• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA HUBUNGAN PARTAI DAN PEMILIH

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH

B. Faktor Sosial Budaya, Pemahamanan, dan Pola Hubungan Pola hubungan partai dan pemilih sangat berkaitan dengan

1. Pemahamanan dan Pola Hubungan dalam Dimensi Ideologis Karl D Jackson (1978) yang menempatkan varian Santri ke

2.2. Pola Hubungan Politik Pemilih Abangan

Kelompok Abangan banyak membina hubungan dengan elit- elit partai politik yang berasal dari Partai Nasionalis. Bahkan dalam kehidupan sosialnya, para kader politik di tingkat lokal mempunyai

peran besar dalam membangun solidaritas kelompok Abangan ini. Kader politik di tingkat lokal ini menjadi media penyalur aspirasi dari masyarakat Abangan kepada para tokoh politik yang lebih tinggi. Dilihat dari aspek demografi, kelompok Abangan di Malang Raya, banyak mendiami wilayah-wilayah pinggiran atau sebuah perkam- pungan kota yang padat. Kalau dipedesaan umumnya mereka bermatapencaharian sebagai petani atau buruh tani, buruh bangunan atau kerjaan yang sifatnya insidental. Sementara mereka yang ada di perkotaan bekerja sebagai tukang parkir, tukang becak, pedagang kaki lima atau pekerjaan lain yang menunjukan bahwa mereka adalah kalangan wong cilik.

Dengan melihat karakter Abangan, walaupun pola patrimonial ini merupakan gejala umum dalam masyarakat jawa, namun tokoh panutan antara Santri dan Abangan ini berbeda. Kelompok Abangan, mereka yang menjadi panutan biasanya disamping tokoh politik lokal, juga aparat desa baik dari mulai Kepala Desa, Kepala Dusun, RW, RT. Dari pengamatan, banyak dari aparat desa, ketika pemilu tokoh formal ini sering didatangi oleh elit politik terutama dari Partai Nasionalis, untuk memberikan dukungan. Dan kenyataan di lapangan menunjukan bahwa sebagian besar mereka yang menjadi RT atau RW umumnya mereka yang berlatar belakang Abangan, sementara yang Santri cenderung lebih banyak mengurus kegiatan dan aktivitas di Langgar atau Mesjid.

Pola hubungan yang dibangun di lingkungan kelompok Abangan lebih banyak mempergunakan aktivitas kehidupan sosial masyarakat yang lebih dicirikan dengan pola kehidupan “guyub”. Tokoh masyarakat yang biasanya menjadi inspirator dan mobilisator masyarakat dalam kehidupan sosial, baik itu dalam kegiatan gotong royong untuk pembangunan lingkungan, bersih desa, maupun acara- acara yang melibatkan masyarakat seperti peringatan hari besar nasional, menjadi panutan dari masyarakat. Posisi tokoh yang aktif dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan biasanya sekaligus menjadi tokoh formal baik itu sebagai RT, RW, atau Kepala Desa. 3. Pemahamanan dan Pola Hubungan Dalam Dimensi Ekonomi

Di Malang Raya yang sebagian besar masyarakatnya berada dalam strata ekonomi menengah ke bawah, pemilu sering dijadikan

sebagai ajang transaksi bagi pemilih untuk mendapatkan imbalan sejumlah uang dari partai atau calon anggota legislatif. Apalagi pemilu pasca reformasi yang tengah ditempa krisis ekonomi, masyarakat akan sangat mudah tergoda dengan rayuan yang bersifat material, walaupun harus mengorbankan idealismenya.

Dengan demikian kehidupan politik praktis di Malang Raya, peran uang menjadi tidak terbantahkan. Fungsi uang menjadi domi- nan dan berperan upayas seperti “darah” yang mensuplai energi bagi berjalannya mesin politik. Bahkan boleh dikatakan partai politik tidak bisa hidup tanpa uang, seperti ungkapan yang mengatakan “money is the mother’s milk of politics”. Dan realitas yang terjadi, di era kepartaian di Malang Raya banyak partai yang terjebak dalam pola politik praktis pragmatis agar dapat survive dari pemilu ke pemilu.

