• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Hak Warga Negara Terhadap Media

Peran Pemerintah

Kotak 5. Skema Agenda Setting

5.6 Menuju Hak Warga Negara Terhadap Media

Bagaimana media sekarang, jurnalisme konvensional gagap dengan situasi ini. Serbuan informasi, kecepatan, kredibilitas... ya memang masih pembicaraan [dan] pertanyaan apakah jurnalisme warga kredibel. Tapi [sebenarnya] jurnalisme mainstream juga nggak kredibel kok. So what? Ya kita sama- sama nikmati [saja] chaos informasinya (DD. Laksono, WatchDoc, wawancara, 21/09/2011 huruf miring ungkapan asli narasumber).

Situasi industri media saat ini adalah, media tumbuh sebagai institusi yang berbasis keuntungan. Maka dari itu, kepentingan publik sepertinya hanya menjadi ruang kecil saja dalam media. Satu harapan bagi hak warga negara dalam bermedia muncul melalui kebijakan yang berorientasi-publik. Tetapi, kebijakan yang baik tidak selalu terlaksana dengan baik: seringkali peraturan pelaksana yang ada berlawanan dengan UU-nya sendiri, menyebabkan pudarnya semanngat kebijakan yang berorientasi publik tersebut. Hal ini dapat diamati dari keterhubungan antara UU Penyiaran no. 32/2002 dan Peraturan Pemerintah PP no. 50/2005.

Apakah media mewakili publik? Sejauh mana media mencerminkan kepentingan publik? Ini adalah beberapa pertanyaan sulit yang membombardir perusahaan-perusahaan media swasta. Kebanyakan bisnis media hidup dari profit dan permintaan pasar yang dihasilkan melalui konten. Memuaskan permintaan ini merupakan kewajiban, meskipun hal ini seringkali harus dilakukan dengan cara memproduksi konten dengan rating tinggi walaupun konten tersebut ‘kurang berbudaya’ dibanding jenis konten lainnya. Acara-acara berita yang sensasional dan sinetron merupakan contoh nyata dari konten yang kurang membudayakan. Media Indonesia sangat membutuhkan reformasi mendasar, bukan hanya revitalisasi. Jika arah yang ada saat ini terus berlanjut, media akan benar-benar berhenti mendidik dan meningkatkan kebudayaan masyarakat, sebaliknya, media akan menurunkannya menjadi budaya masyarakat yang banal, voyeuristik dan berselera rendah. Namun, perlu dua orang untuk menari tango. Reformasi media sendiri tidaklah cukup. Warga negara sendiri juga perlu bertindak berkenaan dengan media ini. Dimulai dengan literasi media, yaitu cara kita, sebagai warga negara, melihat media:

Permasalahannya di Indonesia ini kontrol publik ini belum kuat. Dalam artian bahwa media literacy

kita itu masih lemah. Oleh karena itu, tidak adanya sense of belonging dari masyarakat terhadap media [jadi faktor penting]. Masyarakat masih melihat media itu sebagai institusi bisnis, media sebagai

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 84

properti pribadi milik pemiliknya. Masyarakat belum tumbuh kesadarannya bahwa media itu sebagai institusi sosial. Nah jadi tidak ada public demand terhadap media yang benar–benar menggambarkan kepentingan publik (A.Sudibyo, Dewan Pers, wawancara, 27/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Literasi media ini perlu diikuti dengan sebuah strategi untuk mendorong reformasi, dengan menuntut konten yang lebih baik;

Industri itu juga dipengaruhi oleh dialektika antara kekuatan politik, masyarakat sendiri dan industri sendiri. Kalau tidak ada public demand terhadap media yang lebih sehat, dewasa dan yang lebih etis, memang sulit untuk mendorong industri media ini menjadi baik (A.Sudibyo, Dewan Pers, wawancara, 27/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Mengapa semua ini penting? Seperti yang disampaikan Herman dan Chomsky (1988), mereka yang dianggap berjasa dan berkuasa ditampilkan secara dramatis dan menyolok di media; mereka dimanusiakan, dan cerita-cerita mereka dikonstruksi secara detail dalam konteks tertentu sehingga memunculkan ketertarikan dan respon simpatik dari pembaca. Sebaliknya, pihak-pihak yang dianggap kurang ‘menjual’ hanya mendapatkan detail yang sedikit, pemanusiaan yang seadanya dan dalam sedikit konteks yang memunculkan ketertarikan serta amarah pemirsa (h. 35). Isu-isu seperti pelanggaran hak azasi manusia di Papua atau pembunuhan pengikut Ahmadiyah tidak terlalu diperlakukan sebagai sebuah isu yang penting dan patut diketahui oleh sebagian besar media arus utama, meskipun isu-isu ini sangat penting bagi warga negara Indonesia.

