• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dekolonisasi Sejarah Indonesia dalam Per

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dekolonisasi Sejarah Indonesia dalam Per"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Dekolonisasi Sejarah Indonesia dalam Perspektif Poskolonial Belanda 1

Oleh Amin Mudzakkir2

Pendahuluan

Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa dekolonisasi bukan hanya tema yang penting, jika bukan yang terpenting, dalam perdebatan historiografi nasional di bekas negeri jajahan, tetapi juga di bekas negeri penjajah. Di Indonesia, hal pertama sudah sering dibahas, tetapi hal kedua nyaris terabaikan. Pembaca Indonesia hampir tidak mempunyai pengetahuan sama sekali mengenai proses dekolonisasi di kalangan orang Belanda ketika menyaksikan daerah koloni mereka lepas dari genggaman. Deklarasi kemerdekaan 1945 menurut Indonesia atau penyerahan kedaulatan 1949 berdasarkan pengakuan Belanda seolah memutus mata rantai sejarah di antara kedua entitas yang sebelumnya berada dalam satu imperium kolonial yang sama.

Masalahnya memang bukan sekadar miskinnya perspektif dalam historiografi Indonesia, tetapi di Belanda sendiri tema mengenai dekolonisasi belum lama digeluti. Menurut Wim Willems (2003), tema ini baru dianggap penting oleh publik Belanda pada tahun 1980-an seiring dengan kebutuhan untuk mengintegrasikan para imigran ke dalam masyarakat Belanda. Dalam proses itu, tema dekolonisasi muncul bersamaan dengan rekonstruksi terhadap ingatan kelompok imigran poskolonial. Poskolonialitas dan poskolonialisme sebagai suatu disiplin akademis adalah kata-kata kunci dalam perdebatan dekolonisasi lebih lanjut.

Akan tetapi, seperti akan kita bahas di bawah, poskolonialisme adalah perspektif yang kurang berkembang di lingkungan akademis Belanda (Bosma, 2012). Hal ini menyebabkan tema dekolonisasi terlambat dibicarakan, termasuk pokok permasalahan tulisan ini: bagaimana dekolonisasi sejarah Indonesia diwacanakan oleh mereka. Sama seperti pembaca Indonesia, pembaca Belanda tidak terlalu berminat untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Indonesia, bekas negeri jajahan mereka, setelah 1945. Indonesia dan Belanda yang lahir setelah itu

       

1 Disampaikan pada The Third Graduate Seminar of History, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 3-4 November 2015.

(2)

dianggap Indonesia dan Belanda baru yang tidak terkoneksi satu sama lain dengan periode sejarah sebelumnya.

Memikirkan Ulang Dekolonisasi

Selama ini banyak orang menganggap dekolonisasi adalah persoalan bekas negeri jajahan semata. Ia dianggap hanya sebagai proses yang dilakukan oleh bekas bangsa terjajah untuk keluar dari warisan struktural dan kultural yang ditinggalkan oleh bekas bangsa penjajahnya. Dalam proses itu, penilaian moral yang dualistik sering mengemuka. Bangsa penjajah adalah jahat, sementara bangsa terjajah adalah baik. Ia membalik begitu saja posisi-posisi sebelumnya yang dibangun oleh narasi kolonial. Historiografi Indonesiasentris yang berusaha dibangun sejak Seminar Sejarah Nasional I 1957 berkembang dalam kesadaran seperti ini (Mohammad Ali, 1995).

Cukup pasti nasionalisme adalah ideologi di balik kesadaran sejarah negara yang baru merdeka itu. Namun hal ini tidak khas Indonesia, tetapi juga merupakan fenomena di mana-mana. Sejak akhir abad ke-18, Eropa pun mengalami hal serupa (Hobsbawm, 1992). Dalam proses ini, buku-buku sejarah ditulis sebagai ‘invensi tradisi’ untuk mengukuhkan berdirinya suatu negara-bangsa modern baru yang unik daripada bentuk-bentuk kenegaraan sebelumnya. Seingkali ia bukan suatu temuan, melainkan sebuah penciptaan (Hobsbawm dan Ranger, 2012).

