PERSEPSI ANAK DI YOGYAKARTA
TERHADAP FIGUR AYAH BERDASARKAN HASIL C.A.T
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Stella Cindy Touresia 089114074
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Janganlah Takut Untuk Mengambil Langkah Besar.
Anda Tidak Bisa menyeberangi Sebuah Jurang Dengan Lompatan Kecil.
David Lloyd George
Penelitian ini dipersembahkan untuk:
Bapaku yang sungguh luar biasa, Tuhan Yesus Kristus.. I Can Do All Things through Christ which strengtheneth me..Phillippins 4:13
Yang Tersayang Papa, Mama, Ko Rio dan Yoyo.. Serta
My Breath, My Life and My Everything,, Kokoku yang Tercinta dan Tersayang, Ko Yoseph..
vi
PERSEPSI ANAK DI YOGYAKARTA
TERHADAP FIGUR AYAH BERDASARKAN HASIL C.A.T
Stella Cindy Touresia
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T. Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah anak usia enam hingga sebelas tahun dan tinggal di Yogyakarta. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumen yang menggunakan laporan praktikum Children’s Apperception Test (C.A.T) yang tersedia di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tahun 2009 / 2010 sebanyak 60 dokumen. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis tematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) persepsi mengenai figur ayah dapat dilihat secara tradisional dan modern. Figur ayah yang tradisional tampak pada persepsi ayah yang mencari nafkah, ayah yang bekerja dan menjalankan otoritasnya serta tidak terlibat atau tidak dekat dengan anak. Sedangkan figur ayah yang modern tampak pada persepsi ayah yang bekerja tetapi tetap terlibat atau dekat dengan anak, ayah yang mengurusi-merawat anak dan terlibat dengan anak serta ayah yang memberikan perhatian atauterlibat dalam kegiatan bersama anak, 2) pada masa sekarang ini, figur ayah cenderung lebih banyak menerapkan perspektif modern, 3) persepsi yang muncul juga dapat dilihat dari segi positif dan negatif berdasarkan dampak yang diberikan terkait dengan peran ayah. Peran yang memberikan dampak positif antara lain peran yang terkait dengan ayah yang memiliki atau memegang otoritas, hadir atau menemani-melakukan kegiatan bersama anak atau terlibat dengan anak serta mengurusi dan merawat anak. Peran yang memberikan dampak yang negatif antara lain, ayah yang mengabaikan atau melakukan sesuatu yang buruk pada anak serta ayah yang bersantai dan tidak terlibat atau tidak dekat dengan anak, 4) terdapat juga persepsi yang bersifat ambivalen yaitu ayah yang terlibat dalam keluarga atau bersama anak tetapi juga kurang memperhatikan anak.
vii
PERCEPTIONS OF CHILDREN IN YOGYAKARTA ABOUT THE FIGURE OF FATHER BASED FROM C.A.T
Stella Cindy Touresia
ABSTRACT
This research aims to describe Yogyakarta’s children perception about father figure based of C.A.T. Subjects included in this research are children aged six to eleven years old and lived in Yogyakarta. The data was collected from document report of C.A.T that available at the Faculty of Psychology, Sanata Dharma University, Yogyakarta on 2009 / 2010 and the amount are 60 documents. Data was analyzed using thematic analysis method. The results showed that 1) the perception of a father figure can be viewed in traditional and modern. Traditional father figure perceptions are father as a breadwinner, a father who works and runs his authority and not involved or not close to the child. While the modern father figure perceptions are fathers who work but stay involved or close to the child, father who provide caregiving to the child and involved with the child and father who provide care or involved in activities with their children, 2) now a days, father put the modern perspective in their life especially in relation with their children, 3) there are also a perception based on the positive and negative impacts presented in connection with the role of fathers. Positive impact’s roles are associated with a father who owns or holds authority, attend or accompany and doing activities with children, or involved with children and provide caregiving to their children. Negative impact’s roles are fathers who ignore or do something bad to the child and father relax and not involved or close to the child, 4) there is are also an ambivalent perception of father involved in the family or with the child but with little regard to the child.
ix
KATA PENGANTAR
Skripsi yang berjudul “Persepsi Anak di Yogyakarta Terhadap Figur Ayah
Berdasarkan Hasil C.A.T” ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi
anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T. Peneliti
berharap agar hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berguna bagi
pembaca maupun bagi peneliti selanjutnya.
Banyak sekali hal dan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh peneliti
dalam proses penyelesaian penelitian ini. Pengalaman-pengalaman tersebut
menjadikan penelitian ini menjadi salah satu pencapaian terbesar dalam hidup
peneliti. Dalam pencapaian salah satu hal terbesar ini, peneliti menyadari bahwa
tanpa campur tangan Bapa di Sorga, peneliti tak dapat melakukan penelitian ini
dengan baik dan lancar. Peneliti menyadari bahwa kasih setiaNya selalu
dicurahkan dan Roh KudusNya selalu menyertai setiap proses yang boleh peneliti
lalui hingga semuanya dipersembahkan kembali bagi kemuliaan Bapa di Sorga.
Selain itu, penyelesaian penelitian ini tak luput juga dari dukungan-dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, secara khusus peneliti ingin mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Dr. Christina Siwi H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta yang memberikan semangat baru bagi penulis
lewat kata-kata motivasinya.
2. Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si., Psi., selaku dosen pembimbing dalam
menyelesaikan penelitian ini yang selalu memberikan yang terbaik mulai dari
penyusunan penelitian ini hingga selesai. Terimakasih banyak bu untuk
semuanya. Semua pengalaman-pengalaman ini telah menjadi bagian hidup
bagi penulis dan tak akan pernah dapat dilupakan.
3. V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si., atas masukan-masukan dan waktu
yang diberikan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini.
4. Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi., M.Si., yang juga telah memberikan waktu
pada penulis untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Senyum, ucapan
selamat dan pelukan Ibu pada penulis tak akan pernah penulis lupakan.
5. Semua Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman.
6. Segenap karyawan di Fakultas tercinta ini, Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta yang membantu penulis selama berproses di
Fakultas tercinta ini. Buat Mas Muji: terima kasih banyak atas semua
kesediaan waktunya untuk menyiapkan data penelitian yang cukup banyak,
bantuan dan kesabaran dalam menghadapi penulis, atas
pengalaman-pengalaman yang diberikan, atas nasehat atau masukan dan terima kasih atas
senyum dan keramahan yang selalu diberikan pada penulis. Buat Mas Doni:
terima kasih bust kesediaan waktunya untuk mengkoreksi penelitian ini. Buat
Pak Gie: terima kasih buat teh panas manisnya serta sapaan dan senyum
ramahnya. Buat mas Gandung: terima kasih sudah mau diganggu dengan
pertanyaan-pertanyaan yang terkadang tidak perlu ditanyakan menurut anda
tapi perlu ditanyakan menurut peneliti. Buat Bu Nani: terima kasih atas
7. Papa dan mama tercinta yang dengan tulus selalu memberikan doa, semangat,
kepercayaan, kesabaran, dan waktunya. Semua yang telah papa mama
lakukan dan korbankan selalu menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan
hingga akhir.
8. Kakak dan adikku tersayang, Rio Bangun Sutiksno dan Yoyo Dody Sutiksno,
atas perhatian, dukungan, semangat, dan keusilan yang selalu membuat
penulis merasa lebih “hidup” dan membuat penulis menyadari bahwa hidup
ini harus dinikmati dan disyukuri.
9. Kokoku yang tersayang, Yoseph Setyawan Budiono yang telah dengan sangat
sabar dan penuh sayang menemani hari-hari penulis. Terima kasih atas
ketulusan dan pengorbanan yang telah koko berikan. Thank you for your love,
honey.. You’re my life and my everything. All i wanna do is grow old with
you.
10. Sahabat-sahabat terbaik atas dukungan dan keusilan kalian. Buat Vivi: terima
kasih buat perhatian dan dukungannya yang sangat besar khususnya saat
detik-detik terakhir penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Buat Fla:
terima kasih atas kegilaan yang selalu membuat penulis tertawa
terpingkal-pingkal. Buat Chike: terima kasih telah memberikan pengalaman baru. Buat
Miss Gupil: terima kasih buat kegilaannya selama di kos maupun di kampus.
