• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI ANAK DI YOGYAKARTA TERHADAP FIGUR AYAH BERDASARKAN HASIL C.A.T

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERSEPSI ANAK DI YOGYAKARTA TERHADAP FIGUR AYAH BERDASARKAN HASIL C.A.T"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI ANAK DI YOGYAKARTA

TERHADAP FIGUR AYAH BERDASARKAN HASIL C.A.T

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Stella Cindy Touresia 089114074

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Janganlah Takut Untuk Mengambil Langkah Besar.

Anda Tidak Bisa menyeberangi Sebuah Jurang Dengan Lompatan Kecil.

David Lloyd George

Penelitian ini dipersembahkan untuk:

Bapaku yang sungguh luar biasa, Tuhan Yesus Kristus.. I Can Do All Things through Christ which strengtheneth me..

Phillippins 4:13

Yang Tersayang Papa, Mama, Ko Rio dan Yoyo.. Serta

My Breath, My Life and My Everything,, Kokoku yang Tercinta dan Tersayang, Ko Yoseph..

(5)
(6)

vi

PERSEPSI ANAK DI YOGYAKARTA

TERHADAP FIGUR AYAH BERDASARKAN HASIL C.A.T

Stella Cindy Touresia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T. Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah anak usia enam hingga sebelas tahun dan tinggal di Yogyakarta. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumen yang menggunakan laporan praktikum Children’s Apperception Test (C.A.T) yang tersedia di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tahun 2009 / 2010 sebanyak 60 dokumen. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis tematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) persepsi mengenai figur ayah dapat dilihat secara tradisional dan modern. Figur ayah yang tradisional tampak pada persepsi ayah yang mencari nafkah, ayah yang bekerja dan menjalankan otoritasnya serta tidak terlibat atau tidak dekat dengan anak. Sedangkan figur ayah yang modern tampak pada persepsi ayah yang bekerja tetapi tetap terlibat atau dekat dengan anak, ayah yang mengurusi-merawat anak dan terlibat dengan anak serta ayah yang memberikan perhatian atauterlibat dalam kegiatan bersama anak, 2) pada masa sekarang ini, figur ayah cenderung lebih banyak menerapkan perspektif modern, 3) persepsi yang muncul juga dapat dilihat dari segi positif dan negatif berdasarkan dampak yang diberikan terkait dengan peran ayah. Peran yang memberikan dampak positif antara lain peran yang terkait dengan ayah yang memiliki atau memegang otoritas, hadir atau menemani-melakukan kegiatan bersama anak atau terlibat dengan anak serta mengurusi dan merawat anak. Peran yang memberikan dampak yang negatif antara lain, ayah yang mengabaikan atau melakukan sesuatu yang buruk pada anak serta ayah yang bersantai dan tidak terlibat atau tidak dekat dengan anak, 4) terdapat juga persepsi yang bersifat ambivalen yaitu ayah yang terlibat dalam keluarga atau bersama anak tetapi juga kurang memperhatikan anak.

(7)

vii

PERCEPTIONS OF CHILDREN IN YOGYAKARTA ABOUT THE FIGURE OF FATHER BASED FROM C.A.T

Stella Cindy Touresia

ABSTRACT

This research aims to describe Yogyakarta’s children perception about father figure based of C.A.T. Subjects included in this research are children aged six to eleven years old and lived in Yogyakarta. The data was collected from document report of C.A.T that available at the Faculty of Psychology, Sanata Dharma University, Yogyakarta on 2009 / 2010 and the amount are 60 documents. Data was analyzed using thematic analysis method. The results showed that 1) the perception of a father figure can be viewed in traditional and modern. Traditional father figure perceptions are father as a breadwinner, a father who works and runs his authority and not involved or not close to the child. While the modern father figure perceptions are fathers who work but stay involved or close to the child, father who provide caregiving to the child and involved with the child and father who provide care or involved in activities with their children, 2) now a days, father put the modern perspective in their life especially in relation with their children, 3) there are also a perception based on the positive and negative impacts presented in connection with the role of fathers. Positive impact’s roles are associated with a father who owns or holds authority, attend or accompany and doing activities with children, or involved with children and provide caregiving to their children. Negative impact’s roles are fathers who ignore or do something bad to the child and father relax and not involved or close to the child, 4) there is are also an ambivalent perception of father involved in the family or with the child but with little regard to the child.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Skripsi yang berjudul “Persepsi Anak di Yogyakarta Terhadap Figur Ayah

Berdasarkan Hasil C.A.T” ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi

anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T. Peneliti

berharap agar hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berguna bagi

pembaca maupun bagi peneliti selanjutnya.

Banyak sekali hal dan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh peneliti

dalam proses penyelesaian penelitian ini. Pengalaman-pengalaman tersebut

menjadikan penelitian ini menjadi salah satu pencapaian terbesar dalam hidup

peneliti. Dalam pencapaian salah satu hal terbesar ini, peneliti menyadari bahwa

tanpa campur tangan Bapa di Sorga, peneliti tak dapat melakukan penelitian ini

dengan baik dan lancar. Peneliti menyadari bahwa kasih setiaNya selalu

dicurahkan dan Roh KudusNya selalu menyertai setiap proses yang boleh peneliti

lalui hingga semuanya dipersembahkan kembali bagi kemuliaan Bapa di Sorga.

Selain itu, penyelesaian penelitian ini tak luput juga dari dukungan-dukungan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, secara khusus peneliti ingin mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Dr. Christina Siwi H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta yang memberikan semangat baru bagi penulis

lewat kata-kata motivasinya.

2. Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., Psi., selaku dosen pembimbing dalam

menyelesaikan penelitian ini yang selalu memberikan yang terbaik mulai dari

(10)

penyusunan penelitian ini hingga selesai. Terimakasih banyak bu untuk

semuanya. Semua pengalaman-pengalaman ini telah menjadi bagian hidup

bagi penulis dan tak akan pernah dapat dilupakan.

3. V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si., atas masukan-masukan dan waktu

yang diberikan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini.

4. Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi., M.Si., yang juga telah memberikan waktu

pada penulis untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Senyum, ucapan

selamat dan pelukan Ibu pada penulis tak akan pernah penulis lupakan.

5. Semua Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman.

6. Segenap karyawan di Fakultas tercinta ini, Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta yang membantu penulis selama berproses di

Fakultas tercinta ini. Buat Mas Muji: terima kasih banyak atas semua

kesediaan waktunya untuk menyiapkan data penelitian yang cukup banyak,

bantuan dan kesabaran dalam menghadapi penulis, atas

pengalaman-pengalaman yang diberikan, atas nasehat atau masukan dan terima kasih atas

senyum dan keramahan yang selalu diberikan pada penulis. Buat Mas Doni:

terima kasih bust kesediaan waktunya untuk mengkoreksi penelitian ini. Buat

Pak Gie: terima kasih buat teh panas manisnya serta sapaan dan senyum

ramahnya. Buat mas Gandung: terima kasih sudah mau diganggu dengan

pertanyaan-pertanyaan yang terkadang tidak perlu ditanyakan menurut anda

tapi perlu ditanyakan menurut peneliti. Buat Bu Nani: terima kasih atas

(11)

7. Papa dan mama tercinta yang dengan tulus selalu memberikan doa, semangat,

kepercayaan, kesabaran, dan waktunya. Semua yang telah papa mama

lakukan dan korbankan selalu menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan

hingga akhir.

8. Kakak dan adikku tersayang, Rio Bangun Sutiksno dan Yoyo Dody Sutiksno,

atas perhatian, dukungan, semangat, dan keusilan yang selalu membuat

penulis merasa lebih “hidup” dan membuat penulis menyadari bahwa hidup

ini harus dinikmati dan disyukuri.

9. Kokoku yang tersayang, Yoseph Setyawan Budiono yang telah dengan sangat

sabar dan penuh sayang menemani hari-hari penulis. Terima kasih atas

ketulusan dan pengorbanan yang telah koko berikan. Thank you for your love,

honey.. You’re my life and my everything. All i wanna do is grow old with

you.

10. Sahabat-sahabat terbaik atas dukungan dan keusilan kalian. Buat Vivi: terima

kasih buat perhatian dan dukungannya yang sangat besar khususnya saat

detik-detik terakhir penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Buat Fla:

terima kasih atas kegilaan yang selalu membuat penulis tertawa

terpingkal-pingkal. Buat Chike: terima kasih telah memberikan pengalaman baru. Buat

Miss Gupil: terima kasih buat kegilaannya selama di kos maupun di kampus.