Bambang Purwanto (2006) telah mengulas problematika di seputar gagasan dan praktik historigrafi Indonesiasentris. Selain secara substantif dinilai belum beranjak dari paradigma yang hendak ditolaknya, yaitu historiografi kolonialsentris atau nederlandosentris, historiografi indonesiasentris dalam konteks kekinian gagal menangkap kompleksitas dalam pertarungan politik identitas Indonesia kekinian. Oleh karena itu, alih-alih menerangi jalan modern keindonesiaan, karya-karya sejarah yang ditulis akhir-akhir ini—termasuk model sejarah hari jadi kabupaten atau kota—justru mempertebal sentimen primordial.

(3)

realitas sejarah dekolonisasi itu sendiri. Dalam kasus Indonesia, konteks Perang Dingin pada masa itu cukup pasti berpengaruh terhadap keputusan-keputusan politik yang diambil baik oleh pemerintah Indonesia dan Belanda. Belum lagi perseteruan di antara sesama nasionalis Indonesia sendiri dalam menentukan bagaimana Indonesia dikelola dan mau ke mana ia akan diarahkan.

Sementara itu, berbagai literatur yang ditulis belakangan justru menunjukkan bahwa dekolonisasi adalah peristiwa yang tidak hanya melibatkan ketegangan diplomatik atau peperangan fisik antara dua negara, tetapi juga menyangkut manusia yang mengalami itu (Misalnya, Oostinde dan Klinkers, 2003; Bogaert dan Raben, 2012). Model historiografis kekinian ini lebih melihat dekolonisasi sebagai fenomena sejarah global yang disemangati oleh aspirasi hak asasi manusia universal. Dengan pendekatan ini, pengalaman individu-individu ditampilkan sebagai ironi dari imperium kolonial itu sendiri. Eksploitasi ekonomi dan politik yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa selama era kolonial seolah harus dibayar dengan dengan serangkaian tragedi kemanusiaan yang menimpa para mantan pendukungnya.

Migrasi adalah konteks bagi perkembangan historiografi kekinian itu. Di Belanda dan negara-negara Eropa lainnya, migrasi menjadi persoalan krusial. Kepulangan orang-orang Eropa atau semi-Eropa dari negeri-negeri bekas koloni menimbulkan persoalan tersendiri. Sejak berakhirnya Perang Dunia 11 pada 1945, sejarah kolonial justru hadir langsung di tengah masyarakat Eropa. Memang para imigran poskolonial ini tetap ‘invisible’ dibanding para imigran ‘pekerja tamu’ dan keluarganya (Smith, 2003), tetapi belakangan keberadaan mereka menjadi bahan refleksi untuk memikirkan ulang dekolonisasi yang ternyata merupakan proses yang tidak pernah usai.

(4)

bentuk yang sama sekali berbeda dengan bayangan historiografi nasionalis yang berkembang selama ini.

Trauma Dekolonisasi

Bagi Belanda, dibanding dengan Antilens dan Suriname, dekolonisasi di Indonesia jauh lebih menyulitkan. Sementara dua bekas negeri koloni Belanda di Karibia itu melewati transisi pascakolonial tanpa gejolak berarti, Indonesia melewati jalan sebaliknya. Di sini revolusi nasionalis berlangsung keras dan lama. Setidaknya butuh waktu kurang lebih 20 tahun bagi Belanda untuk menyerahkan seluruh daerah yang dulu bernama Hindia Belanda ke tangan pemerintah Indonesia.

