• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses untuk Mendapatkan Izin Radio Komunitas

Peran Pemerintah

Kotak 4. Proses untuk Mendapatkan Izin Radio Komunitas

1. Mengambil buku panduan proses administratif untuk radio komunitas di kantor KPID terdekat atau di KPI Pusat.

2. Formulir pengajuan izin dan dokumen-dokumen penting lainnya diserahkan ke KPID atau KPI Pusat.

3. Verifikasi administratif—seperti informasi pemilik saham, untuk memastikan bahwa tidak ada investor asing dalam daftar pemegang saham. Modal asing diperkenankan oleh hukum hanya untuk pembangunan, bukan untuk pendirian dan program-pro- gram institusi.

4. Verifikasi faktual—pengecekan dokumen administratif di lapangan. 5. Evaluasi Dengar Pendapat – forum antara pemohon dan KPI. 6. Evaluasi Internal oleh KPI.

7. Forum Rapat Bersama—forum antara KPI dan Kominfo. 8. Siaran percobaan.

9. Evaluasi siaran percobaan oleh KPI. 10. Pemberian izin IPP.

Sumber: Panduan Prosedur Administratif Permohonan IPP Lembaga Penyiaran Komuni- tas dikeluarkan oleh KPI; ada di http://suarakomunitas.files.wordpress.com/2008/05/pand- uan-lp-komunitas-11-september-20052.pdf

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 79

Proses untuk mendapatkan izin resmi yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa radio komunitas harus menempuh jalan yang panjang dan berliku untuk dapat bersiaran secara legal. KPI juga memainkan peran penting dalam mengeluarkan IPP; yang artinya radio komunitas harus menunggu putusan dari Jakarta karena KPID tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan izin. Semua proses ini, ditambah lagi masalah-masalah serta tantangan internal yang telah disebutkan di atas, merupakan proses yang melelahkan bagi radio komunitas. Tetapi mungkin inilah titik pentingnya. Jika radio komunitas adalah perwujudan murni akan kebutuhan warga di dalam komunitas, mereka akan tetap bertahan terlepas dari seberapa sulit proses yang dihadapinya.

Ya pertanyaannya ini kan kembali ke sejarah mendirikan radio komunitas. Kita coba belajar sejarah lah. Mendirikan radio itu menjadi kebutuhan atau keinginan? Ini pertanyaan yang harus dijawab. Kalau jadi keinginan, beberapa kelompok [memang] bisa [men]dengar[kan] radio komunitas. Tapi kemudian [jika] mati dan sebagainya kan masyarakat tidak tanggung jawab. Tapi kalau [radio komunitas itu jadi] kebutuhan, maka masyarakat akan jadi butuh, masyarakat akan ikut ngopenin [merawat –red], masyarakat akan [punya] rasa memiliki, masyarakat jadi bagian dari radio itu sendiri. Maka tidak akan itu radio mati (Mardiyono, Ketua, JRKY, wawancara, 15/12/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber) Kesimpulannya, kesinambungan radio komunitas, seperti halnya media komunitas lain, bergantung pada hubungan antara medium tersebut dan warga. Sebagaimana radio komunitas memungkinkan dan memfasilitasi keterlibatan warga, sebaliknya, komitmen wargalah yang menjadi faktor penting bagi bertahannya sebuah radio komunitas.

5.5 Isu-Isu Penting Perkembangan Media Konvensional di

Indonesia

Setelah memetakan perkembangan media konvensional di Indonesia, kami dapat mengidentifikasi sejumlah isu penting. Pertama adalah keprihatinan terhadap terlihat jelasnya motif profit yang menggerakkan perkembangan media. Hal ini terwujud dalam peningkatan konsentrasi kepemilikan yang signifikan. Bersamaan dengan hal ini, kendali dan intervensi pemilik untuk menyampaikan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok medianya tetap kuat dan bahkan semakin kuat, sementara kepentingan publik menjadi dinomorduakan. Media melindungi kepentingan modal mereka lebih dari segalanya, meskipun dengan resiko bahwa media akan kehilangan karakter publiknya. Kedua, rating yang menyetir konten. Barangkali terlihat nyata di televisi, bahwa rating telah mempengaruhi produksi konten dalam media kontemporer, seperti yang ditunjukkan oleh pangsa pemirsa. Tetapi, rating yang tinggi mengarah pada terjadinya duplikasi konten yang kemudian mengakibatkan berkurangnya keberagaman yang berhak untuk didapatkan warga negara dari media. Wajah televisi kita yang saat ini banyak diwarnai oleh sinetron, merupakan konsekuensi langsung dari media yang berbasiskan rating. Kajian cermat kami menunjukkan bawah media lain juga mengalami masalah yang sama – pangsa pembaca di surat kabar, pangsa pendengar di radio dan perhitungan jumlah pengunjung di media online adalah hal-hal yang cenderung lebih menentukan konten melalui

rating, daripada perhatian terhadap kualitas konten itu sendiri.

Ketiga, kebijakan-kebijakan kontradiktif yang tidak tegas. Kasus siaran berjaringan menunjukkan upaya dan cara pemerintah mengatur media. Akan tetapi, mungkin secara tidak sengaja, kebijakan-kebijakan itu dijalankan dan diubah tanpa pertimbangan yang matang mengenai dampaknya pada industri dan pada warga negara.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 80

Dengan Undang-Undang Penyiaran tahun 1997 [TV kami] disuruh [bersiaran secara] nasional. Dulu ANTV ini kan izinnya lokal Lampung, [seperti] SCTV Surabaya. Tapi dengan Undang-Undang No 24 tahun 1997 itu, Undang-Undang Penyiaran, semuanya disuruh [bersiaran] nasional. Pindahlah semua posisi induk jaringannya ke Jakarta. [Ini semua] disuruh loh. Lalu kemudian dengan Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 disuruh lokal lagi (Z. Lubis, ANTV, wawancara, 16/11/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Meskipun dapat diargumentasikan bahwa cukup sulit bagi industri untuk mengikuti dan menyesuaikan diri dengan Peraturan maupun Perundangan yang cepat berubah, namun sudah seharusnya peraturan itu ada untuk diikuti. Apa yang seringkali terjadi adalah, industri mengabaikan peraturan yang tidak sejalan dengan mereka dan sebagai bentuk pertahanan, mengambil peraturan lain yang lebih sesuai dengan strategi bisnisnya. Undang-Undang Penyiaran No. 32/2002 merupakan satu contoh jelas di mana pengabaian ini terjadi. Semangat demokrasi tercantum jelas dalam Undang-Undang tersebut, tetapi ketika pemerintah menetapkannya menjadi peraturan (PP no. 50/2005), yang tercantum di dalamnya sangat berlawanan dengan UU itu sendiri.

Kalau saya melihatnya, peraturan pemerintah yang dibuat itu sudah banyak melenceng dari undang- undang penyiarannya. Jadi, yang harus direvisi itu PP-nya bukan undang-undang penyiarannya (I. Haryanto, LSPP, wawancara, 26/10/2011).

Sayangnya, kontradiksi peraturan ini dieksploitasi oleh industri demi kelanjutan bisnis mereka. Praktik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dan pemerintah nyaris tidak melakukan apa-apa. Di hadapan media, regulasi menjadi tidak bergigi.

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 81