Buat Pauline: terima kasih juga buat kegilaan dan pengalaman-pengalaman
baru selama empat tahun kita satu kos dan hampir selalu tidur bersama. I miss
11. Sahabat-sahabat lain yang telah mendukung penulis. Terima kasih buat Ade
yang selalu membuat suasana menjadi menyenangkan lewat cerita-cerita
konyolnya. Terima kasih buat Dessy untuk perhatiannya. Terima kasih buat
Ayu dan Tiwi yang telah bersama-sama dengan penulis berjuang dalam
menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih juga untuk Lukas yang mau
meluangkan waktu untuk membaca semua penelitian ini dan membantu
penulis dalam mempersiapkan ujian pendadaran.
12. Teman-teman di Fakultas Psikologi 2008 yang telah berjuang bersama selama
empat tahun ini: Puji, Sari, Anggit, Dian, Bora, Ledita, Benoni, Selly, Vale,
Devi dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. I miss you all.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mendukung
dalam penyelesaian penelitian ini.
Penulis menyadari dengan rendah hati bahwa karya ini masih jauh dari
sempurna. Peneliti juga meminta maaf bila terdapat kata-kata yang kurang
berkenan di hati para pembaca. Penulis berharap agar karya ini dapat bermanfaat
bagi para orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I.PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II.DASAR TEORI ... 7
A. Persepsi ... 7
B. Anak Usia Pertengahan ... 8
D. Teori Object Relation ... 15
E. Figur Ayah Bagi Anak-anak di Yogyakarta... 17
1. Keluarga Jawa ... 17
2. Figur Ayah dalam Keluarga Jawa ... 19
F. Persepsi Anak terhadap Figur Ayah di Yogyakarta ... 21
G. Pertanyaan Penelitian ... 23
BAB III.METODE PENELITIAN ... 24
A. Jenis Penelitian ... 24
B. Fokus Penelitian ... 24
C. Subjek Penelitian ... 24
D. Pengumpulan Data Penelitian ... 24
E. Metode Analisis Data ... 26
F. Keabsahan Data Penelitian ... 28
BAB IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29
A. Pelaksanaan Penelitian ... 29
1. Pengumpulan Data ... 29
2. Pengolahan Data ... 29
a. Pemilihan Cerita ... 29
b. Interpretasi Cerita ... 29
c. Penyimpulan Data ... 30
B. Hasil Penelitian ... 30
1. Deskripsi Subjek ... 30
3. Persepsi Komposit Figur Ayah ... 38
C. Pembahasan ... 46
BAB V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
A. KESIMPULAN ... 56
B. SARAN ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 59
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 31
Tabel 2. Deskripsi Pekerjaan Orang Tua ... 31
Tabel 3. Jumlah Kartu yang Muncul ... 32
Tabel 4. Ragam Persepsi, Jumlah dan Kategorisasi ... 32
Tabel 5. Persepsi Komposit ... 39
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Interpretasi Cerita – Analisis Tematik ... 62
Lampiran 2. Deskripsi Subjek ... 84
Lampiran 3. Ragam Persepsi dan Jumlah Persepsi ... 87
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Setiap hubungan atau relasi yang dijalin seseorang dengan orang lain
memiliki dampak potensial yang dapat menguntungkan atau justru merugikan
perkembangan hidup orang tersebut. Relasi yang paling memberikan
konsekuensi atau akibat dalam kehidupan seorang anak adalah relasi dengan
keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah salah satu konstruksi
paling dasar dalam hubungan manusia dan memiliki dampak besar pada
perkembangan seseorang (Childers, 2010). Ketika orang tua menjadi distress
pada emosi negatif anak-anaknya dan menghukumnya, nantinya anak akan
berekspresi lebih marah, menampakkan sikap bermusuhan, mempunyai
masalah perilaku yang lebih banyak dan mempunyai fungsi sosial di sekolah
yang rendah (Eisenberg, Fabes, et al., Fabes, Leonard, et al. Dalam Bukatko,
2008). Relasi yang telah terbentuk dalam keluarga akan ikut mempengaruhi
relasi terhadap orang lain di luar keluarga yang nantinya relasi tersebut akan
menjadi pola yang terus menerus diulang sehingga menetap pada diri anak
(Friedman, Howard. S & Schustack, Miriam. W, 2008).
Sekarang ini, bukan hanya relasi antara anak dan orang tua secara
umum atau relasi anak dengan ibu yang dipandang penting. Relasi antara
anak dengan ayahpun juga penting. Peran ayah dalam pengasuhan ternyata
mengembangkan penelitian tentang relasi antara anak dengan figur ayah.
Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Dyer, dkk (2009) mengatakan bahwa
adanya peran yang aktif dari seorang ayah dalam merawat anak-anaknya
dengan cara melakukan interaksi dengan jumlah dan kualitas yang baik
selama masa kanak-kanak awal dapat mengarahkan anak pada perkembangan
sosial yang positif (Updegraff, McHale, Crouter, & Kupanoff), sedikitnya
masalah perilaku (Jaffee, Moffitt, Caspi, & Taylor), pengaturan emosi diri
yang lebih baik (Roggman, Boyce, Cook, Christiansen, & Jones),
meningkatkan perkembangan bahasa (Magill-Evans & Harrison) dan
meningkatkan fungsi kognitif untuk anak-anak yang masih atau lebih muda
(Gauvain, Fagot, Leve, & Kavanagh).
Pentingnya peran ayah juga dinyatakan oleh studi lain yang dilakukan
oleh Radin, Wagner & Phillips (dalam Bukatko, 2008), yang menunjukkan
bahwa ayah yang memiliki kehangatan dan terlibat dengan anak-anaknya
berasosiasi dengan kompetensi dan prestasi akademik anak-anaknya serta
memiliki kekakuan stereotip peran gender yang lebih rendah. Biller dan Lamb
(dalam Bukatko, 2008) menyatakan bahwa anak, khususnya anak laki-laki
yang tumbuh tanpa seorang ayah akan bermasalah pada bidang akademis atau
kognitif, perkembangan peran gender dan kontrol terhadap agresi.
Secara khusus, peneliti ingin mengetahui relasi antara anak dengan
ayah melalui persepsi terhadap figur ayah yang muncul pada anak-anak.
Persepsi mengenai figur lain terbentuk sebagian besar dipengaruhi oleh faktor
orang lain kita baru bisa memperoleh informasi-informasi baik verbal
maupun nonverbal yang nantinya informasi-informasi tersebut digunakan
untuk menyimpulkan tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang
lain (Sarwono, 2009). Persepsi anak terhadap keluarga, khususnya ayah,
penting dilihat sebab persepsi yang muncul merupakan indikator dari sesuatu
yang telah terjadi menyangkut ayah di dalam keluarga. Ketika persepsi yang
muncul adalah persepsi yang positif maka dapat disimpulkan bahwa relasi
yang terjadi juga baik atau positif.
Secara garis besar, persepsi itu sendiri dipengaruhi oleh faktor
psikologis dan faktor budaya. Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi
persepsi seseorang meliputi kebutuhan, kepercayaan, emosi dan ekspektasi
atau harapan yang ada di dalamnya, serta dipengaruhi oleh masa lampau
orang tersebut. Faktor selanjutnya yang ikut mempengaruhi persepsi adalah
budaya. Budaya tempat tinggal seseorang mempengaruhi kebutuhan,
kepercayaan, emosi dan ekspektasi orang tersebut. Budaya mempengaruhi
persepsi seseorang melalui stereotip. Stereotip mengarahkan seseorang dan
mengatakan pada diri orang tersebut apa yang penting untuk disadari atau
diabaikan (Wade & Tavris, 2007). Hal ini membuat orang memberikan
tanggapan yang berbeda-beda walaupun dengan objek yang sama.
Beberapa sumber berikut menyinggung bagaimana figur ayah bagi
anak-anak. Dalam Skolnick & Skolnick (1983),figur ayah dijelaskan dalam
perspektif tradisional dan modern. Dalam perspektif tradisional, ayah tidak
disimbolkan secara dekat sebagai model kekuasaan dan otoritas, yang
seharusnya mempunyai sedikit pengasuhan terhadap anaknya. Selain itu, ayah
dilihat sebagai pencari nafkah, dihormati tetapi ditakuti oleh anak-anak.
Parsons dan Bales (dalam Skolnick & Skolnick, 1983) menggunakan
perspektif tradisional yang melihat laki-laki dalam keluarga sebagai figur
yang bertanggung jawab pada keluarga sedangkan ibu lebih sebagai “pemberi
kasih sayang” di rumah. Tanggung jawab laki-laki pada keluarganya
berkaitan dengan dunia luar atau pekerjaan.