Proses dekolonisasi Indonesia dimulai sejak pendudukan Jepang pada 1942-1945. Selama periode ini, ribuan orang Belanda di Indonesia dipenjara, sementara sebagian lainnya berusaha bermigrasi secara terpaksa ke Australia, Amerika Serikat, dan Belanda. Setelah 1945, sekitar 100.000 orang Belanda masih bertahan di sini untuk menjaga aset-aset mereka. Namun sikap Belanda yang bertentangan dengan aspirasi pemuda membuat peperangan tidak terhindarkan lagi. Belanda menyebutnya sebagai periode ‘bersiap’ yang memakan ribuan korban jiwa, termasuk orang Eropa, orang Belanda, dan orang Indo (Eurosia). Barulah pada tahun 1949, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia (RIS).

(5)

dekolonisasi’ di kalangan orang Belanda. Dalam ulasannya terhadap buku Lijphart, Van Der Kroef (1967) mengatakan bahwa trauma itu pada dasarnya disebabkan oleh kekeraskepalaan Belanda sebagai akibat dari perasaan kehilangan daerah jajahan yang telah menjadi bagian dari identitas imperium Belanda selama ratusan tahun dan kebencian terhadap kaum republik di bawah pimpinan Soekarno yang dianggap kolaborator Jepang selama Perang Dunia II.

Namun tentu saja trauma dekolonisasi bukan perkara psikologis semata. Pada dasarnya ia merupakan masalah ekonomi dan politik. Secara ekonomi, Indonesia adalah lahan eksploitasi yang sangat menguntungkan Belanda. Sebuah kredo Belanda mengatakan ‘Indie verloren, rampspoed geboren’ (jika Hindia hilang, bencana datang). Meski ekonom Jan Tinbergen

menghitung bahwa lepasnya Indonesia dari genggaman hanya akan berdampak pada hilangnya 14 % seluruh pemasukan negeri Belanda sebelum Perang, tetapi mantan menteri koloni Ch. J.I.M. Welters mengatakan bahwa “for most of the population, that fourteen percent represents a visit to the theatre, a beer, a new bicycle, or a new coat. Every thing that makes life worth living

is that very fourteen percent” (Kuitenbrouwer, 2013: 166). Sementara itu, secara politik lepasnya

Indonesia membuat status Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terbentuk 1945 tidak lagi dianggap ‘negara ukuran sedang’ (Kuitenbrouwer, 2013: 166).

Trauma dekolonisasi berdampak secara akademis. Perhatian kepada Indonesia sebagai entitas yang merdeka secara politik tidak menarik minat para sarjana Belanda pada awalnya. Hal ini berkaitan juga dengan reorganisasi dan reorientasi lembaga-lembaga riset dan pendidikan di Belanda pasca-Perang Dunia II pada satu sisi dan kemunculan Amerika Serikat sebagai pusat hegemoni akademis baru di dunia pada sisi lainnya. Kenyataannya penelitian sejarah Indonesia sejak itu terbagi secara dikotomis ke dalam disiplin sejarah kolonial dan sejarah pasca-kemerdekaan yang keduanya seperti patahan daripada kesinambungan. Alasannya sering dikatakan bersifat teknis, seperti kelangkaan sumber, tetapi sesungguhnya sangat politis dan filosofis. Baru pada tahun 1980-an usaha-usaha untuk melampaui trauma dekolonisasi dilakukan oleh para ilmuwan yang lebih muda seiring dengan perkembangan perspektif ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang lebih bercorak kosmopolitan daripada sebelumnya.

(6)

Munculnya minat terhadap tema dekolonisasi di Belanda tidak lepas dari kehadiran para imigran poskolonial yang datang ke negeri itu secara bertahap sejak tahun 1940-an hingga 1970-an. Rombongan terbesar berasal dari Indonesia, jumlahnya sekitar 200-300 ribu orang, lalu disusul rombongan dari Suriname dan Antilens. Mereka umumnya disebut sebagai gelombang repatriasi. Mereka dianggap orang yang setara dengan warga negara Belanda yang dipulangkan ke negeri induknya karena kemerdekaan negeri-negeri bekas koloni.

