

Variasi penarikan batang pengaduk juga memperlihatkan ukuran butir rata-rata α (Al) primer yang berbeda pula (Gambar 4.18). Ukuran butir maksimum dan minimum yang diperoleh adalah 101 µm dan 90 µm. Pengamatan struktur mikro juga menunjukkan terjadinya variasi faktor bentuk dan ukuran butir pada tiap daerah pengamatan. Keseragaman faktor bentuk dan ukuran butir dapat diketahui melalui harga standar deviasi.

0.645 0.624 0.587 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F 0.622 0.595 0.58 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 H A R G A F

(39)

Gambar 4.18 Grafik ukuran butir variasi temperatur penarikan batang pengaduk.

Energi kinetik yang diterima selama proses pengadukan berpengaruh terhadap ukuran butir α

primer. Energi kinetik yang kecil akan menghasilkan ukuran butir yang lebih besar dan sebaliknya. Akan tetapi pada grafik ukuran butir variasi temperatur penarikan batang pengaduk kurang sesuai dengan teori yang ada. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan fragmentasi tiap butir yang berbeda.

Tabel 4.2 Nilai energi kinetik variasi temperatur penarikan batang pengaduk. Variasi temperatur (oC) Energi kinetik (Joule) 635-600 1436,95 635-610 720,97 635-618 249,47 94 94 90 98 0 20 40 60 80 100 U K U R A N B U T IR ( µ m ) TEMPERATUR PENGADUKAN (oC) 600 610 618 600 610 618 600 610 618 635 645 655

(40)

(Joule) 645-600 2320,70 645-610 1262,95 645-618 638,64 Variasi temperatur (oC) Energi kinetik (Joule) 655-600 2969,32 655-610 1955,85 655-618 1048,40

(41)

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, pengujian dan analisa dapat disimpulkan sebagai berikut :

1 Faktor bentuk pada variasi temperatur pemasukan batang pengaduk 635 oC lebih tinggi

dibandingkan temperatur 645 oC dan 655 oC.

2 Faktor bentuk pada variasi temperatur penarikan batang pengaduk 600 oC lebih tinggi

dibandingkan temperatur 610 oC dan 618 oC.

3 Faktor bentuk maksimal diperoleh pada temperatur pemasukan batang pengaduk 635 oC dan

temperatur penarikan batang pengaduk 600 oC sebesar 0,66 di sekeliling pengaduk dan 0,635 di

bawah pengaduk dengan ukuran butir 100 µm dan 105 µm .

5.2Saran

Berdasarkan pelaksanaan dan hasil penelitian dapat disarankan :

1. Melakukan penelitian terhadap variabel pre-heat dan jenis batang pengaduk supaya logam bisa mengisi kembali.

2. Melakukan penelitian terhadap variabel temperatur quenching. 3. Pengambilan gambar struktur mikro tidak dilakukan secara acak.

(42)

Altenpohl, D., 1982, Aluminium Viewed from Within, Aluminium-Verlag, Dusseldorf. Cook, R., 1998, Modification of Aluminium-Silicon Foundry Alloys. www.metalurgal.com

Dobrzański, L.A., Maniara, R., and Sokolowski, J.H., 2006, The Effect of Cast Al-Si-Cu Alloy Solidification Rate on Alloy Thermal Characteristics, University of Windsor, Ontario, Canada.

Flemings, M.C., 1991, Behavior of Metal Alloys in The Semisolid State, Metallurgical Transactions A, vol. 22A, hal. 957-981.

Granger, A., Douglas, dan Elliott, R., 1998, Aluminium-Silicon Alloys, ASM Handbook Vol. 15 (Casting), USA.

Hongmin-Guo, Xiangjie-Yang, dan Bin-Hu, 2008, Low Superheat Pouring in Rheocasting of Aluminium Alloys, Nanchanng University, Nanchang, China.

Ivanchev, L., 2006, Rheo-processing of Semi-solid Metal Alloys A New Technology for Manufacturing Automotive and Aerospace Components, CSIR Research & Innovation Conference.

Martinez, K.M., dkk., 2000, Effect of Mold Coating on The Thermal Fatigue in Al Permanent Mold Casting, AFS Transaction.

Sakurai, Takeo, 2008, The Latest Trends in Aluminum Alloy Sheets for Automotive Body Panels, Kobelco Technology Review.

Scamans, Geof, dan Fan, Zhongyun, 2005, Twin Roll Rheocasting of Aluminium Alloys, Innoval Technology, Brunei.

Surdia, Tata dan Chijiwa, Kenji, 2000, Teknik Pengecoran Logam, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Winterbottom, W.L., 2000, Semi-solid Forming applications : High Volume Automotive Producs,

(43)

Gambar

Gambar 2.1 Struktur mikro pembekuan logam  (ASM Handbook Vol.15, Casting)
Gambar 2.2 Diagram fasa paduan Al-Si  (Cook, 1998)
Gambar 2.3 Grafik temperatur liquidus-solidus paduan aluminium   (Altenpohl, 1982)
Gambar 2.5 Proses rheocasting (Basner, 2000)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Op.. dalam membantu para guru untuk mengembangkan kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. 38 Esensi

tanggal Tujuh bulan Juni tahun Dua ribu tiga dibawah ini Panitia Pengadaan Barang/Jasa Hortikultura Kabupaten Tapanuli Selatan, telah.

Project : Embankment Rehabilitation and Dredging Work of West Banjir Canal and Upper Sunter Floodway of Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP/JEDI) – ICB Package

Sedangkan penelitian ini menggunakan variabel dependen manajemen laba dan variabel independen asimetri informasi serta sampel yang digunakan perusahaan perbankan

Pemanfaatan kapal pesiar sebagai sarana untuk mengenalkan pariwisata di kota Luwuk dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan memberikan nuansa tropis

Pada bagian tubuh manakah saudara merasakan keluhan nyeri/panas/kejang/mati4. rasa/bengkak/kaku/pegal?.. 24 Pergelangan

AMALI/ MAKMAL NO. AMALI PENYELARAS/ PENGAJAR BIL. KOD PROGRAM/ MAJOR/ KLASIFIKASI/ KUOTA BIL. ) DZARIFAH BINTI MOHAMED ZULPERI ( DR. ) CHRISTOPHER TEH BOON SUNG ( PROF. )