• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi dan Instrumen Pengumpulan Data

Media: Perspektif Politik dan Ekonom

3. Mengkaji Industri Media di Indonesia:

3.3. Strategi dan Instrumen Pengumpulan Data

Setidaknya ada empat aspek utama dalam upaya kami untuk memetakan lanskap industri media di Indonesia; yaitu (i) mengidentifikasi pelaku-pelakunya (perusahaan media); (ii) menggambarkan keterkaitan antara pelaku; (iii) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan- keterkaitan yang terjadi; dan (iv) menghasilkan analisis industri media dengan menggunakan perspektif hak warga negara. Keempat aspek inilah yang kami pertimbangkan sebagai bagian dari strategi kami ketika menelusuri data sekunder. Selain untuk menemukan data kuantitatif mengenai pertumbuhan industri media, kami juga memperhatikan aspek sejarah dan konteks ekonomi politiknya untuk mendapatkan petunjuk mengenai situasi sebelumnya di sekitar dunia media; baik selama periode Orde Lama maupun Orde Baru (yaitu dari pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto) dan juga sepanjang periode yang lebih kontemporer (yakni semenjak zaman reformasi hingga sekarang). Data sekunder ini sebagian besar didapat melalui studi pustaka, baik secara online maupun offline. Sedapat mungkin, kami menggunakan data resmi untuk memudahkan pengutipan yang absah, seperti data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Riset dan Teknologi, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk melihat gambaran besar dari industri media. Kami juga membeli data yang dijual secara komersil dari MARS Research Specialist Indonesia untuk membantu kami memahami tren konsumsi media. Jelas, surat kabar mainstream dan sumber dari media online telah membantu kami untuk secara cepat mendapatkan artikel dan data yang relevan bagi riset kami.

Untuk memahami struktur industri media dari tahun ke tahun (yakni dari reformasi hingga saat ini) dan meletakkannya di dalam konteks, informasi tangan pertama adalah kunci penelitian ini dan oleh sebab itu, kami harus memperolehnya. Untuk tujuan ini, kami mengadakan sejumlah wawancara dengan pelaku-pelaku yang terlibat dalam menjalankan bisnis media (yaitu praktisi media, pemilik atau eksekutif bisnis media). Melalui para pelaku ini, wawancara kami terfokus untuk menemukan jawaban atas isu/pertanyaan utama berikut ini: (i) cara di mana industri media berkembang dalam 5 hingga 10 tahun ke depan, dan aspek apa yang akan memainkan peran penting dalam perkembangan tersebut; (ii) bagaimana industri media menghadapi kebijakan media yang ada dan bagaimana dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut; (iii) bagaimana kemajuan teknologi membentuk karakteristik dari

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 29

industri media; (iv) sejauh mana media mengkonstruksi berita publik, termasuk melalui sensor; dan terakhir (v) bagaimana media menerima partisipasi warga dan bagaimana mereka mengakomodasinya dalam kanal (-kanal) medianya.

Untuk menguasai pemahaman sebenarnya dari dinamika industri media kami juga menggunakan wawancara Delphi (Miles, 2002; Miles dan Keenan, 2002) dengan sejumlah pakar industri.

Wawancara ini dilakukan terhadap beberapa akademisi/intelektual dan individu dari berbagai sektor yang berbeda (pemerintahan, bisnis dan masyarakat sipil) dengan paparan mendalam mengenai industri media di Indonesia. Dalam wawancara Delphi kami menempatkan isu-isu sebagai berikut: pertama, kami menanyakan kepada para peserta untuk mengkonfirmasi apakah pola perkembangan industri media berujung pada konsentrasi segelintir kelompok besar, dan bagaimana pola ini berkembang dari waktu ke waktu. Kedua, kami menanyakan pemahaman mereka mengenai cara di mana kebijakan media yang ada sekarang mengatur perkembangan industri media, khususnya dalam isu-isu kepemilikan silang dan konsentrasi kepemilikan. Ketiga, kami menanyakan para pakar sejauh mana hak warga terhadap media dan penerapannya dipengaruhi oleh perkembangan industri media dan teknologi terbaru, termasuk konglomerasi industri media dan kemunculan media baru dan media

online.