Sementara itu, migrasi tenaga kerja terjadi seiring dengan perkembangan ekonomi dan perbaikan infrastruktur industri di Eropa Barat pasca-Perang yang berlangsung cepat. Untuk itu dibutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak yang tidak bisa dipenuhi oleh ketersediaan sumber daya manusia dalam negeri. Maka sejak 1950-an didatangkanlah para pekerja tamu dari Turki, Maroko, dan beberapa negara Eropa Selatan. Pada tahun 1970-an, para pekerja tamu yang awalnya dikira akan sementara itu ternyata malah mengundang sanak keluarga mereka untuk bergabung.

Pada awalnya Belanda tidak menyiapkan sama sekali negaranya sebagai tempat tujuan imigrasi. Sebaliknya, pemerintah mereka justru mendorong penduduk untuk melakukan emigrasi ke negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Selain dianggap masih kosong, negara-negara tersebut juga sejak awal memang mendeklarasikan diri sebagai negara imigran, sehingga kesiapan negara-negara tersebut secara formal sudah diketahui sejak awal. Selain itu, tradisi ‘pilarisasi’ (verzeilung) yang eksis dalam sistem sosial politik Belanda hingga tahun 1960-an membuat mereka cukup percaya diri deng1960-an ketah1960-an1960-an kultural masyarakatnya dalam menerima gelombang imigran. Ditunjang dengan kebijakan kesejahteraan yang masih memadai, tradisi itu dipandang sebagai modal sosial bagi tumbuhnya multikulturalisme khas Belanda.

Imigran poskolonial dari Indonesia memainkan peranan penting dalam membawa tema tema dekolonisasi kepada publik Belanda. Dengan membawa kenangan lama di tanah Hindia yang telah hilang, kaum Indis cukup aktif merepresentasikan identitas kultural mereka di ruang publik. Salah satu tokoh mereka yang terkemuka adalah Tjalie Robinson. Meskipun permohonan dokumen repatriasinya pernah ditolak berkali-kali oleh pemerintah Belanda, Robinson dengan karya-karya dan gerakan Tong-Tong-nya cukup berhasil memperkenalkan tidak hanya suatu genre sastra, tetapi juga suatu narasi lain dalam sejarah negeri itu. Robinson mencoba

(7)

mempertentangkan antara kulit putih dan non-kulit putih. Representasi kaum Indis yang berada di tengah-tengah kulit putih dan non-kulit putih berusaha mendekonstruksi dikotomi itu.

Di sini juga perlu dicatat keberadaan imigran dari Maluku yang datang ke Belanda pada tahun 1951. Jumlah mereka sekitar 12 ribu orang lebih. Mereka adalah bekas tentara Belanda (KNIL) yang awalnya berharap bisa pulang kembali untuk membentuk Republik Maluku Selatan dengan dukungan Belanda. Namun dukungan itu tidak pernah menjadi kenyataan. Mereka akhirnya menetap di Belanda. Pada tahun 1975 dan 1977, suatu aksi pembajakan kereta dilakukan oleh generasi kedua imigran Maluku. Aksi ini mencerminkan adanya kesulitan mereka berintegrasi dengan masyarakat Belanda yang berdampak pada posisi marjinal mereka secara ekonomi. Meski demikian, sekarang keberadaan mereka relatif telah terintegrasi dengan baik, sehingga tidak lagi dianggap isu bagi pemerintah dan masyarakat setempat, apalagi jika dibanding dengan kaum imigran non-poskolonial (Stijlen, 2012).

Tabel 1. Kaum imigran di Belanda, 1960-2008

(8)

Generasi

pertama

126,107 158,772 183,249 185,284

Generasi

Sekitar 100 23,600 112,774 203,647 308,890 372,714

Generasi

(9)

Lebih belakangan lagi, suatu keinginan untuk merekonstruksi sejarah dekolonisasi Indonesia muncul di kalangan ilmuwan Belanda, termasuk kekerasan yang ditimbulkan oleh kehadiran tentara Belanda di Indoensia selama periode 1945-1948. Rupanya pada saat yang sama publik Belanda sudah lebih siap menerima fakta tentang sisi gelap sejarah luar negeri mereka. Konsekuensinya politik dan ekonominya cukup besar. Jika diputuskan bersalah secara yuridis seperti dalam peristiwa Rawagede, maka pemerintah Belanda wajib meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada keluarga korban.

