• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konvergensi dan Digitalisasi Media: Dampak pada Warga Negara

Peran Pemerintah dalam Konvergensi Media

7.3 Konvergensi dan Digitalisasi Media: Dampak pada Warga Negara

Meskipun terlihat jelas bahwa warga negara pasti akan terpengaruh oleh konvergensi dan digitalisasi media, peran mereka dalam dinamika media sangat jarang didiskusikan. Dalam industri media saat ini, kepentingan publik telah dinomorduakan – jika tidak diabaikan – dalam konten media yang berbasis keuntungan serta kurang mendidik. Dengan konvergensi teknologi dan pemusatan kepemilikan yang menggabungkan berbagai pemilik media menjadi satu, ruang untuk warga negara di media akan lebih sulit ditemukan. Kepentingan industri –yakni kepentingan pemilik modal – dalam media semakin lama semakin besar, meninggalkan hanya ruang kecil untuk warga negara. Terlebih lagi, dengan konsentrasi dan dominasi kepemilikan yang mengarah pada homogenisasi informasi, perusahaan-perusahaan media hanya perlu satu ruang redaksi saja untuk beberapa kanal, dan sebagian besar juga telah menetapkan agenda mereka untuk menyelaraskan isu-isu. Di sini, lagi-lagi hanya ruang kecil yang tersisa, itupun jika ada, bagi warga negara dan kepentingan mereka dalam media.

Pertanyaan saya, sebenarnya konvergensi ini lebih menguntungkan siapa? Karena ini juga bukan persoalan yang mudah, yaitu transformasi dari sistem kebijakan [analog] yang lalu menjadi kebijakan yang digital. Ya kalau orang-orang yang lain bilang [bahwa] kemudian peluang-peluang untuk siaran dari radio bisa lebih muncul. Karena, frekuensinya sekarang jadi lebih banyak. Tapi bisakah dijamin lembaga-lembaga penyiaran komunitas mendapatkan porsi yang sama dengan lembaga penyiaran swasta? Regulator kalau melihat kotaknya selalu mendahulukan kepentingan industri, kepentingan bisnis. Sehingga kemudian satu stasiun TV dirusak oleh beberapa channels, lalu radio komunitas semakin dipinggirkan aja. Jadi saya rasa itu satu problem yang lain lagi mengenai konvergensi media ini: supaya ekspresi publik juga mendapatkan tempat (I. Haryanto, LSPP, wawancara, 22/08/11, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Sebagian besar debat dan diskusi tentang konvergensi dan digitalisasi dibiaskan oleh kepentingan bisnis. Ada ancaman yang jelas bagi penyiaran komunitas dalam wacana digitalisasi karena ketidakcocokan teknologi digital dengan teknologi lama yang digunakan oleh penyiaran-penyiaran komunitas. Mungkin hanya aktivis media saja yang mempunyai perhatian terhadap kepentingan warga di era ini. Hal ini dapat dimaklumi, sebagai institusi komersil, industri media akan lebih memberi perhatian terhadap konten yang menguntungkan perusahaan dibandingkan apa yang penting untuk publik (Lawson- Borders, 2006). Dengan demikian, hal ini membahayakan fungsi dan karakter publik dari media. Akibatnya, media tidak hanya akan mengasingkan warga negara dari konteks kemasyarakatannya, tetapi media juga beresiko kehilangan alasan utama keberadaannya.

Bukan hanya karena konvergensi dan digitalisasi mengubah cara di mana media beroperasi; dua hal ini juga mengubah cara di mana warga negara mengakses informasi. Karena baik konvergensi maupun digitalisasi sangat bergantung pada teknologi, warga yang tidak-paham-teknologi akan tertinggal. Jadi dari sisi kepemilikan mediumnya saja, orang sudah kena barriers, sehingga apa yang disebut oleh teman-teman di ICT Watch dengan kesenjangan digital, yang pinter makin pinter, yang tertinggal makin tertinggal [benar]. Berarti peradaban yang senjang, karena akses pada mediumnya sendiri terbatas. Yang bisa menikmati mendapatkan donor darah dengan cepat, itu kan yang punya gadget. Orang- orang kampung, yang nggak tahu harus minta tolong siapa, antri di PMI. Syukur-syukur dia dapet darah. Kalau nggak? (DD. Laksono, WatchDoc, wawancara, 21/09/2011, huruf miring ungkapan asli narasumber).

