• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

Memetakan Lanskap

Industri Media

Kontemporer di

Indonesia

Oleh

Yanuar Nugroho Dinita Andriani Putri Shita Laksmi

Laporan Berseri

Engaging Media, Empowering Society:

Assessing Media Policy and Governance in Indonesia through the Lens of Citizens’ Rights

Riset kerjasama antara

(2)
(3)

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia

Terbit pertama kali dalam Bahasa Inggris pada bulan Maret 2012. Edisi Bahasa Indonesia ini diterbitkan di Indonesia, Desember 2013 oleh Centre for Innovation Policy and Governance

Jl. Siaga Raya (Siaga Baru), Komp BAPPENAS No 43. Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12510, Indonesia.

www.cipg.co.id

Desain sampul dan tata letak oleh FOSTROM (www.fostrom.com)

Kecuali dinyatakan berbeda, seluruh isi laporan ini dilindungi dengan lisensi Creative Commons Attribution 3.0.

Hak cipta dilindungi secara terbatas.

Alihbahasa dari Bahasa Inggris: Ria Ernunsari

Penyunting Bahasa Indonesia: Billy Aryo Nugroho, Dinita Andriani Putri dan Yanuar Nugroho.

Cara mengutip laporan ini:

(4)
(5)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia iii

Penelitian ini didanai oleh Ford Foundation Indonesia dan digarap oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Jakarta dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara

Peneliti Utama Dr. Yanuar Nugroho, University of Manchester

Peneliti Pendamping (CIPG),

Koordinator Mirta Amalia

Peneliti Pendamping (HIVOS) Shita Laksmi

Peneliti Pelaksana (CIPG) Dinita Andriani Putri

Leonardus Kristianto Nugraha Muhammad Fajri Siregar

Penasihat Akademis Dr. B. Herry-Priyono, STF Driyarkara, Jakarta

Dr. Sulfikar Amir, Nanyang Technological University, Singapore

Sepanjang riset ini, tim peneliti menerima bantuan dan dukungan yang amat besar dari sejumlah perusahaan media di Indonesia, pembuat kebijakan publik, kontak-kontak dan mitra masyarakat sipil serta individu-individu yang berpartisipasi dalam studi kami ini melalui survei, wawancara, diskusi terbatas dan lokakarya. Kami secara khusus berterima kasih kepada Ahmad Suwandi, Ignatius Haryanto, Dandhy Dwi Laksono, Abdul Manan, R. Kristiawan, Aliansi Jurnalis Independen, Ria Ernunsari, semua peserta pelatihan CREAME (Critical Research Methodology), Lembaga Combine Resource dan Ambar Sari Dewi dan Muhammad Amrun (Yogyakarta), rekan-rekan di stasiun-stasiun radio komunitas; Radio Sadewa, JRKY (Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta), dan peserta magang di CIPG: Satrya P. Adhitama dan Jauharul Anwar, yang banyak berkontribusi pada riset ini.

Rebecca Ehata membaca dan mengoreksi versi Bahasa Inggris laporan ini, yang dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia oleh Ria Ernunsari dan disunting akhir oleh Billy Aryo Nughroho, Dinita Andriani Putri dan Yanuar Nugroho

(6)
(7)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia v

AJI Aliansi Jurnalis Independen

APJII Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ATVJI Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia

ATVSI Asosiasi TV Swasta Indonesia ATVLI Asosiasi Televisi Lokal Indonesia

BAPEPAM-LK Badan Pengawas Pasar Modal – Lembaga Keuangan BPPT Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BRTI Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia

Deppen Departemen Penerangan

EMTEK Elang Mahkota Teknologi

FTA Free To Air (untuk Televisi)

IPPP Izin Prinsip Penyelenggaraan Penyiaran ISAI Institut Arus Informasi Indonesia

ISP Internet Service Provider

ITU International Telecommunication Union

JPNN Jawa Pos National Network

KIDP Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran

KPI Komisi Penyiaran Indonesia

KPPU Komisi Pengawas Persaingan Usaha KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana MASTEL Masyarakat Telematika Indonesia

MNC Media Nusantara Citra

MPPI Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia

NAP Network Access Provider

NGO Non-governmental organization / Organisasi Masyarakat

OSF Open Society Foundation

POP Point of Presence

PP Peraturan Pemerintah

Prolegnas Program Legislasi Nasional

PRSSNI Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia

PWI Persatuan Wartawan Indonesia

RCTI Rajawali Citra Televisi Indonesia

RRI Radio Republik Indonesia

SCTV Surya Citra Televisi Indonesia SIUPP Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SPS Serikat Penerbit Surat Kabar TVRI Televisi Republik Indonesia

USO Universal Service Obligation

(8)
(9)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia vii

Tujuan dari riset ini adalah untuk secara empiris mengkaji dinamika perkembangan industri media di Indonesia dan bagaimana dinamika-dinamika ini menentukan cara masyarakat sipil dan kelompok-kelompok warga negara menggunakan haknya dalam bermedia. Riset ini bertujuan untuk memotret lanskap perkembangan industrial media di Indonesia dan bagaimana hal ini mempengaruhi partisipasi warga negara dalam media.

1. Industri media di Indonesia sudah berkembang sejak akhir tahun 1980an. Era Reformasi menjadi titik melesatnya perkembangan bisnis media. Dalam lima belas tahun terakhir ini, pertumbuhan industri media di Indonesia telah didorong oleh kepentingan modal yang mengarah pada oligopoli dan pemusatan kepemilikan.

2. Saat ini, dua belas kelompok media besar mengendalikan hampir semua kanal media di Indonesia, termasuk di dalamnya penyiaran, media cetak dan media online. Mereka adalah

MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Grup Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Grup Media, MRA Media, Femina

Group dan Tempo Inti Media. Grup MNC memiliki tiga kanal televisi free-to-air – jumlah

terbanyak yang dimiliki oleh grup media – juga 20 jaringan televisi lokal dan 22 jaringan radio di bawah anak perusahaan mereka, Sindo Radio. Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak, termasuk di dalamnya Radar Grup. KOMPAS, surat kabar paling berpengaruh di Indonesia, telah mengekspansi jaringannya dengan mendirikan penyedia konten yaitu KompasTV, di samping 12 penyiaran radio di bawah anak perusahaan mereka Radio Sonora, dan 89 perusahaan media cetak lainnya. Visi Media Asia telah berkembang menjadi kelompok media yang kuat dengan dua saluran televisi teresterial (ANTV dan tvOne) serta media online

yang berkembang dengan pesat vivanews.com. Sebuah perusahaan media di bawah Grup

Lippo yakni Berita Satu Media Holding, telah mendirikan Internet Protocol Television (IPTV)

BeritaSatuTV, kanal media online beritasatu.com dan juga memiliki sejumlah surat kabar dan majalah.

3. Pemusatan di industri media terjadi sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari kepentingan modal yang mendorong perkembangan industri media di Indonesia. Oligopoli media yang terjadi saat ini membahayakan hak warga negara atas informasi karena industri media sudah berorientasi keuntungan dan perusahaan-perusahaan media telah mewakili gambaran bisnis yang menguntungkan yang dapat dibentuk oleh kepentingan pemilik dan dengan demikian, bisnis media menjadi sangat memberi manfaat bagi mereka yang mencari kekuasaan. Hal ini terutama menjadi kasus pada sejumlah pemilik media yang juga terafiliasi dengan dunia politik. Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar yang juga pemilik

Viva Group dan Surya Paloh, pendiri partai politik NasDem yang juga pemilik Media Group,

adalah dua contoh nyata atas tren ini. Ada persepsi umum yang semakin berkembang bahwa kepentingan pemilik-pemilik media ini telah membahayakan hak warga negara terhadap media, karena mereka menggunakan media sebagai alat kampanye politik untuk mempengaruhi opini publik. Pendek kata, media telah menjadi sebuah mekanisme di mana para pebisnis dan politisi menyampaikan kepentingan mereka dan pada saat yang sama juga mengambil profit dari bisnisnya.

(10)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia viii

4. Riset kami menemukan bahwa pemilik media membuat media menjadi sebuah komoditas, dengan pemirsa diperlakukan hanya sebagai konsumen, bukan sebagai warga negara yang sah. Konsentrasi industri media yang terjadi melalui merger dan akuisisi antar perusahaan-perusahaan media telah mengancam semangat ‘keragaman kepemilikan’ dan ‘keragaman informasi’ di media. Beberapa merger dan akuisisi penting telah terjadi baru-baru ini: Indosiar

diakuisisi oleh Elang Mahkota Teknologi perusahaan holding dari SCTV; detik.com dibeli oleh

CT Group, pemilik TransTV dan Trans7; sejumlah kanal televisi lokal juga diambil alih oleh

perusahaan-perusahaan besar seperti Kelompok MNC dengan jaringan SindoTV dan Jawa Pos, yang memiliki jaringan televisinya sendiri. Undang-Undang dan regulasi sepertinya tidak mempunyai gigi dalam mengendalikan konsentrasi kepemilikan seperti ini.