Menariknya, arah baru penulisan sejarah dekolonisasi tersebut justru berkebalikan dengan kecenderungan kebijakan migrasi dan kewarganegaraan Belanda yang sejak dekade 1990-an semakin bercorak asimilasionis dibanding multikulturalis dan khususnya lagi sejak tahun 2000-an ketika Islam muncul sebagai isu utama migrasi seoring deng2000-an ad2000-anya 2000-ancam2000-an terorisme global. Kontras antara dua hal tersebut menarik karena merefleksikan kebutuhan Belanda dalam merumuskan identitasnya di tengah arus migrasi dan integrasi Eropa. Dalam hal ini, gambaran tentang imigran poskolonial yang berhasil terintegrasi ke dalam lanskap politik dan kultural Belanda tampaknya akan dijadikan model bagi kebijakan integrasi dan kewarganegaraan. Masalahnya, sejak awal imigran poskolonial mempunyai ‘bonus’ yang tidak dimiliki oleh imigran lainnya karena faktor kesamaan agama dengan penduduk Belanda umumnya (Oostinde, 2011).

Adakah Perspektif Poskolonial Belanda?

(10)

kajian-kajian anti-kolonial sebagai direpresentasikan oleh karya Sartre, Fanon, dan belakangan Bourdieu, poskolonialisme tetap marjinal.

Apa yang dimaksud dengan tradisi poskolonial dalam konteks Belanda adalah “a critical and systematic reflection on the political, historical and cultural consequences of Dutch

colonialism, per se, and for the power relations in our contemporary society and for relations

with Indonesia, Surinam, and Netherlands Antilles and other former colonial powers” (Van

Leeuwen dalam Bosma, 2012: 194)

Ketiadaan perspektif poskolonial dalam tradisi akademis Belanda adalah akibat dari kebijakan bahasa yang diberlakukan oleh Belanda di daerah koloninya periode kolonial. Berbeda dengan kebijakan Inggris dan Perancis yang memungkinkan subjek kolonial menguasai dan menggunakan bahasa penjajahnya, Belanda tidak mengambil kebijakan demikian. Di Indonesia, kebijakan politik etis yang diperkenalkan pada awal abad ke-20 sebagai strategi baru kolonialisme yang lebih bercorak asosiatif terlalu terlambat dan tidak membantu banyak. Akibatnya, hingga akhir masa kekuasaannya, hanya sedikit sekali penduduk lokal Indonesia yang mampu berbahasa Belanda. Hal ini diperparah dengan kebijakan nasionalistik Soekarno yang mereduksi penggunaan bahasa Belanda secara formal sejak tahun 1956.

Meski demikian, dalam hal Islam dan kaum Muslim, suatu kesinambungan mengemuka. Hingga akhir tahun 1940-an, Belanda adalah imperium kolonial dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Oleh karena itu, pengetahuan mereka tentang Islam dan kaum Muslim sangat kaya. Kita tahu peranan penting Snouck Hurgronje sebagai arsitek utama kebijakan Islam dan masalah pribumi di Hindia Belanda. Menurut Moussen (2009), warisan pemikiran Hurgronje direkonstruksi pada masa kini dan dijadikan salah satu bahan perumusan kebijakan oleh pemerintah Belanda dalam menangani imigran Muslim.

Penutup

(11)

kosmopolitan, sangat menarik karena membuka peluang untuk mengerti realitas sejarah secara lebih luas. Para sejarawan yang bekerja untuk mengkaji proses dekolonisasi sejarah Indonesia akan mengambil manfaat banyak dari perkembangan ini.