Tentu saja, kami mengikuti praktik umum yang dilakukan dalam riset kualitatif mengenai pemrosesan data yang berasal dari tahap pengumpulannya (Cassel dan Symon, 2004; Creswell, 2004; Denzin dan Lincoln, 1994). Dalam pandangan inilah, berdasarkan persetujuan dari responden kami, kami merekam semua wawancara dan mentranskripnya untuk analisis konten sebagai standar penelitian ini. Protokol wawancara dan Delphi dapat dilihat di Lampiran 1.

3.4 Keterbatasan

Meskipun kami sudah berusaha untuk memastikan keabsahan metode riset kami, kami mengakui adanya sejumlah keterbatasan. Pertama, sebagian besar dari data yang kami dapatkan secara resmi bukanlah data baru. Contohnya: data yang didapat dari Kementerian Riset dan Teknologi terakhir diperbaharui tahun 2008; data yang tersedia dari APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia) tidak diperbaharui sejak tahun 2007. Mencatat data riset mungkin belum menjadi praktik standar di Indonesia, tetapi kekurangan data terbaru menjadi satu isu dalam riset kami. Menanggapi keterbatasan ini, kami menggunakan semua data resmi yang tersedia, dan jika memungkinkan kami memperbaharuinya sendiri dengan menggunakan sumber-sumber lain.

Kedua, keterbatasan lingkup data yang tersedia membawa pada masalah keterwakilan atau integrasi. Meskipun ada data tersedia – termasuk pembelian data – namun ketersediaannya cukup terbatas dalam banyak hal, yang paling krusial adalah data yang tersebar dan tidak dapat diperoleh dari satu sumber. Contohnya, data mengenai konsumsi media yang bahkan dibeli secara komersil dari MARS

Research Specialist, didapat dari survei yang hanya dilakukan di 15 kota besar di pulau-pulau besar di

Indonesia. Tentu saja, data ini menjelaskan pola konsumsi tertentu, namun hal ini di bawah ekspektasi kami. Serupa dengan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) tidak memiliki data yang terintegrasi mengenai teknologi informasi dan komunikasi; saat ini informasi tersebut tersebar di database survei yang berbeda seperti Survey Potensi Desa dan Survey Ekonomi Nasional (SUSENAS).

Apa yang kami lakukan, kemudian, adalah dengan menggunakan semua data yang tersedia dan merumuskannya sendiri, untuk kemudian diintegrasikan ke dalam analisis kami. Terakhir, karena kami berusaha untuk mencakup semua tipe media dalam industri ini, cakupannya sudah dilakukan secara

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 30

menyeluruh, termasuk di dalamnya media penyiaran, media cetak dan media komunitas. Maka dari itu, apa yang kami fokuskan adalah perkembangan yang menonjol dalam setiap jenis media dan dampaknya terhadap warga. Oleh sebab itu kedalaman analisis kami untuk masing-masing medium, seperti yang akan disampaikan dalam bab berikutnya, akan bervariasi: satu sektor media (media penyiaran) dianalisis dengan lebih dalam dibandingkan dengan sektor media lainnya. Terlepas dari variasinya yang memang tidak dapat dihindari, kami telah berusaha sebaik mungkin untuk menempatkan masing-masing sektor ke dalam sebuah perspektif guna melihat dinamika industri media di Indonesia.

Sebagai catatan terakhir, apa yang kami tuju bukanlah generalisasi dari hasil dan temuan-temuan yang kami dapat. Tetapi, kami berkeinginan untuk menyampaikannya menjadi sebuah riset yang mendalam, detail, menyeluruh di tingkat nasional yang (semoga) dapat menginformasikan topik ini kepada masyarakat yang lebih luas.