• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah-Masalah Utama yang Dihadapi Media Online dan Media Baru

Jurnalisme Warga dan Pengawasan Media Mainstream

6.3 Masalah-Masalah Utama yang Dihadapi Media Online dan Media Baru

Setelah mengelaborasi perkembangan media online dan media baru, kami akan menjelaskan secara singkat beberapa masalah kunci yang dihadapi oleh perkembangan ini. Pertama, regulasi dan

infrastruktur. Masih banyak debat mengenai bagaimana membuat aturan dan regulasi untuk media

online dan media baru. Meskipun nantinya akan muncul sebagai debat teknis yang sempit, kenyataannya,

adanya peraturan memiliki implikasi besar bagi inovasi, kebebasan bicara dan pertumbuhan ekonomi dari media online. Masa depan media online mungkin sangat ditentukan oleh apa yang dihasilkan dari debat ini.

Secara sejarah, negara sering dianggap sebagai musuh utama dari kebebasan berekspresi individu, sementara pada saat yang bersamaan negara melalui Undang-Undang Dasar dan sistem hukum juga telah menjadi penjamin kebebasan yang efektif dan penting (van Cuilenburg dan McQuail, 2003:4). Hal ini mencerminkan bagaimana pentingnya sebuah regulasi, terutama di era Internet saat ini. Sebesar apapun kebebasan yang dibawa oleh Internet, regulasi dan tata kelola Internet tetap dibutuhkan. Bukan untuk membatasi kebebasan yang melekat di dalamnya tetapi untuk memastikan bahwa ia digunakan secara tepat. Dalam hal regulasi, pemerintah sepertinya tidak mampu mengejar kecepatan perkembangan media online. Hasilnya, peraturan pemerintah mengenai media online seringkali bersifat reaktif.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 98

UU ITE adalah kebijakan pertama yang memfokuskan pada regulasi dunia siber yaitu Internet dan penggunaannya. Regulasi ini dirancang untuk melindungi transaksi keuangan dan kegiatan-kegiatan yang menggunakan medium Internet. Melalui UU ini, pemerintah bermaksud untuk mengurangi kejahatan di dunia maya dan skema digital lainnya yang membahayakan warga negara di Internet. UU ini banyak dikritik karena ia berisi istilah-istilah yang ambigu, terutama pada pasal-pasal pencemaran nama baik. Di sisi lain, Kode Etik untuk Jurnalisme Online yang dikeluarkan oleh Dewan Pers diharapkan dapat menjadi regulasi yang dapat diandalkan, khususnya untuk media berita online.

Mengatur dunia online sendiri memang problematik. Di satu sisi, peraturan sepertinya hanya akan berdampak pada sebagian kecil warga negara saja. Di sisi lain, dunia online dapat mempunyai dampak yang sangat besar pada dunia offline – termasuk pada mereka yang tidak terlibat dengan dunia online

sama sekali. Selain konten, aspek lain yang mengaitkan dua dunia ini adalah infrastruktur. Regulasi mengenai infrastruktur Internet seperti ISP (Internet Service Provider/Penyedia Jasa Internet) dan NAP

(Network Access Point/Titik Akses Jaringan) pada kenyataannya berdampak pada banyak orang, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Aturan-aturan ini sudah ada, tetapi implementasinya belum memenuhi harapan. Internet dan media online dapat menjadi alat yang berpotensi bagi warga negara, tetapi mereka terhambat oleh persebaran infrastruktur yang tidak merata, yang saat ini juga telah menjadi komoditi.

[Mengenai persebaran infrastruktur yang tidak merata]... Karena infrastruktur dijadikan komoditi. Harusnya infrastruktur itu jadi katalis saja. Nilai tambahnya dari apa yang dibawa oleh mainstream. Orang Indonesia kan selalu [berpikir cari untungnya] ... Kayanya kalau bisa didagangin nggak mau digratisin. Sehingga bandwidth dijual. Seharusnya kan bandwidth itu complementary. Yang dijual adalah apa yang diperoleh dari bandwidth itu, sehingga peradaban bisa [maju] lebih cepat. Tereskalasi gitu. [Dengan demikian] orang [jadi] lebih terdidik, orang bisa lebih maju. Ini kan nggak, jadi dari sisi kepemilikan mediumnya saja, orang sudah kena barriers. Sehingga apa yang disebut oleh teman-teman ICT Watch [tentang] kesenjangan digital, [yakni] yang pintar makin pintar, seperti deret ... apa... deret ukur, [sementara] yang tertinggal makin tertinggal (DD. Laksono, WatchDoc, wawancara, 21/09/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Sudah jelas bahwa infrastruktur Internet dikendalikan dan diperlakukan sebagai sebuah komoditi. Ini yang menjadi alasan mengapa harga koneksi Internet tetap pada tingkatan tertentu yang kemudian membatasi penggunaannya pada warga negara kelas menengah saja.

