• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL - ISI BUKU PARTAI POLITIK4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL - ISI BUKU PARTAI POLITIK4"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)

PARTAI POLITIK:

POLITIK ALIRAN DAN

(2)

KOMPETENSI

(3)

PARTAI POLITIK:

POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL

PETA politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

A. Politik Aliran

(4)

sebagai bentuk pentranlasian pembilahan socio-religy yaitu: santri— abangan—priyayi kedalam bentuk institusi politik berupa partai politik Islam dan Nasionalis. Oleh karena itu juga menjadi penting bagaimana kita menjelaskan karakter partai Islam dan partai Nasionalis: asal usulnya ideologi, isu-isu apa yang diperjuangkannya serta siapa basis kelompoknya.

Sejak pemilu demokratis pertama yang dilaksanakan tahun 1955 para ilmuan menganggap bahwa politik aliran tetap menjadi faktor utama yang mempengaruhi perilaku politik pemilih, dan berlangsung sampai pada pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dibawah rezim represif Orde Baru. Melangkah ke paruh ketiga politik Indonesia (Orde Reformasi) kekuatan politik aliran masih dianggap punya pengaruh terhadap perilaku politik di Indonesia, namun sudah mulai terjadi polemik antara mereka yang mendukung dan yang membantah. Sebagai contoh kasus, kutub yang tetap mendukung politik aliran direpresentasikan Dwight King (2003), dalam bukunya, “Half-Hearted Reform, Electoral Institutions and th Struggle fo Democracy in Indonesia, dan Anis Baswedan (2004), dalam tulisannya yang berjudul “Sirkulasi Suara Dalam Pemilu 2004”. Sementara kutub yang berlawanan direpsentasikan William Liddle dan Saiful Mujani dalam karyanya “Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia”. King(2003) menyajikan sebuah diskusi yang menarik, dengan menggunakan analisis statistik berupa teknik analisis bivariate dan

(5)

adalah “pada tingkat masyarakat masih ditemukan pola politik berbasis aliran, perubahan politik lintas aliran tidak ditemukan dalam pemilu 2004.”

Hasil yang berbeda dengan apa yang ditemukan King dan Baswedan, Liddle dan Mujani justru menemukan bahwa pengaruh orienasi keberagamaan atau aliran (pelaksanaan keberagamaan seorang muslim), pada suara hasil pemilu tahun 1999 dan 2004 sangat terbatas. Justru Liddle dan Mujani menemukan bahwa faktor kepe-mimpinan menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi perilaku politik pemilih. Hal ini dijelaskan oleh Liddle dan Mujani sebagai dampak dari berkembangnya media massa khususnya televisi sampai ke pelosok-pelosok daerah. Temuan ini berusaha mematahkan pan-dangan umum yang selama ini berkembang dalam mengkaji Indonesia dari mulai Geertz 1950an sampai dengan King dan Baswedan. Apakah temuan Liddle dan Mujani ini akan menjadi sebuah para-digma baru dalam menjelaskan perilaku politik Indonesia, akan sangat bergantung pada seberapa besar dukungan dari masyarakat, khusus-nya masyarakat akademis sebagaimana yang dikemukakan Khun.

1. Aliran Geertz

Jika partai politik menginginkan dirinya relevan secara sosial, dan secara demikian bisa membangun basis sosialnya, maka partai harus mengaitkan dirinya dengan cleavages yang ada. Secara umum cleavages bisa bersumber dari agama, etnik, bahasa, budaya, maupun geografis. Di Indonesia, tidak seperti di negara Barat, dimana cleavage berdasar kelas tidak begitu berpengaruh, justru cleavage agamalah (aliran) yang paling dominan dibanding dengan cleavages yang lain.1

(6)

Pengaruh kelas terhadap perilaku politik tidak signifikan karena di Indonesia tidak mengenal stratifikasi kelas berdasarkan pada status sosial ekonomi, dan persepsi kelas secara subjektif tidak dikenal dalam masyarakat desa, khususnya dalam istilah Marxis. Jika dipahami, konteks kelas dalam masyarakat Jawa, mungkin dapat dijelaskan dalam kerangka birokrasi, bukan dalam kontek Marxis.2 Orang-orang

hanya mengenal dua pembeda mengenai individu dalam masyarakat yaitu wong cilik (orang kecil) dan wong gedhe (orang besar), yaitu orang-orang yang berkerja di birokrasi atau priyayi. Oleh karena itu, istilah seperti “kiri,” “liberal,” tidak dipahami dalam istilah tata bahasa di Indonesia.3

Melalui pendekatan Budaya, Clifford Geertz (1960) dalam pene-litiannya di Mojokuto Jawa Timur, menyusun kategorisasi masyarakat kedalam trikotomi yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Penelitian jenis antropologi yang dilakukan Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953 sampai September 19544 ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang

sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Trikotomi Agama Jawa itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa adalah kemampuan mendes-kripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.

2 Lihat Afan Gaffar, Javanese Voters, A Case Study of Election Under s Hegemonic Party System, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. Hlm. 9.

(7)

Hasil perenungan Geertz sampai pada kesimpulan bahwa santri adalah kelompok muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Bagi santri pada tahun 1950-an, taat terhadap agama berarti mengupayakan agar Islam menjadi landasan atau asas bagi penge-lompokan politik, seperti parpol dan negara. Karena itu, mereka men-dirikan parpol berasas Islam, dan pada tahun 1950-an mereka juga mengupayakan agar Indonesia berasaskan Islam. Sebaliknya, Abangan adalah kelompok Muslim yang tidak taat menjalankan kewajiban agama Islam, apalagi memperjuangkan agar negara berasaskan Islam. Bagi Kelompok Abangan, Islam tidak penting dalam kehidupan sosial-politik. Dengan demikian tidak heran apabila kemudian kelompok Abangan lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan di dunia pada waktu itu, yakni komunisme. Sementara Priyayi adalah kelompok Muslim yang secara kultural dekat dengan Abangan, namun yang membedakan mereka adalah dari cara berperilaku yang lebih halus dan datang dari pegawai pemerintah.

Dikotomi yang terjadi antara Santri (tradisional) dan Abangan, dalam prakteknya keseharian tidaklah ekstrim, karena ada titik temu

(8)

diantara kedua kutub tersebut. Baik Santri maupun Abangan, kedua-duanya adalah Islam, sehingga dalam kehidupan praktis keagamaan ada momen dan aktivitas yang mempersatukan mereka terutama pada kelompok Santri Islam Tradisional (warga Nahdliyin).5

===================================================== Ortodoks Ortodoks

Modern Tradisional Sinkretis ____________________________________________________________ Santri Abangan

Sumber: Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.

Lebih Jauh Karl D. Jacktion (1978) menempatkan varian Santri kedalam dikotomi Modernis dan Tradisionalis ortodok, dan varian lainnya ditempatkan sebagai sinkretis. Dalam hal ini kelompok Modernis secara politik direpresentasikan oleh Masyumi, PMI (Partai Muslimin Indonesia), dan Muhammadiyah, sementara Tradisionalis ortodok direpresentasikan oleh Nahdatul Ulama.6

Format politik aliran sebagai mana dikemukakan Geertz, bisa ditelusuri ketika ia mendiskusikan hubungan antara agama dan politik dengan santri jawa di mojokuto sebagai berikut:

5 Peneliti melakukan observasi kedalam masyarakat yang merepresentasikan dari kelompok Abangan dan Santri. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa baik mereka yang Abangan maupun yang Santri pada acara ritual keagamaan seperi acara tahlilan, yasinan, kajatan, acara kematian mereka bersatu. Apalagi dalam acara kematian, baik yang Abangan maupun yang Santri melakukan kerja sama dan sebenarnya masyarakat Abangan secara tidak langsung dalam acara-acara seperti kematian dan perkawinan mau tidak mau harus bekerja sama dengan yang Santri untuk mengurus upacaranya. Yang membedakan mereka adalah pada pelaksanaan ajaran Islam seperti shalat, puasa atau naik haji. Bagi yang Abangan, umumnya mereka tidak menjalankan shalat dan puasa dalam bulan Ramadhan, apalagi melakukan ibadah Haji. NU mampu menciptakan mekanisme inklusi sosial yang smooth. Orang Abangan masuk dalam komunitas Santri secara halus tanpa harus melepas identitasnya semula. Sebab pada praktiknya di desa-desa, mereka hampir tidak pernah mempermasalahkan secara vulgar apakah sholat lima waktu atau tidak; puasa penuh di bulan ramadhan atau tidak. Meski hampir selalu ada ceramah agama di dalam forum tahlilan, namun tidak dalam seruan yang keras.

(9)

He went on to talk about the ideology and said that Islam means slamet (well being). Thus Islam means to wish in the heart intensely so as to reach slamet. He said (the Islamic Leader): ‘if we want a slamet life we must go by the Islamic ideology which is based on the Koran and Hadist. To do this.... we struggle in three arenas in the home, in society, and in politics. Politics concerns with how we will be able to group the state. This must be done both by revolt by election. And if be done not by revolt but by election. And if the state police, the civil service, the national radio, the national news paper...and obviously this will be much faster than merely struggling in the home. The change one person can make in twenty years of effort in the home can be made one year through politics”.7

Dengan demikian sangat dipahami apabila orang santri melihat hubungan antara agama dan politik bagaikan hubungan manis dan gula seperti Kyai Besar Isya Anshari kemukakan.8 Alasan bahwa Islam

merupakan petunjuk yang lengkap bagi dunia modern; ini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Bagi seorang santri untuk menja-lankan Islam secara lengkap mereka harus juga mendukung organisasi sosial politik yang dapat mendukung nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Dalam pandangan tersebut diatas kita dapat melihat bahwa faktor relogio-kultural dapat menjadi dasar identifikasi untuk seseorang dengan partai politik tertentu. Santri akan mengidentifikasi mereka dengan partai politik yang merefleksikan nilai-nilai ajaran agama, atau paling tidak dengan sebuah partai yang memperjuangkan pelaksanaan nilai-nilai keislaman dalam masyarakat, sementara abangan akan cenderung mengidentifikasikan diri dengan partai politik yang punya pandangan sekuler dan paling tidak menunjukkan budaya abangan atau merefleksikan Islam/orientasi politik non-santri.