Infrastruktur dan medium jelas-jelas memainkan peran yang besar dalam membentuk bagaimana warga negara dapat berpartisipasi di era konvergensi dan digitalisasi. Sayangnya, melihat kondisi infrastruktur yang masih buruk saat ini, masih sulit untuk melihat masa depan partisipasi warga

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia119

negara dalam kebangkitan konvergensi dan digitalisasi, serta bagaimana mereka bisa mendapatkan manfaat dari kedua hal ini.

SatuDunia, sebuah organisasi kemasyarakatan sipil Indonesia yang bekerja dalam isu-isu ICT

berpendapat bahwa alih-alih melindungi hak warga negara terhadap infrastruktur media, RUU Konvergensi lebih memperkuat hak konsumen pada warga berkaitan dengan produk-produk media, sehingga akibatnya RUU ini hanya menganggap warga negara semata-mata sebagai konsumen (Cahyadi, 2011a; 2011b).40 Infrastruktur tetap menjadi masalah yang krusial karena persebarannya

yang tidak merata. Meskipun ada ayat dalam RUU Konvergensi yang menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan infrastruktur yang memadai di daerah-daerah terpencil, hak warga negara terhadap infrastruktur apabila pemerintah tidak mampu memenuhi kewajibannya tidak disebut di RUU tersebut. Dengan terciptanya konglomerasi dalam konvergensi melalui konsolidasi antara pemilik media dan lapak media, warga negara hanya menjadi penonton dari pertarungan antara kelompok media dan pemilik media, sementara hak mereka sendiri terhadap informasi diabaikan. Warga harus bersaing dengan raksasa-raksasa industri, sementara pemerintah sepertinya mengabaikan kewajiban mereka untuk melindungi warga negaranya.

Untuk menggambarkannya, mari kita lihat jaringan media milik kelompok media terbesar di Indonesia, MNC, berikut ini.

Gambar 7.2 Jejaring media MNC: 2011

Statistik jejaring: N=53; d=0.31775507; 22-core; Kamada-Kawai ‘separate component’ layout. Sumber: Penulis.

Seperti yang ditunjukkan Gambar 7.2, MNC, yang mengendalikan sejumlah kanal media di seluruh Indonesia, sepertinya akan mendapatkan manfaat dari konvergensi dan digitalisasi. Sebagai kelompok media terbesar, MNC sudah mendominasi sektor media. Dengan mengendalikan perusahaan- perusahaan media lokal (seperti televisi dan stasiun radio lokal), MNC sudah menjadi semakin berkuasa di pasar media Indonesia. Konvergensi dan digitalisasi mungkin akan membawa lebih banyak

merger dan akuisisi dalam MNC karena hal ini menawarkan cara untuk mengendalikan sumber-sumber

40 Lihat juga, “Publik Desak RUU Konvergensi Dirombak” http://www.satudunia.net/content/publik-desak-ruu- konvergensi-dirombak

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 120

daya, sehingga dapat meningkatkan pendapatan, dan juga jumlah penonton. Ilustrasi jaringan ini juga menunjukkan bagaimana, melalui kendalinya berbagai kanal, MNC menjadi lebih efisien dalam menjangkau penonton dan tentu mencetak profit lebih banyak lagi.

Memang benar, perusahaan-perusahaan media yang berhasil biasanya membeli perusahaan lain untuk membuat mereka lebih kuat, lebih untung dan menjangkau pemirsa lebih luas lagi. Di bawah ini adalah ilustrasi jaringan media lain, yakni Kelompok Jawa Pos.

Gambar 7.3 Jejaring media Jawa Pos: 2011

Network measures: N=196; d=0.6139109; 150-core; Kamada-Kawai ‘separate component’ layout. Sumber: Penulis

Apa yang kita lihat dalam Gambar ini adalah konsentrasi kepemilikan yang sangat jelas dalam media cetak dan stasiun televisi lokal dan juga sejauh mana jangkauan geografisnya.

Menjangkau pemirsa secara lebih luas adalah kunci dari semua kelompok media jika mereka ingin mempengaruhi publik dalam isu-isu apapun. Secara teoritis, akan sangat mudah jika pemilik sebuah kelompok media seperti Jawa Pos dan MNC ingin memanipulasi opini publik dengan cara pandang mereka; dan konvergensi media yang lengkap hanya akan membuatnya lebih mudah lagi. Nyaris tidak ada lagi ruang untuk warga atau kepentingan warga negara di dalam struktur jaringan media seperti ini.

