Globalisasi ala Barat, Blunder Bagi
Negara-Negara Dunia Ketiga
Oleh : Wildan Abdul Aziz / 130910101046
Globalisasi adalah salah satu produk perkembangan zaman. Seiring dengan perkembangan modernisasi yang terjadi, globalisasi pun ikut semakin berkembang. Lalu apa itu globalisasi, dan apa itu modernisasi?
Globalisasi adalah keadaan atau usaha dimana membuat negara-negara semakin intensif dalam berinteraksi dan saling memiliki ketergantungan dalam perdagangan, perjalanan, budaya, dan interaksi lain yang membuat batas-batas negara semakin sempit. Globalisasi artinya manusia melepaskan ‘suatu negara’ dan memiliki ‘suatu dunia’.
Modernisasi adalah perubahan keadaan ataupun usaha perubahan keadaan dari kurang maju menjadi lebih maju dan lebih baik dengan harapan membuat keadaan masyarakat yang lebih makmur, dan sejahtera. Usaha-usaha ini bisa berupa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejatinya modernisasi lah yang memaksakan adanya globalisasi, namun kemudian globalisasi dan modernisasi saling menjadi sebab musabbab. Globalisasi hadir demi tujuan modernisasi yaitu memajukan keadaan suatu negara. Begitu pula modernisasi juga hadir demi tuntutan globalisasi yang memerlukan modernisasi dalam proses pmenciptakan ketergantungan antar-negara.
Globalisasi yang mengajarkan bangsa-bangsa agar saling bergantung pada negara lain adalah produk dari negara-negara kaya, yaitu negara-negara Barat. Maka tidak heran jika globalisasi kemudian memasukkan ‘westernisasi’ dalam globalisasi kebudayaan.
Bila boleh kita ibaratkan seperti pendapat Karl Marx, bahwa dalam masyrakat ada kelas social. Begitu juga dengan masyarakat dunia ini. Jika kita ibaratkan negara-negara kaya (barat) seperti Amerika Serikat dan Eropa adalah kaum borjouis, sedang negara-negara dunia ketiga adalah kaum proletar.
Peran kaum borjouis adalah memberikan modal, sedangkan proletar lah yang membuat suatu produk hasil industri. Tidak heran jika kemudian kaum
borjouis melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap kaum proletar. Hal ini juga sama dengan keadaan globalisasi saat ini, dimana negara kaya seperti AS melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam maupun manusia Indonesia dengan dalih AS memiliki produk modernisasi dengan teknologi. Sehingga mereka merasa lebih mumpuni untuk mengolah SDA dan SDM tersebut.
Jika kita melihat di lapangan apa yang terjadi maka kita akan melihat bagaimana kerakusan negara-negara kaya sebagaimana rakusnya kaum borjouis
dalam melakukan eksploitasi. Para buruh dipaksa untuk bekerja siang-malam demi kerakusan mereka. Dan para buruh hanya diberi upah yang bahkan tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Hal itu juga didukung karena lapangan pekerjaan yang sangat sedikit, hingga pada akhirnya masyarakat Indonesia mau bekerja apapun. Bahkan bekerja demi kolonialisasi yang berjudul globalisasi. Mereka rela diperas tenaganya demi kemerosotan negaranya. Sungguh miris. Lalu dimana peran pemerintah?. Ingat pemerintah menurut Marx adalah pendukung kaum borjouis.
Negara-negara kaya akan melakukan segala cara agar bisa melakukan eksploitasi pada suatu negara yang ‘sebetulnya’ kaya. Seperti misalnya menjadi sahabat bagi pemerintahnya. Sudah bukan rahasia lagi, sebut saja pemerintahan rezim Soeharto memang sangat terkenal sebagai sekutu atau lebih tepatnya ‘pembantu’ bagi AS dan Inggris. Bahkan saking dekatnya Soeharto pernah mendapat undangan khusus oleh Ratu Elizabeth di Istana Inggris.
Pemerintahan Soeharto sebagai babu harus selalu melancarkan keinginan-keinginan negara majikannya. Maka tidak heran jika kebijakan-kebijakannya sangat mendukung globalisasi oleh AS dan Sekutunya. Tapi mengapa pemerintahan ini mau menjadi babu? Tentu saja, sebagai seorang babu mereka mendapatkan bayarannya sebagai balas jasa kesetiaan mereka.
Sehingga pemerintahan kemudian menjadi alat bagi negara-negara sekutu AS untuk melancarkan usaha ‘globalisasi’ nya. Siapapun yang menentang usaha-usaha ini akan dihabisi oleh pemerintah. Termasuk yang paling mengerikan adalah pembantaian masal G30S-PKI yang dianggap pemerintah adalah mereka yang menentang ‘globalisasi’ ala AS dan sekutunya.
Produk hasil globalisasi yang lain adalah hutang luar negeri Indonesia yang lebih besar dari gunung. Bahkan dengan jumlah penduduknya yang hamper 250 juta, setiap warga negara Indonesia harus membayar sekitar 9 juta rupiah untuk IMF. Sungguh ironi. Lalu kemana saja uang-uang tersebut? Uang-uang tersebut adalah untuk pemerintahan yang menjadi babu bagi negara-negara kaya, sebagai upah bagi pemerintahan kala itu.
Jadi globalisasi memiliki dampak negative yang sangat kompleks. Globalisasi yang dijanjikan akan membawa perubahan dan akan membawa kemajuan, hanyalah omong kosong belaka. Globalisasi saat ini malah menjadi