(10)

2. Potret Aliran Di Tengah Masyarakat Malang

Di tinjau dari segi keberagamaan, khususnya pemeluk Islam, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang terbagi ke dalam dua kelom-pok besar yaitu kelomkelom-pok masyarakat yang tingkat keberagamaannya minimal (Abangan), dan masyarakat dengan tingkat keberagamaan yang taat (Santri). Lebih jauh, dalam kelompok masyarakat Santri terbagi lagi ke dalam dua kelompok yaitu Santri Modernis dan Santri Tradisional. Santri Modernis9 biasanya diidentikan dengan

Muham-madiyah, sementara Santri Tradisional diidentikan dengan NU. Sebagaimana umumnya Daerah di wilayah Provinsi Jawa Timur, Malang memiliki banyak pondok pesantren, mulai dari yang tradisional sampai pesantren modern.10 Pesantren tidak hanya tempat

untuk melakukan transfer ilmu keagamaan, namun juga sekaligus mewariskan kultur kepada Santri dan masyarakat dilingkungan pesantren itu. Dalam kultur pesantren, kyai merupakan tokoh sentral sekaligus figure kharismatik yang segala perkataan dan perbuatan menjadi contoh dan panutan masyarakat. Legitimasi religius yang dimiliki oleh sosok kyai, secara sosial sangat penting dalam menjamin ketertiban dalam masyarakat, namun karena sifat kepemimpinannya yang patron-client sangat sulit untuk menumbuhkan kehidupan demokratik yang menjamin adanya independensi dari Pemilih.

Walaupun kultur masyarakat Santri kelihatan semarak, namun sisi lain masyarakat Kota dan Kabupaten Malang masih banyak sekali perilaku abangan. Bahkan dalam realitasnya, antara mereka yang tergolong Santri dibanding dengan Abangan, secara kuantitatif masih sedikit lebih banyak masyarakat yang teridentifikasi sebagai abangan.

9 Terkait dengan Santri Modernis di Kota dan Kabupaten Malang, yang paling menojol adalah Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Hijbutahrir, sementara Persis tidak begitu menonojol. Namun dalam aktivitas politik Hijbutahrir tidak berperan aktif. Hijbutahrir berpendapat bahwa politik sekarang tidak cocok dengan syariat Islam, karena bagi mereka konsep khilafah paling sesuai dengan Islam. Hasil wawancara dengan salah satu anggota Hijbutahrir pada bulan Desember 2008, di rumahnya di Taman Embong Anyar I Kabupaten Malang.

(11)

Bukti nyata dari besarnya kaum Abangan ini, ketika pemilu, mayoritas dari masyarakat memilih partai Nasionalis, khususnya PDIP dalam pemilu 1999 maupun 2004. Sementara, kalau dilihat dari sisi kultur, Santri yang banyak di temui di Kota dan Kabupaten Malang adalah Santri Tradisional yang umumnya berafiliasi dengan partai-partai yang punya kedekatan secara sosiologis maupun historis dengan organisasi Islam Tradisional yaitu NU. 11

Selain punya banyak varian dalam perilaku keberagamaan, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang juga punya keragamaan dalam etnis, seperti Arab, Cina, Madura, Sunda, Bugis Makasar, ter-masuk etnis utamanya yaitu Jawa. Walaupun pluralitas etnis di Kota dan Kabupaten Malang tergolong tinggi, namun konflik horizontal yang melibatkan etnis boleh dibilang jarang terjadi.12 Walaupun

demikian, masih terdapat sekat-sekat yang membatasi komunikasi sosial dan politik antar etnis ini, sehingga perlu adanya pengembangan wacana multi-kulturalisme di Kota dan Kabupaten Malang.13

Disamping mempunyai tingkat keragaman sosial, ekonomi, budaya, suku/ras, dan agama yang tinggi, Malang juga mempunyai letak geografis yang upayas bagi pertahanan dan keamanan serta faktor historis politis yang penting khususnya masa Orde Lama. Oleh

11 Pada pemilu 1999 dan 2004 umumnya kelompok Santri Tradisional di Kota dan Kabupaten Malang berafiliasi dengan Partai Kebangkitab Bangsa. Hal ini bisa dibuktikan dari kemenangan signifikan PKB dibanding dengan partai-partai lain yang punya kedekatan dengan NU. 12 Menurut hasil observasi penulis, selama tinggal di Malang, etnis pendatang yang paling dominan adalah etnis Madura. Kelompok etnis ini tidak hanya berhasil masuk dan sukses di dunia perdagangan, namun juga di bidang politik, birokrasi, dan pendidikan. Di bidang pendidikan misalnya di Unibraw, pimpinan tertingginya, hampir tidak pernah diganti oleh orang selain dari etnis madura, di birokrasi pemerintahan, pada tahun 2002 sampai dengan 2008, dan di Kabupaten Malang Wakil Bupati peride 2005-2010 yang sekaligus sebangai Ketua DPD Golkar termasuk etnis Madura. Menurut saya, yang menjadikan etnis Madura bisa diterima di Kota dan Kabupaten Malang, walaupun ada resistensi secara laten akibat perilaku yang sedikit agresif, dikarenakan adanya kesamaan agama dan kesamaan kultur yaitu kultur pesantren yang sangat menghargai kyai.

(12)

karena itu Kota dan Kabupaten Malang menjadi tolak ukur keamanan dan ketertiban baik di tingkat regional Jawa Timur maupun Nasional. Kondisi tersebut membawa Malang menjadi tempat bagi lokasi penempatan kekuatan militer dan pemusatan latihan.14

3. Fondasi Sosial Budaya Yang Menopang Berkembangnya Politik Aliran di Malang

Kota dan Kabupaten Malang merupakan bagian dari wilayah provinsi Jawa Timur. Berdasarkan karakter budaya yang dimilikinya, provinsi Jawa Timur dapat dibagi menjadi 10 wilayah kebudayaan, yaitu tlatah kebudayaan besar ada empat; Jawa Mataraman, Arek, Madura kepulauan, Pandalungan. Sementara tlatah yang kecil terdiri atas Jawa Ponoragan, Samin (sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), dan Madura Kangenan (Ayu Sutarto, 2004).15 Masing-masing kelompok

etnik tersebut memiliki identitas masing-masing, disamping keung-gulan atau kelebihan baik yang terkait dengan produk maupun kinerja kulturalnya.

Tlatah kebudayaan Jawa Mataraman berada di sebelah barat. Wilayahnya paling luas, membentang dari perbatasan Provinsi Jawa Tengah hingga kabupaten Kediri. Wilayah ini mendapat pengaruh kuat dari kerajaan Mataram, baik pada masa Hindu-Budha maupun era kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta. Karena itu wilayah ini mempunyai kemiripan dengan budaya masyarakat Yogyakarta dan Surakarta. Wilayah Budaya Mataraman dibagi lagi menjadi Mataraman Kulon, Mataraman Wetan, dan Mataraman Pesisir. Pembagian ini didasarkan pada jejak sejarah dan budaya lokal yang berkembang. Ciri yang paling mudah untuk mengenali ketiga wilayah Mataraman ini bisa dikenali melalui bahasa yang dipergunakan. Dari segi kedekatan budaya dengan Jawa

14 Beberapa instalasi militer yang ada di Kota dan Kabupaten Malang, antara lain Korem 083 Baladhika Jaya, Kodim Kota, Kodim Kabupaten, Ajudan Jenderal Kodam, Resimen Induk Milliter Kodam V Brawijaya, Hukum Kodam Brawijaya, Dodik Bela Negara Kodam Brawijaya, Bataliyon Pembekalan dan Angkutan Divisi 2 Kostrad, Bataliyon Infanteri 512/QY, Perhubungan Kodam V Brawijaya, Bataliyon Altileri Medan I, Divisi Infanteri 2 Kostrad. Bataliyon Kavaleri Serbu, Bataliyon Infanteri 502 Kostrad, Brgadir Infanteri 18 Kostrad. Hasil Observasi selama penelitian ini dilaksanakan di Kota dan Kabupaten Malang.

(13)

Tengah, Mataraman Kulon lebih kuat. Bahasa jawa yang diperguna-kan lebih halus jika dibanding dengan bahasa Jawa Mataraman Wetan, yang wilayahnya bekas Keresidenan Madiun.

Samping Timur Mataraman merupakan tlatah budaya Arek. Sisi Timur Kali Brantas menjadi batas antara wilayah Mataraman dan Arek. Tlatah budaya Arek membentang dari utara ke Selatan, dari Surabaya hingga Malang. Setelah industrialisasi masuk, menjadi tempat tujuan bagi pendatang yang menjadikannya daerah ini sebagai tempat peleburan budaya di Jatim. Meski luas wilayahnya hanya 17% dari keseluruhan luas Jatim, hampir 49% aktivitas ekonomi Jatim ada di wilayah arek. Dengan demikian budaya Arek ini merupakan sentuhan dari aneka kultur baik lokal maupun asing, dan membentuklah komunitas Arek. Masyarakat yang berkultur Arek ini terkenal dengan semangat juang tinggi, mempunyai solidaritas kuat, terbuka terhadap perubahan, mau mendengarkan saran orang lain, dan mempunyai tekad dalam menyelesaikan segala persoalan melalui cara yok opo enake, ( baca: solusi agar sama-sama senang).

