• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alasan untuk konglomerasi?

Karena visi kita [tentang konvergensi] sebetulnya itu satu hal yang nggak terelakkan. Jadi kita masuk ke arah sana. Tapi ini memang butuh satu penyesuaian yang luar biasa. Karena untuk bisa konvergensi itu mensyaratkan adanya satu newsroom bersama. Satu newsroom. Karena [tanpa] itu akan sangat menyulitkan... Tapi belum ada satu pola yang bisa kita tiru (N. Patria, Vivanews, wawancara, 17/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Meskipun sebagian besar kelompok media memiliki kanal-kanal media sendiri, hal ini tidak berarti jalan menuju konvergensi menjadi mudah. Industri media harus memasukkan konvergensi sebagai bagian dari strategi pengembangan bisnisnya, dan memasukkannya ke dalam rencana bisnisnya, seperti yang dijelaskan oleh mantan CEO BeritaSatu Media Holding:

Strategi bisnisnya sih pada umumnya kita melihat … konvergensi sebagai sesuatu yang nggak bisa dihindari. … Karena nggak bisa dihindari itu, [maka] kita [harus] memikirkannya dan memasukkannya ke dalam business plan itu dari awal (E. Sambuaga, wawancara, 12/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Konvergensi juga menyatukan industri-industri lain seperti IT, telekomunikasi, dan industri penyedia konten (yaitu industri media—cetak, televisi dan radio). Dengan penyatuan semua platform ini, satu perusahaan harus siap dengan semua kanal, dan hal ini membuat ekspansi bisnis menjadi satu pilihan yang menarik. Konvergensi telah memaksa industri media untuk siap dengan infrastruktur, karena infrastruktur memainkan peran sentral di sini. Beberapa perusahaan media sudah siap; konten mereka sudah siap untuk dikemas ulang dan didistribusikan ke seluruh kanal, tetapi perusahaan- perusahaan media lain masih harus mengembangkan infrastrukturnya untuk dapat melakukannya. Hal ini menjelaskan peningkatan jumlah merger dan akusisi yang akhir-akhir ini banyak terjadi di industri media di Indonesia, terlepas dari lambatnya tanggapan para pembuat keputusan terhadap hal ini. Ke depan itu kan nanti cuma akan ada dua pihak, content provider dan network provider ya. Di Undang- Undang, di Rancangan Undang-Undang Konvergensi dalam arti kayak [yang] ada sekarang, itu yang sedang diperdebatkan apakah nanti satu pihak hanya boleh menjadi content provider saja, atau dia [boleh] memilih menjadi content provider atau memilih [menjadi] network provider (Z. Lubis, ANTV, wawancara, 16/11/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

ANTV, sebagai bagian dari Visi Media Asia di bawah Kelompok Bakrie & Brothers dipandang sebagai satu dari sekian perusahaan yang telah mempersiapkan diri untuk menjadi penyedia konten dan penyedia jaringan. Kelompok Bakrie juga memiliki perusahaan telekomunikasi (Esia) dan ISP (Aha) yang dapat digunakan sebagai penyedia jaringan untuk kelompok medianya. Serupa dengan itu, akuisisi detik.com

oleh CT Group adalah satu cara untuk menambah kanal baru ke dalam kelompok yang sudah ada. CT Group telah dikenal sebagai pemain yang kuat di industri televisi. Dengan membeli detik.com (media

online terbesar yang ada di Indonesia)38 grup ini akan mengendalikan dua kanal yang kuat: televisi dan

media online. Dan sepertinya hanya soal waktu saja sebelum kelompok ini membeli atau mengakuisisi perusahaan media cetak, seperti yang dispekulasikan oleh seorang jurnalis senior berikut ini:

... Sehingga memang konsolidasinya terjadi koran-TV, koran-TV. Hampir semua TV kan punya koran. Chairul Tandjung itu ingin sekali membeli Jawa Pos... Dia baru bisa beli Detik, belum bisa Jawa Pos, 38 Berdasarkan alexa.com, detik.com adalah portal berita online yang paling banyak dikunjungi.