Namun, janji yang ada di era digital, bahwa warga negara dapat berpartisipasi dalam acara media secara real time, tetap ada, meskipun, seperti halnya pada isu konvergensi, pemerintah perlu mengatasi masalah infrastruktur terlebih dahulu sebagai prasyarat untuk partisipasi tersebut. Terlebih lagi, karena hak warga negara belum sepenuhnya diakui dalam industri media saat ini, tidak ada jaminan bahwa konvergensi dan digitalisasi –dengan segala mimpi teknologisnya – akan memastikan pemenuhan hak warga negara. Mungkin media komunitas akan tetap menjadi palang terakhir bagi warga, meskipun akan lebih sulit lagi bagi mereka untuk bertahan di era konvergensi dan digitalisasi ini.

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia121

7.4 Masa Depan Perkembangan Media: Ketercerabutan yang

Memburuk?

Bab ini telah menjelaskan secara singkat dua tantangan besar masa depan yang akan dihadapi oleh sektor media di Indonesia: konvergensi dan digitalisasi media. Teknologi, khususnya ICT, telah secara jelas mengubah lanskap media di Indonesia. Di satu sisi, melalui media baru, teknologi ini telah membuka ruang publik yang sebelumnya tidak banyak diperhatikan oleh media konvensional. Di sisi lain, kemajuan yang sama juga dapat menahan fungsi publik dari media. Hal ini terjadi karena, dengan motif profit dan kepentingannya, merupakan suatu hal yang tak dapat dihindari bahwa industri media akan menciptakan model bisnis dan strategi bisnis (termasuk juga konten) yang bekerja sesuai dengan keinginan mereka. Dari perspektif ini, konvergensi dan digitalisasi hanya menjadi alat untuk merealisasikan tujuan industri.

Berikut ini gagasan-gagasan penting yang harus kami pertimbangan lebih dalam: untuk sebuah bisnis atau sebuah industri – industri apapun – pemakaian inovasi-inovasi teknologis tidak akan pernah ada akhirnya, demikian pula halnya dengan fungsi publik industri tersebut. Premis ini juga berlaku untuk industri media, di mana akumulasi profit adalah pendorong utamanya. Bahwa media sejatinya adalah mengenai publik (locus publicus) merupakan satu perkara; media sebagai sebuah industri yang menguntungkan adalah perkara lain.

Apa yang kami amati dari media kita saat ini adalah sebuah fenomena yang mungkin dapat dikonseptualisasi dengan sangat baik sekali sebagai ‘ketercerabutan media’ (Polanyi, 1957); yaitu, sebuah situasi di mana praktik dan konten media dicabut dari konteks sosial di mana mereka berada. Dengan semua televisi di Indonesia menayangkan sinetron yang penuh dengan gaya hidup (dan masalah) metropolitan, contohnya, hal ini bukan hanya tentang hilangnya keberagaman konten. Lebih fundamental lagi, ini merupakan proses pencerabutan yang menarik pemirsa dari kenyataan – khususnya bagi mereka yang tidak diuntungkan dan/atau berada di wilayah terpencil.

Konvergensi media, dalam pengertian ini, dapat memperburuk situasi tersebut. Bayangkan situasi ketika tidak hanya stasiun televisi yang mendangkalkan pemirsa mereka dengan acara-acara yang tidak mendidik, tetapi semua kanal media lain yang berkonten sama, hanya karena logika konvergensi mendikte itu semua. Dampak dari skenario ini akan sangat mengerikan.

Industri yang dibentuk oleh profit jelas telah mengesampingkan kepentingan warga negara. Pemirsa hanya dipandang sebagai konsumen yang potensial untuk industri, bukan sebagai warga negara yang memiliki hak. Di sinilah pemerintah perlu masuk dengan kebijakan media yang memadai. Kompleksitas konvergensi dan digitalisasi dapat dengan mudah mengalihkan perhatian kerangka kerja regulator yang bertujuan untuk mengaturnya. Tetapi fokusnya harus tetap utuh: perlindungan ranah publik dalam media dan pemenuhan hak warga negara dalam bermedia. RUU Konvergensi di Indonesia merupakan contoh regulasi yang baik, di mana terjadi perdebatan mengenai rumusan Undang-Undang yang lebih banyak membahas mengenai hal-hal teknis saja – dan kepentingan bisnis yang melekat di dalamnya – daripada perhatian substantif mengenai peran warga negara dalam media.

Jika pemerintah gagal dalam tugas ini, maka warga negara harus mengandalkan dirinya sendiri untuk menegakkan hak mereka terhadap media. Mengetahui tren yang terjadi saat ini, ada alasan yang tepat untuk khawatir bahwa media sepertinya bergerak semakin menjauh dari warga negara dan meninggalkan tugas mereka untuk menjaga res publica, di mana implikasi-implikasinya akan dijelaskan dalam bab berikutnya, yaitu bab Kesimpulan.

8. Merebut Kembali