• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman Partai dan Agregasi Kepentingan

MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH

M EMAHAMI A RTI P ENTING P ARTAI B AGI P EMILIH

B. Pemahaman Partai dan Kinerja Partai Politik

2. Pemahaman Partai dan Agregasi Kepentingan

Selama ini agregasi politik banyak diwakili langsung oleh para anggota legislatif, mereka bertindak sebagai “wali” bukan “delegasi”. Praktik demikian akan baik apabila para anggota dewan benar-benar tahu dan merasakan apa yang dinginkan masyarakat. Namun pada kenyataannya banyak anggota dewan yang mengatasnakaman rakyat, akan tetapi kebijakannya justru lebih condong untuk kepenti- ngannya sendiri atau lebih jauh untuk kepentingan partainya. Sebagai contoh. PDI-P yang banyak disebut sebagai partai Nasionalis, dalam prakteknya tidak diterjemahkan dalam wujud kongkrit seperti Nasionalisme ekonomi, politik, dan budaya. Demikian pula partai Islam dan partai modern seperti Partai Golkar.

Sebagai organisasi politik, partai merepresentasikan berbagai aspirasi, kepentingan, dan ideologi yang ada dalam masyarakat. Melalui partai, semua aspirasi, kepentingan, dan ideologi diagregasi- kan menjadi sebuah kebijakan publik. Ketidakjelasan sikap parpol terhadap pemerintah barangkali merefleksikan ketidakkonsistenan partai menjaga haluan perjuangannya. Semangat perjuangan yang biasanya lekat dengan ideologi yang dibawa bisa saja berubah, tergantung kepentingan yang ditawarkan. Sebagian besar responden yang diwawancarai menganggap parpol telah berpaling dari ideologi dan konstituennya.

Tingkat kekritisan parpol, khususnya di Malang Raya, dalam mengevaluasi kebijakan-kebijakan pemerintah melemah, terbukti dari lolosnya proyek pembangunan Malang Town Square Garden (Matos) yang menjadi konstroversi dalam masyarakat Kota Malang karena menempati lahan hijau (area resapan air hujan). Hal ini menunjukan

bahwa sikap partai-partai besar—terutama yang terkooptasi oleh pemerintah—yang lebih banyak mengambil posisi sebagai mitra pemerintah. Perjalanan parpol di Malang Raya yang lebih banyak diwarnai dengan persaingan untuk mendapatkan kekuasaan. Masih sedikit—bahkan hampir tak ada—partai yang mau menempatkan dirinya sebagai agregator kepentingan masyarakat. Partai-partai politik tampaknya berdiri hanya dengan satu tujuan, yaitu “kekuasaan”. Kegairahan dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat nyaris tak tampak.

Implikasi lebih jauh dari kondisi tersebut, para kader politik baik yang ada di legislatif maupun yang ada di eksekutif banyak yang terlibat korupsi. Dewan Perwakilan Rakyat berperilaku korup. Para anggota Dewan seperti berlomba untuk menguras keuangan negara, sementara rakyat hanya jadi penonton dan kadang berlaku sinis karena mereka berlaku mewah sementara rakyat harus hidup melarat. 3. Pemahaman partai dan Rekruitmen Politik

Ichlasul Amal (1988), ideologi dan kepentingan merupakan basis sosiologis yang selalu menggerakkan parpol pada usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan. Pemanfaatan partai politik (parpol) sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan sebenarnya merupa- kan hal wajar dalam kehidupan politik. Parpol dan kekuasaan seolah identik satu sama lain karena melalui partai politik suksesi kepemim- pinan politik yang absah dilakukan. Di sisi lain, Mark N Hagopian (1978), menyebutkan bahwa parpol merupakan suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.

Oleh karena itu, salah satu proses politik yang penting bagi partai politik adalah rekruitmen politik. Proses ini sangat menentukan bagi kelangsungan aktivitas partai politik dan kualitas demokrasi. Proses rekrutmen yang dilakukan partai politik menjadi titik permulaan yang harus dilakukan partai politik terutama dalam proses pengkaderan anggotanya maupun promosi elite politik baru. Namun bagi sebagian besar partai politik di Indonesia, termasuk juga di Malang Raya, masalah tersebut tidaklah begitu diperhatikan. Kebanyakan partai politik hanya berorientasi bagaimana mendapat

kekuasaan secara cepat dengan biaya murah sehingga mengabaikan rekrutmen politik ini. Rekrutmen politik adalah sebagai fungsi mengambil individu dalam masyarakat untuk dididik, dilatih sehingga memiliki keahlian dan peran khusus dalam sistem politik. Diharapkan dari proses rekrutmen ini individu yang dididik dan dilatih tersebut memiliki pengetahuan, nilai, harapan dan kepedulian politik yang berguna bagi konsolidasi demokrasi.