Komunitas budaya terbesar ke tiga adalah Madura.16

Wilayah-nya adalah Madura. Karakteristik kultur wargaWilayah-nya pun berbeda dengan masyarakat di tlatah Mataraman. Menurut Kuntowijoyo (2002), keunikan Madura adalah bentukan ekologis tegal yang khas, yang berbeda dari ekologis sawah di Jawa. Pola pemukiman terpencar, tidak memiliki solidaritas desa, sehingga membentuk ciri hubungan sosial terpusat pada individual, dengan keluarga inti sebagai dasarnya. Karakteristik lingkungan dan budaya inilah yang membuat banyak orang madura berimigrasi ke daerah lain, terutama Jawa Timur bagian Timur. Oleh karena itu dari Jawa Timur bagian timur ini bisa dikatakan sebagai tanah tumpah darah kedua orang Madura Pulau. Lingkungan bermukim orang Madura yang berdampingan dengan orang Jawa, kawasannya disebut Pandalungan. Menurut Prawiroatmojo (1985), kata pandalungan berasal dari kata dasar “dhalung” artinya periuk besar. Wadah bertemunya budaya sawah dengan budaya tegal atau budaya Jawa dengan budaya Madura, yang membentuk budaya

(14)

Pandalungan. Hasilnya, masyarakat yang berciri agraris-egaliter, bekerja keras, agresif, ekspansif, dan memiliki solidaritas yang tinggi, tetapi masih menempatkan pemimpin agama Islam sebagai tokoh sentral. Daerahnya meliputi Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, dan Jember.17

Sementara wilayah di ujung Timur, yaitu Banyuwangi. Daerah ini merupakan pertemuan tiga budaya yaitu Jawa, Madura, dan Osing. Budaya Osing merupakan warisan kebudayaan Kerajaan Blambangan (abad ke-12) merupakan sentuhan dari budaya Jawa Kuno dan Bali. Orang-orang Osing dikenal sebagai petani rajin dan seniman andal. Tari Gandrung merupakan simbol dari budaya Osing. Komunitas budaya lainnya adalah Tengger dan Samin. Orang Tengger tinggal di dataran tinggi Tengger dekat gunung Bromo. Mereka mepertahan-kan adat istiadat Hindunya, sedangmepertahan-kan orang samin tinggal di daerah Bojonegoro yang berbatasan dengan Jawa Tengah.

Dalam peta budaya masyarakat Malang masuk dalam wilayah “Mataraman” akan tetapi secara kultural lebih banyak dan dekat dengan budaya “Arek”. Menurut sejarah kerajaan, Malang masuk dalam daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. 18 Oleh karena itu

17 Dalam konsteks geopolitik dan geokultural, masyarakat pandalungan merupakan bagian dari masyarakat tapal kuda. Masyarakat tapal kuda adalah masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tapal kuda, yakni suatu kawasan di Provinsi Jawa Timur yang membentuk lekukan mirip ladam atau kasut besi kaki kuda. Kawasan ini memiliki karakteristik tertentu dan telah lama menjadi kantong pendukung Islam kultural dan kaum abangan. Pendukung Islam kultural dimotori oleh para kyai dan ulama, sementara kaum abangan dimotori oleh tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh yang tegabung dalam aliran kepercayaan. Secara garis besar ciri-ciri masyarakat pandalungan adalah sebagai berikut: 1). Sebagian besar agraris tradisional, berada dipertengahan jalan antara masyarakat tradisional dan masyarakat industri; dan tradisi dan mitos mengambil tempat yang dominan dalam kesehariannya. 2). Sebagian besar masih terkungkung tradisi lisan tahap pertama (primary orality) dengan ciri-ciri suka mengobrol, ngerasani (membicarakan aib orang lain), takut menyimpang dari pikiran dan pendapat yang berlaku umum. 3). Terbuka terhadap perubahan dan mudah beradaptasi. 4). Ekspresif, transparan, tidak suka memendam perasaan atau berbasa basi. 5). Paternalistik: keputusan bertindaknya mengikuti keputusan yang diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan. 6). Ikatan keluarga sangat solid sehingga penyelesaian masalah seringkali dilakukan dengan cara keroyokan. 7). Sedikit keras dan temparamental. Lihat Ayu Sutarto, Ibid.

(15)

masyarakat Malang memiliki produk kebudayaan yang tidak jauh berbeda dari komunitas Jawa yang tinggal di Surakarta dan Yogyakarta yang juga merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Masya-rakat Jawa Mataraman ini pada umumnya masyaMasya-rakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten dan Kota Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bojonegoro.

Dilihat dari pola kehidupan sehari-harinya masyarakat Malang mempunyai sebagaimana pola kehidupan seperti orang Jawa pada umumnya. Pola bahasa Jawa yang digunakan, meskipun tidak sehalus masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, mendekati kehalusan dengan masyarakat Jawa yang terpengaruh kerajaan Mataram di Yogyakarta. Begitu pula pola cocok tanam dan sistem sosial yang dianut sebagai-mana pola masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Pola cocok tanam dan pola hidup di pedalaman Jawa Timur, di sebagian besar, memberi warna budaya Mataraman tersendiri bagi masyarakat ini. Sedangkan selera berkesenian masyarakat ini sama dengan selera berkesenian masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam masyarakat Jawa Mataraman ini banyak jenis kesenian seperti ketoprak, wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang, dan berbagai tari yang berkait dengan keraton seperti tari Bedoyo Keraton. Sementara, sebagai masyarakat yang mempunyai kultur areknya, masyarakat Malang dikenal mem-punyai semangat juang tinggi, terbuka terhadap perubahan, dan mudah beradaptasi. Komunitas Arek juga dikenal sebagai komunitas yang berperilaku bandha nekat.19 Malang juga merupakan kota tujuan

(16)

dari daerah lain seperti Gresik, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo, Blitar, Probolinggo, Jember, dan sebagainya.

Melihat kenyataan tersebut di atas, Kerajaan Majapahit dan Mataram menjadi penting dalam membicarakan masyarakat Malang yang mempunyai kultur “arek”. Kerajaan Majapahit memberikan kontribusi pada tiga hal: Pertama, bahasa tunggal yang tidak memiliki tingkatan dalam berbahasa yang digunakan dalam wilayah budaya Arek. Kedua, pola kekuasaan yang dipimpin atau diserahkan pada warga lokal. Ketiga, wilayah budaya Arek merupakan jangkar bagi Majapahit untuk menguasai wilayah lainnya di Jawa Timur dan sekitarnya. Kerajaan Mataram juga memberikan kontribusi, seperti munculnya ragam bahasa bertingkat karena munculnya raja-raja baru yang mendorong posisi mereka yang berbeda dari rakyat jelata, terlepas dari dampak baik atau buruk.20

Dalam peta wilayah budaya Jawa Timur, budaya Arek terletak di sisi timur Kali Brantas. Dengan demikian, budaya Arek meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang, termasuk Kediri dan Blitar yang dibatasi oleh Pare ke timur. Meski tidak bersifat matematis, kedelapan wilayah tersebut—aliran Kali Brantas ke timur— menentukan lahirnya budaya Arek. Surabaya dan Malang dianggap sebagai pusat pusat budaya Arek, kedua wilayah tersebut memiliki beberapa kesamaan. Pada masa pemerintahan kolonial, Belanda memperlakukan konstruksi arsitekturnya secara sama dalam beberapa hal, misalnya bentuk-bentuk bangunan dan nama daerah.21

Posisi Kota dan Kabupaten Malang menjadi pintu gerbang bagi arus informasi, pendidikan, perdagangan dari luar Malang, hal ini menyebabkan masyarakat Kota dan Kabupaten Malang relatif terbuka dan heterogen. Yang menarik komunitas Arek ini dengan sikap keterbukaaannya itu bisa menerima berbagai model dan jenis kesenian apa pun yang masuk ke wilayah ini. Berbagai kesenian Tradisional hingga modern cepat berkembang di wilayah ini. Kesenian Tradisional (rakyat) yang banyak berkembang di sini adalah Ludruk, Srimulat, wayang purwa Jawa Timuran (Wayang Jek Dong), wayang Potehi (pengaruh kesenian Cina), Tayub, tari jaranan, dan berbagai kesenian

20 Kompas, 21 Juli 2008.

(17)

bercoral Islam seperti dibaan, terbangan, dan sebagainya. Sementara kesenian modern berbagai gaya, corak, dan paradigma berkembang pesat di Kota dan Kabupaten Malang. Seni rupa bergaya realisme, naturalisme, surialisme, ekspresionisme, pointilisme, dadaisme, dan instalasi berkembang pesat di wilayah ini. Begitu pula model teater, tari, musik, dan sastra kontemporer sangat pesat perkembangannya di wilayah Arek ini. Sikap keterbukaan, egalitarian,22 dan solidaritas

tinggi itu mendorong berbagai kesenian macam apa pun bisa berkembang di Kota dan Kabupaten Malang sebagai wadah budaya Arek.23

Di sisi lain, agama Islam menjadi nilai dasar sosial yang penting di Kota dan Kabupaten Malang. Dimana dalam struktur sosial masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, kyai ditempatkan menjadi aktor penting sekali dalam kehidupan masyarakat. Sistem pendidikan pesantren dan tradisi pendidikan pesantren, seperti sorogan dalam pelajaran di pesantren menempatkan kyai menjadi agen penting dari kehidupan sosial sosio-ekonomi masyarakat Kota dan Kabupaten Malang. Oleh karena itu tidak heran apabila kesenian yang berkem-bang di wilayah Kota dan Kabupaten Malang banyak diwarnai nilai-nilai Islam. Mulai dari tari Zafin, Sandur, Dibaan, dan sebagainya.

Karena kyai dan pesantren ditempatkan sebagai posisi upayas dalam sistem sosial masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, maka kyai dan pesantren seringkali menjadi agen penting dalam masyara-kat. Bahkan dalam banyak hal kyai dan pesantrennya, secara kultural, bisa pula sebagai agen pembaharuan dalam masyarakat Kota dan Kabupaten Malang. Oleh karena itu banyak sastra modern yang dipengaruhi sastra Timur Tengah berkembang di sekitar pesantren dan kyai ini. Para penyair modern dan sajak-sajak modernnya berkembang di sekitar komunitas Santri ini.