Suasana kehidupan politik yang penuh dengan nuansa ekonomi, akan dapat dilihat dari program dan starategi partai serta perilaku politik pemilihnya. Partai dan caleg lebih tertarik untuk mem- buat program karikatif dan berbiaya tinggi dari pada menekankan pada aspek ideologi partai yang sifatnya jangka panjang. Sikap pemilih lebih pragmatis dalam mendukung dan memberikan suaranya kepada partai. Pemilih akan memilih partai tertentu dengan syarat mendapatkan imbalan berupa barang atau uang. Dengan demikian, pola hubungan partai dan pemilih lebih menunjukan pola transak- sional. Di Malang Raya pada pemilu 1999 pola transaksional itu sudah terjadi, namun lebih terfokus dalam lingkup partai dengan konstituennya, dan biasanya berupa bantuan sosial. Dalam pemilu 2004, pola transaksional ini sudah mulai merambah, tidak hanya antara konstituen dengan partainya namun juga dengan partai lain. Bentuk imbalan dengan partai lain sudah lebih spesifik yaitu pemberian barang dan uang kepada individu pemilih. Pada pemilu 2009, pola hubungan partai dan pemilih menjadi pola hubungan yang benar-benar transaksional. Banyak caleg yang harus menghabiskan uang ratusan juta, dan bahkan ada yang sampai milyaran hanya untuk dapat dipilih dalam pemilu 2009 yang sudah menggunakan sistem pemilu terbuka murni.

Menurut beberapa informan yang sempat penulis wawancarai, dalam pemilu 2009 setiap calon yang jadi minimun menghabiskan uang lima puluh juta untuk tingkat Kabupaten dan Kota di Malang

Raya. Di Kota Batu, caleg yang jadi menurut informasi, menghabiskan uang antara antara 150 juta sampai 400 juta. Uang yang dibagikan pada pemilih ada yang 20 ribu, 25 ribu, 50 ribu, sampai 100 ribu. Biaya yang lebih besar lagi tidak hanya untuk membeli suara pada pemilih, tapi biaya yang dikeluarkan oleh caleg guna membiayai tim sukses dan saksi. Seperti halnya Kota Batu, Kabupaten dan Kota Malang tidak jauh berbeda dalam persoalan politik transaksional. Bahkan biaya untuk memenangkan pemilu di Kota dan Kabupaten Malang relatif lebih besar ketimbang Kota Batu karena jumlah BPP yang lebih banyak dan jangkauan wilayah yang lebih luas.

Walaupun demikian, sikap atau perilaku transaksional tidak hanya berkembang di era pemilu 2009, namun juga terjadi pada era pemilu sebelumnya. Pada era pemilu 1999 pola perilaku transaksional hanya berkembang dalam basis mereka masing-masing, dari konstituen kepada partai bersangkutan. Dalam pemilu 2004, perilaku transaksional mulai berkembang, tidak hanya pada satu partai politik yang menjadi identifikasi politiknya, namun juga telah sedikit berkembang ke partai lain walaupun dalam keadaan terbatas. Dalam pemilu 2009 perilaku transaksional sudah tidak lagi teratur, semua partai bisa dan melakukan transaksi kepada pemilih. Semua segmen masyarakat sudah menjadi tempat pemasaran politik bagi semua caleg partai, dan para pemilih sudah terbiasa dengan produk-produk partai baru. Maka dalam pemilu 2009 menjadi ajang transaksi politik yang dilakukan oleh hampir semua partai politik lewat para caleg yang punya jaringan sosial dan bebas menentukan kendaran partai mana yang mereka pilih atau dapat. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam pemilu 2009 partai dan ideologi partai tidak lagi merupakan penentu utama dalam pemilu. Sehingga pemilu 2009 dapat dikatakan sebagai pemilu transaksional, seiring dengan kaburnya aliran politik.

C. Sitem Kepartaian dan Pemilu, Upaya Partai, dan Pola Hubungan