Buat Pauline: terima kasih juga buat kegilaan dan pengalaman-pengalaman

baru selama empat tahun kita satu kos dan hampir selalu tidur bersama. I miss

(12)

11. Sahabat-sahabat lain yang telah mendukung penulis. Terima kasih buat Ade

yang selalu membuat suasana menjadi menyenangkan lewat cerita-cerita

konyolnya. Terima kasih buat Dessy untuk perhatiannya. Terima kasih buat

Ayu dan Tiwi yang telah bersama-sama dengan penulis berjuang dalam

menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih juga untuk Lukas yang mau

meluangkan waktu untuk membaca semua penelitian ini dan membantu

penulis dalam mempersiapkan ujian pendadaran.

12. Teman-teman di Fakultas Psikologi 2008 yang telah berjuang bersama selama

empat tahun ini: Puji, Sari, Anggit, Dian, Bora, Ledita, Benoni, Selly, Vale,

Devi dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. I miss you all.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mendukung

dalam penyelesaian penelitian ini.

Penulis menyadari dengan rendah hati bahwa karya ini masih jauh dari

sempurna. Peneliti juga meminta maaf bila terdapat kata-kata yang kurang

berkenan di hati para pembaca. Penulis berharap agar karya ini dapat bermanfaat

bagi para orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.

Penulis

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I.PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II.DASAR TEORI ... 7

A. Persepsi ... 7

B. Anak Usia Pertengahan ... 8

(14)

D. Teori Object Relation ... 15

E. Figur Ayah Bagi Anak-anak di Yogyakarta... 17

1. Keluarga Jawa ... 17

2. Figur Ayah dalam Keluarga Jawa ... 19

F. Persepsi Anak terhadap Figur Ayah di Yogyakarta ... 21

G. Pertanyaan Penelitian ... 23

BAB III.METODE PENELITIAN ... 24

A. Jenis Penelitian ... 24

B. Fokus Penelitian ... 24

C. Subjek Penelitian ... 24

D. Pengumpulan Data Penelitian ... 24

E. Metode Analisis Data ... 26

F. Keabsahan Data Penelitian ... 28

BAB IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Pelaksanaan Penelitian ... 29

1. Pengumpulan Data ... 29

2. Pengolahan Data ... 29

a. Pemilihan Cerita ... 29

b. Interpretasi Cerita ... 29

c. Penyimpulan Data ... 30

B. Hasil Penelitian ... 30

1. Deskripsi Subjek ... 30

(15)

3. Persepsi Komposit Figur Ayah ... 38

C. Pembahasan ... 46

BAB V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

A. KESIMPULAN ... 56

B. SARAN ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 31

Tabel 2. Deskripsi Pekerjaan Orang Tua ... 31

Tabel 3. Jumlah Kartu yang Muncul ... 32

Tabel 4. Ragam Persepsi, Jumlah dan Kategorisasi ... 32

Tabel 5. Persepsi Komposit ... 39

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Interpretasi Cerita – Analisis Tematik ... 62

Lampiran 2. Deskripsi Subjek ... 84

Lampiran 3. Ragam Persepsi dan Jumlah Persepsi ... 87

(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Setiap hubungan atau relasi yang dijalin seseorang dengan orang lain

memiliki dampak potensial yang dapat menguntungkan atau justru merugikan

perkembangan hidup orang tersebut. Relasi yang paling memberikan

konsekuensi atau akibat dalam kehidupan seorang anak adalah relasi dengan

keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah salah satu konstruksi

paling dasar dalam hubungan manusia dan memiliki dampak besar pada

perkembangan seseorang (Childers, 2010). Ketika orang tua menjadi distress

pada emosi negatif anak-anaknya dan menghukumnya, nantinya anak akan

berekspresi lebih marah, menampakkan sikap bermusuhan, mempunyai

masalah perilaku yang lebih banyak dan mempunyai fungsi sosial di sekolah

yang rendah (Eisenberg, Fabes, et al., Fabes, Leonard, et al. Dalam Bukatko,

2008). Relasi yang telah terbentuk dalam keluarga akan ikut mempengaruhi

relasi terhadap orang lain di luar keluarga yang nantinya relasi tersebut akan

menjadi pola yang terus menerus diulang sehingga menetap pada diri anak

(Friedman, Howard. S & Schustack, Miriam. W, 2008).

Sekarang ini, bukan hanya relasi antara anak dan orang tua secara

umum atau relasi anak dengan ibu yang dipandang penting. Relasi antara

anak dengan ayahpun juga penting. Peran ayah dalam pengasuhan ternyata

(19)

mengembangkan penelitian tentang relasi antara anak dengan figur ayah.

Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Dyer, dkk (2009) mengatakan bahwa

adanya peran yang aktif dari seorang ayah dalam merawat anak-anaknya

dengan cara melakukan interaksi dengan jumlah dan kualitas yang baik

selama masa kanak-kanak awal dapat mengarahkan anak pada perkembangan

sosial yang positif (Updegraff, McHale, Crouter, & Kupanoff), sedikitnya

masalah perilaku (Jaffee, Moffitt, Caspi, & Taylor), pengaturan emosi diri

yang lebih baik (Roggman, Boyce, Cook, Christiansen, & Jones),

meningkatkan perkembangan bahasa (Magill-Evans & Harrison) dan

meningkatkan fungsi kognitif untuk anak-anak yang masih atau lebih muda

(Gauvain, Fagot, Leve, & Kavanagh).

Pentingnya peran ayah juga dinyatakan oleh studi lain yang dilakukan

oleh Radin, Wagner & Phillips (dalam Bukatko, 2008), yang menunjukkan

bahwa ayah yang memiliki kehangatan dan terlibat dengan anak-anaknya

berasosiasi dengan kompetensi dan prestasi akademik anak-anaknya serta

memiliki kekakuan stereotip peran gender yang lebih rendah. Biller dan Lamb

(dalam Bukatko, 2008) menyatakan bahwa anak, khususnya anak laki-laki

yang tumbuh tanpa seorang ayah akan bermasalah pada bidang akademis atau

kognitif, perkembangan peran gender dan kontrol terhadap agresi.

Secara khusus, peneliti ingin mengetahui relasi antara anak dengan

ayah melalui persepsi terhadap figur ayah yang muncul pada anak-anak.

Persepsi mengenai figur lain terbentuk sebagian besar dipengaruhi oleh faktor

(20)

orang lain kita baru bisa memperoleh informasi-informasi baik verbal

maupun nonverbal yang nantinya informasi-informasi tersebut digunakan

untuk menyimpulkan tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang

lain (Sarwono, 2009). Persepsi anak terhadap keluarga, khususnya ayah,

penting dilihat sebab persepsi yang muncul merupakan indikator dari sesuatu

yang telah terjadi menyangkut ayah di dalam keluarga. Ketika persepsi yang

muncul adalah persepsi yang positif maka dapat disimpulkan bahwa relasi

yang terjadi juga baik atau positif.

Secara garis besar, persepsi itu sendiri dipengaruhi oleh faktor

psikologis dan faktor budaya. Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi

persepsi seseorang meliputi kebutuhan, kepercayaan, emosi dan ekspektasi

atau harapan yang ada di dalamnya, serta dipengaruhi oleh masa lampau

orang tersebut. Faktor selanjutnya yang ikut mempengaruhi persepsi adalah

budaya. Budaya tempat tinggal seseorang mempengaruhi kebutuhan,

kepercayaan, emosi dan ekspektasi orang tersebut. Budaya mempengaruhi

persepsi seseorang melalui stereotip. Stereotip mengarahkan seseorang dan

mengatakan pada diri orang tersebut apa yang penting untuk disadari atau

diabaikan (Wade & Tavris, 2007). Hal ini membuat orang memberikan

tanggapan yang berbeda-beda walaupun dengan objek yang sama.

Beberapa sumber berikut menyinggung bagaimana figur ayah bagi

anak-anak. Dalam Skolnick & Skolnick (1983),figur ayah dijelaskan dalam

perspektif tradisional dan modern. Dalam perspektif tradisional, ayah tidak

(21)

disimbolkan secara dekat sebagai model kekuasaan dan otoritas, yang

seharusnya mempunyai sedikit pengasuhan terhadap anaknya. Selain itu, ayah

dilihat sebagai pencari nafkah, dihormati tetapi ditakuti oleh anak-anak.

Parsons dan Bales (dalam Skolnick & Skolnick, 1983) menggunakan

perspektif tradisional yang melihat laki-laki dalam keluarga sebagai figur

yang bertanggung jawab pada keluarga sedangkan ibu lebih sebagai “pemberi

kasih sayang” di rumah. Tanggung jawab laki-laki pada keluarganya

berkaitan dengan dunia luar atau pekerjaan.

