• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebangkitan Media Komunitas dan Kedatangan Media Baru

Seiring dengan bertumbuhnya industri, jumlah televisi lokal dan stasiun radio komunitas pun meningkat. Pada tahun 2002, Asosiasi Televisi Lokal Indonesia didirikan dengan hanya 7 anggota; pada tahun 2011 jumlah anggotanya bertambah menjadi 41. Meskipun demikian, banyak stasiun televisi lokal lain yang tidak menjadi anggota dari asosiasi ini. Kebutuhan akan konten lokal adalah alasan munculnya televisi lokal dan stasiun radio komunitas. Selama masa pemerintahan Soeharto, televisi lokal hampir tidak mungkin berkembang, hal ini disebabkan karena televisi merupakan alat politik untuk mengendalikan masyarakat, dan oleh sebab itu kontennya adalah propaganda politik pemerintah. Saat ini, program- program di stasiun televisi nasional hanya berisi propaganda bisnis. Mulai dari berita hingga sinetron, terlihat jelas adanya kecenderungan konten yang ‘kota-sentris’, ‘Jawa-sentris’, atau ‘modern- sentris.’ Inisiatif televisi lokal dan stasiun radio komunitas berusaha untuk memperbaikinya dengan menyediakan informasi yang lebih relevan dengan kebutuhan khalayaknya. Seiring berjalannya waktu, TV lokal mulai dapat mengambil porsi pemirsa TV nasional, meningkat dari rata-rata 2,1% pada tahun 2005 menjadi 3,2% dari jumlah total pemirsa pada tahun 2008 – tetapi kemudian turun ke angka 2,5% pada tahun 2010. Lihat Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Pangsa Pemirsa TV Lokal dan Nasional di Indonesia: 2005-2010. Sumber: Penulis; disunting dari Nielsen (2011b:2-3).

Setelah adanya peningkatan yang relatif konsisten pada share pemirsa televisi lokal selama tahun 2005-2008, pemerintah mengeluarkan PP no. 28/2008 mengenai prosedur dan persyaratan untuk mendirikan institusi penyiaran. Kita tidak pernah bisa mengetahui apakah Peraturan ini memiliki konsekuensi langsung, tetapi data menunjukkan bahwa share pemirsa televisi lokal menurun pada saat diberlakukannya peraturan tersebut dan bahkan semenjak itu, menjadi cenderung stagnan. Satu hal yang dapat terlihat dengan jelas adalah bahwa stasiun-stasiun televisi lokal sulit untuk bertahan, dan jumlah stasiun televisi lokal serta kanal-kanal media lain telah menurun karena ketidakmampuan

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 42

mereka untuk bersaing dalam bisnis media. Dari sekian faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini, di antaranya adalah sumber daya manusia dan permodalan: kebanyakan stasiun lokal tidak memiliki faktor-faktor tersebut untuk mempertahankan bisnisnya, sehingga pada akhirnya mereka diambil alih oleh grup-grup media yang lebih besar.

... kalau menurut saya kendalanya adalah modal dan jumlah penduduk [yakni] jumlah penduduk yang menjadi target audience dari TV lokal tersebut. Tapi [itu berarti] jumlahnya mungkin cuma beberapa ribu orang. Nah itu nggak cukup untuk menopang sebuah TV lokal di situ. Tapi [untuk] TV nasional bisa-bisa aja karena [walau misalnya] dia rugi di satu tempat tapi untung di tempat lain, gitu. Nah, itu lah… jadi tantangannya yaitu karena TV lokal menurut saya nih butuh kelokalan audience-nya (E. Sambuaga, Ex-CEO Beritasatu Media Holding, wawancara, 11/10/11, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Lihat juga Kotak 1.

Hambatan lain dalam perkembangan televisi lokal adalah terbatasnya alokasi kanal frekuensi dari pemerintah. Idealnya, setiap wilayah memiliki alokasi 14 kanal frekuensi, di mana 10 kanal dialokasikan untuk stasiun televisi nasional, 1 untuk TVRI, 2 kanal untuk digital dan hanya tersisa 1 kanal untuk televisi lokal (KPI, 2008). Situasi inilah yang menghalangi perkembangan televisi lokal.