5. Media komunitas juga telah berkembang, meskipun perkembangannya tidak se-ekstensif media-media mainstream, karena mereka harus bersaing dengan media-media mainstream

tersebut. Radio komunitas merupakan medium komunitas yang paling populer karena televisi komunitas terhambat oleh terbatasnya ketersediaan kanal yang membuat mereka sulit berkembang. Radio komunitas telah berkembang cukup signifikan dan telah memainkan peran penting dalam dinamika komunitas akar rumput. Namun, perkembangan radio komunitas ini bukan tanpa masalah. Proses yang rumit dalam mendapatkan izin penyiaran merupakan salah satu masalah yang paling krusial yang dihadapi oleh radio komunitas. Meskipun pentingnya radio komunitas sebagai institusi penyiaran non-profit telah diakui dalam Undang-Undang Penyiaran, kurangnya dukungan nyata dari pemerintah serta proses yang panjang dan berbelit dalam mendapatkan izin telah mempersulit perkembangan radio komunitas.

6. Seperti yang sudah diindikasikan dalam dua poin di atas, riset kami menunjukkan bahwa dinamika industri media berkorelasi erat dengan perkembangan kebijakan media atau tidak berkembangnya kebijakan media. Dalam banyak kasus, pemerintah sebagai regulator mengalami kesulitan dalam menyelaraskan peraturan-peraturan dengan lingkungan industri media yang berubah dengan cepat. Pemerintah yang tidak tanggap telah membuat industri bergerak dengan leluasa tanpa peraturan-peraturan yang tegas. Kurang tegasnya kerangka kerja peraturan ini terlihat jelas pada UU Penyiaran no 32/2002, yang terus-menerus dikritik oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, aktivis media, dan juga oleh industri media itu sendiri. Masing-masing pihak memiliki interpretasi yang berbeda terhadap UU yang tampak multi-tafsir tersebut: di satu sisi UU ini mempromosikan demokratisasi dan keberagaman melalui media, tetapi di sisi lain UU ini tidak menjelaskan pelaksanaan konkretnya secara rinci. Peraturan yang tidak jelas ini memberikan kebebasan untuk media, yang kemudian dapat membiarkan bisnis menggunakan barang publik tanpa kendali yang tegas dari pemerintah. Peraturan media lainnya seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik juga telah mengancam hak warga negara untuk berpartisipasi dalam media dan telah menyingkirkan warga negara dari peran mereka sebagai pengendali media.

(11)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia ix

tampaknya telah menjadi kekuasaan untuk juga mengendalikan kebijakan serta Undang-Undang media, sehingga menegaskan regulasi ini lebih berorientasi pada perusahaan daripada kepada publik.

8. Masalah yang kami temukan adalah bahwa perkembangan industri media tidak serta merta sejalan dengan perkembangan infrastruktur media dan perkembangan literasi/melek media pada warga negara. Ketika sisi bisnis dari industri ini bertumbuh, akses terhadap media masih belum merata dan masih terkonsentrasi di Jawa, Bali dan Sumatera. Terdapat kesenjangan yang mengejutkan dalam distribusi infrastruktur media antara provinsi-provinsi maju dan provinsi-provinsi-provinsi-provinsi yang kurang berkembang di bagian timur Indonesia. Kesenjangan ini tidak hanya berkaitan dengan cepatnya pertumbuhan media baru dan media digital yang membutuhkan akses internet, tetapi juga kesenjangan pada akses terhadap media konvensional seperti surat kabar dan televisi, yang masih sulit diperoleh warga negara yang tinggal di wilayah terpencil dan wilayah kurang berkembang. Hal ini telah membuat kesenjangan informasi tumbuh semakin lebar. Media komunitas dapat, bahkan mungkin sudah, menjadi alternatif yang menyediakan informasi yang lebih relevan bagi komunitas lokal. Meskipun radio komunitas juga berkembang, peraturan yang rumit dan cepatnya perkembangan teknologi pada industri media membuat inisiatif radio komunitas menghadapi kesulitan untuk bertahan dan bersaing dengan kanal-kanal media lain yang berbasis keuntungan.

9. Kemajuan dalam teknologi media dan komunikasi telah mengubah lingkungan industri media tetapi juga membuka ruang yang lebih luas bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam media melalui Internet dan media sosial. Internet tampaknya telah menjadi ruang utama di mana warga negara dapat berkomunikasi tanpa batasan. Ruang-ruang seperti blog, situs-situs jejaring sosial dan micro-blogging telah memungkinkan warga negara untuk menciptakan ranah publik sendiri dan terlibat satu sama lain secara bebas. Dengan 64% dari pengguna Internet menggunakan media sosial, tidaklah mengherankan jika melihat sejumlah aktivisme dan gerakan masyarakat sipil telah diorganisir menggunakan media sosial dan media baru. Penyebaran informasi melalui media sosial sangat luar biasa hingga kemudian dirujuk oleh media mainstream. Internet telah menjadi sebuah infrastruktur penting ketika industri media harus menghadapi tantangan baru dalam teknologi media: konvergensi dan digitalisasi.

10. Tantangan-tangan media di masa mendatang adalah konvergensi dan digitalisasi media. Mereka telah memaksa dan akan terus menekan industri media untuk menciptakan bisnis multiplatform yang akan melampaui media konvensional. Hal ini akan menghasilkan integrasi dari industri penyedia konten dengan industri telekomunikasi sebagai sebuah cara untuk menciptakan media multiplatform yang berbasis teknologi. Konvergensi media telah memaksa industri untuk mempersiapkan infrastrukturnya, karena tidak terhindarkan lagi, infrastruktur memainkan peran yang penting. Meskipun begitu, dampaknya terhadap warga negara dan hak warga negara dalam bermedia belum sepenuhnya menjadi pertimbangan industri. Dalam kaitannya dengan digitalisasi, meskipun warga negara mungkin memiliki pilihan-pilihan kanal yang lebih luas, dibutuhkan infrastruktur yang khusus untuk mengakses pilihan-pilihan kanal ini, dan penyediaan infrastruktur ini tampak belum jelas. Media komunitas tampaknya tertinggal dalam segala hiruk-pikuk digitalisasi dan konvergensi.

(12)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia x

yang cenderung terpinggirkan, media komunitas menawarkan sebuah contoh alternatif: mereka dijalankan oleh komunitas dan melayani komunitas. Hal ini menjadi contoh sebuah model kerja untuk membangkitkan media publik di Indonesia: TVRI dan RRI yang dimiliki oleh negara harus melakukan reformasi fundamental dan direvitalisasi sebagai media komunitas nasional. Kebutuhan ini sangat mendesak tidak hanya untuk memastikan literasi media pada warga negara, tetapi juga pemenuhan hak warga negara dalam bermedia.

(13)
(14)
(15)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesiaxiii

Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih Daftar singkatan Ringkasan Daftar Isi

1. Pemetaan Lanskap Industri Media di Indonesia: Sebuah Pengantar

1.1 Mengapa mengkaji industri media? Latar belakang dan alasan 1.2 Tujuan 1.3 Pertanyaan dan Riset yang Dilakukan 1.4 Memahami Dinamika Industri Media di Indonesia: Sebuah Pratinjau 1.5 Struktur Laporan

2. Memahami Dinamika Industri Media: Perspektif Politik dan Ekonomi

2.1 Media: Berjuang Menjaga Res Publica

2.2 Medium dan Pesan: Pasangan yang Tak Terpisahkan 2.3 Rekayasa Konten , Rekayasa Kesadaran 2.4 Ekonomi Politik Industri Media: Sebuah Kerangka Investigasi 2.5 Industri Media di Indonesia: Beberapa Studi Terdahulu

3. Mengkaji Industri Media di Indonesia: Metode dan Data

3.1 Pendekatan 3.2 Metode 3.3 Strategi dan Instrumen Pengumpulan Data 3.4 Keterbatasan 3.5 Profil Data

4. Industri Media di Indonesia: Sebuah Lanskap yang Dinamis

4.1 Pasang Surut Industri Media di Indonesia Sebuah Sejarah singkat Kebangkitan Media Komunitas dan Kedatangan Media Baru

Regulasi Media 4.2 Konglomerasi Media: Perkembangan Bisnis yang Tidak Bisa Dihindari?

4.3 Isu-Isu Utama Industri Media di Indonesia 4.4 Pesannya atau Mediumnya? 4.5 Memberadabkan Media, Melindungi Hak Warga

5. Media Konvensional: Mencapai titik nadir?

5.1 Televisi: Media yang Paling Berpengaruh Izin Siaran: Masalah yang Tak Kunjung Berakhir

(16)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia xiv

Kutukan Rating

5.2 Radio: Demokratisasi Suara Publik 5.3 Media Cetak: Dalam Keadaan Kritis? 5.4 Media Komunitas: Antara ‘Kebutuhan’ dan ‘Keinginan’

Radio Komunitas Peran Pemerintah 5.5 Isu-Isu Penting Perkembangan Media Konvensional di Indonesia

5.6 Menuju Hak Warga Negara Terhadap Media

6. Media Online: Dari Zero ke Hero?

6.1 Media Online: Konten Lama dalam Wajah Baru? 6.2 Media Baru dan Media Sosial: Kelahiran Jurnalisme Jenis Baru?

Media Online dan Media Sosial: Pedang Bermata-Dua Jurnalisme Warga dan Pengawasan Media Mainstream 6.3 Masalah-Masalah Utama yang Dihadapi Media Online dan Media Baru

6.4 Media Online dan Media Baru: Pentingnya Infrastruktur Peran Pemerintah 6.5 Industri Media Online di Indonesia: Sebuah Media Alternatif Baru?

