• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekayasa Konten , Rekayasa Kesadaran

Media: Perspektif Politik dan Ekonom

2.3. Rekayasa Konten , Rekayasa Kesadaran

Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam bukunya ‘Manufacturing Consent’ (Herman dan Chomsky, 1988) mengemukakan bahwa cara di mana kesadaran warga ‘direkayasa’ melalui konten media adalah sama dengan propaganda. Dengan menggunakan kasus yang terjadi pada media di Amerika Serikat, mereka memberikan sebuah kerangka analisis yang mencoba menjelaskan kinerja media terkait dengan relasi dan struktur dasar kelembagaan di mana media tersebut beroperasi. Meskipun fokus dari analisis ini adalah kasus yang terjadi di Amerika Serikat, perspektif yang ditawarkan oleh Herman dan Chomsky juga dapat digunakan untuk menjelaskan cara media bekerja di tempat lain, termasuk di Indonesia.

Bagi Herman dan Chomsky, media melayani dan melakukan propaganda dengan mengatasnamakan kepentingan sosial yang sangat kuat yang mengendalikan dan membiayai mereka (Herman dan Chomsky 1988:xi). Korporasi media, baik itu media cetak, radio maupun televisi, adalah satuan bisnis yang juga bagian dari kompetisi bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Dengan begitu, distorsi pada konten dan bagaimana konten media ditampilkan merupakan sebuah konsekuensi dari motif profit, yang mengharuskan bisnis media menjadi bisnis yang stabil dan menghasilkan keuntungan. Mereka menemukan bahwa untuk menjadi sukses, media perlu menempatkan profit di atas kepentingan publik; jika tidak, keuntungan pasar mereka akan turun (dalam pengertian rendahnya penjualan dan

rating). Oleh sebab itu, bias pada media menjadi tidak terhindarkan lagi; bahkan dapat dilakukan

dengan sengaja termasuk juga memasukkan kebijakan pemerintah dan kebijakan korporasi ketika membuat konten (khususnya konten berita) dan menyebarkannya kepada khalayak.

Banyak perusahaan media besar yang terintegrasi secara penuh ke dalam pasar, dan untuk yang lain juga, tekanan dari pemegang saham, direktur dan para bankir untuk berfokus kepada aturan-aturan dasar adalah sangat kuat... Hal ini mendorong masuknya spekulator-spekulator dan meningkatkan tekanan serta godaan untuk fokus lebih intensif lagi pada keuntungan (Herman dan Chomsky, 1988:5). Herman dan Chomsky kemudian memperinci proses di mana bias dalam media dapat terbentuk. Mereka mengemukakan, bias dalam media terjadi dari seleksi awal yang dilakukan oleh orang-orang dengan pikiran yang sama, prasangka internal, dan adaptasi dari para pegawai terhadap batasan dari serangkaian filter-filter objektif yang dikemukakan dalam model propaganda mereka. Oleh karena itu, sebagian besar bias dalam media terjadi melalui self-censorship (hal. ix). Di sini, debat di dalam media yang dominan dibatasi oleh opini-opini ‘bertanggung jawab’ yang dapat diterima oleh sejumlah kalangan elit. Dalam isu-isu yang secara umum sudah disetujui oleh para elit, media pun akan selalu mematuhinya. Tidak ada perselisihan paham yang akan dikemukakan, apalagi diakui, kecuali apabila diperlukan untuk mencemooh atau memperolok.10

Media nasional umumnya menargetkan dan mengakomodasi opini dari para elit; suatu kelompok yang 10 Lihat ‘The Political Economy of the Mass Media’. Edward S. Herman diwawancara oleh Robert W. McChes- ney. Review bulanan, 1989 http://www.chomsky.info/onchomsky/198901--.htm

Centre for Innovation Policy and Governance Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 19

di satu sisi menyediakan ‘profil’ yang optimal untuk keperluan iklan, dan di sisi lain memainkan peran dalam pembuatan keputusan di ranah privat maupun publik. Media nasional akan gagal memenuhi kebutuhan pemirsa elitnya jika mereka tidak menampilkan gambaran dunia yang cukup realistis. Tetapi mereka juga membutuhkan ‘tujuan sosial’ dari media, dan interpretasi media terhadap dunia mencerminkan kepentingan dan keprihatinan para penjual, pembeli, institusi-institusi pemerintah dan swasta yang didominasi oleh kelompok-kelompok ini (h. 303).