Walaupun perspektif tradisional memandang ayah sebagai pencari
nafkah, perspektif modern tidak beranggapan seperti itu. Perspektif modern
melihat bahwa ketika ayah ikut berperan dalam pengasuhan anaknya maka
anaknya akan memiliki identitas peran seks, performansi akademis, dan
perkembangan sosial yang baik.
Di Jawa sendiri, menurut Geertz (1983), pola pengasuhan yang
diterapkan termasuk pola asuh yang otoriter. Dapat dikatakan demikian sebab
dalam nilai-nilai kejawen anak diharapkan mematuhi harapan-harapan atau
keinginan-keinginan orang tuanya, pandai mengendalikan diri dan sopan. Jika
anak tersebut tidak melakukannya atau tidak memenuhi harapan orang tuanya
maka orang tua akan menghukumnya. Bahkan hukuman yang diterima anak
tersebut berkisar dari tatapan ancaman atau peringatan tajam untuk
dipermalukan di depan orang lain, dari cubitan hingga pukulan walaupun
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gambaran figur ayah
pada anak-anak merupakan hal menarik dan cukup penting untuk diketahui.
Terkait hal tersebut, peneliti ingin mengetahui tentang gambaran figur ayah di
Yogyakarta saat ini mengingat bahwa Yogyakarta merupakan salah satu pusat
kebudayaan Jawa dan di dalamnya berlaku perspektif tradisional.
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak usia enam
hingga sebelas tahun atau anak usia pertengahan. Subjek tersebut dipilih
sebab anak dalam usia pertengahan telah mampu untuk mempersepsikan
orang-orang disekitarnya termasuk orang tua. Pernyataan ini didukung oleh
Santrock (1995) yang menyatakan bahwa pada masa usia pertengahan ini
anak-anak dan orang tua akan saling memberi cap. Mereka akan bereaksi satu
sama lain tidak hanya atas dasar perilaku mereka di masa lampau tetapi juga
berdasarkan atas bagaimana mereka menginterpretasikan perilaku dan
harapan-harapan mereka atas perilaku-perilaku tersebut.
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui dokumen yang berupa
respon terhadap tes proyektif story telling Children’s Apperception Test atau
C.A.T. Teknik story telling dipilih sebab berdasarkan observasi pelaksanaan
praktikum C.A.T, para subjek yaitu anak cukup lancar dalam bercerita.
Disamping itu, tes C.A.T dipilih karena anak dapat merasa lebih nyaman
dengan menunjukkan perasaannya melalui figur yang ada di gambar daripada
jika anak diminta untuk menggambarkan dirinya atau figur-figur yang ada di
dalam keluarga atau lingkungannya secara langsung (Bellak & Abrams,
B. Rumusan masalah
Bagaimana persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah
berdasarkan hasil C.A.T
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur
ayah berdasarkan hasil C.A.T.
D. Manfaat Penelitian
1. Menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang Psikologi
Perkembangan khususnya mengenai persepsi anak di Yogyakarta terhadap
figur ayah berdasarkan hasil C.A.T.
2. Menambah pengetahuan atau wawasan pada masyarakat umum (orang tua)
tentang persepsi seorang anak terhadap figur orang tua khususnya figur
ayah. Wawasan atau pengetahuan yang didapat tersebut, kemudian dapat
dijadikan sebagai pertimbangan atau pedoman oleh orang tua dalam
mengasuh anak-anak.
3. Melalui penelitian ini dapat ditunjukkan kegunaan dari C.A.T untuk
penelitian, khususnya untuk meneliti persepsi anak terhadap figur orang
7
BAB II DASAR TEORI
A. Persepsi
Persepsi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah persepsi
terhadap figur ayah. Persepsi terhadap figur ayah digali dengan
menggunakan teknik proyektif yaitu C.A.T. Dalam C.A.T persepsi yang
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman masa lampau atau pengalaman
sebelumnya dan bersifat subjektif disebut sebagai apersepsi (Bellak &
Abrams, 1997).
Apersepsi menurut Kant, merupakan penyatuan persepsi. Dengan
apersepsi, persepsi-persepsi yang disatukan disebut sebagai diri yang sadar
atas diri mereka dalam berbagai saat atau waktu. Persepsi-persepsi tersebut
dipersatukan merujuk pada objek-objek eksternal yang terdapat dalam satu
dunia. Selain itu, menurutnya persepsi hanya merupakan suatu objek
tunggal sedangkan apersepsi berkaitan dengan persepsi dan dunia
(Monroe, 1911).
Apersepsi menurut Bellak dan Abrams (1997) merupakan suatu
proses yang mana pengalaman-pengalaman baru diasimilasikan atau
disesuaikan dan ditransformasikan atau dirubah bentuknya oleh endapan
pengalaman masa lampau individu menjadi suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Apersepsi merupakan proses dinamis yang terjadi pada individu
diberikan tersebut merupakan interpretasi yang dinamis dan penuh makna
dari individu terhadap suatu persepsi (Edwin & Bellak, 1959).
B. Anak Usia Pertengahan
Anak-anak pada masa tahun-tahun sekolah dasar ini berkisar antara
usia enam hingga sebelas tahun. Dalam tahun-tahun ini, anak sudah
memiliki ketrampilan-ketrampilan fundamental seperti membaca, menulis,
dan berhitung. Selain itu, anak juga mulai secara formal berhubungan
dengan dunia yang lebih luas beserta kebudayaannya.
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, anak-anak pada masa
tahun sekolah dasar masuk dalam tahap operasional konkret. Dalam tahap
ini anak dapat menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah
yang konkret. Anak juga dapat berpikir lebih logis karena mereka pada
masa ini telah dapat mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke
dalam pertimbangan-pertimbangannya walaupun masih dibatasi untuk
berpikir tentang situasi yang sebenarnya pada saat itu saja. Kemampuan
atau pemahaman yang lebih baik ini dapat ditunjukkan lewat tugas
konservasi, yaitu mengenai kesamaan volume isi tanpa terpengaruhi
perubahan wadah. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu
mengkoordinasikan beberapa karakteristik sekaligus dan tidak lagi hanya
berfokus pada elemen tunggal dari sebuah objek. Selain itu, anak dalam
tahap ini mampu menggolongkan atau mengklasifikasikan benda ke dalam
Di samping itu, anak-anak dengan tahap operasional konkret ini
mampu untuk memahami keterhubungan antara kumpulan dan sub
kumpulan, seriation dan transivity. Memahami keterhubungan antara
kumpulan dan sub kumpulan dapat ditunjukkan ketika seorang anak dapat
melihat seseorang dengan peran yang berbeda dalam saat bersamaan,
misalnya seorang laki-laki yang dapat berperan sebagai ayah, saudara,
anak dan cucu. Seriation merupakan kemampuan anak untuk mengurutkan
stimuli sepanjang dimensi kuantitatif seperti panjang. Transivity adalah
kemampuan untuk memikirkan relasi gabungan secara logis, yang berarti
jika ada relasi objek yang pertama dan kedua, dan ada relasi antara objek
kedua dan ketiga, maka pasti ada relasi antara objek pertama dan ketiga.
Masih dalam area kognitif, pemrosesan dan penyimpanan
informasi pada anak dalam usia pertengahan ini semakin berkembang atau
mengalami kemajuan. Selain itu juga terjadi peningkatan dalam waktu
reaksi dan kecepatan memproses tugas. Pemrosesan yang makin cepat dan
efisien ini meningkatkan jumlah informasi yang dapat diproses di memori
kerja anak. Hal ini membuat anak memiliki kemungkinan mengingat yang
lebih baik dan memiliki pemikiran ke level yang lebih tinggi serta
kompleks (Papalia, et al., 2010).
Berkaitan dengan emosi, anak dengan tahun sekolah dasar lebih
baik dalam hal mengatur emosi mereka. Tahap ini memberikan
kesempatan anak untuk belajar mengatur emosi mereka dalam
tersebut antara lain seperti apakah orang tua memberikan kesempatan pada
anaknya untuk menjadi semakin emosional atau untuk menjadi tenang,
serta apakah yang anak pelajari dari konsekuensi yang mereka terima dari
emosi yang ditunjukkannya seperti, apakah yang terjadi ketika aku marah
dengan tantrum atau saat aku hanya menggunakan kata-kata. Ketika orang
tua menjadi distress pada emosi negatif anak-anaknya dan
menghukumnya, maka sebagai akibatnya nantinya anak akan berekspresi
lebih marah dan menampakkan sikap bermusuhan serta mempunyai
masalah perilaku yang lebih banyak dan rendahnya fungsi sosial di
sekolah (Eisenberg, Fabes, et al.; Fabes, Leonard, et al.,dalam Bukatko,
2008). Di sisi lain, ketika orang tua memberikan pengarahan yang
mendukung ekspresi emosi anak, seperti dengan membantu anak untuk
berbicara tentang apa yang mereka rasakan dan memberi saran atau jalan
keluar tentang emosinya, maka anak akan menjadi lebih baik dalam
menenangkan diri mereka dan mengatur emosi negatif mereka (Gottman,
Katz, & Hooven dalam Bukatko, 2008).