7. Konvergensi dan Digitalisasi Media: Tantangan Masa Depan Industri Media di Indonesia

7.1 Konvergensi Media Alasan untuk konglomerasi? Peran Pemerintah dalam Konvergensi Media

7.2 Digitalisasi: Mimpi yang Berlebihan? 7.3 Konvergensi dan Digitalisasi Media: Dampak pada Warga Negara 7.4 Masa Depan Perkembangan Media: Ketercerabutan yang Memburuk?

8. Merebut Kembali Media, Merebut Kembali Res Publica: Implikasi dan Kesimpulan

(17)
(18)
(19)
(20)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 2

“Jadi ini bukan fenomena pasca reformasi. Media jadi duit dan industri itu sama sekali bukan [fenomena pasca reformasi]. [Media sebagai bisnis] itu adalah kesadaran yang sudah mereka yakini sejak bahkan di era represi. Dulu kan orang punya media itu karena idealisme. Seperti Moechtar Loebis bikin Indonesia Raya. Sejak yang punya itu bukan wartawan, sejak yang punya bukan parpol, itulah mulai era industri ... Jadi arahnya pasti akan penguatan. Itu kan trend global ya... Jadi [kalau] akhirnya konsolidasi besar [itu wajar], karena bisnis ini memang bisnis yang padat modal. Kalo kita berbicara televisi dan multimedia, sementara padat modal, tapi game-nya juga kuat, dan mengikuti pergerakan jaman dibandingkan dengan koran yang juga sama-sama padat modal. Untungnya lebih gede kalo punya koran, tapi dia mulai ditinggalkan jaman. Itu perbedaannya. Sehingga konsolidasi [seperti ini] memang terjadi”

(Dandhy Laksono, WatchDoc, wawancara, 21/09/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber)

Pada tahun 2011, terjadi sejumlah merger dan akuisisi antar kelompok media di Indonesia. Indosiar

Visual Mandiri (Indosiar) dibeli oleh Elang Mahkota Teknologi, perusahaan induk dari Surya Citra

Televisi (SCTV). CT Group, perusahaan induk dari Trans TV dan Trans 7, membeli detik.com—salah satu

perusahaan media online terbesar di Indonesia. Selain itu, beberapa kelompok media kecil seperti

beritasatu.com dibeli oleh Lippo Group. Tentunya, praktik-praktik ini tidak berakhir di sini. Sejumlah

akuisisi dan merger akan terus terjadi di masa mendatang, mengingat pertumbuhan industri media di Indonesia. Terlebih lagi, industri media di Indonesia sudah mengarah ke industri yang oligopolistik dan hegemonik. Bersamaan dengan pertumbuhan industri media yang sangat cepat, konsentrasi kepemilikan media tidak bisa dihindari, dan menjadi nyata terlihat dalam penelitian ini. Konglomerasi menjadi ciri perkembangan industri media di Indonesia, membuat khalayak menjadi hanya sekadar konsumen, bukan warga negara yang memiliki sejumlah hak terhadap media. Ada implikasi ganda dari pola perkembangan industri media saat ini: pertama, pola perkembangan industri media dewasa ini telah membahayakan peran publik di dalam bermedia; kedua, pola ini membuat peran warga negara seolah tidak berarti dalam dalam proses pembentukan cara kerja media.

Media memainkan peran penting dalam kehidupan publik saat ini. Bahkan secara etimologis, kata ‘media’ memiliki makna locus publicus—sebuah ranah publik. Akan tetapi, seperti yang mungkin juga terjadi di negara-negara lain, media di Indonesia tampak semakin digerakkan oleh motif keuntungan. Meskipun demikian, pemahaman lebih lanjut melihat bahwa media tetaplah sebuah ranah yang diperebutkan oleh berbagai kelompok kepentingan, mulai dari politik dan bisnis hingga blok-blok religius-fundamentalis, yang bersaing untuk meraih kendali dan pengaruh, meskipun terlihat jelas satu pihak memiliki kekuasaan lebih dibanding lainnya. Media terlihat dikendalikan oleh akumulasi modal, sehingga industri dapat mengelak dari peraturan-peraturan yang ada, dan pada gilirannya menyebabkan diperbolehkannya penguatan bisnis media melalui akuisisi kanal maupun perusahaan media lain, dengan jumlah yang tidak terbatas.

Pertumbuhan industri media di manapun berkaitan erat dengan sistem ekonomi politik (Mansell, 2004)—begitupun yang terjadi di Indonesia. Perubahan situasi ekonomi politik di Indonesia juga

(21)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 3

mempengaruhi dinamika industri media. Tidak hanya sebagai salah satu saluran kepentingan politik, media saat ini juga telah menjadi alat bisnis yang sangat kuat. Di media, ‘perkawinan’ antara politik dan bisnis sangat jelas terlihat. Tetapi di mana posisi warga negara dalam gambar besar ini? Adakah warga di dalam gambar besar ini? Apabila dinamika politik melihat warga sebagai pemegang hak pilih, dunia bisnis melihat warga negara sebagai konsumen. Kedua bentuk representasi warga negara ini sangat jelas terlihat di media dewasa ini. Media tidak lagi menyediakan sebuah ruang di mana warga negara dapat ikut terlibat di dalamnya, berhubungan satu sama lain dan saling berefleksi. Apakah media masih menyandang karakter publiknya? Dengan adanya pengaruh politik dan bisnis, apakah media masih berfungsi sebagai perantara bagi warga negara? Bagaimana industri media menumbuhkan dan membentuk karakter perkembangan publik di Indonesia – dan, jika ada, perkembangan masyarakat Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong studi ini. Dalam laporan ini kami memetakan lanskap industri media di Indonesia sebagai upaya kami untuk memahami bagaimana kepentingan modal— dalam rentang periode waktu berbeda di Indonesia—mempengaruhi karakter publik media. Ini bukanlah tugas yang mudah, terutama karena pemetaan industri media menuntut bukan hanya pengetahuan dan pemahaman dalam menguak proses dan negosiasi bisnis yang seringkali tersembunyi, tapi juga kemampuan untuk menerima fenomena bisnis yang terjadi dengan akal sehat, dan menjejakkannya secara jelas. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ini, kami melihat studi ini sebagai sesuatu yang menantang, dilihat dalam dua hal. Pertama, studi ini membuat kami membuka, jika bukan menguak, watak publik media, yang hingga kini hanya dapat diasumsikan saja. Penelitian rinci ini penting karena telah memungkinkan kami untuk mampu lebih kritis lagi dalam menghadapi konsekuensi praktik bisnis media di Indonesia, baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Kedua, seiring dengan mempertegas pentingnya media sebagai ‘Pilar Keempat’ (Carlyle, 1840: 392; Schultz, 1998: 49) yang memainkan peran penting untuk mendewasakan masyarakat dalam demokrasi yang masih dini, riset ini juga mengidentifikasi sejumlah masalah dan kontradiksi di mana media sekarang telah menjadi sebuah platform bisnis dan oleh sebab itu telah meninggalkan fungsi sosialnya.

Dalam laporan ini kami memfokuskan diri pada pemetaan lanskap industri media di Indonesia dan implikasinya terhadap hak warga atas isi dan infrastruktur media. Kami memegang asumsi bahwa ketika media adalah pusat pemapanan warga negara yang terbuka, demokratis dan terinformasi, maka penting pula untuk mengontrol kepentingan modal. Apa yang kami lihat di sini adalah sejauh mana proses industrialisasi sektor media mempengaruhi pemenuhan hak bermedia warga negaranya. Studi ini juga merupakan bagian dari proyek riset tentang media dan hak warga negara yang juga memetakan arah kebijakan media di Indonesia (Nugroho et al., 2012) serta menggunakan studi kasus-studi kasus di tingkat nasional untuk menyelidiki bagaimana sejumlah kelompok warga negara yang rentan menggunakan haknya dalam bermedia (Nugroho et al., akan datang). Tentu saja studi ini bukan yang pertama dalam mengkaji media dan perkembangannya. Ada sejumlah riset mengenai industri media di Indonesia belakangan ini, tetapi hanya sedikit yang secara sistematis dan menyeluruh menjelaskan dinamika media di Indonesia, dan secara empiris menunjukkan bagaimana media telah mencapai persimpangan antara korporasi dan publik. Inilah motivasi kami dalam mengerjakan riset ini.

1.1 Mengapa mengkaji industri media? Latar belakang dan alasan

(22)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 4

publik sebagai sesuatu yang penting tergantung dari apa yang dianggap penting oleh pihak-pihak yang mengendalikan media. Peraturan media di Indonesia yang berubah dari waktu ke waktu telah menunjukkan kenyataan politik negara ini. Saat ini belum ada peraturan khusus untuk mengontrol konsentrasi media. UU Penyiaran no. 32 tahun 2002, Pasal 18, menunjukkan bahwa kepemilikan-silang lembaga-lembaga radio, televisi, dan media cetak harus dibatasi, tetapi tidak ada penjelasan bagaimana pembatasan itu ditegakkan dan kepemilikan seperti apa yang perlu dibatasi.