Media, sebagai ‘Pilar Keempat’ sebuah negara (Carlyle, 1840:892; Schultz, 1998:48) memainkan peran yang sangat penting pada masa demokrasi yang masih belum matang, seperti di Indonesia. Terlepas dari masalah-masalah yang ada, perkembangan media di negara ini telah membuka ruang baru di mana warga negara dapat menyampaikan aspirasi mereka dengan bebas. Khususnya dengan adanya perkembangan pesat dari Internet. Internet telah memungkinkan warga negara untuk mengklaim kembali ranah publik yang telah ‘tercuri’ dari mereka, terlepas dari fakta bahwa ranah tersebut adalah

online’ (Hill, 2003; Hill dan Sen, 2000; 2002; Lim, 2002: 2003a). Internet telah diadopsi secara signifikan

tidak hanya oleh sektor publik dan swasta tetapi juga oleh berbagai organisasi masyarakat sipil untuk terlibat dalam aktivisme sipil (Hill, 2003; Hill dan Sen, 2000; 2002; Lim, 2003b, 2004; Nugroho, 2008, 2010a, 2010b; 2011b)

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 43

Meskipun begitu, hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Ranah publik yang dimungkinkan dengan adanya Internet, adalah juga sebuah arena persaingan. Freedom House Institute dalam laporannya tahun 2011 menyebutkan bahwa status kebebasan Internet di Indonesia sebagai ‘bebas sebagian’ (Freedom House, 2011). Status ini mengindikasikan bahwa meskipun tidak ada sensor politis yang substansial, beberapa kasus yang terjadi berujung pada penahanan terhadap sejumlah netizens (blogger dan pengguna online). Satu kasus yang paling banyak dikutip adalah ketika Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga, dituduh melakukan pencemaran nama baik oleh sebuah rumah sakit swasta. Tuduhan ini diberikan karena sebuah e-mail yang dikirimkan Prita kepada teman-temannya mengenai buruknya pelayanan yang diterima Prita ketika dirawat di rumah sakit tersebut. Tuduhan ini didasarkan pada pasal 27 dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No 11/2008.

Akibat dari maraknya persebaran kasus yang mengejutkan ini, warga melawan dengan membuat gerakan Koin untuk Prita, yang disebarkan ke berbagai kota dengan menggunakan media sosial dan web 2.0, khususnya Facebook, Twitter dan Blog.

Kasus Prita hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi. Media sosial telah diadopsi dengan luas oleh masyarakat sipil dan dalam batas-batas tertentu telah membentuk karakter keterlibatan warga dalam ruang sipil kontemporer (lebih detail mengenai hal ini, lihat Nugroho, 2011a). Apa yang penting di sini adalah bahwa media baru berbasiskan Internet telah menyediakan ruang yang sebetulnya dapat disediakan oleh media konvensional.

Pada akhirnya, kini terbukti banyak media konvensional yang masuk ke dunia online dan menyediakan jasa-jasa mereka melalui Internet. Kami akan mendiskusikan hal ini di bagian selanjutnya.

Kotak 1. Mengapa Industri Media Mengakuisisi Televisi Lokal

Masalah terbesar di industri media adalah bagaimana mereka dapat menyampaikan konten kepada para end-user/pengguna terakhir, dalam hal ini, warga negara. Dalam industri telekomunikasi dan televisi, penyampaian konten kepada end-user ini disebut sebagai ‘last mile.’

Karena terbatasnya jumlah frekuensi untuk penyiaran, cara lain untuk menyampaikan konten kepada end-user tanpa menggunakan frekuensi adalah melalui serat optik dan kabel telepon. Kedua bidang ini dikendalikan oleh badan-badan usaha milik negara: Pe- rusahaan Listrik Negara (PLN) dan anak perusahaannya Icon Plus, serta PT Telekomu- nikasi Indonesia atau PT Telkom. Dengan menggunakan serat optik dan kabel telepon, perusahaan-perusahaan media akan dapat menyampaikan kontennya pada hampir se- luruh rumah tangga di Indonesia, tanpa harus khawatir mengenai alokasi frekuensi. Meskipun begitu, karena dua badan usaha milik negara ini sangat sulit untuk ditembus oleh perusahaan-perusahaan media, maka pemilik media mengambil alternatif lain: melalui satelit, atau dengan mengakuisisi stasiun-stasiun televisi lokal – yang mana mereka sudah memiliki izin resmi penggunaan frekuensi yang dialokasikan untuk mere- ka. Proses akuisisi televisi-televisi lokal ini dilakukan melalui jual-beli saham, sehingga perizinan untuk menggunakan frekuensi televisi lokal dapat dipindahtangankan kepada pembeli saham. Hal ini telah menjadi praktik yang umum dilakukan industri media, sep- erti yang diungkapkan oleh seorang narasumber kami:

“Beberapa grup besar sudah mempraktikan skema ini. Media Group, bareng sama Hary Tanoe dari MNC Group itu sudah mengumpulkan 17 TV lokal di group mereka. Lippo lagi proses untuk akuisisi TV lokal dan radio lokal” (Wawancara tertutup, Oktober 2011). Pendek kata, stasiun televisi lokal telah menjadi perpanjangan tangan dari kelompok media yang lebih besar untuk dapat menjangkau end-user.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 44