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia113

Jadi libido untuk punya koran besar sekali si Chairul Tandjung. Ya Dahlan Iskan juga tahu. Dia nggak akan jual Jawa Pos (DD. Laksono, WatchDoc, wawancara, 26/09/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Kelompok Kompas Gramedia, satu dari perusahaan media cetak terbesar di Indonesia, juga mendirikan KompasTV pada tahun 2011 dengan platform jaringan lokal. KompasTV bekerjasama dengan stasiun televisi lokal dan berbagi konten dengan skema 70—30 di mana Kompas menyediakan 70% program dan 30% dialokasikan untuk konten lokal. Kompas telah memiliki kanal media online sendiri: kompas. com. Ketiga kanal ini – surat kabar, media online dan televisi – diatur dan dikembangkan searah dengan strategi konvergensi, seperti yang disampaikan oleh eksekutif KompasTV kepada kami:

Dalam arti gini, kalau kita nggak muncul di TV, maka penonton akan kehilangan [kesempatan] untuk mendapatkan sesuatu yang bagus. [Itu kalau] kita berpikir dari external view. [Dari] internal view-nya kita akan merasa ditinggalkan atau tertinggal, karena Kompas Cetak ini sebetulnya akan mati. Jadi [sudah] disadari [sekarang] ini bahwa [pada] suatu masa nanti orang tidak akan membaca Kompas Cetak. Lebih banyak online, lebih banyak audio visualnya. Jadi mau tidak mau harus diambil tantangan [konvergensi] itu (B. Nugroho, wawancara, 12/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber). Kami memetakan jejaring Kompas sebagai berikut.

Gambar 7.1 Jejaring media Kompas: 2011.

Statistik jejaring: N=118; d=0.24289; 44-core; Kamada-Kawai ‘separate component’ layout. Sumber: Penulis

Terlihat jelas, Kompas memiliki kendali kuat atas banyak kanal media yang berbeda. Ketika konvergensi teknologi mungkin masih membutuhkan beberapa langkah untuk menjadi sempurna (seperti yang disampaikan Bimo di atas), konvergensi kanal (dan oleh sebab itu termasuk bisnisnya juga) sepertinya sudah berjalan di jalur yang benar.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 114

Kami dapat membayangkan bagaimana konvergensi media mempengaruhi industri media. Kelompok- kelompok media besar dengan modal yang kuat bisa memperluas jaringan mereka dengan mengambil kanal-kanal yang tidak mereka miliki sebelumnya. Tetapi apa yang akan terjadi pada perusahaan- perusahaan media kecil yang tidak memiliki cukup modal untuk menambah kanal baru? Besar kemungkinan, mereka akan menyerah pada kelompok yang lebih besar. Bahaya yang muncul akibat integrasi media ada dua: penurunan dalam kualitas jurnalisme, dan keseragaman konten, yang dapat merusak keberagaman informasi yang dibutuhkan masyarakat.

Jadi isunya adalah dengan media makin dikuasai oleh network provider yang saat ini dikelola oleh orang- orang yang bukan berbasis jurnalistik atau punya idealisme jurnalistik, maka wartawan akan dipaksa untuk hanya memproduksi konten-konten yang bisa menghasilkan uang, dan rating itu isunya. Dan isu yang sama juga bisa terjadi di Indonesia, nggak bisa ditahan karena [memang] era-nya seperti itu (Z. Lubis, ANTV, wawancara, 16/11/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Jelas, ada kaitan yang kuat antara konvergensi dan konglomerasi. Seperti yang sudah disampaikan oleh beberapa pihak, konvergensi adalah teknologinya, sementara konglomerasi adalah bisnisnya. Dampak dari keduanya bisa sangat merusak.