Sejak era Reformasi tahun 1998, lanskap media di Indonesia berubah secara dramatis. Contohnya, sebelum tahun 1998, hanya ada 279 perusahaan media cetak dan hanya ada 5 stasiun televisi swasta. Kurang dari satu dekade berikutnya, jumlah televisi swasta bertambah dua kali lipat (belum termasuk sekitar 20 stasiun televisi lokal) dan media cetak meningkat tiga kali lipatnya (Laksmi dan Haryanto, 2007: 53). Ini menjadi bukti dari dampak globalisasi media, tidak hanya berkaitan dengan pertumbuhan periklanan dunia dan peningkatan teknologi komunikasi yang mendorong operasi serta kontrol lintas-batas tetapi juga keseragaman isi (Gabel dan Bruner, 2003). Budaya dan teknologi yang mewadahi proses globalisasi ini sangat berkaitan dengan tema ‘gaya-hidup’ dan kebendaan, mereka cenderung melemahkan rasa kebersamaan dalam masyarakat yang saling membantu bagi kehidupan sipilnya (Herman dan Chomsky, 1988). Argumen ini sangat layak disandingkan dalam sebuah konteks di mana industri media sedang bertumbuh; fokus dari penyandingan ini tidak hanya tentang pertumbuhan dan isi media yang dihasilkan saja, tetapi juga bagaimana perubahan struktur industri media mempengaruhi warga negara.

Riset kami bertujuan untuk memetakan lanskap industri media di Indonesia dan memotretnya dari perspektif hak warga negara, suatu hal yang sangat menarik bagi kami (Berkhout et al., 2011). Dalam bagian ini, kami menekankan dan menggarisbawahi rationale dari riset ini. Industri media telah bertumbuh dengan sangat cepat dan menjadi bisnis yang berorientasi pada profit, membentuk kebutuhan dan kepentingan publik baik dalam cara-cara kontemporer maupun baru dengan bantuan teknologi yang semakin canggih. Riset ini tidak memfokuskan diri pada industri media sebagai sebuah bisnis; tapi lebih pada membangun pemahaman kita mengenai cara-cara di mana industri media telah mereduksi hak-hak warga negara menjadi sekedar konsumen, dan bukan memperkuat warga untuk berkontribusi dan membentuk media. Akan tetapi, tidak banyak tersedia literatur yang dapat mengkonseptualisasikan hak warga negara dalam bermedia. Kami meminjam konseptualisasi hak warga dalam bermedia yang telah dikonsepkan oleh UNESCO (Joseph, 2005)1 dan menggunakannya

untuk menelaah bagaimana hak-hak tersebut dijalankan dalam tiga aspek dari lanskap industri media saat ini. Aspek-aspek tersebut adalah; pertama, akses warga negara terhadap informasi; yang mana tanpa akses ini mereka akan tersingkirkan dari pembangunan dan transformasi hidup mereka sendiri. Kedua, akses warga negara terhadap infrastruktur media; yang mana tanpanya akses terhadap infrastruktur media menjadi mustahil. Aspek yang terakhir, akses warga negara untuk ikut berpengaruh dalam kerangka regulasi, yang mana tanpa akses ini warga negara dapat tersingkir dari proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Kami juga memperluas pemahaman mengenai hak warga negara dengan menyertakan perspektif etika media, pengawasan media, akses terhadap informasi dan infrastruktur informasi, serta wacana peran media dalam masyarakat.

Mengapa perspektif hak warga sangat penting dalam memetakan industri media di Indonesia? Industri ini secara alamiah telah menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Meskipun hal ini sepertinya tidak terhindarkan, perkembangannya telah menunjukkan bahwa di Indonesia (dan di dunia), motif pencarian profit dari industri media telah mengambil alih karakter publik dari media. Dengan konsentrasinya yang hanya berada di daerah-daerah maju di Indonesia serta kesenjangan yang sangat besar dengan daerah-daerah tertinggal, penyebaran infrastruktur media tetap tidak terdistribusi secara merata.

(23)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 5

televisi lokal dan radio komunitas muncul di berbagai daerah di seluruh Indonesia sebagai sebuah respon (Nielsen, 2011b). Kebangkitan media komunitas tampaknya merupakan respon terhadap teori Bagdikian (2004) yang menyatakan bahwa media berita utama gagal menghadapi keberagaman kebutuhan sosial yang mendesak dari seluruh penduduk secara sistematis. Banyak kebutuhan yang tetap tidak mengemuka, terbenam di tengah membanjirnya berita-berita lain. Media komunitas menawarkan sebuah cara kepada warga untuk mengakses informasi yang lebih berorientasi sosial di mana hal itu menjadi lebih relevan terhadap keseharian mereka dan dengan demikian memiliki dampak yang lebih besar terhadap kehidupan mereka. Namun demikian, media lokal sekarang sudah menjadi sasaran dari industri yang mengutamakan keuntungan, dan kelompok-kelompok bisnis besar mulai membeli media lokal untuk menjadi bagian dari jaringan bisnis mereka. Salah satu contohnya adalah kepemilikan Jaringan Jawa Pos Nasional atas 20 stasiun televisi lokal di seluruh Indonesia, sementara

Sindo TV, sebagai bagian dari Grup MNC, memiliki 17 stasiun televisi lokal; dan stasiun televisi lokal

lainnya yang bermitra dengan kelompok-kelompok media besar.

Satu ruang yang masih layak tersisa untuk ditempati publik mungkin hanya Internet. Ada banyak perubahan besar dalam hal cakupan dan skala yang ditawarkan oleh media baru, dan bagaimana hidup kita dimediasi oleh teknologi dan servis digital (Mansell, 2004). Tentunya, kemajuan teknologi Internet telah memberi manfaat pada industri media—tetapi sekaligus juga bermanfaat bagi warga. Internet menyediakan sebuah ruang publik yang mana tidak bisa diciptakan secara memadai oleh industri media. Tetapi, ada satu masalah: akses Internet tidak tersebar secara merata. Di Indonesia, juga di berbagai negara, digital divide (Norri, 2001) adalah sebuah realitas. Infrastruktur Internet, seperti kabel pita lebar dan serat optik—masih terkonsentrasi di sedikit pulau di Indonesia, serta masih banyaknya orang yang belum mendapatkan akses terhadap Internet (Kominfo, 2010; 2011; Manggalanny, 2010). Meskipun demikian, Internet telah menjadi sebuah medium baru di mana para warga dapat berpartisipasi secara bebas dalam menggunakan hak bermedianya. Beberapa gerakan sosial bahkan diprakarsai dan dipertahankan melalui Internet dan media sosial, seperti dalam kasus gerakan Prita Mulyasari serta mobilisasi bantuan paska terjadinya letusan Gunung Merapi (untuk lebih detailnya, pelajari Nugroho, 2011a). Tentunya, teknologi media dapat menjanjikan manfaat bagi warga, namun hal itu terjadi hanya jika adanya pendekatan yang berbasis hak warga di dalam kebijakan media baru (Mansell, 2001).

Studi ini bertujuan untuk menjelajahi perkembangan industri media di indonesia dan seberapa jauh dampaknya bagi warga negara. Untuk melakukan riset ini, kami mengumpulkan data empiris yang dapat kami akses, baik itu data primer maupun sekunder, kuantitatif maupun kualitatif. Kami kemudian berusaha untuk memaknainya dan meletakkannya dalam perspektif ekonomi politik dari industri media. Tujuan utama riset ini tidak hanya sebagai kajian akademis, namun lebih pada memberikan pengertian yang lebih baik kepada publik mengenai kompleksitas industri media di negara ini. Secara khusus, kami mengharapkan temuan-temuan dalam riset ini dapat menginformasikan wacana-wacana yang ada di kelompok dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, serta upaya-upaya mereka dalam menemukan strategi untuk terkoneksi dengan grup-grup media. Pada akhirnya, kami berharap studi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat sipil dalam menggunakan media untuk mendukung aktivisme sipil mereka.

1.2 Tujuan

(24)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 6

konten media. Pada akhirnya, dengan asumsi tren saat ini berlanjut, kami ingin melihat bagaimana bisnis industri media berkembang di masa mendatang dan bagaimana hal ini berdampak pada pemenuhan hak warga negara dalam bermedia.

Kami menggunakan gagasan McLuhan (1994) untuk memahami wujud dan peran media dalam membedakan medium dari pesan – dan bagaimana gagasan ini diadaptasi untuk memotret media di milenium baru sekarang ini (Levinson, 1999). Untuk memahami ekonomi politik dari media massa, riset kami ini dipandu oleh kerangka kerja yang melihat media sebagai sebuah alat propaganda dalam merekayasa persetujuan (Herman dan Chomsky, 1988), dan perkembangan industri media yang menciptakan sebuah monopoli baru (Bagdikian, 2004).

Sementara untuk media baru, kami menggunakan kerangka kerja yang ditawarkan Mansell (2004), khususnya dalam memahami bagaimana kekuasaan bekerja melalui media. Yang terakhir, hubungan antara demokrasi dan kebebasan berekspresi akan diteliti dengan menggunakan gagasan ‘rich

media-poor democracy’/media yang kaya, demokrasi yang miskin (McChesney, 1999).