22 Ketika ditelusuri lebih jauh, budaya arek yang melatar belakangi budaya di kawasan Kota dan Kabupaten Malang lahir dari perpaduan berbagai aliran budaya: Hindu, Budha, Islam, Mataraman, Kristen, dan Kolonial. Perpaduan budaya tersebut, menurut Ratna Indraswati Ibrahim, cerpenis Malang, membuat orang Malang lebih egaliter, terbuka, toleransi, dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Keterbukaan sikap masyarakat arek semakin terlihat setelah Kota Malang berkembang menjadi kota pendidikan, pariwisata, peristirahatan, dan militer. www.siwah.com

(18)

Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila pola hubungan sosial politik masyarakat Malang mempunyai corak yang dilandasi magis-religius, hal ini menjadikan wajah politik di wilayah Kota dan Kabupaten Malang secara keseluruhan dapat di identikan dengan langgam kekuasaan yang cenderung Tradisional, meskipun terjadi transformasi kekuasaan yang berulang akan tetapi mentalitas kultur kekuasaan masih dalam frame kekuasaan hamba–kawula. Kekuasaan yang seharusnya dilihat sebagai relasi antar manusia selalu dipandang sebagai hak/nasib adi kodrati sehingga memunculkan banyak paradoks kekuasaan yang banyak mengadopsi struktur peme-rintahan modern, yang oleh Weber dilukiskan sebagai neo-patrimonial.24

Banyak fenomena pemimpin yang mengklaim memiliki hubungan genetis dengan raja – raja kuno, pemakaian gelar – gelar kuno juga banyak di lakukan untuk mendapatkan legitimasi kosmologis. Meskipun tidak sekental masyarakat “tapal kuda “ masyarakat Kota dan Kabu-paten Malang juga meletakkan para pemimpin agama dan tokoh sebagai pemilik kekuasaan sosial secara informal.

Mayoritas penduduk Kota dan Kabupaten Malang secara riil beragama Islam. Ke-Islaman mereka terbagi ke dalam dua kelompok, pertama adalah kelompok Islam nominal dan kedua Islam yang taat, atau meminjam istilah Geertz (1960) sebagai Islam Abangan dan Islam Santri. Walau kedua kelompok ini sama-sama Islam namun dikarena kultur keberagamaannya berbeda maka dalam afiliasi politiknya pun tidak sama. Kelompok Islam Santri memilih partai Islam, sementara kelompok Islam Abangan memilih partai Nasionalis. Dengan kata lain, realitas aktualisasi aspirasi politik umat Islam Malang pada tataran empirik memperlihatkan sosok fenomena keberagaman kultur.

(19)

Sepanjang perjalanan sejarah perkembangan partai-partai politik dan pengalaman pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), realitas ekspresi penyaluran aspirasi politik umat Islam tidak terkosentrasi ke dalam satu wadah tunggal partai Islam, akan tetapi menyebar secara bervariasi ke berbagai saluran partai politik yang ada di panggung arena politik nasional.

Dilihat dari segi pendidikan, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang yang berpendidikan dan yang kurang berpendidikan prosentase-nya kurang berimbang. Masyarakat yang terdidik adalah masyarakat yang berada di kawasan sekitar Kota Malang, sedangkan masyara-kat yang berada di pinggiran umumnya kurang mengetahui tentang apa tujuan serta visi dan misi partai yang dipilihnya terkesan seperti mereka sekedar ikut- ikutan. Kyai dan tokoh masyarakat masih menjadi simpul pengendali terhadap pilihan politik masyarakat. Kondisi ini merupakan bagian dari ciri khas dari kultur masyarakat Jawa yang patrimonial dengan pola sosial patron-clien.25 Maraknya kultur patrimonial

dalam masyarakat Malang telah berimplikasi pada kehidupan politik yang cenderung sentralistik karena kurang ada ruang dari masyarakat untuk mengekspresikan politiknya secara bebas.

Kyai atau ulama-ulama sebagai Patron yang dihormati dan sekaligus menjadi panutan dalam kehidupan spiritualnya, merupakan bentuk pengejawantahan nilai-nilai penting dalam kehidupan pesantren. Hal ini secara tidak langsung diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi yang terus diperkuat oleh berbagai macam ritual yang sekaligus sebagai pembeda dari kelompok lain. Mulai dari acara tahlilan, yasinan, dibaan, maupun acara khusus seperti wali-wali (ziarah ke makam wali-wali), istighosa dan khususiya (doa bersama), ataupun kunjungan tetap tiap bulannya ke pesantren tertentu sekedar sowan (baca : bertamu) pada kyai-nya menjadi tradisi yang melembaga dari kerajaan kyai. Dilihat dari sisi politik, kondisi ini merupakan lahan yang

(20)

potensial bagi partai politik untuk menjadikannya sebagai basis pendukung partai. Oleh karena itu sering kali menjadikan kyai dan para ulama dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk menggiring massanya ke partai politik tertentu.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pola afiliasi politik seperti apa yang di kemukakan Geertz, dimana pemilih Santri memilih partai Islam, pemilih Abangan memilih partai Nasionalis, dan pemilih priyayi memilih Golkar masih tampak. Golongan masyarakat Abangan di Malang cukup banyak, walaupun Malang ini terkenal dengan masyarakat yang Islamnya cukup besar. PDI-P memiliki pendukung yang cukup banyak yang dibuktikan dengan suara PDIP hasil pemilu 1999 dan 2004 yang signifikan dan hampir merata di setiap daerah (Kabupaten Malang, Kota Malang). Di Daerah Kabupaten Malang PDI-P meraih 510.450 suara (38,47%) pada pemilu 1999 dan 357.008 suara (28,97%) pada pemilu 2004.26

Dengan demikian, walau kultur pesantren cukup kuat mempengaruhi kehidupan masyarakat Malang, namun tidak serta merta menjadikan Malang sebagai basis partai Islam. Karakteristik Masyarakat Malang yang heterogen dengan kultur arek yang keras dan egalitarian telah menjadi tembok tebal bagi sebagian warga Malang dalam menahan pengaruh politik Islam yang datang dari kultur pesantren.27 Oleh karena

itu, walaupun mereka dalam kehidupan kesehariannya mereka bersatu padu dalam menjalankan ritual yang bercirikan Islam Tradisional seperti tahlilan, yasinan ataupun yang lainnya, namun dalam hal aspirasi politik

26 Hasil pemilu 2004, walaupun PDIP tetap menempati posisi pertama dalam perolehan suara, namun mengalami penurunan yang cukup besar. Data KPUD Kota dan Kabupaten Malang hasil Pemilu 2004, dan data hasil pemilu 1999.

(21)

mereka berbeda. Dalam sisi ritualitas keagamaan, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, dipermukaan memperlihatkan ciri-ciri masyarakat Islam, khususnya Islam Tradisional. Akan tetapi, dalam realitas politik mereka cenderung mengidentifikasikan dirinya ke partai Nasionalis, khususnya pada pemilu 1999 dan 2004 mereka berafiliasi ke PDIP. 28

Dalam lingkup yang lebih luas, kondisi tersebut dapat dijelaskan bahwa perilaku pemilih di Indonesia masih belum berubah dari pola yang berkembang sejak Pemilu 1955. Masyarakat tetap menyalurkan aspirasi politiknya dengan basis ideologi, sedangkan kelompok masya-rakat yang rasional hanya hanya sedikit. Kondisi tersebut menyebab-kan berbagai konsep, visi, dan platform yang ditawarmenyebab-kan menjadi tidak punya arti. Pada pemilu legislatif 5 April 2004, sejumlah partai memperebutkan suara dari kelompok masyarakat pemilih yang sama, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar yang memperebutkan kaum Nasionalis, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PK Sejahtera) mencari suara kaum Islam modern, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperebutkan suara kelompok Islam Tradisional. Hal ini dikuatkan oleh pandangan Ichlasul Amal (2004), bahwa hasil pemilu legislatif menunjukkan dengan jelas asal-muasal suara yang diperoleh empat besar partai pemenang pemilu, Golkar, PDI-P, PKB, dan PPP. Keempat partai itu mendulang suara dari kelompok Islam dan Nasionalis. Masyarakat masih mencoblos partai berdasarkan aliran, budaya, dan agama.

Di Jawa Timur, termasuk wilayah Kota dan Kabupaten Malang, ciri sosial dan budaya berpengaruh terhadap pola afiliasi politik. Masyarakat Tlatah Mataraman dari sejak 1955 hingga 2004 selalu loyal kepada partai yang Nasionalis. Orang Mataraman tidak suka yang mencolok, misalnya Islam yang terlalu Islam, karena mereka anggap tidak Nasionalis. (Kompas, 21 Juli 2008). Sebaliknya, mayoritas tlatah Madura dan Pandalungan lebih loyal kepada partai yang berbasis massa Islam Tradisional, NU (Orla), PPP (Orba), Partai Kebangkitan Bangsa (Orde Reformasi). Daerah dengan kultur Madura dan Pandalungan menempatkan Ulama dan Kyai dalam stratifikasi

(22)

sosial tertinggi dan masih sekaligus menjadi panutan yang pengaruh-nya ikut merembes ranah politik. Dalam pemilu 1999 dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang “merah”, dan lima tahun kemudian, dalam pemilu 2004 PKB yang “hijau” unggul.29

B. Profil Umum Partai Politik Yang Lolos Treshold

Pada pemilu 1999 ada sekita 48 partai politik yang ikut berkompetisi dalam pemilu, namun hanya ada enam partai yang lolos electoral threshold 2,5% yaitu PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Pada Pemilu 2004, jumlah partai yang ikut pemilu menurun drastris men-jadi setengahnya (24 partai), dari keenam partai incumbent hanya PBB yang tidak bisa lolos threshold 3% namun ada 2 partai yang baru masuk yaitu PKS dan Demokrat. Pada pemilu 2009, partai politik mengalami peningkatan kembali menjadi 38 partai politik yang ikut kompetisi. Dari ke 38 partai ini, ada 9 partai politik yang lolos parliamentary threshold 2,5%, 7 partai incumbent dan 2 partai baru yaitu Gerindra dan Hanura.

