• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH

M EMAHAMI A RTI P ENTING P ARTAI B AGI P EMILIH

1.3. Membela Kelompok Terpinggirkan

Pemilih Abangan memandang bahwa PDIP merupakan partai pembela wong cilik, sementara simbol wong cilik yang mereka lihat adalah Megawati sebagai pimpinan partai. Kenapa Megawati yang dijadikan simbol, menurut salah seorang pemilih simpatisan PDIP, alasannya karena “Megawati sudah lama terjun di politik dan sudah lama berjuang untuk PDI.” Sebagian pemilih menyatakan bahwa Megawati menjadi figure di PDIP sekarang sangat diperuhi oleh kharisma Bung Karno, Megawati yang merupakan putri Bung Karno dianggap mewarisi ajaran dari ayahnya. Ajaran Bung Karno, mengenai Marhaenisme, merupakan cita-cita politik yang harus diperjuangkan. Sementara marhaenisme sendiri merupakan simbol politik yang merujuk pada sebuah masyarakat kelas bawah atau apa yang disebut dengan “wong cilik”. Oleh karena itu Bung Karno dengan partainya

yaitu PNI pada masa Orla dianggap sebagai partainya wong cilik. Pada saat Orde Baru, PDI, walaupun tidak selamanya Megawati jadi pimpinan di partai namun keluarga Soekarno tetap dipakai sebagai

vote getter karena pimpinan teras PDI pada saat itu menyadari betul

bahwa ruh partai ini adalah keluarga Soekarno.

Aguk, salah satu simpatisan PDIP menyampaikan kepada penulis terkait dengan pilihan masyarakat terhadap partai berlam- bang kepala banteng sebagai berikut: “Para pemilih yang mencoblos PDI-P lebih banyak dipengaruhi oleh figur Pak Karno, sedangkan Megawati sendiri tidak begitu dijadikan figure, dia diterima karena sudah berjuang cukup lama. Oleh karena itu ketika Megawati menjadi presiden dianggap tidak menjalankan komitmennya untuk memper- baiki wong cilik, maka pada saat pemilu presiden banyak dari pemilih PDIP tidak mencoblos Megawati.“

Sementara banteng yang menjadi gambar dalam partai PDIP, bagi kalangan pemilih Abangan dianggap sebagai simbol perjuangan dari kalangan orang kecil. Oleh karena itu, simbol banteng ini tidak hanya dijadikan simbol partai tetapi juga dipakai dalam setiap kegiatan yang pada intinya menunjukan identitas kelompok marginal. Dalam bidang kesenian yang berasal dari kalangan Abangan, salah satu acara yang sering ditampilkan dalam setiap acara tujuh belas agustusan adalah bantengan.2 Karena para pemilih Abangan mema- hamani partai sebagai pembela wong cilik, maka partai yang menjadi representasi dari mereka apabila mendapat perlakukan tidak adil dari penguasa akan segera mendapat reaksi dengan membangun ikatan solidaritas yang lebih kuat untuk mendukung partainya. Hal ini terbukti dengan menang mutlaknya PDIP pada pemilu 1999, karena pada saat Orde Baru, Megawati yang menjadi pemimpin partai di “kuyo-kuyo” oleh pemerintah.

2 Dari hasil pengamatan penulis ketika menyaksikan acara tujuh belasan, tradisi kesenian bantengan ini menjadi suguhan utama dari kalangan masyarakat Abangan yang umumnya kelompok marginal. Dalam iring-iringan karnaval, barisan terdepan diisi oleh orang-orang yang membawa prototife kerbau yang terdiri dari kepala kerbau yang terbuat dari kerdus dengan kain hitam dibagian badannya dan dibelakangnya ada semacam ekor. Setelah itu dibelakang orang-orang yang berpakaian dan berdandan layaknya petani, buruh, atau apapun yang menurut mereka merepresentasikan kaum marginal.