Dalam memahami hak warga dalam bermedia kami menekankan pada tiga dimensi yang sudah kami sampaikan sebelumnya. Pertama, hak untuk mengakses informasi yang dapat dipercaya dan akses pada proses pembuatan informasi, yang mana hal ini penting bagi warga jika mereka ingin membuat keputusan yang berpengaruh terhadap hidup mereka. Keputusan ini termasuk partisipasi dan keterlibatan mereka pada proses pembuatan keputusan dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajban mereka sebagai warga negara. Meskipun begitu, pemenuhan hak-hak ini mengandaikan terpenuhinya hak lain, yaitu akses terhadap infrastruktur, di mana hak ini penting dalam konteks Indonesia yang sebagian besar infrastuktur media dan telekomunikasinya tidak terdistribusi dengan baik.

Aspek terakhir adalah yang berkenaan dengan hak untuk mengakses dan untuk mempengaruhi kerangka kerja kebijakan, yang mana hal ini penting dalam memastikan bahwa warga ikut diperhitungkan dalam proses pembuatan kebijakan publik yang mengatur media.

1.3 Pertanyaan & Penelitian yang Dilakukan

Riset ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

Bagaimana lanskap industri media di Indonesia berkembang dari waktu ke waktu? Faktor-faktor apa yang membentuk industri media dewasa ini?

Faktor-faktor dan proses-proses apa sajakah yang berkontribusi pada pembentukan dan konstruksi industri media di Indonesia? Bagaimana proses-proses dan faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain?

(25)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 7

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kami menggunakan kombinasi dari metode dan instrumen riset, yaitu menggabungkan pengumpulan data sekunder (melalui studi pustaka untuk memetakan lanskap industri media dan analisis korporasi media untuk menjawab pertanyaan riset pertama) serta pengumpulan data primer (melalui wawancara mendalam untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang membentuk industri media dan sejauh mana hak warga dalam bermedia sebagai respon dari pertanyaan riset kedua dan ketiga), yang dilakukan sepanjang Juli hingga Desember 2011. Di fase awal kami menganalisa data sekunder, sumber-sumber statistik, berita dan laporan-laporan tertulis. Kami kemudian melanjutkan dengan menggarap serangkaian pengumpulan data primer lewat wawancara untuk melengkapi kami dengan cerita-cerita yang lebih detail, bernuansa dan penuh wawasan serta mendalam. Bab Tiga akan menjelaskan metode-metode kami ini dengan lebih terperinci.

1.4 Memahami Dinamika Industri Media di Indonesia: Sebuah

Pratinjau

Industri media di Indonesia telah berkembang sejak akhir 1980-an ketika beberapa pihak yang tidak berprofesi sebagai wartawan mulai memiliki industri pers, misalnya Partai Golkar yang mendirikan

Suara Karya; Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) membeli Pos Kota, dan BJ Habibie (Menteri

Riset dan Teknologi pada saat itu) membeli Republika. Pada masa itu, pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Suharto (yang juga dikenal sebagai Pemerintahan Orde Baru) mengontrol media dengan ketat dan pada saat bersamaan juga mengkontestasi media. Peraturan media juga sangat mengekang sehingga pers pun menjadi sangat sulit untuk mengkritik pemerintah. Beberapa surat kabar dibreidel, bahkan beberapa mengalaminya lebih dari sekali. Contohnya Majalah Tempo yang sempat dibreidel dua kali, tahun 1982 dan di tahun 1994 izin terbitnya dicabut kembali. Tempo bukanlah satu-satunya; beberapa surat kabar dan majalah lain juga mengalami hal serupa.

Tahun 1998, bersamaan dengan jatuhnya Suharto dan dimulainya era Reformasi, muncul juga peraturan dan perundangan baru mengenai media. Industri pers mulai berkembang, tetapi hanya sedikit saja yang bertahan. Era Reformasi yang membawa liberalisasi ekonomi juga membawa perubahan terhadap lanskap industri media di Indonesia. Beberapa perubahan akan kami sampaikan secara singkat di sini; dan pembahasan lebih detail akan kami paparkan dalam bab selanjutnya dari laporan ini.

Pertama, dalam gambaran yang besar, sebagai respon terhadap gelombang konvergensi media yang sedang terjadi, adalah wajar untuk melihat persaingan perusahaan-perusahaan media untuk memiliki semua ranah media baik itu penyiaran, cetak, dan media online di bawah satu atap dan di bawah kendali mereka. Merger dan akuisisi terjadi untuk menyatukan kanal-kanal media yang berbeda ke dalam satu grup media. Peraturan perundang-undangan tampak tidak berdaya dalam mengendalikan ekspansi bisnis yang terjadi sekarang ini. Ini adalah gambaran singkat yang mewakili apa yang terjadi dalam lanskap bisnis media di Indonesia saat ini. Contoh dari merger dan akuisisi yang terjadi adalah: TV7, yang didirikan oleh Kelompok Kompas Gramedia tahun 2000, dibeli oleh CT Group (sebelumnya bernama

Para Grup) pada tahun 2006; Lativi, yang dibentuk oleh mantan Menteri Tenaga Kerja (Abdul Latief)

pada tahun 2002, diambil alih oleh Kelompok Bakrie yang mengubah namanya menjadi tvOne. Sejak saat itu, merger dan akuisisi telah menjadi sebuah strategi di mana setiap grup media dapat mengambil alih kepemilikan stasiun TV, stasiun radio, surat kabar maupun majalah. Dari sudut pandang bisnis, proses ini sah-sah saja, namun, jika terjadi dalam perusahaan media, merger dan akuisisi seperti ini sebenarnya melanggar UU Penyiaran no. 32/2002.2

(26)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 8

mengendalikan sebagian besar kanal media di Indonesia. Sebagian besar dari mereka juga memiliki bisnis lain yang berkaitan dengan properti. Contohnya Grup Kompas, yang memiliki bisnis properti berupa convention centre, dan CT Group, yang selain memiliki dua stasiun televisi juga memiliki bisnis perbankan dan bisnis properti di bawah bendera Trans Property. Terlebih lagi, dengan adanya beberapa pemilik media yang juga berprofesi sebagai politisi, mereka akan diuntungkan karena dapat menggunakan media yang mereka miliki untuk menciptakan opini publik sesuai dengan kehendak mereka. Contoh yang sangat jelas adalah Surya Paloh, pemilik Media Group (MetroTV dan surat kabar

Media Indonesia) serta Aburizal Bakrie, yang memiliki Viva Group. Media-media ini telah membantu

mereka membentuk opini publik yang tentu menguntungkan kepentingan mereka dengan cara yang dapat dengan mudah dijelaskan melalui ‘Hypodermic Needle Theory’ (Croteau dan Hoynes, 1997).3

Stasiun TV menggunakan rating untuk memproduksi konten mereka, yang kemudian menghasilkan duplikasi konten antar media. Ini menunjukkan bagaimana bisnis media saat ini lebih menjadi bisnis yang berorientasi pada profit dibanding sebagai sebuah entitas publik.

Ketiga, sebagai akibat dari konvergensi ini, media lokal menjadi cara alternatif yang paling efektif dalam menyediakan informasi yang lebih relevan untuk warga. Media lokal juga dapat menyelamatkan peran media sebagai barang publik. Tetapi dalam proses perkembangannya, sulit bagi mereka untuk bertahan di tengah kompetisi dengan kelompok-kelompok media yang lebih besar. Bahkan pada kenyataannya, kelompok-kelompok media besar juga membeli media-media lokal. Saat ini, Sindo TV—bagian dari

Grup MNC—mengendalikan 19 stasiun televisi lokal dan Jawa Pos News Network mengoperasikan

120 stasiun televisi lokal di seluruh Indonesia. Akuisisi semacam ini dibenarkan sebagai persiapan untuk skema Siaran Berjaringan4 sebagaimana dimandatkan oleh UU Penyiaran no. 32/2002 yang

mempromosikan keberagaman konten, tetapi hal ini justru digunakan oleh para konglomerat media untuk tujuan yang berlawanan. Konsekuensinya, harapan terakhir warga sepertinya terletak pada radio komunitas. Menurut Jaringan Radio Komunias Indonesia (JRKI), pada tahun 2009 terdapat 372 stasiun radio komunitas di 18 provinsi.5 Namun, inisiatif-inisiatif lokal ini terhambat oleh sejumlah kendala,

mulai dari keberlanjutan organisasi hingga sumber daya manusia—dan di atas itu semua, mereka juga menghadapi kesulitan dalam mendapatkan izin resmi penyiaran.

Keempat, penyebaran Internet yang cepat telah mengubah baik kerja industri media maupun strategi keterlibatan warga. Media online telah berkembang dengan sangat pesat dalam beberapa tahun belakangan ini. Beberapa di antaranya, detik.com (kini dimiliki oleh CT Group) dan vivanews.com (bagian dari Viva Group milik Bakrie) telah menjadi online media utama saat ini di samping adanya versi online

dari media cetak terkemuka, seperti Kompas, Republika, The Jakarta Post dan Tempo. Sebagai hasil dari gerakan masif ke media online, sirkulasi media cetak tidak mengalami peningkatan yang berarti beberapa tahun belakangan ini, sementara kelompok-kelompok media besar mencatat jumlah ‘hits’ yang sangat tinggi di kanal-kanal online mereka. Bersamaan dengan itu, pertumbuhan media online

sepertinya terkait erat dengan ‘mobilisasi masyarakat’ seperti menyediakan interaksi sosial melalui telepon genggam. Namun, yang menjadi masalah utama di sini adalah tidak meratanya akses pada infrastruktur Internet di Indonesia, yang hanya terkonsentrasi di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera.