Nada interaksi yang digunakan ketika berinteraksi dengan orang
tua juga ikut berperan. Nancy Eisenberg dan koleganya, dalam buku
Bukatko (2008) ini menyatakan bahwa ibu dengan ekspresi emosi yang
positif mempunyai anak yang lebih baik atau lebih dapat mengatur emosi
mereka dan juga sebaliknya.
Kecenderungan seorang anak untuk mengekspresikan emosinya
anak Amerika cenderung untuk tersenyum lebih banyak daripada
anak-anak China sewaktu bayi (Camras et al., dalamBukatko, 2008) sedangkan
sisi lain dari spektrum emosional, anak-anak China lebih baik dalam
mengidentifikasi ketakutan dan situasi sedih dari anak-anak Amerika, dan
mereka lebih sedikit menangis (Borke; Camras et al.,dalamBukatko,
2008). Perbedaan ini dapat merefleksikan penggabungan dari kepercayaan
budaya tentang emosi.
Selama masa tahun-tahun sekolah ini, hubungan antara orang tua
dan anak tidak lagi satu sisi. Orang tua sekarang mulai menerapkan
pengasuhan yang lebih bebas, khususnya saat anak memasuki sekolah.
Para orang tua dan anak mulai untuk bernegosiasi seperti membuat
keputusan dan memecahkan masalah keluarga.
C. The Children’s Apperception Test (C.A.T)
The Children’s Apperception Test atau yang sering disingkat
sebagai C.A.T adalah sebuah metode proyektif untuk melihat kepribadian
seseorang dengan melihat makna dari dinamika individual differences
dalam persepsi yang dibentuk berdasarkan stimulus yang terstandar
(Abram, 1993a, 1995; Bellak & Siegel, 1989; Boekholt, 1993 dalam
Bellak & Abrams, 1997). C.A.T juga merupakan salah satu bentuk dari tes
proyektif yang berdasarkan pada hipotesis projective dari Freud.
Istilah tes proyektif mengacu pada konsep projection oleh Sigmund
seseorang untuk mengarahkan perasaannya kepada dunia luar tetapi
mengimajinasikan perasaan-perasaannya tersebut diekpresikan oleh dunia
luar terhadap dirinya. Tes proyektif ini merupakan tes dengan stimulus
yang ambigu dan tidak terstruktur yang bertujuan agar seseorang dapat
mengekspresikan keinginan, kecemasan dan konflik yang dimilikinya.
C.A.T dibuat dengan tujuan untuk memahami hubungan atau relasi
antara anak dengan figur-figur penting atau significant other beserta
dorongan-dorongannya. Alat tes yang terdiri dari sepuluh gambar ini juga
dibuat untuk memperoleh respon-respon yang berkaitan dengan masalah
oral, persaingan saudara kandung dan hubungan atau relasi antara anak
dan orang tua sebagai pasangan, agresi, penerimaan orang dewasa,
kesendirian yang berkaitan dengan masturbasi, toilet training, bagaimana
orang tua merawat dan bagaimana responnya. Berdasarkan hal tersebut
maka diharapkan dapat mengetahui pertahanan diri anak dan bagaimana
cara ia bereaksi dan menangani masalah. Secara klinis, C.A.T juga
berguna untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang mungkin dapat
berhubungan dengan perilaku anak di dalam suatu kelompok, sekolah atau
rumah.
Untuk melakukan interpretasi terhadap respon cerita C.A.T, maka
digunakan analisis tematik yang bertujuan untuk memecah tema menjadi
1. Tema deskriptif
Yaitu ringkasan makna dari cerita dan disajikan kembali dalam
bentuk yang singkat dan dengan kata-kata yang sederhana.
2. Tema interpretif
Tema interpretif ini berupa arti umum cerita
3. Tema diagnostik
Tema diagnostik ini dapat memberitahukan masalah psikologi
yang muncul dalam cerita tersebut (Bellak & Abrams, 1997)
Dalam proses analisis C.A.T, juga sering digunakan Bellak scoring
system untuk mendapatkan interpretasi secara lebih cermat dan lengkap.
Bellak scoring system ini terdiri dari sepuluh variabel yang terdiri dari:
1. Tema utama
Tema utama berisi uraian yang sama dengan tema interpretif.
2. Hero utama
Hero utama dalam cerita adalah seseorang atau orang yang
paling banyak berbicara atau diceritakan serta pikiran dan
perasaan yang paling sering dibahas atau diceritakan.
3. Kebutuhan dan dorongan utama hero
Dalam variabel yang ketiga ini terdapat tiga tipe data, meliputi:
a) Behavioral needs, yang ditunjukkan dalam perilaku dan
didalamnya terdapat dynamic inference atau kesimpulan
b) Figur atau objek yang dilibatkan. Objek yang dimaksud
adalah alat – alat yang muncul dalam cerita walaupun tidak
digunakan untuk memuaskan kebutuhan.
c) Figur atau objek yang diabaikan. Figur atau objek yang
diabaikan meliputi mereka yang nampak jelas di dalam
gambar tetapi tidak disebutkan dalam cerita.
4. Konsep tentang lingkungan atau dunia.
Konsep ini berisi tentang realitas yang dialami seseorang.
5. Figur dilihat sebagai
Variabel yang kelima ini mengungkap sikap tokoh utama
kepada orang-orang yang lebih tua, sebaya dan lebih muda atau
orang-orang yang lebih kecil atau inferior serta berisi tentang
reaksi seseorang terhadap persepsinya.
6. Konflik-konflik yang menonjol
Melalui variabel ini, dapat melihat konflik-konflik yang muncul
dan juga pertahanan diri seseorang dalam menghadapi atau
menyikapi konflik tersebut. Konflik yang muncul bisa antara
superego dan dorongan-dorongan lain atau bisa saja antar
dorongan-dorongan.
7. Asal kecemasan
Kecemasan (pada tokoh utama) dapat muncul secara langsung
maupun secara tidak langsung atau implisit. Kecemasan ini
dirasa tidak diterima oleh lingkungan, misalnya kecemasan
mendapat hukuman, kehilangan kasih sayang, menjadi
kekurangan, dll.
8. Mekanisme pertahanan diri
Dalam menghadapi konflik yang muncul subjek akan
memberikan reaksi-reaksi tertentu. Reaksi-reaksi tertentu atau
usaha subjek dalam menghadapi konflik tersebut merupakan
mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh subjek.
9. Kuatnya superego
Adekuasi ego ditunjukkan oleh bagaimana tokoh mendapatkan
akibat dari tindakannya.
10.Integrasi ego
Menunjukkan seberapa baik fungsi seseorang, seberapa
seseorang dapat mengkompromikan kebutuhan atau dorongan
dengan tuntutan realita atau superego di sisi lain.
D. Teori Object Relation
Teori object relation menjadi dasar pikiran dari variabel Bellak
nomor lima, yaitu pandangan dan reaksi terhadap figur-figur penting.Teori
object relation merupakan perkembangan dari teori psikoanalisis yang
lebih berfokus pada hubungan atau relasi dengan objek-objek misalnya
ibu, daripada dorongan-dorongan insting (Schultz, Duane & Schultz,
penting sebab menurut Melanie Klein, W.R.D. Fairbairn, inner image
seorang anak terhadap keluarganya akan menciptakan suatu persepsi pada
anak terhadap figur-figur di keluarganya. Persepsi anak terhadap
keluarganya tersebut kemudian mempengaruhi hubungan atau relasinya
terhadap orang lain di luar keluarganya. Hubungan atau relasi dengan
orang lain tersebut kemudian akan menjadi pola yang terus diulang
sehingga menetap pada diri seorang anak. Dengan kata lain, hubungan
dengan individu atau orang lain merupakan hal yang penting dalam
mendefinisikan kepribadian dan self dibentuk secara sosial melalui
interaksi interpersonal (Friedman, Howard. S & Schustack, Miriam. W,
2008). Teori object relation mengatakan bahwa faktor sosial dan
lingkungan mempengaruhi kepribadian. Dalam hubungannya dengan
figur-figur anggota keluarganya, anak akan melakukan internalisasi objek,
yaitu anak melakukan introyeksi yang berarti anak memasukkan aspek
eksternal kemudian mengolahnya menjadi rangka kerja yang bermakna
secara psikologis (Feist, Jess & Feist, Gregory. J, 2009).