Walaupun perspektif tradisional memandang ayah sebagai pencari

nafkah, perspektif modern tidak beranggapan seperti itu. Perspektif modern

melihat bahwa ketika ayah ikut berperan dalam pengasuhan anaknya maka

anaknya akan memiliki identitas peran seks, performansi akademis, dan

perkembangan sosial yang baik.

Di Jawa sendiri, menurut Geertz (1983), pola pengasuhan yang

diterapkan termasuk pola asuh yang otoriter. Dapat dikatakan demikian sebab

dalam nilai-nilai kejawen anak diharapkan mematuhi harapan-harapan atau

keinginan-keinginan orang tuanya, pandai mengendalikan diri dan sopan. Jika

anak tersebut tidak melakukannya atau tidak memenuhi harapan orang tuanya

maka orang tua akan menghukumnya. Bahkan hukuman yang diterima anak

tersebut berkisar dari tatapan ancaman atau peringatan tajam untuk

dipermalukan di depan orang lain, dari cubitan hingga pukulan walaupun

(22)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gambaran figur ayah

pada anak-anak merupakan hal menarik dan cukup penting untuk diketahui.

Terkait hal tersebut, peneliti ingin mengetahui tentang gambaran figur ayah di

Yogyakarta saat ini mengingat bahwa Yogyakarta merupakan salah satu pusat

kebudayaan Jawa dan di dalamnya berlaku perspektif tradisional.

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak usia enam

hingga sebelas tahun atau anak usia pertengahan. Subjek tersebut dipilih

sebab anak dalam usia pertengahan telah mampu untuk mempersepsikan

orang-orang disekitarnya termasuk orang tua. Pernyataan ini didukung oleh

Santrock (1995) yang menyatakan bahwa pada masa usia pertengahan ini

anak-anak dan orang tua akan saling memberi cap. Mereka akan bereaksi satu

sama lain tidak hanya atas dasar perilaku mereka di masa lampau tetapi juga

berdasarkan atas bagaimana mereka menginterpretasikan perilaku dan

harapan-harapan mereka atas perilaku-perilaku tersebut.

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui dokumen yang berupa

respon terhadap tes proyektif story telling Children’s Apperception Test atau

C.A.T. Teknik story telling dipilih sebab berdasarkan observasi pelaksanaan

praktikum C.A.T, para subjek yaitu anak cukup lancar dalam bercerita.

Disamping itu, tes C.A.T dipilih karena anak dapat merasa lebih nyaman

dengan menunjukkan perasaannya melalui figur yang ada di gambar daripada

jika anak diminta untuk menggambarkan dirinya atau figur-figur yang ada di

dalam keluarga atau lingkungannya secara langsung (Bellak & Abrams,

(23)

B. Rumusan masalah

Bagaimana persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah

berdasarkan hasil C.A.T

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui gambaran persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur

ayah berdasarkan hasil C.A.T.

D. Manfaat Penelitian

1. Menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang Psikologi

Perkembangan khususnya mengenai persepsi anak di Yogyakarta terhadap

figur ayah berdasarkan hasil C.A.T.

2. Menambah pengetahuan atau wawasan pada masyarakat umum (orang tua)

tentang persepsi seorang anak terhadap figur orang tua khususnya figur

ayah. Wawasan atau pengetahuan yang didapat tersebut, kemudian dapat

dijadikan sebagai pertimbangan atau pedoman oleh orang tua dalam

mengasuh anak-anak.

3. Melalui penelitian ini dapat ditunjukkan kegunaan dari C.A.T untuk

penelitian, khususnya untuk meneliti persepsi anak terhadap figur orang

(24)

7

BAB II DASAR TEORI

A. Persepsi

Persepsi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah persepsi

terhadap figur ayah. Persepsi terhadap figur ayah digali dengan

menggunakan teknik proyektif yaitu C.A.T. Dalam C.A.T persepsi yang

dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman masa lampau atau pengalaman

sebelumnya dan bersifat subjektif disebut sebagai apersepsi (Bellak &

Abrams, 1997).

Apersepsi menurut Kant, merupakan penyatuan persepsi. Dengan

apersepsi, persepsi-persepsi yang disatukan disebut sebagai diri yang sadar

atas diri mereka dalam berbagai saat atau waktu. Persepsi-persepsi tersebut

dipersatukan merujuk pada objek-objek eksternal yang terdapat dalam satu

dunia. Selain itu, menurutnya persepsi hanya merupakan suatu objek

tunggal sedangkan apersepsi berkaitan dengan persepsi dan dunia

(Monroe, 1911).

Apersepsi menurut Bellak dan Abrams (1997) merupakan suatu

proses yang mana pengalaman-pengalaman baru diasimilasikan atau

disesuaikan dan ditransformasikan atau dirubah bentuknya oleh endapan

pengalaman masa lampau individu menjadi suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Apersepsi merupakan proses dinamis yang terjadi pada individu

(25)

diberikan tersebut merupakan interpretasi yang dinamis dan penuh makna

dari individu terhadap suatu persepsi (Edwin & Bellak, 1959).

B. Anak Usia Pertengahan

Anak-anak pada masa tahun-tahun sekolah dasar ini berkisar antara

usia enam hingga sebelas tahun. Dalam tahun-tahun ini, anak sudah

memiliki ketrampilan-ketrampilan fundamental seperti membaca, menulis,

dan berhitung. Selain itu, anak juga mulai secara formal berhubungan

dengan dunia yang lebih luas beserta kebudayaannya.

Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, anak-anak pada masa

tahun sekolah dasar masuk dalam tahap operasional konkret. Dalam tahap

ini anak dapat menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah

yang konkret. Anak juga dapat berpikir lebih logis karena mereka pada

masa ini telah dapat mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke

dalam pertimbangan-pertimbangannya walaupun masih dibatasi untuk

berpikir tentang situasi yang sebenarnya pada saat itu saja. Kemampuan

atau pemahaman yang lebih baik ini dapat ditunjukkan lewat tugas

konservasi, yaitu mengenai kesamaan volume isi tanpa terpengaruhi

perubahan wadah. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu

mengkoordinasikan beberapa karakteristik sekaligus dan tidak lagi hanya

berfokus pada elemen tunggal dari sebuah objek. Selain itu, anak dalam

tahap ini mampu menggolongkan atau mengklasifikasikan benda ke dalam

(26)

Di samping itu, anak-anak dengan tahap operasional konkret ini

mampu untuk memahami keterhubungan antara kumpulan dan sub

kumpulan, seriation dan transivity. Memahami keterhubungan antara

kumpulan dan sub kumpulan dapat ditunjukkan ketika seorang anak dapat

melihat seseorang dengan peran yang berbeda dalam saat bersamaan,

misalnya seorang laki-laki yang dapat berperan sebagai ayah, saudara,

anak dan cucu. Seriation merupakan kemampuan anak untuk mengurutkan

stimuli sepanjang dimensi kuantitatif seperti panjang. Transivity adalah

kemampuan untuk memikirkan relasi gabungan secara logis, yang berarti

jika ada relasi objek yang pertama dan kedua, dan ada relasi antara objek

kedua dan ketiga, maka pasti ada relasi antara objek pertama dan ketiga.

Masih dalam area kognitif, pemrosesan dan penyimpanan

informasi pada anak dalam usia pertengahan ini semakin berkembang atau

mengalami kemajuan. Selain itu juga terjadi peningkatan dalam waktu

reaksi dan kecepatan memproses tugas. Pemrosesan yang makin cepat dan

efisien ini meningkatkan jumlah informasi yang dapat diproses di memori

kerja anak. Hal ini membuat anak memiliki kemungkinan mengingat yang

lebih baik dan memiliki pemikiran ke level yang lebih tinggi serta

kompleks (Papalia, et al., 2010).

Berkaitan dengan emosi, anak dengan tahun sekolah dasar lebih

baik dalam hal mengatur emosi mereka. Tahap ini memberikan

kesempatan anak untuk belajar mengatur emosi mereka dalam

(27)

tersebut antara lain seperti apakah orang tua memberikan kesempatan pada

anaknya untuk menjadi semakin emosional atau untuk menjadi tenang,

serta apakah yang anak pelajari dari konsekuensi yang mereka terima dari

emosi yang ditunjukkannya seperti, apakah yang terjadi ketika aku marah

dengan tantrum atau saat aku hanya menggunakan kata-kata. Ketika orang

tua menjadi distress pada emosi negatif anak-anaknya dan

menghukumnya, maka sebagai akibatnya nantinya anak akan berekspresi

lebih marah dan menampakkan sikap bermusuhan serta mempunyai

masalah perilaku yang lebih banyak dan rendahnya fungsi sosial di

sekolah (Eisenberg, Fabes, et al.; Fabes, Leonard, et al.,dalam Bukatko,

2008). Di sisi lain, ketika orang tua memberikan pengarahan yang

mendukung ekspresi emosi anak, seperti dengan membantu anak untuk

berbicara tentang apa yang mereka rasakan dan memberi saran atau jalan

keluar tentang emosinya, maka anak akan menjadi lebih baik dalam

menenangkan diri mereka dan mengatur emosi negatif mereka (Gottman,

Katz, & Hooven dalam Bukatko, 2008).