Terakhir, saat ini kita berada pada situasi di mana peran dan posisi warga negara dalam sektor media di Indonesia betul-betul telah dipinggirkan. Dengan media yang semata-mata hanya mengikuti logika bisnis dan motif profit, warga negara tidak lagi diutamakan di sektor ini; apa yang tersisa di hadapan industri media hanyalah para konsumen. Hal ini memiliki implikasi yang serius: di satu sisi, media tidak lagi menjalankan kegunaanya untuk menyediakan dan menciptakan sebuah ‘ranah publik’ yang sangat 3 Teori yang menyatakan bahwa media ‘menyuntik’ kontennya kepada penonton yang pasif, dan langsung memiliki dampak. Asumsinya di sini adalah bahwa publik sebagai pemirsa tidak memiliki kekuasaan untuk keluar dari pengaruh media. Model ini memandang publik sebagai pihak yang rapuh terhadap pesan-pesan yang disasar-kan kepada mereka akibat keterbatasan akses terhadap konten dan alat komunikasi.

4 Skema Sistem Berjaringan membutuhkan lembaga penyiaran dengan jangkauan nasional untuk me-lepaskan penggunaan frekuensi yang sudah dialokasikan di wilayah jangkauannya untuk lembaga penyiaran lokal. Jika sebuah lembaga penyiaran berlokasi di Jakarta ingin acara-acaranya diterima di daerah lain, mereka harus bekerjasama dengan lembaga penyiaran lokal di daerah tersebut. Dengan demikian, semangat dasar dari skema ini adalah untuk mempromosikan keberagaman pemilik dan keberagaman konten serta kebijaksanaan lokal.

(27)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 9

penting untuk perkembangan masyarakat yang demokratis dan beradab (Habermas, 1984; 1989). Di sisi lain, sebagai hasilnya, menghilangnya ‘kepublikan’ dari media; menyisakan mereka tanpa raison

d’être —yang kemudian menjadi tragedi bagi masyarakat kita.

Dalam konteks-konteks inilah menyelamatkan karakter publik dalam media (sebagaimana tersirat dalam peran media sebagai ‘Pilar Ke-empat’ di masyarakat modern, dikemukakan oleh Carlyle, 1840:392; Schultz, 1998:49) menjadi agenda yang sangat penting, bukan hanya untuk negara, tetapi juga untuk masyarakat. Publik harus terlibat secara aktif dalam perkembangan media terutama karena media membentuk dan membangun sebagian besar, jika tidak seluruhnya, aspek-aspek sosial dalam kehidupan kita bersama. Oleh sebab itu, sudah menjadi keharusan bagi warga negara untuk ikut ambil bagian dalam membentuk cara kerja media, termasuk konten media. Mereka perlu berhati-hati, tidak hanya terhadap bagaimana industri media berekspansi, tetapi juga terhadap bagaimana perkembangan-perkembangan ini berimplikasi terhadap kualitas kanal-kanal media dan para pekerja media. Yang lebih penting, publik harus memiliki kewenangan terhadap kualitas konten media. Yang benar-benar sangat dibutuhkan saat ini adalah adanya ‘media yang beradab’, yakni media dengan konten yang dapat mendidik dan meningkatkan peradaban publik, bukan sekadar media yang ‘membodohi’ khalayak demi profit, rating dan kepentingan para pemiliknya. Media dapat membuat masyarakat menjadi beradab dan demokratis, jika dan hanya jika, media mempertahankan fungsinya sebagai perantara publik. Bila tidak, masa depan peradaban kita ada dalam bahaya.

1.5 Struktur Laporan

Kami telah secara singkat memaparkan dinamika industri media di Bab Satu. Selanjutnya, Bab Dua

akan memaparkan beberapa pandangan dan perspektif teoritis yang diperlukan untuk melihat dan memahami ekonomi politik media dan bagaimana hal tersebut berimplikasi terhadap warga dan hak sebagai warga negara. Kemudian di Bab Tiga kami akan menguraikan pendekatan dan metode yang digunakan dalam studi ini, khususnya dalam pengumpulan data dan metode analisa, juga pembatasannya. Bab Empat dan bab-bab berikutnya akan menampilkan data empiris, dimulai dengan menunjukkan dinamika media di Indonesia, termasuk sejarah dan perkembangan industri media, menguraikan pasang surut industri media, serta isu-isu yang melingkupi media sebagai sebuah sektor industri. Bab Lima kemudian akan mengungkapkan cara-cara di mana kepentingan modal menggerakkan perkembangan tiap sektor media, baik itu televisi, radio, media cetak, termasuk media lokal dan komunitas. Sementara itu, munculnya media online dan perkembangannya sehingga menjadi satu dari media yang masih dapat diandalkan akan dijelaskan di Bab Enam. Hal ini akan berlanjut di Bab

Tujuh dengan mendiskusikan tren terbaru yang sedang banyak berpengaruh, yaitu konvergensi dan

(28)
(29)

2. Memahami Dinamika

Industri Media:

Perspektif Politik dan

(30)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 12

Ini juga memperlihatkan betapa banyaknya media, sehingga peran, pemilik medianya sekarang bukan lagi para jurnalis tapi memang pengusaha. Dan karakter pengusaha itu pasti ya investasi sebanyak-banyaknya. Makanya, media-media membuat banyak produk supaya walaupun ada yang rugi, ya paling 1 di antara 10 … kemudian yang lainnya menghasilkan keuntungan. Jadi peng-grup-an media semacam ini adalah sesuatu yang tidak terhindarkan.

(A. Armando, Ex anggota KPI, wawancara, 27/10/2011)

Sejak Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1436, kemajuan teknologi selalu menandai perkembangan dalam media. Namun, teknologi bukan satu-satunya faktor yang membentuk media. Faktor-faktor penting lainnya dalam perkembangan media adalah motif politik dan ekonomi yang melatarbelakangi setiap perkembangan media. Didorong oleh inovasi-inovasi di bidang ICT

(Information and Communication Technology – Teknologi Informasi dan Komunikasi), media saat ini

telah menjadi sebuah industri yang kuat dan menjadi alat untuk apa yang diistilahkan Herman dan Chomsky sebagai ‘rekayasa kesadaran publik’ (1988)—menempatkan kepentingan ekonomi dan politik di depan fungsi publik dan sosialnya. Dalam gambaran seperti ini, warga negara dan haknya menjadi terpinggirkan.

Namun, melihat cara kerja sektor media dengan lebih dekat akan menunjukkan bahwa kepentingan politik dan motif ekonomi tidak selalu harmonis. Kenyataannya, hal itu bahkan tidak pernah terjadi. Pada dasarnya media terdiri dari arena yang diperebutkan oleh sejumlah kelompok kepentingan, seperti kelompok bisnis, politik, agama, kelompok suku-bangsa, dan lain-lain. Namun, beberapa pihak lebih berkuasa atas pihak lainnya dan merekalah yang membentuk kontestasi ini. Hal inilah yang kami lihat di Indonesia sekarang ini: ketika media menjadi semakin komersil, mereka semakin hari juga semakin dipolitisasi. Oleh sebab itu sangatlah penting untuk memahami ekonomi politik industri media guna menelaah kaidah di mana berbagai bentuk kekuasaan yang berbeda melekat pada praktik media dan bagaimana hal ini mempengaruhi kehidupan bersama dan kemudian warga negaranya. Selain itu, analisis ini dapat digunakan untuk memaparkan peran modal, organisasi dan kontrol dalam industri media, juga memperlihatkan sejauh mana media dilindungi hanya untuk memungkinkan beroperasinya sebuah sistem politik yang bebas (Bagdikian, 2004).

Berikut ini kami paparkan secara singkat beberapa perspektif ekonomi politik dalam media untuk membantu kita memahami kerumitan data empiris media di Indonesia. Kami tidak bermaksud memaparkan atau menyediakan tinjauan literatur secara kritis, lengkap, dan menyeluruh. Namun kami lebih akan memberikan sketsa-sketsa beberapa perspektif teoritis yang dapat digunakan untuk menjelaskan kerumitan industri media yang mana tanpa sketsa tersebut akan sulit memahami hubungan kekuasaan yang terlibat di dalamnya.

2. Memahami Dinamika Industri

(31)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 13

2.1 Media: Berjuang Menjaga Res Publica

Istilah ‘media’ berasal dari bahasa Latin (tunggal: medium) yang berarti ‘sesuatu yang ada di antara’ atau ‘muncul secara publik’ atau ‘ada bagi publik’—sebuah locus publicus, ruang publik. Dengan demikian, hakikat media tidak dapat dipisahkan dari keterhubungan antara ranah publik dan privat. Media menjadi perantara (‘mediating’) dua wilayah ini untuk menciptakan atau menemukan kemungkinan (atau ketidakmungkinan) terciptanya hidup bersama.6 Dalam pemahaman ini, apa yang disebut sebagai

media terbentang cukup luas mulai dari arena fisik seperti pengadilan, alun-alun, teater, tempat-tempat pertemuan hingga televisi, surat kabar, radio dan ruang-ruang interaksi sosial lainnya. Media memainkan peran sentral di dalam perkembangan masyarakat kita, oleh karena itulah, media kemudian menjadi terkontestasi. Mengendalikan media telah menjadi semakin identik dengan mengendalikan publik dalam konteks wacana, kepentingan, bahkan selera. (Curran, 1991). Prinsip dasar media, baik secara fisik maupun non-fisik, telah bergeser dari sebuah medium atau mediator ranah publik yang memungkinkan keterlibatan kritis warganya (Habermas, 1984, 1987, 1989) ke sekadar alat untuk kekuasaan demi ‘merekayasa kesadaran’ (Herman dan Chomsky, 1988). Pendapat ini sangat penting untuk memahami dinamika media saat ini—khususnya media massa dalam bentuk apapun.