Dalam variabel Bellak, object relation mengungkap bagaimana
tokoh utama atau hero dalam cerita berelasi dengan karakter figur ayah,
ibu, sebaya atau saudara kandung dan orang yang lebih kecil. Selain itu,
mengungkapkan juga tentang macam atau tipe kepribadian dari
masing-masing karakter yang diceritakan dan kualitas interaksi dengan hero.
Menurut Westen (dalam Bellak & Abrams, 1997), terdapat empat
representations of people, affect tone of relationship paradigms, capacity
of emotional investment in relationship and moral standards dan
understanding of social causalty.
Berkaitan dengan penelitian ini, maka pendekatan skoring Westen
yang sesuai adalah pendekatan complexity of representations of people.
Dalam pendekatan ini, internalisasi diri dan representasi objek semakin
berkembang menjadi lebih terpisah dan terdiferensiasi dari satu sama lain
sejalan dengan perkembangan anak menuju dewasa. Kapasitas anak untuk
merepresentasikan secara mental suatu self image dan suatu image orang
lain juga berkembang menjadi lebih kompleks. Perasaan-perasaan ekstrim
mengenai diri dan representasi objek yang “semua baik” dan “semua
buruk” serta perasaan yang ekstrim tentang cinta dan benci menjadi lebih
terdiferensiasi dari karakter-karakter cerita dan meningkat menjadi
individu yang dapat melihat dirinya dan orang lain sebagai individu yang
seimbang, memiliki kualitas yang beraneka segi dan
pengalaman-pengalaman subjektif.
E. Figur Ayah Bagi Anak-anak di Yogyakarta 1. Keluarga Jawa
Di masyarakat Jawa, dimana kota Yogyakarta termasuk
didalamnya, mempunyai pola pengasuhan yang berbeda antara
laki-laki dan perempuan. Dalam mengasuh anak laki-laki-laki-laki, mereka memberi
mampu untuk mencari nafkah. Hal ini membuat anak laki-laki
dibebaskan dari pekerjaan atau tugas-tugas rumah tangga. Pengasuhan
semacam ini mengakibatkan anak laki-laki tidak memiliki ketrampilan
praktis untuk mengelola rumah. Berbeda dengan anak perempuan,
orang tua mendidik mereka untuk dipersiapkan menjadi seorang ibu
dan istri yang berbakti bagi suaminya nanti (Handayani & Ardhian,
2008).
Dipendidikan keluarga dalam kultur Jawa, didikan tersebut
selalu menuntut anak untuk mampu menahan dorongan hati serta
menunda pemuasan dorongan hati. Sedari kecil para orang tua akan
mengajarkan pada anak-anaknya dalam mempergunakan sikap-sikap
hormat. Anak akan diajarkan untuk memiliki rasa wedi pada orang
yang harus dihormati. Setelah anak memiliki rasa wedi, maka anak
diajarkan untuk memiliki rasa isin yang artinya malu dan merasa
bersalah. Menurut pendidikan keluarga dalam kultur Jawa, setelah
anak diajarkan untuk tahu malu dan kemudian mempunyai malu
merupakan langkah awal untuk mendidik anak menuju ke kepribadian
Jawa yang matang.
Ketika anak sudah memasuki usia lima tahun maka ia sudah
mengerti konteks-konteks mana yang harus membuat ia merasa isin.
Selanjutnya, menurut Hildred Geerzt (dalam Handayani & Ardhian,
atasan atau sesama yang belum dikenal merupakan perasaan yang
hendaknya tidak dicegah.
Dalam hubungan dengan saudara-saudaranya, keluarga Jawa
mengajarkan akan kerukunan. Kerukunan dalam hal ini mengacu pada
menjaga hubungan yang harmonis, yaitu mampu mencegah segala
kelakuan yang dapat menimbulkan konflik atau pertikaian dengan
sesama sehingga tercipta suatu kedamaian. Adapun ajaran tentang
kerukunan tersebut, lantas tidak berarti bahwa seseorang menomor
duakan hak-hak dan kepentingan pribadinya. Seseorang masih dapat
mengalami pertentangan dalam dirinya mengenai kepentingannya
namun harus diselesaikan dengan halus dan tidak agresif serta tidak
ada konfrontasi emosional yang terbuka. Dengan kata lain, masyarakat
Jawa menuntut seseorang untuk selalu dapat mengontrol diri,
membawa diri dengan sopan, tenang dan rukun (Handayani &
Ardhian, 2008).
2. Figur Ayah dalam Keluarga Jawa
Relasi dan pengalaman sosial pertama anak-anak dibentuk atau
dimulai dari keluarga inti mereka, yaitu ayah dan ibu. Menurut
Geertz(1983), ketika anak dalam masa peralihan dari penyapihan ke
belajar berjalan anak mulai mempunyai hubungan dengan ayahnya.
Dengan kata lain, sampai pada saat itu ayah mempunyai urusan yang
mendapat giliran untuk menggendong anaknya sengaja untuk
memberikan kesempatan pada ibu untuk melakukan hal-hal yang lain.
Walaupun begitu, ayah belum menjadi bagian yang penting bagi anak.
Berkisar dari akhir tahun pertama sampai umur lima tahun,
anak-anak dekat dengan ayahnya, namun setelah berumur lebih dari
lima tahun dimungkinkan anak tidak lagi dekat dengan ayahnya. Dari
masa itu, anak akan mulai hormat dengan mengambil jarak dari
ayahnya, berbicara dengan seksama serta merendah terhadap ayahnya.
Selain itu, tradisi di Yogyakarta yang masih kejawen memiliki
aturan-aturan atau tata kramanya sendiri dalam hubungan antara anak dan
ayah. Diantaranya, orang tua akan tampak semakin mengharapkan
anaknya untuk menjadi seorang yang penurut, pandai dalam
mengendalikan diri dan sopan. Anak-anak juga segera mengetahui
bahwa orang yang lebih tua harus dihormati, terutama ayah mereka.
Adanya aturan atau tata krama seperti ini membuat hubungan antara
anak-anak dengan ayahnya tampak ada jarak, basa-basi dan hampir
seperti hendak menjauhi.
Pola pengasuhan yang diterapkan di keluarga jawa juga
termasuk pola asuh yang otoriter. Dapat dikatakan demikian sebab
dalam nilai-nilai kejawen anak diharapkan mematuhi harapan-harapan
atau keinginan-keinginan orang tuanya. Ketika anak tidak
melakukannya atau tidak memenuhi harapan orang tuanya maka orang
tersebut berkisar dari tatapan ancaman atau peringatan tajam untuk
dipermalukan di depan orang lain, serta dari cubitan hingga pukulan
walaupun jarang terjadi.
F. Persepsi Anak terhadap Figur Ayah di Yogyakarta
Anak dengan usia enam hingga sebelas tahun sudah mulai
berhubungan secara formal dengan lingkungan dan kebudayaannya. Hal
itu mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan anak, salah satunya adalah
interaksi dengan lingkungan yaitu relasi anak dengan orang tua dan orang
lain. Dalam hal ini relasi antara anak dan orang tua atau orang lain di
sekitarnya menjadi penting karena anak sudah mulai mampu menyerap
inforrmasi-informasi yang diberikan oleh lingkungannya.
Dalam hubungannya dengan orang lain, anak sudah mulai mampu
melakukan persepsi sosial dengan mengenali tanda-tanda atau tingkah laku
nonverbal dan verbal yang ditampilkan orang lain. Informasi-informasi
tersebut kemudian digunakan untuk membentuk persepsi terhadap orang
lain.
Dalam melakukan persepsi sosial, anak dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu sifat sensoris objek, pengalaman masa lampau anak itu sendiri
yang mempengaruhi ekspektasi atau harapan dan sikap diri anak tersebut.
Selain itu, budaya juga mempengaruhi anak dalam melakukan persepsi.
mempersepsi serta yang dipersepsi. Ketiga hal tersebut saling berkaitan
dalam membentuk persepsi terhadap orang lain.