Nada interaksi yang digunakan ketika berinteraksi dengan orang

tua juga ikut berperan. Nancy Eisenberg dan koleganya, dalam buku

Bukatko (2008) ini menyatakan bahwa ibu dengan ekspresi emosi yang

positif mempunyai anak yang lebih baik atau lebih dapat mengatur emosi

mereka dan juga sebaliknya.

Kecenderungan seorang anak untuk mengekspresikan emosinya

(28)

anak Amerika cenderung untuk tersenyum lebih banyak daripada

anak-anak China sewaktu bayi (Camras et al., dalamBukatko, 2008) sedangkan

sisi lain dari spektrum emosional, anak-anak China lebih baik dalam

mengidentifikasi ketakutan dan situasi sedih dari anak-anak Amerika, dan

mereka lebih sedikit menangis (Borke; Camras et al.,dalamBukatko,

2008). Perbedaan ini dapat merefleksikan penggabungan dari kepercayaan

budaya tentang emosi.

Selama masa tahun-tahun sekolah ini, hubungan antara orang tua

dan anak tidak lagi satu sisi. Orang tua sekarang mulai menerapkan

pengasuhan yang lebih bebas, khususnya saat anak memasuki sekolah.

Para orang tua dan anak mulai untuk bernegosiasi seperti membuat

keputusan dan memecahkan masalah keluarga.

C. The Children’s Apperception Test (C.A.T)

The Children’s Apperception Test atau yang sering disingkat

sebagai C.A.T adalah sebuah metode proyektif untuk melihat kepribadian

seseorang dengan melihat makna dari dinamika individual differences

dalam persepsi yang dibentuk berdasarkan stimulus yang terstandar

(Abram, 1993a, 1995; Bellak & Siegel, 1989; Boekholt, 1993 dalam

Bellak & Abrams, 1997). C.A.T juga merupakan salah satu bentuk dari tes

proyektif yang berdasarkan pada hipotesis projective dari Freud.

Istilah tes proyektif mengacu pada konsep projection oleh Sigmund

(29)

seseorang untuk mengarahkan perasaannya kepada dunia luar tetapi

mengimajinasikan perasaan-perasaannya tersebut diekpresikan oleh dunia

luar terhadap dirinya. Tes proyektif ini merupakan tes dengan stimulus

yang ambigu dan tidak terstruktur yang bertujuan agar seseorang dapat

mengekspresikan keinginan, kecemasan dan konflik yang dimilikinya.

C.A.T dibuat dengan tujuan untuk memahami hubungan atau relasi

antara anak dengan figur-figur penting atau significant other beserta

dorongan-dorongannya. Alat tes yang terdiri dari sepuluh gambar ini juga

dibuat untuk memperoleh respon-respon yang berkaitan dengan masalah

oral, persaingan saudara kandung dan hubungan atau relasi antara anak

dan orang tua sebagai pasangan, agresi, penerimaan orang dewasa,

kesendirian yang berkaitan dengan masturbasi, toilet training, bagaimana

orang tua merawat dan bagaimana responnya. Berdasarkan hal tersebut

maka diharapkan dapat mengetahui pertahanan diri anak dan bagaimana

cara ia bereaksi dan menangani masalah. Secara klinis, C.A.T juga

berguna untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang mungkin dapat

berhubungan dengan perilaku anak di dalam suatu kelompok, sekolah atau

rumah.

Untuk melakukan interpretasi terhadap respon cerita C.A.T, maka

digunakan analisis tematik yang bertujuan untuk memecah tema menjadi

(30)

1. Tema deskriptif

Yaitu ringkasan makna dari cerita dan disajikan kembali dalam

bentuk yang singkat dan dengan kata-kata yang sederhana.

2. Tema interpretif

Tema interpretif ini berupa arti umum cerita

3. Tema diagnostik

Tema diagnostik ini dapat memberitahukan masalah psikologi

yang muncul dalam cerita tersebut (Bellak & Abrams, 1997)

Dalam proses analisis C.A.T, juga sering digunakan Bellak scoring

system untuk mendapatkan interpretasi secara lebih cermat dan lengkap.

Bellak scoring system ini terdiri dari sepuluh variabel yang terdiri dari:

1. Tema utama

Tema utama berisi uraian yang sama dengan tema interpretif.

2. Hero utama

Hero utama dalam cerita adalah seseorang atau orang yang

paling banyak berbicara atau diceritakan serta pikiran dan

perasaan yang paling sering dibahas atau diceritakan.

3. Kebutuhan dan dorongan utama hero

Dalam variabel yang ketiga ini terdapat tiga tipe data, meliputi:

a) Behavioral needs, yang ditunjukkan dalam perilaku dan

didalamnya terdapat dynamic inference atau kesimpulan

(31)

b) Figur atau objek yang dilibatkan. Objek yang dimaksud

adalah alat – alat yang muncul dalam cerita walaupun tidak

digunakan untuk memuaskan kebutuhan.

c) Figur atau objek yang diabaikan. Figur atau objek yang

diabaikan meliputi mereka yang nampak jelas di dalam

gambar tetapi tidak disebutkan dalam cerita.

4. Konsep tentang lingkungan atau dunia.

Konsep ini berisi tentang realitas yang dialami seseorang.

5. Figur dilihat sebagai

Variabel yang kelima ini mengungkap sikap tokoh utama

kepada orang-orang yang lebih tua, sebaya dan lebih muda atau

orang-orang yang lebih kecil atau inferior serta berisi tentang

reaksi seseorang terhadap persepsinya.

6. Konflik-konflik yang menonjol

Melalui variabel ini, dapat melihat konflik-konflik yang muncul

dan juga pertahanan diri seseorang dalam menghadapi atau

menyikapi konflik tersebut. Konflik yang muncul bisa antara

superego dan dorongan-dorongan lain atau bisa saja antar

dorongan-dorongan.

7. Asal kecemasan

Kecemasan (pada tokoh utama) dapat muncul secara langsung

maupun secara tidak langsung atau implisit. Kecemasan ini

(32)

dirasa tidak diterima oleh lingkungan, misalnya kecemasan

mendapat hukuman, kehilangan kasih sayang, menjadi

kekurangan, dll.

8. Mekanisme pertahanan diri

Dalam menghadapi konflik yang muncul subjek akan

memberikan reaksi-reaksi tertentu. Reaksi-reaksi tertentu atau

usaha subjek dalam menghadapi konflik tersebut merupakan

mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh subjek.

9. Kuatnya superego

Adekuasi ego ditunjukkan oleh bagaimana tokoh mendapatkan

akibat dari tindakannya.

10.Integrasi ego

Menunjukkan seberapa baik fungsi seseorang, seberapa

seseorang dapat mengkompromikan kebutuhan atau dorongan

dengan tuntutan realita atau superego di sisi lain.

D. Teori Object Relation

Teori object relation menjadi dasar pikiran dari variabel Bellak

nomor lima, yaitu pandangan dan reaksi terhadap figur-figur penting.Teori

object relation merupakan perkembangan dari teori psikoanalisis yang

lebih berfokus pada hubungan atau relasi dengan objek-objek misalnya

ibu, daripada dorongan-dorongan insting (Schultz, Duane & Schultz,

(33)

penting sebab menurut Melanie Klein, W.R.D. Fairbairn, inner image

seorang anak terhadap keluarganya akan menciptakan suatu persepsi pada

anak terhadap figur-figur di keluarganya. Persepsi anak terhadap

keluarganya tersebut kemudian mempengaruhi hubungan atau relasinya

terhadap orang lain di luar keluarganya. Hubungan atau relasi dengan

orang lain tersebut kemudian akan menjadi pola yang terus diulang

sehingga menetap pada diri seorang anak. Dengan kata lain, hubungan

dengan individu atau orang lain merupakan hal yang penting dalam

mendefinisikan kepribadian dan self dibentuk secara sosial melalui

interaksi interpersonal (Friedman, Howard. S & Schustack, Miriam. W,

2008). Teori object relation mengatakan bahwa faktor sosial dan

lingkungan mempengaruhi kepribadian. Dalam hubungannya dengan

figur-figur anggota keluarganya, anak akan melakukan internalisasi objek,

yaitu anak melakukan introyeksi yang berarti anak memasukkan aspek

eksternal kemudian mengolahnya menjadi rangka kerja yang bermakna

secara psikologis (Feist, Jess & Feist, Gregory. J, 2009).