Media dan akses terhadap informasi merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan masyarakat. Media seharusnya menyediakan sebuah ruang di mana publik dapat secara bebas berinteraksi dan terlibat dalam hal-hal yang memiliki kaitan dengan publik—res publica. Dengan menggunakan istilah Habermas, media adalah penciptaan ‘ranah publik’ (Habermas, 1989; 2006) yang tidak hanya mementingkan media saja, tapi juga mementingan keterlibatan publik dalam demokrasi seperti sekarang ini, di mana kebebasan berpendapat merupakan suatu hal yang sangat krusial. Hal yang penting dalam mengaitkan apa yang publik dan apa yang privat adalah adanya jaringan untuk mengkomunikasikan informasi dan gagasan.

Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media, gagasan-gagasan pribadi pada akhirnya akan menjadi opini publik dalam waktu yang cenderung singkat. Ini penting bukan saja untuk memahami bagaimana rasionalitas publik ‘direkayasa’ dan bahwa harus ada perhatian yang lebih teliti dalam memandang batasan antara ranah privat dan ranah publik; tetapi juga petunjuk bahwa apa yang disebut ‘publik’ selalu erat terkait dengan politik (Habermas, 1989). Apa yang ideal menurut Habermas, adalah tersedianya kanal-kanal komunikasi yang ‘tidak menyimpang’ (1984). Ketersediaan kanal-kanal ini penting sebagai alat emansipasi untuk berpartisipasi dalam ranah publik (1989) - di mana seseorang dapat berinteraksi dengan anggota masyarakat luas lainnya.

Dalam nada yang sama dengan teori Habermas, McLuhan (1964) mengemukakan gagasan ‘desa global’ di mana ia berpendapat mengenai pentingnya representasi pemerintahan secara tidak langsung, karena hal-hal yang berkaitan dengan negara dan masyarakat secara keseluruhan terlalu banyak, terlalu rumit, dan terlalu samar untuk dapat dipahami oleh warga.7 Apa yang dirujuk McLuhan sebagai ‘representasi

pemerintah tidak langsung’ adalah berkembangnya teknologi media yang memungkinkan setiap orang untuk duduk di ruang keluarga masing-masing, menonton berita di televisi atau mendengarkan radio pada saat yang bersamaan. Dalam pandangan McLuhan, ‘desa’ baru adalah dunia yang telah mengecil sebagai efek dari media (penyiaran) yang sangat kuat.8 Media yang sangat kuat seperti

ini tidak hanya mengerutkan dunia global dan membuatnya dapat diakses secara lokal, tetapi juga menciptakan bentuk partisipasi baru di mana siapapun dapat terlibat dalam isu-isu global apapun berkat penyebaran informasi secara global. Melalui kanal-kanal media, apa yang terjadi dalam lingkup lokal dapat dengan cepat menjadi global; begitu pula sebaliknya, apa yang biasanya diterapkan di

6 Paragraf ini merupakan rangkuman besar dari presentasi yang disampaikan Dr. B. Herry-Priyono, SJ., di Yogyakarta selama training metodologi untuk studi kasus dalam riset media, yang dilakukan sebagai bagian dari proyek ini, dan dilangsungkan pada tanggal 5/10/11.

7 Pernyataan ini diambil dari buku Walter Lippmann, The Phantom Public (Lippmann, 1927) seperti dikutip di Levinson (1999:72).

(32)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 14

tingkat global kini dapat diterapkan secara lokal. Begitu pula yang terjadi pada demokrasi. Media dipuji sebagai pemenang dalam penyebaran demokrasi ke seluruh penjuru dunia (Castells, 2010; Mansell, 2004). Meskipun begitu, penyebaran demokrasi melalui media bukanlah tanpa masalah.

Menurut Lippmann (1922), salah satu masalah yang paling mendasar dari media di dalam demokrasi adalah keakuratan berita dan perlindungan narasumber. Bagi Lippmann, masalah ini timbul dari ekspektasi bahwa media (pers) dapat mengimbangi atau memperbaiki kekurangan-kekurangan dari teori demokrasi. Dalam hal ini, media (surat kabar) dianggap oleh para demokrat sebagai ‘panacea’ dari ketidaksempurnaan mereka sendiri, sedangkan analisis dari hakikat pemberitaan dan dasar ekonomi jurnalisme cenderung menunjukkan bahwa surat kabar akan selalu dan pasti menjadi cerminan—dan oleh karena itu, dalam skala kecil maupun besar, mengintensifikasi ketidaksempurnaan organisasi opini publik.

Lebih jauh, Lippmann (1922) menekankan bahwa peran media dalam demokrasi masih belum mencapai apa yang diharapkan darinya, dan bahwa ‘penciptaan kesadaran’ masih ada:

Penciptaan kesadaran bukanlah sebuah seni baru. Ini merupakan hal yang lama; yang semestinya sudah mati seiring dengan munculnya demokrasi. Namun itu tidak punah, bahkan pada kenyataannya, hal tersebut telah mengalami kemajuan secara teknis, karena penciptaan kesadaran saat ini didasarkan pada analisis bukan sekadar pada aturan semata. Maka dari itu, sebagai akibat dari riset psikologis, dan didukung oleh cara-cara komunikasi modern, praktik demokrasi berubah dengan cukup drastis. Sebuah revolusi telah terjadi, dan ini jauh lebih signifikan dari pergeseran kekuatan ekonomi apapun (h. 87).

Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa media dan pemberitaan telah menjadi alat yang sangat kuat dalam menentukan opini publik melalui propaganda. Lippmann melanjutkan:

Dalam kehidupan generasi yang saat ini mengendalikan berbagai urusan, persuasi telah menjadi seni yang disadari dan merupakan unsur yang lumrah ditemukan pada pemerintah yang populer. Di bawah pengaruh propaganda, dan di dalam makna yang mengancam dari kata itu sendiri, tidaklah selalu pemikiran-pemikiran konstan kita menjadi tidak tetap (Lippmann, 1922:87).

Herman dan Chomsky (1988) juga membahas isu ini. Sebagai sebuah perantara antara ranah privat dan publik, media membentuk sebuah sarana yang ampuh untuk propaganda dikarenakan kemampuan media untuk mengatur opini publik. Meskipun fungsi media tidak semata-mata untuk memproduksi propaganda, namun propaganda merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan layanan media.

Kegunaan sosial dari media adalah untuk menanamkan dan mempertahankan agenda ekonomi, sosial, dan politik dari kelompok-kelompok tertentu yang mendominasi masyarakat domestik dan juga negara. Media melayani tujuan ini dalam berbagai cara: melalui pemilihan topik, penyebaran keprihatinan, pembentukan isu-isu, penyaringan informasi, aksentuasi dan penekanan pada sebuah berita, dan dengan menjaga agar perdebatan yang terjadi tetap dalam batasan yang dapat diterima (Herman and Chomsky, 1988:xi).

(33)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 15

Informasi yang dikendalikan oleh individu-individu yang berbeda adalah lebih baik daripada informasi yang dikendalikan oleh otoritas pusat. Propaganda dalam bentuk yang memuncak bahkan mungkin akan dibutuhkan dalam beberapa peristiwa tertentu. Tetapi kita mengakui jika peristiwa tersebut terjadi, bahwa kita memang bermain api, dan mencari perangkat yang lebih baik untuk mengendalikannya. (h. 200)

Pernyataan Levinson benar: mengendalikan media adalah satu-satunya cara untuk melindungi karakter publik dari media. Tentu saja, ini tidak selalu mudah untuk dilakukan. Pada kenyataannya, hal ini sangatlah sulit untuk dilakukan dan bahkan hampir tidak mungkin bagi masyarakat ‘biasa’ untuk dapat mengendalikan media, karena media dengan cepat dikendalikan oleh modal, dan media bekerja lebih berdasarkan pada logika keuntungan, daripada untuk kepentingan publik. Oleh karena itu, kehadiran serta kemajuan teknologi Internet dan media baru dipandang sebagai sebuah alternatif baru bagi warga untuk menciptakan ‘ranah publik’ mereka sendiri secara online. Melalui Internet, ranah publik ‘baru’ diciptakan sebagai perwujudan jaringan dan hubungan antar warga. Internet telah menjadi medium baru dengan esensi yang sebenarnya: menyediakan ruang di mana publik dapat terlibat secara bebas dan dapat menggunakan haknya dalam bermedia, tanpa dikendalikan oleh negara maupun bisnis. Jejaring telah menjadi sebuah norma baru di dalam keterlibatan warga yang dimungkinkan oleh adanya Internet. Saat ini, jejaring tidak hanya sebuah medium, tetapi juga telah menjadi ranah baru yang memungkinkan terjadinya transformasi kekuatan.