Lebih lanjut, karena partai dipemahamani sebagai pembelaan kelompok kelas yang dimarginalkan, hal ini berujung pada tingkat fanatisme yang sangat besar dari para simpatisan partai, khususnya PDIP. Mereka merasa bahwa membela partai sama dengan membela nasibnya dan membela kelompoknya yang sama-sama wong cilik. Citra PDIP sebagai partainya orang kecil, dan orang kecil itu selalu identik dengan petani, buruh kasar, pedagang kaki lima yang umum- nya hanya mengandalkan tenaga, maka dalam setiap kampanye yang melibatkan massa, sebagian masyarakat merasa takut. Perilaku massa PDIP apabila berkampanye, khususnya ketika ada kompoi, dari mereka menunjukan adanya ekspresi yang tidak terkendali. Seolah-olah mereka ingin melampiaskan segala tekanan yang mereka rasakan akibat berbagai persoalan hidup.

Berkenaan dengan latar belakang spikologis pemilih Abangan yang umumnya kelompok marginal, ekspresi kekecewaan maupun ekspresi dukungan selalu diwujudkan dalam bentuk dan tidakan cenderung destruktif dan anarkis, jauh dari sikap dan tindakan santun dan bersahabat. Pembakaran kaos dan atribut partai, perusakan gedung dan simbol partai, ataupun bentuk dukungan cap jempol darah merupakan bagian dari ekspresi umum yang dipertontonkan oleh kalangan Abangan. Oleh karena itu bagi mereka, visi-misi serta platform partai sama sekali tidak hirau, kalau tidak dikatakan tidak paham. Bagi mereka tindakan rill yang bersifat praktis-pragamatis lebih bisa diterima. Orasi pimpinan partai yang berkualitas tidak mereka butuhkan, yang mereka butuhkan pidato bersemangat yang penuh propaganda, dan tidak kalah pentingnya adalah hiburan rakyat seperti dangdutan lebih mereka senangi.

Hasil temuan dilapangan, yang menarik adalah proses identifi- kasi diri mereka sebagai wong cilik tidak hanya dalam kontek peker- jaan atau pun keadaan sosial ekonomi, namun juga dari tingkat kebera- gamaan mereka. Bagi kelompok Abangan yang dinamakan wong cilik disamping bekerja sebagai buruh kasar atau secara ekonomi tergolong bawah, namun yang paling penting perilaku kesehariannya yang cenderung menjauh dari Langgar atau Mesjid, dan tidak taat dalam menjalankan syariat Islam. Walaupun mereka sama-sama secara ekonomi termasuk miskin, namun apabila taat beragama tidak mereka masukan dalam kelompok Abangan. Pada umumnya mereka yang

masuk dalam kelompok Abangan ini adalah wong cilik yang berprofesi sebagai buruh, baik itu buruh pabrik, baruh bangunan, buruh tani yang relatif tidak mempunyai waktu cukup untuk menja- lankan shalat, dan karena pekerjaannya yang berat mereka tidak bisa berpuasa. Ketakberdayaan dalam menjalankan keagamaan inilah yang sebenarnya memicu tumbuhnya perilaku keberagamaan yang minimal dari kelompok Abangan. Perilaku keberagamaan minimal yang awalnya disebabkan karena ketakberdayaan, berubah menjadi kebiasaan dan pada akhirnya menjadi budaya dan identitas atau karakter dari kelompok masyarakat tersebut.

Sementara di sisi lain ada sebagian wong cilik, seperti buruh tani atau petani dan pedagang kecil mengidentikan diri sebagai wong cilik tidak dalam konotasi kelompok Abangan. Mereka lebih cende- rung masuk dalam kelompok Santri, karena perilaku keberagamaan yang lebih baik. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa keberadaan wong cilik ini terbagi ke dalam dua kelompok yaitu ada wong cilik Abangan dan ada wong cilik Santri.