Lalu dengan mengikuti peraturan pemerintah tersebut maka akses Internet akan sangat mahal. Kenapa? Karena itu kan kaya oligopoli, dimonopoli tapi oleh sebagian pihak (DB. Utoyo, ICTWatch, wawancara, 26/10/2011).

Pernyataan Donny benar. Dalam upaya mencegah monopoli, pemerintah harus mulai menciptakan sebuah platform infrastruktur Internet dengan persaingan yang terbuka untuk semua pemain sektor swasta. Dengan tersedianya infrastruktur dalam harga yang lebih terjangkau, warga negara dapat memiliki akses lebih terhadap informasi, khususnya informasi alternatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Anggapan ini cukup relevan dengan situasi saat ini karena hampir semua informasi penting tersebar melalui media baru dan media online. Masyarakat dapat memperoleh informasi terbaru dari media sosial, bahkan melalui gadget mereka. Namun, masyarakat yang sudah terpapar teknologi yang diperlukan, tidak merepresentasikan masyarakat secara keseluruhan; masih banyak warga negara lain yang tidak memiliki akses infrastruktur terhadap Internet dan teknologi komunikasi lainnya, apalagi media sosial. Tampaknya, masyarakat yang tidak mempunyai akses akan tertinggal. Di sini apa yang penting sudah jelas: regulasi dan infrastruktur teknologi media harus mengarah kepada inklusi sosial yang lebih luas lagi.

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 99

Kedua, penurunan kualitas jurnalisme. Internet adalah tempat penyimpanan data dan informasi terbesar. Internet menyediakan berita dan informasi yang dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja, di mana saja; termasuk oleh para jurnalis. Saat ini, jauh lebih mudah bagi para jurnalis untuk mencari data dan informasi apapun. Namun, tetaplah penting untuk melakukan verifikasi pada setiap informasi dan data yang mereka peroleh dari Internet. Verifikasi merupakan hal penting yang utama dalam jurnalisme; namun dalam praktik jurnalisme sekarang, hal ini seringkali terlupakan, atau bahkan diabaikan.

Jadi di era digital ini salah satu tantangan terbesar yang menurunkan kualitas jurnalistik adalah gampang mendapatkan informasi dari Internet. Padahal informasi dari Internet mestinya hanya kita jadikan sebagai reference, karena the best story depends on skill [dan] experience (Z. Lubis, ANTV, Wawancara, 16/11/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Keterampilan jurnalistik merupakan faktor utama dalam penyampaian berita pada masyarakat. Ketika perusahaan media memiliki versi online maupun offline seperti saat ini, keterampilan para jurnalis pun sedang diuji. Mereka dipaksa untuk dapat menjadi jurnalis offline maupun online, di mana tidak semua jurnalis memiliki kemampuan untuk melakukan hal ini.

Yang jadi masalah adalah ketika media itu dianggap menjadi satu sumber informasi dan gaya produknya itu sama, hanya beda channel. Sebenarnya itu adalah kesalahan yang pernah terjadi di Kompas. Dulu Kompas punya [media online] dengan cara media cetaknya diletakkan di [media] online. Atau orang- orang yang di media cetak dipaksa menulis di media online. Jadi itu nggak akan jalan. ... Nggak bisa seperti itu. [Kalau] mereka bikin [media] online [harus] dianggap mereka bikin suatu ide baru. Dengan cara yang beda, dengan tim yang beda, dengan tulisan yang berbeda. Itu tidak bisa disamakan. Karena gaya penulisan itu sendiri berbeda–beda (DB. Utoyo, ICTWatch, wawancara, 26/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Penurunan kualitas jurnalisme, khususnya pada media online, juga disebabkan oleh duplikasi konten atau sumber berita. Untuk menjaga berita tetap baru, jurnalis yang berbeda mungkin menggunakan satu sumber berita yang sama secara berulang-ulang, sehingga menghasilkan keseragaman konten di media online. Di sini, jurnalis harus sadar bahwa warga negara menyaksikan kerja mereka melalui media sosial. Bertindak sebagai pengawas, warga negara dapat dengan mudah mengkritik hasil kerja dari seorang jurnalis online, jika mereka memberikan informasi yang berkualitas rendah, palsu, tidak relevan atau tidak akurat.