Meski demikian, secara sepintas kita telah menganalisi bahwa perdebatan dekolonisasi sejarah Indonesia di kalangan publik Belanda tidak dipengaruhi secara langsung oleh perspektif poskolonial sebagaimana berkembang di Inggris. Secara teoritis dunia akademis Belanda tidak mempunyai favoritisme intelektual yang khas, sehingga terkesan sangat longgar sejauh berbasis data dan argumen empiris yang kuat. Namun topik ini membutuhkan pembahasan tersendiri yang tidak terjangkau oleh kemampuan tulisan ini.

Daftar Pustaka

Ali, Mohammad. 1995. “Beberapa Masalah tentang Historiografi Indonesia” dalam Soedjatmoko dkk (ed.), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Bogaerts, Els dan Remco Raben. 2012. Beyond Empire and Nation: The Decolonization of African and Asian Societies, 1930s-1960s. Leiden: KITLV Press.

Bosma, Ulbe (ed.). 2012. Post-colonial Immigrants and Identity Formations in the Netherlands. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Hobsbawm, Eric. 1991. Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality. Cambridge: Cambridge University Press.

Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger (ed.). 2012. The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.

Kuitenbrouwer, Maarten. 2012. Dutch scholarship in the age of empire and beyond: KITLV - the Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 1851-2011. Leiden; KITLV Press.

Locher-Scholten, Elsbeth. 2003. “From Urn to Monument: Dutch Memories of World War II in the Pacific, 1945-1995” dalam Smith, Andrea L (ed.). Europe’s Invisible Migrants. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Lijphart, Arend. 1966. The Trauma of Decolonization: The Dutch and West New Guinea. London dan New Haven: Yale University Press.

(12)

Oostinde, Geert dan Inge Klinkers (ed.). 2003. Decolonising the Caribbean: Dutch Policies in a Comparative Perspective. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Oostinde, Geert. 2011. Postcolonial Netherlands: Sixty-Five Years of Forgetting, Commemorating, Silencing. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Smith, Andrea L (ed.). 2003. Europe’s Invisible Migrants. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Steijlen, Fridus. 2012. “Closing the ‘KNIL Chapter’: A Key Moment in Identity Formation of Moluccans in the Netherlands” dalam Bosma, Ulbe (ed.). Post-colonial Immigrants and Identity Formations in the Netherlands. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak. Van Der Kroef, Justus M. 1967. “Review”, Pacific Affairs, Vol. 39, No. ¾.

Willems. Wim. 2003. “No Sheltering Sky: Migrant Identities of Dutch Nationals from Indonesia” dalam Smith, Andrea L (ed.). Europe’s Invisible Migrants. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Gambar

Tabel 1. Kaum imigran di Belanda, 1960-2008

Referensi

Dokumen terkait

Óframkvæmd hjúkrun og ástæður tengdar mannafla, aðföngum og samskiptum voru marktækt algengari á kennslusjúkrahúsum en öðrum sjúkrahúsum (tíðni óframkvæmdrar hjúkrunar

display dan conclusion drawing. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1) Internet merupakan salah satu sumber belajar yang digunakan oleh mahasiswa jurusan

Hasil pengolahan air gambut dalam menurunkan zat organik dengan metode adsorpsi menggunakan geopolimer berbahan dasar kaolin yang memenuhi baku mutu air bersih adalah

Dalam penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Jepang bernama Izumi Yokoyama pada tahun 1971, disebutkan bahwa pendekatan besar pergeseran deformasi dari hasil observasi di

terutama yang melibatkan proyck dcngan tcnaga kerja dalam JUmlah yang banyal. dan struktur pcl.crjaan yang kompleks Perencanaan yang tidak terstruJ..:tur berpengaruh tcrhadap

Puji syukur saya panjatkan kepada TuhanYang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia kesehatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan TAPM ini dengan judul

Selanjutnya, menurut Rizan, Saidani dan Sari (2012) kepercayaan merek adalah kemampuan sebuah merek untuk dipercaya yang bersumber pada keyakinan konsumen bahwa produk tersebut

Definisi Event adalah sebagai berikut: “Events are transient, and every event is a unique blending of its duration, setting, management, and people.”Event