Dalam penelitian ini, objek yang dipersepsi adalah figur ayah.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, persepsi dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti sifat sensoris objek yang dalam hal ini ayah
sebagai seorang yang menjadi objek persepsi bagi anaknya dapat
memberikan pengaruh pada anaknya tersebut. Dalam budaya Jawa di
Yogyakarta, ayah dilihat sebagai seorang yang harus dihormati dan
memiliki jarak. Hal ini tentunya akan mempengaruhi persepsi anak
terhadap ayahnya tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi persepsi anak
terhadap ayahnya adalah pengalaman masa lampau anak itu sendiri. Ketika
seorang anak mempersepsi ayahnya, anak itu memiliki ingatan-ingatan
tentang figur ayahnya, seperti tentang relasinya dengan ayah, kedekatan
dengan ayah, cara pengasuhan ayahnya dan sikap-sikap ayahnya pada
dirinya yang kemudian diintegrasikan dalam diri anak tersebut sehingga
memunculkan persepsi terhadap figur ayahnya. Sikap diri seseorang
terhadap figur ayah seperti pikiran anak terhadap ayahnya juga ikut
mempengaruhi persepsinya. Apa yang dipikirkan seorang anak tentang
ayahnya dapat merupakan hasil dari pengalaman yang didapat dengan
ayahnya.
Selain itu, di Yogyakarta orangtua menggunakan nilai-nilai
kejawen dalam mengasuh anak atau berelasi dengan anak-anaknya.
hal tersebut, peneliti akan melihat lebih dalam tentang bagaimana persepsi
anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T.
G. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk
menjawab pertanyaan bagaimana persepsi anak di Yogyakarta terhadap
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif interpretif. Metode
kualitatif interpretif dipilih sebab metode ini bertujuan untuk
mengeksplorasi pengalaman personal seorang individu dan menekankan
pada persepsi atau pendapat personal seorang individu tentang suatu objek
atau peristiwa (Smith, 2009).
B. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat persepsi anak di
Yogyakarta terhadap figur ayah. Data persepsi terhadap figur ayah berupa
cerita atau respon terhadap gambar-gambar C.A.T yang mengandung
cerita tentang figur ayah.
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak berusia enam hingga
sebelas tahun dan tinggal di Yogyakarta.
D. Pengumpulan Data Penelitian
Jenis pengumpulan data dalam penelitian ini adalah penggunaan
dokumen ini disebut juga sebagai metode unobstrusive atau tidak reaktif
sebab peneliti tidak melakukan hubungan langsung dengan orang-orang
yang meninggalkan dokumen tersebut sehingga tidak menimbulkan reaksi
ataupun respon khusus dari individu yang diteliti. Kelebihan penggunaan
metode dokumen ini meliputi peneliti mampu memperoleh bahasa dan
kata-kata dari peserta dan merupakan bukti tertulis, menghemat waktu
peneliti serta menghemat biaya transkrip (Creswell, 2003).
Sumber atau bahan penelitian yang digunakan merupakan sumber
sekunder yaitu laporan praktikum Chlidren’s Apperception Test (C.A.T)
yang tersedia di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam pengambilan data C.A.T
tersebut menggunakan metode proyektif, yaitu konstruksi cerita atau
storry telling. Peneliti memilih respon cerita C.A.T sebagai data sebab
cerita C.A.T dapat mengungkap hubungan atau relasi antara anak dengan
figur-figur penting beserta dorongan-dorongannya.
Dalam pengadministrasian tes C.A.T, subjek yang dites adalah
anak usia enam hingga sebelas tahun. Proses pengetesan diawali dengan
membangun rapport yang baik dan nyaman oleh penyaji. Setelah
pemberian rapport, penyaji akan mulai memberikan satu persatu kertas
yang berisi gambar secara berurutan. Subjek diminta untuk bercerita
berdasarkan gambar dengan berdasarkan pertanyaan berikut (Bellak &
a. Apa yang sedang terjadi dalam gambar ini atau apa yang
sedang dilakukan oleh tokoh dalam gambar ini.
b. Apa yang terjadi sebelum tokoh melakukan hal tersebut.
c. Apa yang terjadi sesudah kejadian tersebut.
d. Apa atau bagaimana pikiran dan perasaan tokoh.
E. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis cerita C.A.T adalah
metode analisis tematik yang kemudian dilanjutkan dengan penyimpulan
secara menyeluruh terhadap semua hasil interpretasi yang muncul. Metode
analisis tematik merupakan analisis yang bertujuan untuk memecah tema
menjadi tiga tema, yaitu:
a. Tema deskriptif
yaitu ringkasan makna dari cerita dan disajikan kembali dalam
bentuk yang singkat dan dengan kata-kata yang sederhana.
b. Tema interpretif
tema interpretif ini berupa arti umum cerita.
c. Tema gambaran figur ayah
tema ini memberitahukan gambaran tentang figur ayah bagi
anak.
Langkah selanjutnya adalah penggunaan skoring Bellak. Skoring
Bellak ini berisi 10 variabel yang digunakan untuk melihat kehidupan dan
kebutuhan utama hero, konsepsi lingkungan atau dunia dilihat sebagai apa,
figur yang muncul dilihat sebagai apa, konflik yang menonjol, asal
kecemasan, mekanisme pertahanan diri, adekuasi superego dan intergrasi
ego. Dari kesepuluh variabel tersebut, peneliti berfokus pada variabel
kelima, yaitu figur yang muncul dilihat sebagai apa atau biasa juga disebut
sebagai object relation, yang dalam hal ini figur tersebut adalah figur ayah.
Object relation menurut skoring Westen dalam Bellak dan Abrams (1997),
terdiri dari empat komponen, yang meliputi:
a. Tingkat dan jenis relasi anak dengan orang lain dan menjaga
realasi tersebut dengan baik.
b. Relasi yang terbentuk sekarang ini, baik yang adaptif atau
maladaptif dipengaruhi oleh pola orang yang lebih tua dan
orang yang hadir dalam hidup anak saat ini.
c. Tingkat seseorang menerima orang lain sebagai suatu kesatuan
yang terpisah dan bukan lagi perluasan dari dirinya.
d. Tingkat seseorang dapat menjaga ketetapan objek.
Variabel kelima ini dianalisis untuk melihat figur ayah yang berada
dikehidupan sehari-hari subjek dan bagaimana subjek bereaksi terhadap
figur ayah tersebut sehingga mampu menjawab pertanyaan dari penelitian
F. Keabsahan Data Penelitian
Keabsahan data penelitian ini diperoleh melalui objektivitas dalam
bentuk transparansi dan kesamaan pandangan atau analisis. Objektivitas
dalam bentuk transparansi merupakan kesediaan peneliti untuk
menguraikan atau menjabarkan secara terbuka dari elemen-elemen
penelitian hingga prosesnya dengan tujuan agar pihak lain dapat
melakukan penilaian. Dalam objektivitas dalam kesamaan pandangan,
keabsahan data diperoleh melalui persetujuan diantara peneliti-peneliti
mengenai aspek yang dibahas dalam penelitian (Sarantakos, 1993 dalam
Poerwandari, 2005).
Kredibilitas data penelitian ini ditunjukkan melalui konsep
triangulasi oleh Patton yaitu triangulasi peneliti. Dalam mencapai
kredibilitas data ini peneliti menggunakan atau menyertakan beberapa
peneliti atau evaluator yang berbeda dalam menganalisis data yang
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Berikut adalah penjelasan proses pelaksanaan penelitian:
1. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah dokumen berupa laporan hasil
tes C.A.T yang tersedia di Laboratorium Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma. Dokumen yang diperoleh sebanyak 60
dokumen yang didapat dari pengetesan atau praktikum pada semester
gasal tahun ajaran 2009 / 2010. Dokumen laporan yang dikumpulkan
adalah dokumen dari subjek yang berusia enam hingga sebelas tahun.
2. Pengolahan Data
a. Pemilihan Cerita
Cerita yang dipilih untuk penelitian ini adalah cerita yang
berisi atau menceritakan tentang figur ayah.
b. Interpretasi Cerita
Cerita-cerita yang telah terkumpul kemudian diinterpretasi
dengan menggunakan analisis tematik. Analisis tematik terdiri dari
tiga tahapan kerangka berpikir, yaitu mengidentifikasi tema
Proses pengolahan data atau interpretasi ini melibatkan dua
orang interpreter yang masing-masing peneliti menginterpretasi
data-data tersebut secara mandiri kemudian didiskusikan untuk
memperoleh kesepakatan makna setiap cerita. Interpretasi tersebut
menghasilkan ragam persepsi mengenai figur ayah.
c. Penyimpulan Data
Setelah menemukan kesepakatan ragam persepsi dalam tiap
cerita, peneliti kemudian mengkategorikan ragam persepsi tersebut
menjadi satu kategori.