Ketiga, media online sebagai sumber yang dapat dipercaya. Pertanyaan mengenai validitas sumber berita yang berasal dari media online masih relevan, sama relevannya dengan debat mengenai kesahihan media sosial sebagai media (online).

Tapi problem social media mau kita kategorikan sebagai bagian dari media, [sebagai] bagian dari media jurnalistik atau bukan? Atau sekedar ruang publik yang ada di dunia maya? Karena kalau social media

digolongkan ke dalam media jurnalistik, itu konsekuensinya banyak sekali, [di antaranya] menaati kode etik (P. Widiyanto, mantan anggota DPR, wawancara, 14/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Agus Sudibyo, salah seorang anggota Dewan Pers, sepakat dengan pandangan Paulus mengenai kode etik jurnalistik di media sosial; dan menganjurkan agar media sosial tidak diperlakukan sebagai sebuah bentuk media jurnalistik. Lebih baik mempertimbangkan sosial media sebagai bagian dari ruang publik di dunia maya.

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 100

Social media itu melengkapi media mainstream. Tapi social media itu bagian dari media jurnalistik atau

bukan; atau cuma ruang publik maya? Kalau social media dianggap bagian dari media jurnalistik, maka konsekuensinya banyak sekali, [misalnya] menaati kode etik, menaati profesi jurnalistik. Pokoknya jurnalisme itu menuntut ortodoksi dalam berbagai hal, [mulai dari] mencari informasi, mengolah, menyampaikan dan seterusnya. Nah sejauh ini social media itu belum bisa mematuhi aturan-aturan ini. Maka kalau [mau] yang agak fairnya itu, sebaiknya social media jangan dimasukkan ke dalam media jurnalisme. Itu bagian ruang publik dari dunia maya (A.Sudibyo, Press Council, wawancara, 27/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Argumen Agus Sudibyo maupun Paulus Widiyanto adalah valid. Agar dapat dianggap sebagai medium jurnalistik dan sebagai sebuah sumber berita yang dapat diandalkan, media online perlu mengambil etika dan prinsip-prinsip jurnalistik, termasuk verifikasi. Bagi sejumlah kelompok media yang sudah mapan seperti Kompas, Tempo, atau The Jakarta Post, implementasi etika jurnalistik dari media cetak ke kanal online mungkin tidak menjadi masalah, tetapi lain halnya dengan perusahaan media lain. Beberapa kanal media, seperti Vivanews yang tidak memiliki publikasi cetak, juga menerapkan prinsip- prinsip dasar jurnalisme dalam praktiknya.

Tetap ada prinsip jurnalisme itu nyawanya adalah verifikasi … line of verification itu coba kita tegaskan. Mana ranah social media, mana ranah jurnalisme, supaya kita masih bisa pakai yang ini, tapi dia harus melewati garis verifikasi dari berita yang masuk (N. Patria, Vivanews.com, wawancara, 17/10/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Meskipun begitu, berita online yang real-time dan berita yang berbasis media sosial umumnya mengabaikan prinsip-prinsip dasar ini, maka lebih baik menganggap mereka sebagai bagian dari ruang publik daripada bagian dari jurnalisme. Tentu saja, peningkatan derajat media online menjadi sumber berita yang valid masih membutuhkan waktu cukup lama. Beberapa langkah harus dilakukan, salah satunya sudah dilakukan oleh Dewan Pers: mengeluarkan panduan berita untuk media cyber.

Ketiga masalah utama yang dihadapai media online ini merupakan hal yang sentral dan membutuhkan penanganan yang serius untuk memastikan perkembangan media online yang sehat. Mereka saling terkait satu sama lain, membuat ketiga masalah dan respon terhadapnya menjadi sistemik. Contohnya, adalah tidak mungkin untuk mengatasi masalah mengenai keabsahan di media online jika tidak ada regulasi yang jelas atau tidak adanya jurnalisme yang berkualitas. Pada saatnya, teratasinya masalah infrastruktur akan meningkatkan kualitas media online dan juga kualitas jurnalis-jurnalisnya. Begitu juga sebaliknya, hanya melalui jurnalisme berkualitaslah media online akan memperoleh validitas dan reputasi sebagai sebuah medium yang penting ketika infrastruktur sudah tersebar secara merata. Di antara ketiga masalah utama ini, di bagian berikutnya kami memfokuskan pada infrastruktur karena sudah jelas infrastruktur merupakan masalah paling mendasar yang menjadi penyokong perkembangan media online di Indonesia.