Dalam variabel Bellak, object relation mengungkap bagaimana

tokoh utama atau hero dalam cerita berelasi dengan karakter figur ayah,

ibu, sebaya atau saudara kandung dan orang yang lebih kecil. Selain itu,

mengungkapkan juga tentang macam atau tipe kepribadian dari

masing-masing karakter yang diceritakan dan kualitas interaksi dengan hero.

Menurut Westen (dalam Bellak & Abrams, 1997), terdapat empat

(34)

representations of people, affect tone of relationship paradigms, capacity

of emotional investment in relationship and moral standards dan

understanding of social causalty.

Berkaitan dengan penelitian ini, maka pendekatan skoring Westen

yang sesuai adalah pendekatan complexity of representations of people.

Dalam pendekatan ini, internalisasi diri dan representasi objek semakin

berkembang menjadi lebih terpisah dan terdiferensiasi dari satu sama lain

sejalan dengan perkembangan anak menuju dewasa. Kapasitas anak untuk

merepresentasikan secara mental suatu self image dan suatu image orang

lain juga berkembang menjadi lebih kompleks. Perasaan-perasaan ekstrim

mengenai diri dan representasi objek yang “semua baik” dan “semua

buruk” serta perasaan yang ekstrim tentang cinta dan benci menjadi lebih

terdiferensiasi dari karakter-karakter cerita dan meningkat menjadi

individu yang dapat melihat dirinya dan orang lain sebagai individu yang

seimbang, memiliki kualitas yang beraneka segi dan

pengalaman-pengalaman subjektif.

E. Figur Ayah Bagi Anak-anak di Yogyakarta 1. Keluarga Jawa

Di masyarakat Jawa, dimana kota Yogyakarta termasuk

didalamnya, mempunyai pola pengasuhan yang berbeda antara

laki-laki dan perempuan. Dalam mengasuh anak laki-laki-laki-laki, mereka memberi

(35)

mampu untuk mencari nafkah. Hal ini membuat anak laki-laki

dibebaskan dari pekerjaan atau tugas-tugas rumah tangga. Pengasuhan

semacam ini mengakibatkan anak laki-laki tidak memiliki ketrampilan

praktis untuk mengelola rumah. Berbeda dengan anak perempuan,

orang tua mendidik mereka untuk dipersiapkan menjadi seorang ibu

dan istri yang berbakti bagi suaminya nanti (Handayani & Ardhian,

2008).

Dipendidikan keluarga dalam kultur Jawa, didikan tersebut

selalu menuntut anak untuk mampu menahan dorongan hati serta

menunda pemuasan dorongan hati. Sedari kecil para orang tua akan

mengajarkan pada anak-anaknya dalam mempergunakan sikap-sikap

hormat. Anak akan diajarkan untuk memiliki rasa wedi pada orang

yang harus dihormati. Setelah anak memiliki rasa wedi, maka anak

diajarkan untuk memiliki rasa isin yang artinya malu dan merasa

bersalah. Menurut pendidikan keluarga dalam kultur Jawa, setelah

anak diajarkan untuk tahu malu dan kemudian mempunyai malu

merupakan langkah awal untuk mendidik anak menuju ke kepribadian

Jawa yang matang.

Ketika anak sudah memasuki usia lima tahun maka ia sudah

mengerti konteks-konteks mana yang harus membuat ia merasa isin.

Selanjutnya, menurut Hildred Geerzt (dalam Handayani & Ardhian,

(36)

atasan atau sesama yang belum dikenal merupakan perasaan yang

hendaknya tidak dicegah.

Dalam hubungan dengan saudara-saudaranya, keluarga Jawa

mengajarkan akan kerukunan. Kerukunan dalam hal ini mengacu pada

menjaga hubungan yang harmonis, yaitu mampu mencegah segala

kelakuan yang dapat menimbulkan konflik atau pertikaian dengan

sesama sehingga tercipta suatu kedamaian. Adapun ajaran tentang

kerukunan tersebut, lantas tidak berarti bahwa seseorang menomor

duakan hak-hak dan kepentingan pribadinya. Seseorang masih dapat

mengalami pertentangan dalam dirinya mengenai kepentingannya

namun harus diselesaikan dengan halus dan tidak agresif serta tidak

ada konfrontasi emosional yang terbuka. Dengan kata lain, masyarakat

Jawa menuntut seseorang untuk selalu dapat mengontrol diri,

membawa diri dengan sopan, tenang dan rukun (Handayani &

Ardhian, 2008).

2. Figur Ayah dalam Keluarga Jawa

Relasi dan pengalaman sosial pertama anak-anak dibentuk atau

dimulai dari keluarga inti mereka, yaitu ayah dan ibu. Menurut

Geertz(1983), ketika anak dalam masa peralihan dari penyapihan ke

belajar berjalan anak mulai mempunyai hubungan dengan ayahnya.

Dengan kata lain, sampai pada saat itu ayah mempunyai urusan yang

(37)

mendapat giliran untuk menggendong anaknya sengaja untuk

memberikan kesempatan pada ibu untuk melakukan hal-hal yang lain.

Walaupun begitu, ayah belum menjadi bagian yang penting bagi anak.

Berkisar dari akhir tahun pertama sampai umur lima tahun,

anak-anak dekat dengan ayahnya, namun setelah berumur lebih dari

lima tahun dimungkinkan anak tidak lagi dekat dengan ayahnya. Dari

masa itu, anak akan mulai hormat dengan mengambil jarak dari

ayahnya, berbicara dengan seksama serta merendah terhadap ayahnya.

Selain itu, tradisi di Yogyakarta yang masih kejawen memiliki

aturan-aturan atau tata kramanya sendiri dalam hubungan antara anak dan

ayah. Diantaranya, orang tua akan tampak semakin mengharapkan

anaknya untuk menjadi seorang yang penurut, pandai dalam

mengendalikan diri dan sopan. Anak-anak juga segera mengetahui

bahwa orang yang lebih tua harus dihormati, terutama ayah mereka.

Adanya aturan atau tata krama seperti ini membuat hubungan antara

anak-anak dengan ayahnya tampak ada jarak, basa-basi dan hampir

seperti hendak menjauhi.

Pola pengasuhan yang diterapkan di keluarga jawa juga

termasuk pola asuh yang otoriter. Dapat dikatakan demikian sebab

dalam nilai-nilai kejawen anak diharapkan mematuhi harapan-harapan

atau keinginan-keinginan orang tuanya. Ketika anak tidak

melakukannya atau tidak memenuhi harapan orang tuanya maka orang

(38)

tersebut berkisar dari tatapan ancaman atau peringatan tajam untuk

dipermalukan di depan orang lain, serta dari cubitan hingga pukulan

walaupun jarang terjadi.

F. Persepsi Anak terhadap Figur Ayah di Yogyakarta

Anak dengan usia enam hingga sebelas tahun sudah mulai

berhubungan secara formal dengan lingkungan dan kebudayaannya. Hal

itu mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan anak, salah satunya adalah

interaksi dengan lingkungan yaitu relasi anak dengan orang tua dan orang

lain. Dalam hal ini relasi antara anak dan orang tua atau orang lain di

sekitarnya menjadi penting karena anak sudah mulai mampu menyerap

inforrmasi-informasi yang diberikan oleh lingkungannya.

Dalam hubungannya dengan orang lain, anak sudah mulai mampu

melakukan persepsi sosial dengan mengenali tanda-tanda atau tingkah laku

nonverbal dan verbal yang ditampilkan orang lain. Informasi-informasi

tersebut kemudian digunakan untuk membentuk persepsi terhadap orang

lain.

Dalam melakukan persepsi sosial, anak dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu sifat sensoris objek, pengalaman masa lampau anak itu sendiri

yang mempengaruhi ekspektasi atau harapan dan sikap diri anak tersebut.

Selain itu, budaya juga mempengaruhi anak dalam melakukan persepsi.

(39)

mempersepsi serta yang dipersepsi. Ketiga hal tersebut saling berkaitan

dalam membentuk persepsi terhadap orang lain.