Dengan masalah bias yang melekat pada media, ujaran ‘media sebagai propaganda’ tampaknya menjadi akibat yang wajar terjadi. Namun, Herman dan Chomsky mengemukakan adanya lima filter yang menciptakan ‘model propaganda’ dari media. Satu, konsentrasi kepemilikan media yang tinggi di antara segelintir perusahaan yang berorientasi pada profit. Kebutuhan mereka akan profit mempengaruhi jalannya pemberitaan dan keseluruhan konten media dengan sangat kuat. Dua, periklanan—sebagai sumber utama pendapatan media, pendapat politik dan keinginan ekonomi dari para pengiklan harus dilayani. Tiga, sumber daya—media massa ditarik ke dalam hubungan simbiosis dengan sumber- sumber informasi yang kuat dengan alasan kebutuhan ekonomi serta hubungan kepentingan yang timbal balik. Empat, pelindung dan tameng—pelindung di sini merujuk pada respon-respon negatif terhadap pernyataan atau program media. Pelindung ini diorganisir oleh kelompok-kelompok dengan pengaruh yang kuat.

Dari perspektif yang berbeda, para tameng dan pelindung ini dapat digunakan untuk mengadvokasi agenda warga melalui media. Terakhir, antikomunisme—mekanisme kontrol antikomunisme masuk ke dalam sistem untuk mengaplikasikan pengaruh mereka yang besar pada media massa. Pada sebagian besar kasus antikomunisme di dunia, media massa adalah yang pertama mengidentifikasi, menciptakan dan mendorong kasus-kasus tersebut hingga menjadi pusat perhatian. Oleh sebab itu ideologi dan agama yang antikomunisme merupakan filter yang ampuh. Sejak era Perang Dingin berakhir, istilah ‘antikomunisme’ telah berganti dengan ‘perang melawan terorisme’ sebagai kontrol sosial. Filter-filter ini memungkinkan pemerintah dan kepentingan swasta yang dominan untuk menyebarkan pesan- pesan mereka pada publik.

Dominasi elit media dan marjinalisasi pihak-pihak yang tidak sepaham yang dihasilkan dari filter-filter ini terjadi secara sangat alamiah di mana orang-orang yang bekerja untuk media, yang bekerja dengan penuh integritas dan niat baik, mampu meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mereka memilih dan menginterpretasikan berita-berita “secara objektif” dan dengan dasar nilai-nilai pemberitaan yang profesional. Di dalam keterbatasan hambatan filter ini mereka memang seringkali objektif; hambatan- hambatannya sangat kuat dan dibangun ke dalam sistem dengan cara yang benar-benar fundamental, sehingga membuat dasar alternatif dari pilihan-pilihan berita menjadi sangat sulit dibayangkan. (h. 2) Kesimpulannya, media saat ini telah berkembang menjadi sebuah alat propaganda yang sangat kuat. Seperti yang disampaikan oleh Levinson (1999), dengan media kita hanya menceritakan sebagian kecil dari satu cerita. Kita mengiklankan hanya sebagian dari apa yang kita pikir akan dapat banyak menarik perhatian (h. 201), tetapi sebenarnya kita meninggalkan sisa dari cerita tersebut di luar kendali kita. Bagian yang tampaknya tak terkendalikan ini pada kenyataannya justru dikendalikan oleh pemilik bisnis media. Semakin banyak saluran media yang berada di bawah kendali seorang pemilik (grup media), semakin efektif juga grup tersebut dapat digunakan untuk propaganda. Oleh karena itu, konsentrasi media bukanlah sebuah fenomena baru; hal ini pada awalnya dikenal sebagai integrasi

horizontal dalam bisnis media: suatu usaha untuk membawa sebanyak mungkin kanal di bawah kendali

satu kelompok bisnis yang sama. Jika integrasi seperti ini terus berlanjut, pada akhirnya monopoli akan tercipta (McChesney 2004: 16) di mana hal ini akan sangat memungkinkan terjadinya kendali total dari seluruh media, baik sebagai medium maupun sebagai konten/pesan.

Dalam pembahasan ini, pemahaman terhadap ekonomi politik industri media menjadi sangat penting. Tidak hanya untuk mengungkap bagaimana hubungan kekuasaan dalam industri media bekerja dan membangun konfigurasi kepemilikan dan kendali media, tetapi lebih penting lagi, yaitu untuk mencegah

Centre for Innovation Policy and Governance

Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia 20

terjadinya monopoli media secara total, yang dapat menyebabkan terjadinya pengabaian fungsi sosial media dan juga hilangnya raison d’etre (alasan adanya) dari media.

Sebagai tujuan khusus dari studi ini, pemahaman seperti yang dipaparkan sebelumnya akan membantu memberikan kejelasan, terutama dalam memberikan makna terhadap data-data empiris yang rumit mengenai industri media kontemporer di Indonesia yang kami kumpulkan selama riset ini.

2.4. Ekonomi Politik Industri Media: Sebuah Kerangka Investigasi