1. Partai Demokrat

Demokrat merupakan partai baru dalam perpolitikan Indonesia. Partai ini didirikan pada tahun 2001 oleh Soesilo Bambang Yudhoyono untuk memfasilitasi pencalonannya sebagai presiden. Sebagaimana aturan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum, bahwa untuk menjadi calon presiden harus didukung oleh partai politik, oleh karena itu SBY mendirikan partai politik sendiri, dari pada masuk dalam partai politik yang sudah ada. SBY merupakan figure militer yang dikenal reformis yang mendorong diakhirinya keterlibatan militer dalam politik. Pada masa pemerintahan Megawati, SBY diangkat menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, dan pada masa Pemerin-tahan Gusdur menjadi Menteri Politik dan Keamanan (1999-2001).

SBY termasuk seorang nasionalis, baik dalam karir politik mau-pun militer, oleh karena itu Demokrat juga secara umum merupakan partai yang tidak berbasis agama. Namun dalam hal pandangan ideologi, Demokrat nampaknya ingin memberi ruang bagi semua golongan agar bisa diakomodir. Oleh karena itu, Demokrat

(23)

kenalkan ideologinya dengan label “nasionalis-religius”. Walaupun SBY berasal dan punya kultur Jawa, namun dukungan terhadap Demokrat menyebar hampir diseluruh provinsi. Banyak dari kader dan aktifis Demokrat yang berasal dari Golkar. Kinerja electoral Demokrat sejak didirikan dan ikut pemilu pertama kali 2004 sampai pada pemilu 2009 menunjukkan tren yang meningkat. Pada pemilu 2004 perolehan suara Demokrat sebesar 7,4% dan pada pemilu 2009 meningkat menjadi 20,8%.

2. Partai Golkar

Golkar merupakan mesin politik rezim Orde Baru, sebagai saluran komunikasi dan kontrol antara pemerintah dan rakyat, dan juga sebagai sarana distribusi patronase dan pengembangan sumber daya. Golkar menjadi partai politik yang perolehan suaranya selalu menjadi mayoritas tertinggi dalam setiap lima tahun pemilu yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Soeharto. Jatuhnya rezim Seoharto pada tahun 1998 menimbulkan krisis dalam internal Golkar. Banyak pemimpin teras partai keluar dari Golkar dan mendirikan partai sendiri seperti Hartono (Partai Karya Peduli Bangsa, PKPB), Edi Sudrajat (Partai Keadilan dan Persatuan, PKP), dan Golkar harus menerima kenyataan perolehan suaranya pada pemilu 1999 dan 2004 hanya se-pertiga dari perolehan suara ketika masa rezim Orde Baru. Walaupun demikian, hal ini merupakan prestasi, mengingat gugatan dan tantangan yang besar melanda partai ini menjelang reformasi. Hal yang menjadi keuntungan dari Golkar untuk tetap bertahan adalah kekuatan jaringan organisasinya yang besar dan dengan reputasi sebagai partai yang dapat memberikan keuntungan kongkrit bagi rakyat.

(24)

provinsi, namun yang paling banyak pendukunganya datang dari provinsi luar Jawa, terutama wilayah timur. Beberapa tokohnya seperti Jusuf Kalla yang merupakan wakil Presiden periode 2004-2009 dan Agung Laksono Mantan Ketua DPR merupakan tokoh populer di Golkar yang berlatar luar Jawa bagian Timur.

3. PDIP

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), merupakan partai yang punya akar historis panjang. Partai ini punya ikatan dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Selama pemerintahan Soeharto, PDI mulai dari tahun 1970an sampai pertengahan 1990an partai ini menjadi salah satu pilar demokrasi yang selalu ikut pemilu dengan dua partai lainnya Golkar dan PPP, sebagai partai yang dilegalkan untuk ikut pemilu. Namun ketika kepemimpinan PDI dipegang oleh Megawati yang merupakan anak pertama dari Soekarno, pemerintah mulai resisten dengan PDI, dan pada tahun 1996, Megawati diberhentikan dengan paksa dari Ketua Umum PDI melalui kudeta, yang terkenal dengan “kuda tuli”.

Seiring dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto, Pendukung Megawati mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan pada pemilu 1999 menjadi partai terbesar dengan memenangan 33,7% suara. Perolehan suara terbesar yang diperoleh PDIP tidak bisa menghantarkan Megawati sebagai Presiden, dan baru bisa menjadi Presiden setelah Gusdur di impeach akibat kasus korupsi. Namun kinerja pemerintahan Megawati tidak menunjukkan progress yang baik, berbagai kebijakannya dianggap bertolak belakang dengan kepentingan wong cilik, oleh karena itu pada pemilu 2004 performa partai ini mengalami penurunan dan harus menelan kekalahan dengan perolehan suara 19% dikalahkan oleh Golkar dengan 21%. Dan pada pemilu 2009 PDIP turun lagi perolehan suaranya menjadi 16,03%.

(25)

memperjuangkan kepentingan masyarakat umum. Namun demikian, semua itu tidak secara jelas ditunjukkan dalam berbagai kebijakan, akan tetapi hanya bisa dilihat dari berbagai respon terhadap isu sensitif yang muncul dari waktu ke waktu. Salah satu kebijakan kontroversial yaitu Undang-Undang anti pronografi, yang dikeluarkan tahuan 2008, dalam posisi ini PDIP menentang.

PDIP menerima dukungan dari hampir semua provinsi, akan tetapi paling populer berada di Jawa dan Bali. Kekuatan utama PDIP ada di figur Megawati, oleh karena itu dalam pemilihan Ketua Umum selalu terpilih, walau menjelang pemilu 2009 sudah ada faksi yang menghendaki adanya perubahan kepemimpinan. Setelah SBY, mungkin Megawati merupakan tokoh yang paling populer dalam perpolitikan Indonesia, namun track record ketika Megawati menjadi Presiden dan lemahnya gagasan dan kemampuan intelegensi serta kurangnya generasi muda yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin teras PDIP telah mereduksi performa partai. Oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan citra PDIP, namun dengan tetap mempertahankan Megawati sebagai Ketua Umum.

4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai Islam yang telah banyak menarik perhatian karena peningkatan spektakuler dalam perolehan suara. Pada pemilu 1999, partai ini maju dengan nama Partai Keadilan (PK), namun partai ini hanya mendapatkan 1,7% suara, namun pada pemilu berikutnya (2004) bisa meningkatkan perolehan suaranya hampir 4 kali lipat menjadi 7,3%, dan pada pemilu 2009 menjadi 7,9%. Partai ini dipimpin oleh kader-kader yang penuh semangat dan berlatar berpendidikan tinggi yang berasal dari kader-kader organisasi mahasiswa Islam. Partai ini sukses mempergu-nakan organisasi dan teknik kampanye yang diperkenalkan demo-krasi Barat. Hal ini mendorong partai Islam lain untuk melakukan upaya serupa dengan merubah upaya kampanye yang lebih modern. Banyak yang memprediksikan bahwa partai ini akan menjadi salah satu kekuatan partai Islam di Indonesia.

(26)

sebelum pemerintahan Soeharto. PKS diidentikan dengan partai Islam Modernis yang merupakan citra dari partai Masyumi yang lahir pada tahun 1950an. Akan tetapi PKS juga telah berupaya untuk melakukan perbaikan citra sebagai partai Islam. Sedikit banyak kesuksesan yang diraih pada pemilu 2004 berasal dari kampanye untuk memenangkan pemilih terdidik perkotaan dengan melontarkan isu korupsi dan pemerintahan bersih. PKS banyak mendapat serangan dari lawan politiknya, yang dianggap punya agenda tersembunyi, untuk mene-rapkan syariat Islam dibalik citra toleran dan partai inklusif. Besarnya tantangan yang dihadapi dalam menggalang pemilih Islam, PKS berusaha untuk mengembangkan basis konstituennya. Oleh karena itu, pada pemilu 2009, partai ini tidak lagi kelihatan sangat hijau karena mengendorkan kampanye yang berbasis kepentingan Islam, bahkan dalam beberapa kasus tertentu menjadikan caleg dari agama lain seperti di Papua. Menjelang pemilu 2009, PKS juga membuat isu kontroversial dengan mendukung mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan Nasional.

Pimpinan teras PKS tidak ada yang popoler sebagai mana partai-partai papan tengah atas lain, partai-partai ini sangat menekankan pada kinerja organisasi sebagai kekuatan dengan sistem kaderisasi yang baik dan solid. Satu tokoh paling populuer adalah Hidayat Nurwahid, karena pernah menjadi Ketua MPR.

5. Partai Amanat Nasional (PAN)

Partai Amanat Nasional didirikan oleh Amin Rais, seorang tokoh reformasi dan paling berjasa dalam melakukan perubahan kepemimpinan Orde Baru 1998. Amin Rais merupakan akademisi, dosen jurusan Hubungan Internasional UGM, dan juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam terbesar kedua setelah NU di Indonesia. Walaupun Amin Rais berlatar belakang Islam Modernis, namun partai ini tidak di design untuk menjadi partai Islam. PAN berusaha menjangkau seluruh elemen masyarakat, khususnya kelompok menengah perkotaan. PAN pada pemilu 1999, kinerja electoralnya cukup menjanjikan dengan perolehan suara 7,1%.

(27)

sebagai partainya Muhammadiyah. Oleh karena itu banyak dari kalangan kader yang berlatar belakang Muhammadiyah merasa kecewa dan mendirikan partai baru yang bernama Partai Matahari Bangsa (PMB). Menjelang pencalon presiden 2009, terjadi polemik diinternal PAN, yang berakibat pada pergantian kepemimpinan dari Soetrisno ke Hatta Rajasa yang sekarang menjadi Menko Perekonomian.

6. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Partai Kebangkitan Bangsa didirikan oleh mantan Presiden Abdurahman Wahid (yang lebih dikenal dengan Gusdur) tahun 1998. Walau didirikan setelah kejatuhan Soeharto, partai ini sebenarnya punya ikatan historis dan sosiologis dengan partai yang didirikan tahun 1950an yaitu Partai Nahdhotul Ulama sebagai representasi dari kelompok Islam tradisional. Basis pendukung utama PKB merupakan kelanjutan pendukung NU yang tersebar diseluruh Jawa Timur, utamanya di wilayah tapal kuda. Walaupun punya pendukung dari kelompok Islam, PKB cenderung lebih di design sebagai partai non Islam dengan asas Pancasila. Sebagaimana pendirinya yang sangat konsen dengan pluralisme beragama, partai ini pun menekankan pentingnya keragaman budaya dan agama.

Walaupun PKB punya dukungan kuat di Jawa dan berhasil mendapatkan suara yang mengesankan pada pemilu 1999, namun partai ini terus mengalami penurunan kinerja electoralnya akibat konflik internal partai yang melibatkan Gusdur sebagai pendiri partai dengan para ketua umumnya, dan terus berlanjut sampai menjelang wafatnya Gusdur. Perpecahan terjadi mulai dari diberhentikannya Matori Abdul Jalil, Alwi Sihab, Saefullah Yusuf, sampai Muhaimin Iskandar yang merupakan keponakan Gusdur sendiri. Konflik Gusdur dengan Muhaimin sampai berlanjut di pengadilan, dan Gusdur dinyatakan kalah. Pada pemilu 2009 terjadi penggembosan oleh Gusdur dan putrinya Yeni Wahid yang mengakibatkan PKB kehila-ngan suara signifikan dekehila-ngan perolehan suara 4,6%.

7. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

(28)

Orde Baru dibawah Soeharto, hanya ada tiga partai yang boleh ikut pemilu yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Sebagian pemimpinnya berlatar belakang Islam Tradisional NU, dan yang lain berasal Islam Modernis Muhammadiyah. Setelah Orde Baru bubar, sebagian konstituennya banyak yang beralih ke partai lain, utamanya partai yang punya hubungan historis dengan NU seperti PKB. PPP berusaha menunjuk-kan karakter sebagai partai Islam dengan mempertahanmenunjuk-kan simbol ka’bah sebagai lambang partai, mendorong dan mendukung diberla-kukannya piagam Jakarta. Partai ini pada pemilu 1999 cukup populer dengan posisi ke tiga dalam perolehan suara dan menjadikan Hamzah Haz sebagai wakil Presiden mendampingi Megawati. Namun kinerja partai ini terus mengalami kemunduran pada pemilu-pemilu berikutnya. Setelah Hamzah Haz, kepemimpinan PPP di pegang oleh Suryadarma Ali, yang menjadi menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

8. Partai Bulan Bintang (PBB)

Partai Bulan Bintang merupakan partai Islam Modernis lain selain PKS dan PAN. Partai ini punya hubungan historis dengan Partai Masyumi, hal ini bisa dilacak dari para pendiri partai yang merupakan keturunan dari para tokoh Masyumi seperti Ahmad Sumargono, Yusril Ihza Mahendra. Oleh karena itu basis pendukungan PBB banyak datang dari pemilih di luar Jawa sebagaimana Masyumi tahun 1955. Pada pemilu 1999 PBB menjadi salah satu partai yang lolos electoral threshold 2,5%, namun pada pemilu 2004 partai ini dinyata-kan tidak lolos karena tidak memenuhi perolehan suara minimum 3% sebagaimana ketentuan baru threshold walau suaranya mengalami peningkatan. PBB sangat kental dengan ideologi Islam, sebagaimana yang terbaca dalam platformnya yang menjadikan Islam sebagai asas partai.

9. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)

(29)

mendampingi Megawati pada pemilu 2009. Kinerja electoral Gerindra tidak se bagus pendahulunya Demokrat, partai ini pada pemilu 2009 hanya memperoleh suara 3,0%. Menjelang pemilu 2009, Gerindra sangat banyak melakukan kampanye lewat media televisi dengan mengusung isu kemandirian ekonomi yang banyak menyerang kebijakan SBY yang dianggap terlalu liberal dalam visi ekonominya.

10. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)

Partai Hati Nurani Rakyat merupakan partai lain yang didirkan oleh mantan jenderal semasa Orde Baru. Partai ini didirikan oleh Wiranto yang juga didirikan dalam rangka mendukung pencalonan sebagai presiden. Wiranto pernah menjabat sebagai Panglima ABRI, dan Menteri Pertahanan semasa Presiden Soeharto dan Gusdur, Wiranto merupakan rival dari Prabowo ketika menjelang berakhirnya pemerintahan Soeharto, dan juga punya bayang-bayang kasus HAM. Wiranto tidak punya dukungan finansial kuat sebagaimana Prabowo, akan tetapi mempunyai jaringan luas serta koneksi dengan para pensiunan dan para petinggi TNI. Dalam kampanyenya lebih meng-utamakan pemakaian caleg lokal yang potensial dari pada mempergu-nakan media massa. Oleh karena itu, dalam pemilu 2009 partai ini, walaupun lolos Parliamentary Threshold, namun kinerja electoralnya paling buncit dengan perolehan suara 3,8%.

C. Pembilahan Politik Berbasis Aliran dan Kondisi Electoral 1. Fragmentasi Politik Berbasis Aliran

(30)

(1999) membagi masyarakat ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok Nasionalis (PDI-P), Pembangunan (Golkar), Agama (PBB) dan Sosialisme (PRD). Sedangkan Suryadinata (2002) mengkristalkan kembali pemikiran dan aliran politik yang ada ke dalam dua kategori besar, yaitu, Pancasila dan Islam Politik (Political Islam).

Formulasi Feith (1970) yang mengungkap lima kutub aliran. Yaitu, Islam, Nasionalisme radikal, sosialisme, komunisme, dan Tradisionalisme Jawa. Tumbuhnya kelima aliran itu dipengaruhi oleh dua sumber utama, yakni: khasanah Barat (modern) dan domestik (Hindu-Buddha dan Islam). Dari situlah mengejawantah heteroge-nitas partai. Feith melihat kelima aliran itu saling terkait (cross-cutting). Nasionalisme radikal dengan representasi PNI terkait dengan NU; Islam dengan representasi Masyumi bersama NU; Tradisionalisme Jawa dengan representasi Partindo terkait PNI dan NU; sedangkan sosialisme demokrat dengan representasi PSI terkait Masyumi dan PNI. Kecuali aliran komunisme yang diwakili PKI menjadi kutub terpisah sendiri. Pola penggolongan Feith tersebut tampaknya men-dobrak kesemerawutan pandangan ideologi yang kaku.30

Sebenarnya kategorisasi politik berbasis aliran seperti model Geertz, Feith, dan Soekarno itu sudah banyak mendapatkan kritik karena dianggap hanya mewakili potret masyarakat Jawa dan sejak keruntuhan Orde Baru, model itu dianggap sudah tertinggal dari perkembangan politik kontemporer. Meski demikian, teori politik aliran bagaimanapun masih tetap dipakai sebagai kerangka perspektif dalam memahami basis pembilahan orientasi politik atau pengelompo-kan religio-sosial, serta hubungan sistem kepercayaan dan realitas politik. Begitupun dalam pembahasan disini, penulis akan memper-gunakan penglompokan politik model Geertz yaitu Islam vs Nasionalis sebagai alat analisis.

(31)

1.1. Partai Politik Islam31: Asal Usul, Isu, dan Basis Kelompok

Pemilih

Kalau kita menengok ke belakang, sejarah berdirinya partai politik Islam di inspirasi oleh adanya keinginan untuk membentuk wadah politik tunggal untuk perjuangan ummat Islam pasca kemerde-kaan 1945. Sesuai dengan manifestasi politik pemerintah yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta bulan November 1945 semua golongan ummat Islam sepakat untuk membentuk suatu wadah politik tunggal yang bernama MASYUMI (Moh. Sjafaat Mintaredja, 1971).

Partai Politik Masyumi ini didukungan oleh organisasi-organi-sasi Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PSII. Akan tetapi kebersamaan ketiga ormas Islam ini mengalami perpecahan dalam mendukung Masyumi pada tahun 1948 dengan dibentuknya kembali Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dibawah pimpinan Arudji Kartawinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1953 disusul dengan keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dan menjadi partai politik sendiri. Sampai pemilu 1955 praktis basis kelompok pendukung Masyumi yang secara formal mendukung adalah Muhammadiyah. Walapun pada akhirnya, Muhammadiyah harus menyatakan diri mundur dari keanggotaan istimewa Masyumi sebelum partai ini dibubarkan pada tahun 1960.32

Isu yang muncul dari partai Islam sering berhubungan dengan upaya pembentukan negara Islam dan pelaksanaan syariat. Dalam periode pasca pemilu 1955, pertarungan ideologis di arena pemilu juga terjadi di arena parlemen ketika bersidang untuk menentukan dasar Negara. Kelompok Islam mengajukan Islam sebagai Dasar Negara, sementara Kelompok Nasionalis mengajukan Pancasila sebagai Dasar Negara. Guna menunjukkan kedekatan ideologis dengan kelompok Muslim, partai-partai Islam mendesain lambang partai dengan simbol-simbol yang mencirikan nilai-nilai keislaman.

Dalam Pemilu 1955, secara Nasional, Partai Masyumi (Majelis

31 Yang dimaksud dengan parpol Islam dalam penelitian ini adalah parpol yang secara formal mencantumkan Islam sebagai asas partai dan parpol yang secara sosiologis punya kaitan dengan Islam seperti PAN dan PKB.