Dalam penelitian ini, objek yang dipersepsi adalah figur ayah.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, persepsi dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti sifat sensoris objek yang dalam hal ini ayah

sebagai seorang yang menjadi objek persepsi bagi anaknya dapat

memberikan pengaruh pada anaknya tersebut. Dalam budaya Jawa di

Yogyakarta, ayah dilihat sebagai seorang yang harus dihormati dan

memiliki jarak. Hal ini tentunya akan mempengaruhi persepsi anak

terhadap ayahnya tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi persepsi anak

terhadap ayahnya adalah pengalaman masa lampau anak itu sendiri. Ketika

seorang anak mempersepsi ayahnya, anak itu memiliki ingatan-ingatan

tentang figur ayahnya, seperti tentang relasinya dengan ayah, kedekatan

dengan ayah, cara pengasuhan ayahnya dan sikap-sikap ayahnya pada

dirinya yang kemudian diintegrasikan dalam diri anak tersebut sehingga

memunculkan persepsi terhadap figur ayahnya. Sikap diri seseorang

terhadap figur ayah seperti pikiran anak terhadap ayahnya juga ikut

mempengaruhi persepsinya. Apa yang dipikirkan seorang anak tentang

ayahnya dapat merupakan hasil dari pengalaman yang didapat dengan

ayahnya.

Selain itu, di Yogyakarta orangtua menggunakan nilai-nilai

kejawen dalam mengasuh anak atau berelasi dengan anak-anaknya.

(40)

hal tersebut, peneliti akan melihat lebih dalam tentang bagaimana persepsi

anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T.

G. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk

menjawab pertanyaan bagaimana persepsi anak di Yogyakarta terhadap

(41)

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif interpretif. Metode

kualitatif interpretif dipilih sebab metode ini bertujuan untuk

mengeksplorasi pengalaman personal seorang individu dan menekankan

pada persepsi atau pendapat personal seorang individu tentang suatu objek

atau peristiwa (Smith, 2009).

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat persepsi anak di

Yogyakarta terhadap figur ayah. Data persepsi terhadap figur ayah berupa

cerita atau respon terhadap gambar-gambar C.A.T yang mengandung

cerita tentang figur ayah.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak berusia enam hingga

sebelas tahun dan tinggal di Yogyakarta.

D. Pengumpulan Data Penelitian

Jenis pengumpulan data dalam penelitian ini adalah penggunaan

(42)

dokumen ini disebut juga sebagai metode unobstrusive atau tidak reaktif

sebab peneliti tidak melakukan hubungan langsung dengan orang-orang

yang meninggalkan dokumen tersebut sehingga tidak menimbulkan reaksi

ataupun respon khusus dari individu yang diteliti. Kelebihan penggunaan

metode dokumen ini meliputi peneliti mampu memperoleh bahasa dan

kata-kata dari peserta dan merupakan bukti tertulis, menghemat waktu

peneliti serta menghemat biaya transkrip (Creswell, 2003).

Sumber atau bahan penelitian yang digunakan merupakan sumber

sekunder yaitu laporan praktikum Chlidren’s Apperception Test (C.A.T)

yang tersedia di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam pengambilan data C.A.T

tersebut menggunakan metode proyektif, yaitu konstruksi cerita atau

storry telling. Peneliti memilih respon cerita C.A.T sebagai data sebab

cerita C.A.T dapat mengungkap hubungan atau relasi antara anak dengan

figur-figur penting beserta dorongan-dorongannya.

Dalam pengadministrasian tes C.A.T, subjek yang dites adalah

anak usia enam hingga sebelas tahun. Proses pengetesan diawali dengan

membangun rapport yang baik dan nyaman oleh penyaji. Setelah

pemberian rapport, penyaji akan mulai memberikan satu persatu kertas

yang berisi gambar secara berurutan. Subjek diminta untuk bercerita

berdasarkan gambar dengan berdasarkan pertanyaan berikut (Bellak &

(43)

a. Apa yang sedang terjadi dalam gambar ini atau apa yang

sedang dilakukan oleh tokoh dalam gambar ini.

b. Apa yang terjadi sebelum tokoh melakukan hal tersebut.

c. Apa yang terjadi sesudah kejadian tersebut.

d. Apa atau bagaimana pikiran dan perasaan tokoh.

E. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis cerita C.A.T adalah

metode analisis tematik yang kemudian dilanjutkan dengan penyimpulan

secara menyeluruh terhadap semua hasil interpretasi yang muncul. Metode

analisis tematik merupakan analisis yang bertujuan untuk memecah tema

menjadi tiga tema, yaitu:

a. Tema deskriptif

yaitu ringkasan makna dari cerita dan disajikan kembali dalam

bentuk yang singkat dan dengan kata-kata yang sederhana.

b. Tema interpretif

tema interpretif ini berupa arti umum cerita.

c. Tema gambaran figur ayah

tema ini memberitahukan gambaran tentang figur ayah bagi

anak.

Langkah selanjutnya adalah penggunaan skoring Bellak. Skoring

Bellak ini berisi 10 variabel yang digunakan untuk melihat kehidupan dan

(44)

kebutuhan utama hero, konsepsi lingkungan atau dunia dilihat sebagai apa,

figur yang muncul dilihat sebagai apa, konflik yang menonjol, asal

kecemasan, mekanisme pertahanan diri, adekuasi superego dan intergrasi

ego. Dari kesepuluh variabel tersebut, peneliti berfokus pada variabel

kelima, yaitu figur yang muncul dilihat sebagai apa atau biasa juga disebut

sebagai object relation, yang dalam hal ini figur tersebut adalah figur ayah.

Object relation menurut skoring Westen dalam Bellak dan Abrams (1997),

terdiri dari empat komponen, yang meliputi:

a. Tingkat dan jenis relasi anak dengan orang lain dan menjaga

realasi tersebut dengan baik.

b. Relasi yang terbentuk sekarang ini, baik yang adaptif atau

maladaptif dipengaruhi oleh pola orang yang lebih tua dan

orang yang hadir dalam hidup anak saat ini.

c. Tingkat seseorang menerima orang lain sebagai suatu kesatuan

yang terpisah dan bukan lagi perluasan dari dirinya.

d. Tingkat seseorang dapat menjaga ketetapan objek.

Variabel kelima ini dianalisis untuk melihat figur ayah yang berada

dikehidupan sehari-hari subjek dan bagaimana subjek bereaksi terhadap

figur ayah tersebut sehingga mampu menjawab pertanyaan dari penelitian

(45)

F. Keabsahan Data Penelitian

Keabsahan data penelitian ini diperoleh melalui objektivitas dalam

bentuk transparansi dan kesamaan pandangan atau analisis. Objektivitas

dalam bentuk transparansi merupakan kesediaan peneliti untuk

menguraikan atau menjabarkan secara terbuka dari elemen-elemen

penelitian hingga prosesnya dengan tujuan agar pihak lain dapat

melakukan penilaian. Dalam objektivitas dalam kesamaan pandangan,

keabsahan data diperoleh melalui persetujuan diantara peneliti-peneliti

mengenai aspek yang dibahas dalam penelitian (Sarantakos, 1993 dalam

Poerwandari, 2005).

Kredibilitas data penelitian ini ditunjukkan melalui konsep

triangulasi oleh Patton yaitu triangulasi peneliti. Dalam mencapai

kredibilitas data ini peneliti menggunakan atau menyertakan beberapa

peneliti atau evaluator yang berbeda dalam menganalisis data yang

(46)

29

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Berikut adalah penjelasan proses pelaksanaan penelitian:

1. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah dokumen berupa laporan hasil

tes C.A.T yang tersedia di Laboratorium Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma. Dokumen yang diperoleh sebanyak 60

dokumen yang didapat dari pengetesan atau praktikum pada semester

gasal tahun ajaran 2009 / 2010. Dokumen laporan yang dikumpulkan

adalah dokumen dari subjek yang berusia enam hingga sebelas tahun.

2. Pengolahan Data

a. Pemilihan Cerita

Cerita yang dipilih untuk penelitian ini adalah cerita yang

berisi atau menceritakan tentang figur ayah.

b. Interpretasi Cerita

Cerita-cerita yang telah terkumpul kemudian diinterpretasi

dengan menggunakan analisis tematik. Analisis tematik terdiri dari

tiga tahapan kerangka berpikir, yaitu mengidentifikasi tema

(47)

Proses pengolahan data atau interpretasi ini melibatkan dua

orang interpreter yang masing-masing peneliti menginterpretasi

data-data tersebut secara mandiri kemudian didiskusikan untuk

memperoleh kesepakatan makna setiap cerita. Interpretasi tersebut

menghasilkan ragam persepsi mengenai figur ayah.

c. Penyimpulan Data

Setelah menemukan kesepakatan ragam persepsi dalam tiap

cerita, peneliti kemudian mengkategorikan ragam persepsi tersebut

menjadi satu kategori.

Istilah-istilah kategori yang telah dirumuskan kemudian

digunakan dalam perumusan persepsi komposit mengenai figur

ayah pada setiap subjek. Persepsi komposit ini kemudian

dikategorikan lagi dengan tujuan memperoleh kesimpulan persepsi

komposit tetang figur ayah.