Karena kekuatan yang dimiliki oleh jejaring baru ini, Mansell (2001) berpendapat pentingnya untuk melihat lebih jauh lagi mengenai isu akses teknologi dan pengecualian sosial, yaitu dengan mengaitkan diskusi-diskusi mengenai media baru dan kekuatan jejaring dengan diskusi-diskusi mengenai hak asasi manusia, hak warga negara dan pembangunan sosial. Tidak dipungkiri, adanya media baru telah membantu menciptakan bentuk baru demokrasi, bentuk baru res publica; namun dengan adanya kepentingan bisnis dan politik yang memperebutkan kendali atas media baru, kita membutuhkan seperangkat kebijakan yang bertanggung jawab dan dapat memastikan media baru ini tetap mempertahankan ‘karakter publik’ mereka. Satu dari sekian banyak alasan untuk hal ini adalah bahwa dengan kemajuan teknologi baru, batasan antara medium dan pesan menjadi semakin bias, di mana konsekuensi dari hal ini membutuhkan pemikiran ulang yang sangat serius.

2.2 Medium dan Pesan: Pasangan yang Tak Terpisahkan

Pemahaman atas gagasan McLuhan yang mengatakan ‘medium is the message’ dalam dunia media massa dapat ditelusuri kembali ke pemikiran awalnya yang sempat diabaikan, yaitu, ‘Understanding

Media: The Extension of Man’ (McLuhan, 1964). Dengan menggunakan bola lampu sebagai contohnya,

McLuhan menunjukkan bahwa karakteristik yang melekat pada bola lampulah yang memungkinkan manusia untuk menciptakan ‘ruang-ruang’; sebab jika tidak, manusia akan dilingkupi oleh kegelapan.

Ia berpendapat bahwa seperti itulah kita seharusnya memahami media kita. Seperti halnya bola lampu yang tidak memiliki ‘konten’ dapat membantu manusia menciptakan ‘ruang-ruang’ di kegelapan, medium seperti surat kabar atau televisi sendiri memiliki efek sosial, independen terhadap kontennya (McLuhan, 1964: 8). Jika di masa lalu medium dapat dengan mudah dibedakan dari konten atau pesannya, dengan banyaknya medium yang tersedia saat ini, konten tidak lagi merupakan pesan - sebaliknya, medium adalah pesannya. Sebagai ‘perpanjangan tangan dari manusia’ McLuhan berpendapat, medium yang ada saat ini mengkondisikan serta mengendalikan skala dan cara manusia berkumpul serta beraksi, bukan oleh konten yang disampaikan melalui mediumnya, tetapi oleh karakteristik dari medium itu sendiri.

(34)

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 16

membentuk kondisi asosiasi manusia. Bahkan, media menjadi terlalu khusus sehingga “konten” dari setiap medium telah membutakan kita terhadap karakter dari medium itu sendiri (McLuhan, 1964:9).

Gagasan McLuhan ini bermanfaat untuk melihat dan memahami transformasi dan evolusi media serta transformasi masyarakat yang terkena dampaknya. Mulai dari telegraf hingga media cetak dan sekarang Internet, perilaku manusia dalam memproses informasi juga berubah. Dengan menggunakan kerangka dari McLuhan, kita dapat melihat bagaimana perubahan sosial dan perkembangan teknologi mempengaruhi perkembangan media, yang kemudian juga mempengaruhi masyarakat. Kemajuan media adalah sebuah ‘fungsi’ dari teknologi: kemajuan teknologis telah mengubah media (termasuk bagaimana pesan itu disalurkan), yang kemudian akan mengubah masyarakat—apakah itu menjadi lebih baik atau lebih buruk. Oleh sebab itu, yang paling penting dari teori McLuhan adalah adanya empat hal utama yang saling berkaitan (Levinson, 1999: 189), yaitu: (i) aspek masyarakat atau kehidupan manusia, yang dinaikkan atau diperbesar oleh medium; (ii) aspek yang disukai atau menonjol pada medium sebelumnya yang kemudian dipudarkan atau dilenyapkan oleh medium baru; (iii) apa yang dari ketiadaan dikembalikan atau didorong untuk menjadi perhatian oleh medium; dan (iv) apa yang diputar balik, ditukar, atau dikembangkan sampai pada potensi terbaiknya oleh medium ketika ia menjalankan tugasnya. Dampak dari empat inti perhatian ini adalah:

... hampir tidak pernah tunggal. Bahkan, karena media biasanya dikuatkan, dipudarkan, ditarik, dan diputarbalikkan menjadi berbagai hal. Lebih jauh, lebih dari satu medium dapat dikuatkan, dipudarkan, ditarik, dan diputarbalikkan menjadi satu hal yang sama (Levinson, 1999:190).

Kita bisa melihat bagaimana hal ini terjadi dengan mempertimbangkan media-media tertentu. Keberadaan radio telah sedikit menggeser media cetak sebagai sebuah medium di mana radio memancarluaskan informasi kepada khalayak luas pada waktu yang bersamaan.

Proses yang sama berlaku juga untuk medium selanjutnya yaitu televisi, yang tidak hanya menyediakan suara, tetapi juga transmisi gambar yang memberikan informasi secara audio-visual kepada manusia, sehingga keberadaannya menggeser radio. Bahkan, keberadaan televisi juga menggeser bioskop karena dengan televisi, orang dapat menikmati berbagai program acara tanpa harus meninggalkan rumah. Internet juga telah berkembang menjadi sebuah medium baru sebagai hasil dari perkembangan teknologi. Oleh sebab itu, keberadaan Internet —jika kita melihatnya dari kacamata McLuhan—juga telah menggeser televisi.9 Trajektori/arah seperti ini tidak hanya mencerminkan transformasi teknologi

di masyarakat, tetapi juga transformasi pengalaman khalayak terhadap mediumnya. Hal ini juga mencerminkan saran McLuhan bahwa setiap medium “menambahkan apa yang mereka bawa kepada

apa yang sudah ada”, membuat amputasi dan ekstensi indera perasa dan fisikalitas manusia menjadi

nyata, memberikan bentuk baru pada indera manusia (McLuhan, 1964: 11).

Ketika medium berkembang melalui sebuah ‘jejak ketergantungan’, dampak dari setiap medium menjadi agak terbatas oleh kondisi sosial sebelumnya di mana medium tersebut berada, menambahkannya, dan memperkuat proses yang sudah ada. Hal ini menjelaskan mengapa kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda mengalami transformasi yang berbeda-beda juga, meskipun melalui medium yang sama. Sementara pengaruh satu medium di masyarakat sangat signifikan, adalah tidak mungkin untuk mengerti mekanisme yang bekerja di dalamnya, kecuali dibuatnya penegasan pada ‘prinsip-prinsip dan jalur-jalur kekuasaan’ dari medium (atau struktur) yang ada. Dan bagi McLuhan (1964) hal ini hanya bisa dilakukan dengan memposisikan diri kita di luar, terlepas dari lingkup mediumnya, terutama karena medium ini sangatlah kuat sehingga dapat menerapkan “asumsi, bias dan nilai-nilai” (h. 15) kepada khalayak yang tidak kritis. Oleh karena itu, mengambil posisi yang terlepas dari medium memungkinkan kita untuk memperkirakan dan mengendalikan efek-efek dari suatu medium.

Gambar

Tabel 4.1 Kelompok media utama di Indonesia: 2011* Ini adalah bisnis lain yang juga dijalankan oleh perusahaan media/pemilik mediaSumber: Penulis, dari berbagai sumber
Gambar 4.1 Kebijakan dan Industri Media: Rentang Waktu.Sumber: Penulis (Gambar ini juga dapat dilihat di laporan lainnya, Nugroho, et al [2012]).
Gambar 4.2 Pangsa Pemirsa TV Lokal dan Nasional di Indonesia: 2005-2010.Sumber: Penulis; disunting dari Nielsen (2011b:2-3).
Gambar 4.3 Struktur jaringan kepemilikan media di Indonesia: 2011.12 kelompok. Network measures: N=481; d=0.2504052; 193-core; Kamada-Kawai ‘separate component’ layout
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui ada atau tidaknya source bias dalam pemberitaan korupsi Wisma Atlet pada SKH Media Indonesia , penelitian dilakukan dengan melihat sisi peliputan yang digunakan

Hasil penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. 1) Paling tidak terdapat tiga representasi penanda hegemoni estetika rasisme dalam iklan di media massa

STRATEGI PROPAGANDA AMERIKA SERIKAT MELALUI MEDIA VOA (VOICE OF AMERICA) DI INDONESIA (Studi pada Pemberitaan VOA Indonesia mengenai isu Islam Masa Pemerintahan Barack Obama)..

Media massa yang diamati tidak dibatasi oleh media-media yang telah diungkapkan di atas, tetapi juga mencakup karya jurnalistik di media massa lain yang setara atau berada

Para pekerja anak media dituntut untuk bekerja secara professional tanpa adanya pertukaran yang sepadan antara pekerjaannya dengan hasil yang didapatkan oleh

Khotimatunnisa dkk mengemukakan pelaksanaan model pembela- jaran time token dengan menggunakan media photo story dalam peningkatan keterampilan bercerita siswa kelas IV SD

Sistem media alternatif yang demokratis dibangun atas landasan lima sektor jenis media, yakni dengan inti sektor media pelayanan publik (public service media), sektor civic

Penulis mengemukakan media massa sebagai alat untuk kontrol sosial didasarkan pada pemikiran pribadi bahwa alat komunikasi seperti televisi, radio, dan surat kabar