(32)

Syuro Muslimin Indonesia) menempati peringkat kedua dalam perolehan suara pemilih (20,9%) dan NU (Nahdatul Ulama) mendu-duki urutan ketiga dengan perolehan suara pemilih (16,68%). Kedua partai ini dikenal sebagai partai politik berbasis Islam yang menonjol diantara partai-partai Islam yang ada di panggung politik nasional pada masanya. Partai-partai berbasis Islam lainnya seperti PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), AKUI (Aksi Kemenangan Umat Islam) dan PPTI (Partai Persatuan Tharekat Indonesia) jauh terpuruk dipapan bawah dan meraih suara sangat sedikit. Keempat partai Islam tersebut adalah partai-partai kecil yang dalam percaturan politik dipentas nasional tidak memiliki peranan dan suara yang signifikan dan posisi mereka berada diarena pinggiran saja.

Masa Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran yang salah satunya disebabkan karena dibubarkannya Partai Masyumi akibat menolak mendungkan ideologi Nasakom. Dengan memudarnya kekuatan politik Islam, menyebabkan partai-partai Islam menjadi terpinggirkan dari arena kekuasaan. Setelah masa demokrasi terpimpin berakhir, dan Orde Baru tampil memegang kendali kekuasaan, umat Islam mempunyai harapan besar kembali Masyumi. Harapan itu berubah menjadi kekecewaan karena “Rezim Orde Baru tidak memperbolehkan Masyumi tampil kembali sebagai partai politik. Sebagai gantinya, rezim Orde Baru mengizinkan berdiri-nya Parmusi”. Itu pun dengan catatan, tokoh-tokoh eks-Masyumi dilarang terlibat dalam kepengurusan partai. Hal itu menunjukkan adanya niat awal untuk memarginalkan peran politik Islam.

(33)

kemasyarakatan, tetapi yang berkaitan dengan politik rezmim Orde Baru membatasinya, bahkan melarangnya.

Memasuki era reformasi sistem kenegaraan Indonesia menga-lami perubahan yang mendasar, yaitu dari sistem politik otoriter dengan supremasi militer menjadi sistem politik demokrasi. Salah satu ciri dari sistem politik demokrasi adalah kebebasan untuk membentuk partai politik. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pasca Orde Baru partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan, tidak hanya partai-partai yang berbasi Islam, tetapi juga partai-partai berbasis Nasionalis. Dengan beragamnya partai politik yang muncul dan berkembang di era reformasi, ada kecenderungan partai-partai tersebut menghadirkan ruh politik yang berkembang pada massa Orde Lama yaitu politik aliran.

Walaupun demikian, diantara elit-elit partai yang tergiur untuk mengembalikan romantisme politik masa lalu, masih ada sebagian elit yang tidak merasa perlu untuk menghadirkan politik aliran sebagaimana pernah ada. Di antara elit-elit tersebut, sebutlah Amin Rais dan Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Amin Rais membidani lahirnya Partai Amanat Nasional, sementara Gus Dur mendorong lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa. Kedua partai ini walaupun secara riil kekuatan massa pendukung ada dalam segmen pemilih Islam namun keduanya tidak mencantum kan Islam sebagai dasar Partai, melainkan Pancasila. Dan pada kenyaataannya terbukti bahwa pada pemilu 1999 maupun 2004 baik PAN maupun PKB sebagian besar suaranya diperoleh dari basis sosiologis masing-masing. PAN dari kelompok Islam Modernis, seperti Muhammadiyah dan Ormas Islam Modernis lainnya, sementara PKB berasal Kelompok Islam Tradisional yaitu NU.

(34)

terbuka, dengan tidak menjadikan Islam sebagai dasar ideologi partai, PKS secara formal jelas mencantumkan Islam sebagai dasar ideologi partai. Partai Islam yang ikut pemilu 1999 terdiri dari partai yang secara eksplisit dan formal menyatakan diri sebagai partai Islam atau partai yang didasarkan atas asas Islam, termasuk juga di sini adalah partai politik yang mempunyai akar sosiologis berdirinya partai. Dalam pemilu 1999, yang secara formal menyatakan diri sebagai partai Islam adalah PPP, PBB, PK, PUI, PSII, PSII 1905, PNU, PKU, Partai Politik Islam Masyumi, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, dan yang secara sosiologis masuk kedam partai Islam adalah PAN dan PKB. Sementara partai-partai Islam yang secara sosiologis berakar dalam organisasi sosial keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah adalah PKB dan PAN. PKB adalah partai yang didirikan oleh para elite NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Walaupun secara formal NU tidak menyatakan PKB sebagai partai NU, namun di bawah kepengu-rusan Gus Dur, sebagian besar elite dan pengurus NU mendukung dan duduk dalam kepengurusan PKB. Pada pemilu 2004 partai Islam, terdiri dari Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan, partai Keadilan Sejahtera, dan partai Bintang Reformasi, PAN dan PKB.

Sementara itu PAN didirikan oleh sejumlah aktivis dan intelek-tual dengan latar belakang keagamaan lebih beragam. Karena itu sejak awal partai ini mengklaim dirinya sebagai partai terbuka yang punya komitmen terhadap pluralisme keagamaan. Tapi kepemim-pinan Amien Rais dan sejumlah figur di jajaran elite PAN membuat partai ini secara sosiologis cukup mudah diidentikan dengan umat Islam yang berafiliasi dengan ormas Islam terbesar kedua, yakni Muhammadiyah. Karena itu cukup beralasan kalau partai ini secara sosiologis juga dimasukkan ke dalam kategori partai Islam.

Partai Islam yang ikut kontes dalam pemilu 2004 berjumlah 7 partai, terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang.

(35)

Syariat Islam dan Negara Islam dalam kampanyenya, sebagaimana dilakukan PKS. Ketika masih bernama Partai Keadilan (PK), dengan mengusung isu Islam partai ini tidak mendapatkan suara yang signifikan dalam pemilu 1999. Di Parlemen hanya memperoleh 7 kursi. Namun setelah melakukan pembenahan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di mana isu yang diluncurkan lebih riil dan menjadi dambaan masyarakat, seperti penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi dengan semboyan “bersih dan peduli”, PKS yang pada pemilu 1999 hanya menadapat 7 kursi, pada pemilu 2004 menjadi 45 kursi.

Hasil Pemilu Legislatif 2004, dari 24 partai yang ikut menjadi kontestan pemilu, sebanyak 17 partai politik mendapat kursi di DPR RI. Dari tujuh partai Islam yang berlaga pada pemilu kali ini, tiga partai mengalami penurunan dukungan suara (PPP, PKB dan PAN) dan dari tiga partai politik lainnya meningkat, yakni PKS, PBB, dan partai persatuan Nahdatul Ummah Indonesia (PPNUI). Satu partai lagi adalah pendatang baru, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR).

Pada pemilu 2004, partai Islam Modernis diwakili oleh PAN yang inklusif, sementara yang Konservatif diwakili oleh PBB yang eksklusif. Di sisi lain partai Islam Tradisionalis diwakili oleh PKB yang inklusif dan PNU yang eksklusif. Perkembangan selanjutnya, nampak ada kecenderungan partai-partai Islam membuka diri ke segmen massa yang lebih lebih luas, sebagai contoh PKS yang sudah membuka diri kepada luar yang bukan dari kalangan Santri.

Pada pemilu 2009, yang dapat terdeteksi sebagai partai Islam umumnya merupakan partai yang sudah pernah ikut dan berganti nama, atau partai Islam yang lulus threshold. Diantara partai-partai Islam yang ikut pemilu 2009 antra lain PBB, PKS, PAN, dan partai baru PMB merupakan partai berbasis Islam modernis, sementara yang mewakili partai Islam tradisional adalah PKB, PPP, dan PKNU yang merupakan partai lama dengan baju baru ( the old wine in the new bottle).

(36)

pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Bung Karno merupakan simbol dari partai Nasionalis ini.

Dalam perjalanan politiknya Soekarno banyak mengalami benturan – benturan dengan kalangan Islam, dimana polemik yang paling tajam adalah seputar dasar negara dengan tokoh paling terke-muka kalangan Islam saat itu, Mr. Mohammad Natsir. Partai Nasionalis Indonesia (PNI) cukup mendapat sambutan, hal ini dibuktikan dengan hasil pemilu 1955 yang meraih suara signifikan dibanding dengan partai-partai lainnya. Dari empat besar perolehan suara pada pemilu 1955 PNI mendapatkan 22,3% suara, Masyumi 20,9% suara, NU 18,4% suara, dan PKI mendapat 16,4% suara. Dengan melihat kekua-tan empat besar partai pemenang pemilu menunjukkan adanya kekuatan yang seimbang antara partai Islam berbanding dengan partai Nasionalis plus Komunis, dengan rasio 39,3% berbanding 38,7%, dengan selisih hanya 0,6%. Sementara peroleh kursi di Parlemen, PNI mendapat 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI mendapat 39 kursi.

Memasuki periode Orde Baru, pemerintah berusaha menyeder-hanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Dalam pengelompokan ini ada partai yang merasa tidak pas masuk kedalam kelompok spiritual yaitu Partai katolik dan Parkindo, akhirnya mereka memutuskan untuk bergabung dengan kelompok Nasionalis.33 Akhirnya pada tanggal 4 Maret 1970 terbentuk kelompok

(37)

Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai katolik. Selanjutnya pada tanggal 14 Maret Tahun 1970 terbentuk kelompok spiritual yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Penyederhanaan (baca: penciutan) baru tuntas pada tahun 1972. Partai-partai Islam seperti NU, Parmusi, Perti, dan PSII dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan Partai Katolik, Parkindo, IPKI, PNI, dan Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, organisasi politik yang mengikuti pemilu tahun 1977 tinggal tiga. Bersamaan dengan itu, akar partai di tingkat desa dan kecamatan diputus, dan hanya diizinkan sampai daerah tingkat Kota atau Kabupaten (floating mass). Pada pemilu 2004, partai Nasionalis berjumlah 16 partai yang terdiri dari Partai Sarikat Indonesia, Partai Golkar, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Patriot Pancasila, Partai Demokrat, Partai Persatuan Daerah, Partai Merdeka, Partai Indonesia Baru, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan. PDI-P, PNBK, Partai Pelopor, PNI Marhaenisme, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Buruh Sosial Demokrat.