Sebagai tambahan, secara kuantitatif juga dilakukan

penghitungan prosentase terhadap kategori persepsi yang muncul

dan terhadap kategori persepsi komposit.

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi subjek

Subjek yang digunakan sebagai penelitian adalah subjek

laki-laki sebanyak 30 subjek dan subjek perempuan sebanyak 30 subjek.

(48)

deskripsi usia subjek, data pekerjaan orang tua subjek dan jumlah

kartu yang muncul.

Tabel 1

Deskripsi Usia Subjek Penelitian

No. Usia Jumlah Subjek

1. 6 tahun 2 2. 7 tahun 6 3. 8 tahun 5 4. 9 tahun 21 5. 10 tahun 16 6. 11 tahun 10

Subjek yang paling banyak ikut dalam pelaksanaan tes adalah subjek

yang berumur sembilan tahun yaitu sebanyak 21 subjek.

Data orang tua dalam hal pekerjaan dijabarkan dalam tabel di

bawah ini.

Tabel 2

Deskripsi Pekerjaan Orang Tua

No. Pekerjaan

Ayah Jumlah Pekerjaan Ibu Jumlah

1. Wiraswasta 25 Wiraswasta 17 2. Pegawai 18 Pegawai 10 3. Buruh 6 Buruh 2 4. Dosen – guru 3 Dosen – guru 4 5. Polri 1 Petani 1 6. Pensiunan 3 Ibu rumah

tangga

26

7. Rohaniwan 1 8. Seniman 2 9. Tidak bekerja 1

Dari tabel di atas diketahui bahwa, pekerjaan ayah yang paling banyak

adalah wiraswasta sedangkan pekerjaan ibu yang paling banyak

(49)

Berkaitan dengan kartu yang diberikan pada anak sebagai

stimulus, rata-rata jumlah kartu yang muncul atau yang direspon pada

setiap subjek adalah tiga kartu. Secara rinci jumlah kemunculan kartu

yang direspon subjek terdapat di tabel 3.

Tabel 3

Jumlah Kartu yang Muncul

No. Nomor Kartu Jumlah Subjek yang Merespon

1. I 27

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kartu ketiga merupakan kartu

yang paling banyak direspon oleh subjek.

2. Ragam Persepsi Figur Ayah

Berdasarkan interpretasi yang telah dilakukan, maka ditemukan

hasil yang terdapat pada tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4.

Ragam Persepsi, Jumlah dan Kategorisasi

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

(50)

No. Persepsi

Ayah yang senang anaknya

Ayah yang senang anak-anaknya menurut

1

(51)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan

16.

Ayah yang marah (atas pelanggaran

menghukum anak 4

18. anak / keluarga

3

(52)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan

melindungi anak 1

30. Ayah yang menyayangi anak 3

(53)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan

boleh ditentang 1

45. Ayah yang memiliki materi 8

Ayah yang berperilaku baik 1

(54)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan

57.

Ayah yang tidak bersama / tidak menemani anak

14

Ayah yang tidak hadir atau

menemani-Ayah yang tidak melakukan

aktifitas bersama anak

1

59.

Ayah yang tidak di rumah karena mempunyai keperluan di luar rumah

Ayah yang tidak dekat dengan anak

5

64.

(55)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan

Berdasarkan tabel di atas, ditemukan 21 kategori berdasarkan

pendekatan makna terhadap ragam-ragam persepsi yang muncul.

Kategori persepsi yang paling banyak muncul adalah ayah yang tidak

hadir atau menemani-mengabaikan-tidak dekat dengan anak atau

keluarga-mementingkan pekerjaan yaitu sebanyak 32 persepsi atau

sebesar 13%. Jumlah kemunculan kategori persepsi tersebut hanya

terpaut dua poin lebih banyak dari kategori persepsi ayah yang hadir

atau menemani anak-melakukan kegiatan bersama anak atau keluarga

yaitu sebanyak 30 persepsi atau sebesar 12,2%. Sebaliknya, persepsi

yang paling jarang muncul adalah ayah yang tidak menyayangi anak

yaitu hanya 1 persepsi atau sebesar 0,4%.

3. Persepsi Komposit Figur Ayah

Persepsi komposit tiap-tiap subjek dapat dilihat dari tabel

(56)

Tabel 5. Persepsi Komposit

Subjek Persepsi

1

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang mengurusi keperluan anak / keluarga ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga Ayah yang memiliki materi

Ayah yang mengabaikan anak

2

Ayah yang melihati anak Ayah yang tidak bersama anak Ayah yang tidak dekat dengan anak Ayah yang bersantai

3

Ayah yang bekerja

Ayah yang marah atas pelanggaran atau kesalahan Ayah yang mengurusi keperluan anak atau keluarga Ayah yang tidak bersama anak

Ayah yang tidak melakukan aktifitas bersama anak Ayah yang tidak dekat dengan anak

4

Ayah yang bekerja

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang mengurusi keperluan anak

Ayah yang bersantai

5

Ayah yang bekerja

Ayah yang mengurusi keperluan anak

Ayah yang melakukan sesuatu untuk anak atau menuruti keinginan anak

6

Ayah yang bekerja

Ayah yang menyuruh anak

Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang bersantai

7

Ayah yang mengingatkan atau menasehati Ayah yang memberi perhatian

Ayah yang mengharapkan keberhasilan anak 8 Ayah yang bersantai

9

Ayah yang menyuruh anak

Ayah yang marah atas pelanggaran Ayah yang menuruti keinginan anak

Ayah yang memaksa anak untuk melakukan sesuatu Ayah yang tidak boleh ditentang

Ayah yang memiliki materi Ayah yang tidak bersama anak Ayah mementingkan pekerjaan

10 Ayah yang marah atas pelanggaran

(57)

Subjek Persepsi

11

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang bermain bersama anak

Ayah yang menemani anak

12

Ayah yang mengabaikan anak Ayah yang tidak dekat dengan anak Ayah yang bersantai

13 Ayah yang marah atas pelanggaran Ayah yang melindungi anak

14 Ayah yang tidak menyayangi anak Ayah yang mengabaikan

15

Ayah yang bekerja Ayah yang menghukum Ayah yang bersantai

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak

16

Ayah yang senang anaknya menurut Ayah yang menyuruh anak

Ayah yang mengabaikan anak Ayah yang bersantai

17

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang berkumpul bersama anak

Ayah yang sakit

18

Ayah yang memenuhi kebutuhan anak Ayah yang mendidik anak

Ayah yang marah Ayah yang menghukum

Ayah yang memiliki kekuatan atau keberanian Ayah yang bijaksana

Ayah yang tidak berdaya Ayah yang gagal

Ayah yang memaksa anak untuk melakukan sesuatu

19

Ayah yang berkumpul bersama keluarga Ayah yang berpenampilan baik

Ayah yang tidak dekat dengan anak Ayah yang bersantai

Ayah yang memiliki masalah dengan anak

20 Ayah yang tidak menemani anak Ayah yang dilayani

21

Ayah yang bekerja

Ayah yang mengingatkan atau menasehati

Ayah yang melakukan melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang bekerja sama dengan anak

(58)

Subjek Persepsi

21

Ayah yang bangga pada anak

Ayah yang memberikan kesenangan pada anak Ayah yang senang dibantu

22

Ayah yang menyayangi anak

Ayah yang tidak dirumah karena punya keperluan di luar rumah Ayah yang tidak berdaya

23

Ayah yang bekerja

Ayah yang senang anaknya berperilaku baik

Ayah yang mengurusi keperluan anak atau keluarga Ayah yang menolong

Ayah yang menginginkan anak dalam keadaan baik Ayah yang menjaga anak

Ayah yang mengkhawatirkan anak Ayah yang tidak bersama anak Ayah yang mengabaikan

24

Ayah yang bekerja

Ayah yang mengatasi masalah atau kesulitan dalam keluarga Ayah yang memarahi anak

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga Ayah yang mengkhawatirkan anak

Ayah yang memberikan kesenangan pada anak Ayah yang tidak bersama anak

Ayah yang tidak berdaya

25

Ayah yang bekerja

Ayah yang mengarahkan anak

Ayah yang mengingatkan atau menasehati Ayah yang memberikan kesenangan pada anak Ayah yang memiliki materi

Ayah yang mempunyai kemampuan Ayah yang berperilaku baik

Ayah yang tidak bersama anak

26

Ayah yang bekerja

Ayah yang bekerja sama dengan anak

Ayah yang memikirkan kebutuhan anak atau keluarga Ayah yang bersantai

27

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang menuruti keinginan anak

Ayah yang bersantai

28

Ayah yang bekerja

(59)

Subjek Persepsi

29

Ayah yang senang anaknya berperilaku baik Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang menyukai atau menikmati kesenangan Ayah yang kesepian