Istilah-istilah kategori yang telah dirumuskan kemudian
digunakan dalam perumusan persepsi komposit mengenai figur
ayah pada setiap subjek. Persepsi komposit ini kemudian
dikategorikan lagi dengan tujuan memperoleh kesimpulan persepsi
komposit tetang figur ayah.
Sebagai tambahan, secara kuantitatif juga dilakukan
penghitungan prosentase terhadap kategori persepsi yang muncul
dan terhadap kategori persepsi komposit.
B. Hasil Penelitian
1. Deskripsi subjek
Subjek yang digunakan sebagai penelitian adalah subjek
laki-laki sebanyak 30 subjek dan subjek perempuan sebanyak 30 subjek.
deskripsi usia subjek, data pekerjaan orang tua subjek dan jumlah
kartu yang muncul.
Tabel 1
Deskripsi Usia Subjek Penelitian
No. Usia Jumlah Subjek
1. 6 tahun 2 2. 7 tahun 6 3. 8 tahun 5 4. 9 tahun 21 5. 10 tahun 16 6. 11 tahun 10
Subjek yang paling banyak ikut dalam pelaksanaan tes adalah subjek
yang berumur sembilan tahun yaitu sebanyak 21 subjek.
Data orang tua dalam hal pekerjaan dijabarkan dalam tabel di
bawah ini.
Tabel 2
Deskripsi Pekerjaan Orang Tua
No. Pekerjaan
Ayah Jumlah Pekerjaan Ibu Jumlah
1. Wiraswasta 25 Wiraswasta 17 2. Pegawai 18 Pegawai 10 3. Buruh 6 Buruh 2 4. Dosen – guru 3 Dosen – guru 4 5. Polri 1 Petani 1 6. Pensiunan 3 Ibu rumah
tangga
26
7. Rohaniwan 1 8. Seniman 2 9. Tidak bekerja 1
Dari tabel di atas diketahui bahwa, pekerjaan ayah yang paling banyak
adalah wiraswasta sedangkan pekerjaan ibu yang paling banyak
Berkaitan dengan kartu yang diberikan pada anak sebagai
stimulus, rata-rata jumlah kartu yang muncul atau yang direspon pada
setiap subjek adalah tiga kartu. Secara rinci jumlah kemunculan kartu
yang direspon subjek terdapat di tabel 3.
Tabel 3
Jumlah Kartu yang Muncul
No. Nomor Kartu Jumlah Subjek yang Merespon
1. I 27
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kartu ketiga merupakan kartu
yang paling banyak direspon oleh subjek.
2. Ragam Persepsi Figur Ayah
Berdasarkan interpretasi yang telah dilakukan, maka ditemukan
hasil yang terdapat pada tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 4.
Ragam Persepsi, Jumlah dan Kategorisasi
No. Persepsi
Jumlah Kemunculan
Persepsi
No. Persepsi
Ayah yang senang anaknya
Ayah yang senang anak-anaknya menurut
1
No. Persepsi
Jumlah Kemunculan
Persepsi
Kategori Jumlah Kemunculan
16.
Ayah yang marah (atas pelanggaran
menghukum anak 4
18. anak / keluarga
3
No. Persepsi
Jumlah Kemunculan
Persepsi
Kategori Jumlah Kemunculan
melindungi anak 1
30. Ayah yang menyayangi anak 3
No. Persepsi
Jumlah Kemunculan
Persepsi
Kategori Jumlah Kemunculan
boleh ditentang 1
45. Ayah yang memiliki materi 8
Ayah yang berperilaku baik 1
No. Persepsi
Jumlah Kemunculan
Persepsi
Kategori Jumlah Kemunculan
57.
Ayah yang tidak bersama / tidak menemani anak
14
Ayah yang tidak hadir atau
menemani-Ayah yang tidak melakukan
aktifitas bersama anak
1
59.
Ayah yang tidak di rumah karena mempunyai keperluan di luar rumah
Ayah yang tidak dekat dengan anak
5
64.
No. Persepsi
Jumlah Kemunculan
Persepsi
Kategori Jumlah Kemunculan
Berdasarkan tabel di atas, ditemukan 21 kategori berdasarkan
pendekatan makna terhadap ragam-ragam persepsi yang muncul.
Kategori persepsi yang paling banyak muncul adalah ayah yang tidak
hadir atau menemani-mengabaikan-tidak dekat dengan anak atau
keluarga-mementingkan pekerjaan yaitu sebanyak 32 persepsi atau
sebesar 13%. Jumlah kemunculan kategori persepsi tersebut hanya
terpaut dua poin lebih banyak dari kategori persepsi ayah yang hadir
atau menemani anak-melakukan kegiatan bersama anak atau keluarga
yaitu sebanyak 30 persepsi atau sebesar 12,2%. Sebaliknya, persepsi
yang paling jarang muncul adalah ayah yang tidak menyayangi anak
yaitu hanya 1 persepsi atau sebesar 0,4%.
3. Persepsi Komposit Figur Ayah
Persepsi komposit tiap-tiap subjek dapat dilihat dari tabel
Tabel 5. Persepsi Komposit
Subjek Persepsi
1
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang mengurusi keperluan anak / keluarga ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga Ayah yang memiliki materi
Ayah yang mengabaikan anak
2
Ayah yang melihati anak Ayah yang tidak bersama anak Ayah yang tidak dekat dengan anak Ayah yang bersantai
3
Ayah yang bekerja
Ayah yang marah atas pelanggaran atau kesalahan Ayah yang mengurusi keperluan anak atau keluarga Ayah yang tidak bersama anak
Ayah yang tidak melakukan aktifitas bersama anak Ayah yang tidak dekat dengan anak
4
Ayah yang bekerja
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang mengurusi keperluan anak
Ayah yang bersantai
5
Ayah yang bekerja
Ayah yang mengurusi keperluan anak
Ayah yang melakukan sesuatu untuk anak atau menuruti keinginan anak
6
Ayah yang bekerja
Ayah yang menyuruh anak
Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang bersantai
7
Ayah yang mengingatkan atau menasehati Ayah yang memberi perhatian
Ayah yang mengharapkan keberhasilan anak 8 Ayah yang bersantai
9
Ayah yang menyuruh anak
Ayah yang marah atas pelanggaran Ayah yang menuruti keinginan anak
Ayah yang memaksa anak untuk melakukan sesuatu Ayah yang tidak boleh ditentang
Ayah yang memiliki materi Ayah yang tidak bersama anak Ayah mementingkan pekerjaan
10 Ayah yang marah atas pelanggaran
Subjek Persepsi
11
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang bermain bersama anak
Ayah yang menemani anak
12
Ayah yang mengabaikan anak Ayah yang tidak dekat dengan anak Ayah yang bersantai
13 Ayah yang marah atas pelanggaran Ayah yang melindungi anak
14 Ayah yang tidak menyayangi anak Ayah yang mengabaikan
15
Ayah yang bekerja Ayah yang menghukum Ayah yang bersantai
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak
16
Ayah yang senang anaknya menurut Ayah yang menyuruh anak
Ayah yang mengabaikan anak Ayah yang bersantai
17
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang berkumpul bersama anak
Ayah yang sakit
18
Ayah yang memenuhi kebutuhan anak Ayah yang mendidik anak
Ayah yang marah Ayah yang menghukum
Ayah yang memiliki kekuatan atau keberanian Ayah yang bijaksana
Ayah yang tidak berdaya Ayah yang gagal
Ayah yang memaksa anak untuk melakukan sesuatu
19
Ayah yang berkumpul bersama keluarga Ayah yang berpenampilan baik
Ayah yang tidak dekat dengan anak Ayah yang bersantai
Ayah yang memiliki masalah dengan anak
20 Ayah yang tidak menemani anak Ayah yang dilayani
21
Ayah yang bekerja
Ayah yang mengingatkan atau menasehati
Ayah yang melakukan melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang bekerja sama dengan anak
Subjek Persepsi
21
Ayah yang bangga pada anak
Ayah yang memberikan kesenangan pada anak Ayah yang senang dibantu
22
Ayah yang menyayangi anak
Ayah yang tidak dirumah karena punya keperluan di luar rumah Ayah yang tidak berdaya
23
Ayah yang bekerja
Ayah yang senang anaknya berperilaku baik
Ayah yang mengurusi keperluan anak atau keluarga Ayah yang menolong
Ayah yang menginginkan anak dalam keadaan baik Ayah yang menjaga anak
Ayah yang mengkhawatirkan anak Ayah yang tidak bersama anak Ayah yang mengabaikan
24