Kemiskinan akut dan sanitasi yang buruk jarang ditampilkan sebagai topik utama dalam konten, dan meskipun berita tersebut diangkat, pemberitaan ini tidak akan bertahan lama. Isu-isu seperti ini (misalnya pelanggaran hak azasi manusia dan kemiskinan) sangat jarang muncul dibandingkan liputan- liputan berita mengenai korupsi yang tampaknya kurang relevan terhadap kehidupan warga negara/ pemirsa. Dengan kata lain, warga negara ‘dijinakkan’ melalui isu-isu arus utama dan dialihkan dari isu- isu yang lebih relevan untuk mereka, seperti pendidikan politik, yang meskipun diberitakan tidak akan dipertahankan untuk jangka waktu lama.

Karena saat ini memang sangat elitis, karena tidak ada media manapun yang kita lihat berorientasi pada kepentingan publik, jadi membela rakyat kecil, membela buruh, membela petani kecil itu tidak ada (A.Armando, Former KPI member, wawancara, 27/10/2011).

Kutipan di atas menggambarkan seperti apa industri media kita saat ini. Media kita telah kehilangan esensinya sebagai medium publik dan telah semakin menyerupai medium privat. Tentunya, ini bukanlah bagaimana seharusnya media bekerja.

Dalam situasi seperti ini, tidaklah berlebihan untuk mencari alternatif dari media komunitas.

...Saya kira dari komunitas selalu mengatakan bahwa media akan menjadi relevan di masyarakat karena media sangat dekat dengan masyarakat di mana mereka ada. Dari sisi interaktivitas media

dan audience-nya juga menimbulkan adanya rasa emosional yang sama. Lalu komunitas ini menjadi

care dengan media-media komunitas ini. Nah, saya kira media yang baik adalah media yang seperti itu. Tapi kalau kita bicara mengenai skala industri, skala nasional, cerita macam apa yang dapat dihasilkan? Ya, transaksional saja. Tapi kalau level radio komunitas, riil yang seperti itu. Lalu adanya peluang perkembangan ekonomi yang maju, konvergensi yang seperti ini memberikan peluang yang lebih besar kepada masyarakat (I.Haryanto, LSPP, Wawancara, 22/08/2011, huruf miring ungkapan asli

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 85

narasumber).

Media komunitas memiliki potensi untuk menjadi sebuah bentuk jurnalisme warga dan sebagai alat untuk menerapkan hak warga negara, terutama di daerah pedesaan. Bentuk lain dari jurnalisme warga adalah radio berjaringan. KBR68H, yang dikenal sebagai radio berjaringan terbesar di Indonesia (Lim, 2011), adalah sebuah fasilitas jurnalisme radio warga yang berkualitas dan beroperasi melalui 910 jaringan yang terdiri dari 600 radio lokal dari Aceh hingga Papua, dan 250 jaringan radio yang tersebar di 11 negara di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Australia. Keberhasilannya telah membuktikan bahwa warga negara dapat menjadi partisipan yang aktif dalam media. Kasus media komunitas dapat menghambat proses di mana ekonomi politik media dan kebangkitan ‘akar rumput’ telah berinteraksi sebagai hasil dari proses dialektika yang melekat pada hakikat media demokratis.

Kemunculan Internet, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, telah mengubah lanskap partisipasi warga negara di semua sektor masyarakat termasuk media. Namun teknologi sendiri juga telah memberikan dorongan munculnya jenis media baru –media online– yang secara substansial berbeda dari media konvensional. Melanjutkan diskusi mengenai perkembangan media di Indonesia, bab berikut ini akan membahas lebih detail mengenai perkembangan media online di Indonesia.