30 Ayah yang merawat anak

31

Ayah yang bersantai Ayah yang bekerja

Ayah yang tidak menemani anak

32 Ayah yang bersantai

Ayah yang tidak menemani anak

33

Ayah yang tidak bersama keluarga karena bekerja Ayah yang menasehati

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang melakukan kesenangan

Ayah yang memarahi Ayah yang bekerja

Ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga Ayah yang menyelamatkan anak atau keluarga Ayah yang senang anaknya berperilaku baik Ayah yang mempertahankan anak

Ayah yang mendidik

34

Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang mengasihani anak

Ayah yang menyayangi anak Ayah yang memiliki materi

35

Ayah yang bekerja Ayah yang bersantai

Ayah yang bermain bersama anak

36

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang memperhatikan

Ayah yang menemani anak

Ayah yang ingin anak dalam keadaan baik Ayah yang menyuruh anak

Ayah yang mengajari anak Ayah yang bekerja

Ayah yang menolong anak

37 Ayah yang memarahi anak Ayah yang menyayangi

38 Ayah yang bersantai

Ayah yang tidak menemani anak

39

(60)

Subjek Persepsi

39

Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang membuat anak takut Ayah yang tidak menemani anak

40 Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak

41

Ayah yang tidak mengalah

Ayah yang tidak bersama atau menemani Ayah yang jahat

42

Ayah yang menyuruh anak Ayah yang menolong Ayah yang memaafkan Punya kekuasaan

43 Ayah yang bekerja

Ayah yang memberi materi

44

Ayah yang merawat anak

Ayah yang memaksa anak melakukan sesuatu Ayah yang mengawasi anak

Ayah yang tidak bersama atau menemani anak

45

Ayah yang berkumpul bersama keluarga Ayah yang merawat anak

Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang bersantai

46

Ayah yang memberikan pemecahan masalah dikeluarga Ayah yang mengajarkan anak untuk mandiri

Ayah yang menyuruh anak Ayah yang menemani anak

Ayah yang mendoakan keselamatan anak Ayah yang menyukai kesenangan

47 Ayah yang menemani anak

48

Ayah yang mengajari anak

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang bersantai

49

Ayah yang bekerja

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang merawat anak

Ayah yang tidak bersama atau menemani anak Ayah yang kurang memperhatikan anak

50

Ayah yang bermain bersama anak Ayah yang menemani anak

Ayah yang melakukan aktifitas bersama anak

51

Ayah yang bekerja

Ayah yang memikirkan kebutuhan anak atau keluarga Ayah yang mempertahankan anak

(61)

Subjek Persepsi

51 Ayah yang tidak di rumah karena memiliki keperluan di luar rumah

52

Ayah yang memiliki materi Ayah yang mengawasi anak Ayah yang mengabaikan anak Ayah yang membuat anak takut

53

Ayah yang bekerja

Ayah yang menghukum anak Ayah yang mengasihani anak Ayah yang bersantai

Ayah yang sakit

54 Ayah yang mementingkan atau mengutamakan pekerjaan 55 Ayah yang memarahi

56

Ayah yang bekerja Ayah yang mencari uang Ayah yang menghukum Ayah yang mengekang anak Ayah yang mempunyai kekuasaan Ayah yang melakukan kejahatan

57 Ayah yang berkumpul bersama keluarga

Ayah yang memikirkan kebutuhan anak atau keluarga

58 Ayah yang bekerja

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak

59

Ayah yang bekerja

Ayah yang berusaha agar anaknya berperilaku baik Ayah yang marah

Ayah yang mengurusi keperluan anak atau keluarga Ayah yang memiliki materi

Ayah yang dilayani

60

Ayah yang mengatasi masalah dalam keluarga Ayah yang punya kekuasaan

Ayah yang memiliki materi

Ayah yang tidak dekat dengan anak

Berdasarkan tabel di atas, persepsi komposit yang muncul meliputi:

1. Ayah yang mencari nafkah (subjek 43, 51, 54).

2. Ayah yang bekerja, menjalankan otoritasnya dan tidak terlibat atau

(62)

3. Ayah yang bersantai dan tidak terlibat atau dekat dengan anak (subjek

2, 8, 12, 16, 20, 32, 38).

4. Ayah yang bekerja dan mengurusi-merawat anak (subjek 3, 5, 34,59).

5. Ayah yang bekerja, mengurusi-merawat anak, dan mengarahkan anak

(subjek 6, 28, 42).

6. Ayah yang bekerja tetapi tetap terlibat atau dekat dengan anak (subjek

22, 35, 36, 58).

7. Ayah yang bekerja, mengarahkan atau mengatasi masalah dan terlibat

dengan anak (subjek 15, 24, 33).

8. Ayah yang bekerja, mengurusi-merawat anak, mengarahkan dan

terlibat dengan anak (subjek 1 dan 21).

9. Ayah yang mengurusi-merawat anak dan mengarahkan anak (subjek

30, 39, 44).

10.Ayah yang mengurusi-merawat anak dan terlibat dengan anak (subjek

4, 26, 45, 57).

11.Ayah yang memberikan perhatian atau terlibat dalam kegiatan bersama

anak (subjek 7, 11, 17, 40, 47, 50).

12.Ayah yang bersantai tetapi masih memberikan pengarahan dan terlibat

dengan anak (subjek 27, 29, 46, 48).

13.Ayah yang memarahi tetapi melindungi atau menyayangi anak (subjek

13 dan 37).

14.Ayah yang mengabaikan atau melakukan sesuatu yang buruk pada

(63)

15.Ayah yang terlibat dalam keluarga atau bersama anak tetapi juga

kurang memperhatikan anak (subjek 19, 23, 49).

C. Pembahasan

Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan banyak ragam

persepsi mengenai figur ayah. Persepsi – persepsi tersebut meliputi figur

ayah yang bekerja atau mencari nafkah, memiliki materi, memenuhi

kebutuhan keluarga, memecahkan masalah, menyuruh-mengarahkan anak,

mengawasi, memiliki kebaikan atau kemampuan dan ayah sebagai figur

yang memiliki atau memegang dominansi. Selain itu, ayah juga

dipersepsikan sebagai figur yang melindungi, mengurusi dan merawat,

mempunyai harapan pada anak, memperhatikan anak, menyayangi anak

serta figur ayah yang hadir atau menemani anak - melakukan kegiatan

bersama anak. Disisi lain, ayah juga dipersepsikan sebagai figur yang tidak

hadir atau menemani anak – mengabaikan – tidak dekat dengan anak –

mementingkan pekerjaan, tidak menyayangi, memiliki sifat buruk,

menyukai kesenangan, tidak berdaya dan dilayani bahkan memarahi -

memberikan hukuman.

Berdasarkan ragam persepsi yang muncul di atas, beberapa

persepsi tampaknya bersifat lebih formal dan beberapa persepsi yang lain

lebih bersifat afeksional. Secara formal figur ayah dipandang sebagai ayah

yang bekerja atau mencari nafkah, memenuhi kebutuhan keluarga,

Gambar

Tabel 1. Deskripsi Usia Subjek Penelitian .........................................................
gambar tetapi tidak disebutkan dalam cerita.
Tabel 1 Deskripsi Usia Subjek Penelitian
Tabel 3 Jumlah Kartu yang Muncul
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari data hasil pengamatan terhadap kemampuan pengelolaan pembelajaran guru, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dapat diketahui dalam tiga tahap,

Setelah wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar diidentifikasi dengan cara melakukan delineasi batas berdasarkan data-data yang telah dianalisis, yang berupa kampung- kampung terluar

Gambar 4.17 Tampilan Layar Estimasi Level Mortalitas Penduduk Pria Sumatera Utara Tahun 2000 Menggunakan Data Anak Laki-laki. 93 Gambar 4.18 Tampilan Layar General Life Table

tu, maupun batu lainnya (Sukendar, 1986: 171). Masyarakat Jeneponto, rupanya su- dah sejak lama mengenal susunan batu ya- ng demikian itu. Ada yang dibuat untuk

Hulmansyah, Huda, dan Bayu, Analisis Pengaruh Kepemimpinan ... menunjukkan nilai koefisien estimasi standar antar variabel laten dan nilai t signifikansi setelah dilakukan

Merujuk data di tahun 2014, potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus mengindikasikan pada perebutan sumberdaya dan situasi sosial keamanan ditengah masyarakat

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa pengembangan badan keramik stoneware dengan metode line blend yang merupakan campuran dua bahan tanah liat Bojonegoro dan abu

Hasil penelitian lain menurut Masturoh (2014) menunjukan bahwa ibu hamil dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun mempunyai resiko terjadi pre eklampsi 7,9