Partai-partai tersebut berorientasi Nasionalis lintas agama, dan masing-masing berasas Pancasila. Dilihat dari sosiologi elite partai-partai ini sangat pluralistik dilihat dari kategori Islam versus non-Islam. Secara historis, PDI-P adalah pelanjut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang hampir identik dengan figur Bung Karno. Sementara itu, Partai Golkar dan PKP adalah partai yang hadir dari elite Orde Baru, terutama kelompok militer dan birokrasi, yang pada masa Orde Baru telah berhasil membebaskan partai-partai politik dari afiliasinya dengan kelompok keagamaan tertentu, setidaknya secara formal.

(38)

Partai politik yang berideologi Nasionalis, dalam pemilu 2009 menunjukkan adanya perkembangan. Selain PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat, ada dua partai Nasionalis baru yang cukup mendapat apresiasi dari pemilih yaitu partai Hanura dan Partai Gerindra. Partai Hanura merupakan partai yang didirikan oleh Wiranto seorang pensiunan jenderal yang pernah jadi Menkopolkam era pemerintahan Gus Dur. Di sisi lain Partai Gerindra didirikan oleh Prabowo Subianto, yang juga seorang pensiunan jenderal.

2. Kondisi Umum Electoral dan Politik Aliran

Dari 48 partai politik pada pemilu 1999, tercatat ada 10 partai politik yang secara formal berasaskan Islam.34 Sementara yang lainnya

berasaskan Pancasila dan dua partai yang berasaskan gabungan antara Pancasila dan Islam. Pada Pemilu 2004 hanya diikuti oleh 24 partai politik, 9 partai yang terkategorikan partai Islam, 14 partai Nasionalis, dan 1 partai Kristen (PDS)

Kategorisasi ideologis, khususnya Islam, yang didasarkan pada asas partai yang secara formal tercantum dalam AD/ART tidak akan mampu mendalami secara substantif dari partai politik yang bersang-kutan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun ada partai yang secara formal mencantumkan asas selain Islam, namun dalam praktiknya basis massa mereka adalah pemilih Islam. Di sisi lain, figur-figur elit partai dilihat dari latar belakang keagamaannya termasuk tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi keberpihakannya terhadap Islam. Sebagai contoh PAN yang didirikan oleh Amin Rais yang punya latar belakang sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah, termasuk PKB, ada Gus Dur yang merupakan tokoh Islam mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Nahdlotul Ulama. Begitupun ada beberapa partai yang dibangun, walaupun tidak mengatasnamakan partai Islam, tapi konstituen yang dibidiknya adalah konstituen Islam. Kalau dianalisis dari asal usul partai serta basis pemilih, yang mendukung partai-partai peserta pemilu 1999, 2004, 2009 masih sejalan dengan politik aliran,35 sebagaimana yang berkembang pada

34 Secara formal berasas Islam artinya partai tersebut mencantumkan Islam secara formal sebagai asas partai dalam AD dan ART nya.

(39)

organisasi-pemilu 1955.36 PDIP yang merupakan representasi dari pemilih

Abangan sebagai kelanjutan dari PNI, PKB dan PPP kelanjutan dari partai tradisionalis NU yang merupakan representasi dari pemilih Santri Tradisional, PAN, PBB dan PK kelanjutan dari partai mordernis Masyumi representasi dari pemilih santri Modernis, sementara Partai Golkar merupakan representasi dari pemilih Priyayi.37 Pada pemilu

1955 priyayi merupakan kelompok pemilih yang mendukung PNI. Jika kita bandingkan dengan partai-partai peserta pemilu 1955, dimana PNI dan PKI mewakili kelompok Nasionalis dengan basis pemilih Abangan. PNI mendapat dukungan terbesar dari Abangan kelas menengah atas dan birokrat (priyayi), sementara PKI kelompok Abangan kelas bawah. Di sisi lain Masyumi dan NU yang mewakili kelompok partai Islam, Masyumi merupakan basis bagi pemilih Santri Modernis dan NU merupakan basis pemilih Santri Tradisional. Dengan demikian tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa partai politik pada pemilu 1999, 2004, 2009 pasca reformasi ada ada keterkaitan dengan partai politik pemilu 1955.

Namun demikian, ada perbedaan dalam persaingan politik yang dirasakan cukup penting untuk dikemukakan. Pada pemilu 1955 Masyumi dan NU sebagai partai pemenang empat besar yang mewakili segmen pemilih Santri. Di tingkat legislatif (DPR dan Konstituante) kedua partai ini berjuang untuk menggolkan syariat Islam atau negara

organisasi sosial dengan kehidupan dari suatu sistem sosial yang kompleks (dari suatu infrastruktur sosial dan kebudayaan di pedesaan dan perkotaan). Karena itu terbentuk suatu aliran politik yang terformulasikan melalui istilah-istilah yang lebih bersifat ideologis. Sebenarnya perumusan tentang aliran politik di Indonesia telah dinyatakan di dalam pemikiran Soekarno tentang rumpun ideologi utama di Indonesia (Nasionalisme, Islam, dan marksisme). Namun klasifikasi tiga kelompok itu dianggap masih mengandung banyak kesulitan. Sebab tiap-tiap kategori sifatnya masih terlalu heterogen. Contohnya, perbedaan yang tajam antara kaum komunis dengan kaum sosialis, kelompok-kelompok yang radikal dan keningratan di kalangan Nasionalis, di samping pengaruh dari kehidupan subkultur terhadap kehidupan politik di kalangan Islam.

36 Perbandingan pemilu 1955 dan pemilu 1999 dibahas oleh King (2003). Dalam pembahasan tersebut King berkesimpulan bahwa pemilu 1999 dan 1955 mempunyai kemiripan, dimana partai-partai politik yang ikut pentas pada pemilu 1999 masih bercorak aliran karena masih merepresentasikan cleavages agama sama dengan pemilu 1955. untuk lebih jelasnya lihat Dwight Y. King, 124-126.

(40)

Islam, dan mereka setuju dengan Piagam Jakarta. Di sisi lain PNI dan PKI yang merupakan representasi dari kaum Abangan yang Nasionalis, dan ditingkat legislatif tidak berkehendak untuk menjadi-kan negara Islam, dan berjuang agar Pancasila dipertahanmenjadi-kan sebagai Dasar negara.38 Pada pemilu 1999, 2004, 2009 pertarungan politik

yang berpusat pada pembentukan jati diri negara dalam hal ideologi tidaklah menjadi tema persaingan partai politik. Persaingan antara partai Islam dan Nasionalis lebih fokus pada bagaimana mengisi negara Republik Indonesia ini dari perspektif ideologisnya masing-masing. Partai Islam berusaha agar Syariat Islam itu dapat teraktua-lisasi dalam kehidupan atau dalam hukum formal, seperti hukum waris atau ekonomi Islam.39 Lebih jauh, pada pemilu 1955 spektrum

ideologi kiri dan kanan masih jelas. Kutub terkiri dari garis idologi partai ditempati oleh PKI. Sementara pada pemilu pasca reformasi kutub kiri menghilang, yang ada hanya partai-partai yang berideologi tengah kanan.

Lebih jauh, sistem kepartaian yang dihasilkan dari pemilu yang dilaksanakan di Indonesia bisa dilacak sebagai berikut: Pada tahun 1955, Indonesia mempunyai model sistem kepartaian yang terpolarisasi dari hasil pemilu demokratis pertama sejak Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka Tahun 1945. Sistem kepartaian selanjutnya adalah sistem tiga partai yang dihasilkan dari pemilu yang dilaksanakan secara berturut-turut Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dengan suasana kehidupan demokrasi yang sedikit banyak terkurangi akibat intervensi dari rezim otoriter Orde Baru. Setelah terjadi reformasi politik 1988, sistem kepartaian yang dihasilkan kembali terfragmentasi walau tidak menunjukkan adanya polarisasi ideologis yang akut sebagaiman hasil pemilu 1955. Pemilu demokratis pasca Orde Baru dilaksanakan Tahun 1999, 2004 dan 2009. Kembalinya pemilu demokratis, sedikit banyak punya dampak

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis tanggapan 10 mahasiswa tentang materi kualitas hand out hasil penelitian pewarisan obesitas dalam keluarga sebagai bahan ajar mata kuliah Genetika

Faktor yang mendukung keberhasilan dalam pembinaan profesionalisme PB meliputi (1) kompetensi kepala SKB terutama kompetensi supervisi., (2) kepedulian dan perhatian kepala

Demikian dikatakan Direktur Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, Johan Susmono dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Kasubdit, A Susesno ketika membuka acara TOT

64 Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf Tajwid dan Terjemah (t.. Ayat tersebut mengandung makna bahwa wanita hamil itu mempunyai masa idah, yaitu hingga

Bab tiga, tentang temuan hasil penelitian yang meliputi: deskripsi analisis, dan ritual dalam hubungan lakhõmi dengan penghormatan perempuan terhadap laki-laki

Dalam kajian Filologi, kata naskah dan manuskrip digunakan secara bergantian dengan pengertian yang sama, yaitu dokumen tulisan tangan kuno... [

„Alaqah secara istilah berarti segumpal darah yang beku yang melekat di rahim, atau proses terjadinya „alaqah yang berasal dari nuṭfah menjadi darah yang membeku dan melekat

Az írásbeli fordulóban legeredményesebb elméleti feladatmegoldó: Turi Soma , ELTE Apáczai Csere János Gyakorlógimn., Budapest A számítási feladatok legjobb