Ayah yang bekerja
Ayah yang mengatasi masalah atau kesulitan dalam keluarga Ayah yang memarahi anak
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga Ayah yang mengkhawatirkan anak
Ayah yang memberikan kesenangan pada anak Ayah yang tidak bersama anak
Ayah yang tidak berdaya
25
Ayah yang bekerja
Ayah yang mengarahkan anak
Ayah yang mengingatkan atau menasehati Ayah yang memberikan kesenangan pada anak Ayah yang memiliki materi
Ayah yang mempunyai kemampuan Ayah yang berperilaku baik
Ayah yang tidak bersama anak
26
Ayah yang bekerja
Ayah yang bekerja sama dengan anak
Ayah yang memikirkan kebutuhan anak atau keluarga Ayah yang bersantai
27
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang menuruti keinginan anak
Ayah yang bersantai
28
Ayah yang bekerja
Subjek Persepsi
29
Ayah yang senang anaknya berperilaku baik Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang menyukai atau menikmati kesenangan Ayah yang kesepian
30 Ayah yang merawat anak
31
Ayah yang bersantai Ayah yang bekerja
Ayah yang tidak menemani anak
32 Ayah yang bersantai
Ayah yang tidak menemani anak
33
Ayah yang tidak bersama keluarga karena bekerja Ayah yang menasehati
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang melakukan kesenangan
Ayah yang memarahi Ayah yang bekerja
Ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga Ayah yang menyelamatkan anak atau keluarga Ayah yang senang anaknya berperilaku baik Ayah yang mempertahankan anak
Ayah yang mendidik
34
Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang mengasihani anak
Ayah yang menyayangi anak Ayah yang memiliki materi
35
Ayah yang bekerja Ayah yang bersantai
Ayah yang bermain bersama anak
36
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang memperhatikan
Ayah yang menemani anak
Ayah yang ingin anak dalam keadaan baik Ayah yang menyuruh anak
Ayah yang mengajari anak Ayah yang bekerja
Ayah yang menolong anak
37 Ayah yang memarahi anak Ayah yang menyayangi
38 Ayah yang bersantai
Ayah yang tidak menemani anak
39
Subjek Persepsi
39
Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang membuat anak takut Ayah yang tidak menemani anak
40 Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak
41
Ayah yang tidak mengalah
Ayah yang tidak bersama atau menemani Ayah yang jahat
42
Ayah yang menyuruh anak Ayah yang menolong Ayah yang memaafkan Punya kekuasaan
43 Ayah yang bekerja
Ayah yang memberi materi
44
Ayah yang merawat anak
Ayah yang memaksa anak melakukan sesuatu Ayah yang mengawasi anak
Ayah yang tidak bersama atau menemani anak
45
Ayah yang berkumpul bersama keluarga Ayah yang merawat anak
Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang bersantai
46
Ayah yang memberikan pemecahan masalah dikeluarga Ayah yang mengajarkan anak untuk mandiri
Ayah yang menyuruh anak Ayah yang menemani anak
Ayah yang mendoakan keselamatan anak Ayah yang menyukai kesenangan
47 Ayah yang menemani anak
48
Ayah yang mengajari anak
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang bersantai
49
Ayah yang bekerja
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang merawat anak
Ayah yang tidak bersama atau menemani anak Ayah yang kurang memperhatikan anak
50
Ayah yang bermain bersama anak Ayah yang menemani anak
Ayah yang melakukan aktifitas bersama anak
51
Ayah yang bekerja
Ayah yang memikirkan kebutuhan anak atau keluarga Ayah yang mempertahankan anak
Subjek Persepsi
51 Ayah yang tidak di rumah karena memiliki keperluan di luar rumah
52
Ayah yang memiliki materi Ayah yang mengawasi anak Ayah yang mengabaikan anak Ayah yang membuat anak takut
53
Ayah yang bekerja
Ayah yang menghukum anak Ayah yang mengasihani anak Ayah yang bersantai
Ayah yang sakit
54 Ayah yang mementingkan atau mengutamakan pekerjaan 55 Ayah yang memarahi
56
Ayah yang bekerja Ayah yang mencari uang Ayah yang menghukum Ayah yang mengekang anak Ayah yang mempunyai kekuasaan Ayah yang melakukan kejahatan
57 Ayah yang berkumpul bersama keluarga
Ayah yang memikirkan kebutuhan anak atau keluarga
58 Ayah yang bekerja
Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak
59
Ayah yang bekerja
Ayah yang berusaha agar anaknya berperilaku baik Ayah yang marah
Ayah yang mengurusi keperluan anak atau keluarga Ayah yang memiliki materi
Ayah yang dilayani
60
Ayah yang mengatasi masalah dalam keluarga Ayah yang punya kekuasaan
Ayah yang memiliki materi
Ayah yang tidak dekat dengan anak
Berdasarkan tabel di atas, persepsi komposit yang muncul meliputi:
1. Ayah yang mencari nafkah (subjek 43, 51, 54).
2. Ayah yang bekerja, menjalankan otoritasnya dan tidak terlibat atau
3. Ayah yang bersantai dan tidak terlibat atau dekat dengan anak (subjek
2, 8, 12, 16, 20, 32, 38).
4. Ayah yang bekerja dan mengurusi-merawat anak (subjek 3, 5, 34,59).
5. Ayah yang bekerja, mengurusi-merawat anak, dan mengarahkan anak
(subjek 6, 28, 42).
6. Ayah yang bekerja tetapi tetap terlibat atau dekat dengan anak (subjek
22, 35, 36, 58).
7. Ayah yang bekerja, mengarahkan atau mengatasi masalah dan terlibat
dengan anak (subjek 15, 24, 33).
8. Ayah yang bekerja, mengurusi-merawat anak, mengarahkan dan
terlibat dengan anak (subjek 1 dan 21).
9. Ayah yang mengurusi-merawat anak dan mengarahkan anak (subjek
30, 39, 44).
10.Ayah yang mengurusi-merawat anak dan terlibat dengan anak (subjek
4, 26, 45, 57).
11.Ayah yang memberikan perhatian atau terlibat dalam kegiatan bersama
anak (subjek 7, 11, 17, 40, 47, 50).
12.Ayah yang bersantai tetapi masih memberikan pengarahan dan terlibat
dengan anak (subjek 27, 29, 46, 48).
13.Ayah yang memarahi tetapi melindungi atau menyayangi anak (subjek
13 dan 37).
14.Ayah yang mengabaikan atau melakukan sesuatu yang buruk pada
15.Ayah yang terlibat dalam keluarga atau bersama anak tetapi juga
kurang memperhatikan anak (subjek 19, 23, 49).
C. Pembahasan
Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan banyak ragam
persepsi mengenai figur ayah. Persepsi – persepsi tersebut meliputi figur
ayah yang bekerja atau mencari nafkah, memiliki materi, memenuhi
kebutuhan keluarga, memecahkan masalah, menyuruh-mengarahkan anak,
mengawasi, memiliki kebaikan atau kemampuan dan ayah sebagai figur
yang memiliki atau memegang dominansi. Selain itu, ayah juga
dipersepsikan sebagai figur yang melindungi, mengurusi dan merawat,
mempunyai harapan pada anak, memperhatikan anak, menyayangi anak
serta figur ayah yang hadir atau menemani anak - melakukan kegiatan
bersama anak. Disisi lain, ayah juga dipersepsikan sebagai figur yang tidak
hadir atau menemani anak – mengabaikan – tidak dekat dengan anak –
mementingkan pekerjaan, tidak menyayangi, memiliki sifat buruk,
menyukai kesenangan, tidak berdaya dan dilayani bahkan memarahi -
memberikan hukuman.
Berdasarkan ragam persepsi yang muncul di atas, beberapa
persepsi tampaknya bersifat lebih formal dan beberapa persepsi yang lain
lebih bersifat afeksional. Secara formal figur ayah dipandang sebagai ayah
yang bekerja atau mencari nafkah, memenuhi kebutuhan keluarga,