Sebenarnya rekrutmen politik ini sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari aktifitas partai politik di manapun berada. Sayang- nya hasil temuan di lapangan, fungsi ini baru dapat berjalan ketika pemilu akan diadakan. Lemahnya fungsi rekrutmen politik ini sebenarnya sudah dapat dijumpai terutama sejak verifikasi partai politik dilakukan oleh KPU. Rekrutmen politik yang baik seharusnya dimulai dengan pendidikan politik yang dilakukan secara berkesinam- bungan oleh partai politik. Namun banyak partai politik tidak melaku- kannya karena berbagai kendala. Misalnya masalah keuangan yang memang menjadi masalah besar dalam perkembangan partai politik di Indonesia. Selain itu, tidak jelasnya ideologi partai politik berdam- pak pula pada visi, misi dan program yang partai politik tersebut. Sukar dinafikan bahwa partai politik yang ada belum memiliki tang- gung jawab untuk mencerdaskan masyarakatnya berpolitik. Bahkan partai politik tidak dapat melaksanakan rencana upayasnya seperti rekruitmen anggota secara berkesinambungan, pembinaan kader secara konsisten serta pengembangan kader ke tahap pembentukan elite politik. Ini semua merupakan bukti belum maksimalnya fungsi partai politik di negeri ini.

Rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat juga dapat dilihat dari kesulitan partai politik menyusun daftar calon keanggo- taan legislatif yang diajukan setiap pemilu. Tidak berjalannya pendidi- kan politik berdampak pada kualitas wakil rakyat yang diajukan partai politik. Paling tidak dari tiga pemilu sebelumnya dapat diambil pelaja- ran siapa yang dipilih dan bagaimana mekanisme mereka dipilih untuk duduk sebagai wakil rakyat di parlemen masih belum jelas. Kurangnya kader partai dan menguatnya politik kekerabatan ber- dampak pada proses penentuan calon anggota legislatif ini. Celakanya, dengan munculnya partai baru dalam setiap pemilu membawa

MEMAHAMI ARTI PENTING PARTAI BAGI PEMILIH

karena banyak calon yang diajukan tidak punya treck record yang jelas. Penjaringan calon-calon yang akan diajukan dalam pemilu jauh dari demokrasi karena penjaringan dilakukan di dalam mekanisme formal internal partai. Penjaringan di internal partai ini sarat dengan intervensi kepentingan personal dan kelompok sehingga sangat bergantung pada kedekatan personal dan hubungan baik dengan pimpinan teras parpol. Banyak calon yang terdaftar dalam urutan jadi (pada pemilu 1999 dan 2004) merupakan orang-orang yang punya hubungan dengan petinggi partai politik, atau merupakan orang yang didesakan dari kelompok organisasi tertentu yang diang- gap basis konstituen mereka, termasuk juga adanya unsur uang dalam pencalonan. Walaupun dalam lingkungan internal masing-masing partai ada aturan main untuk menseleksi calon dengan berbagai kriteria, namun dalam kenyataannya aturan tersebut kadang diabai- kan atau dimanipulasi. Sebagai kekecualian, rekrutmen calon yang ada di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), proses pencalegan sangat ketat karena penjaringannya dimulai dari tingkat bawah dengan aturan yang ketat.

Kondisi tersebut merupakan bias dari perilaku elit partai politik yang terjadi masa Orde Baru yang sarat dengan nepotisme. Masa Orde Baru, proses rekruitmen sarat dengan restu, surat sakti, nepotisme dan intervensi pemerintah. Partai politik bukan untuk menjaring kandidat anggota legislatif yang dapat menyuarakan aspirasi rakyat, namun hanya akan dijadikan sebagai legitimator bagi kebijakan rezim. Dengan demikian tidak dibutuhkan orang-orang yang punya idealis dan kemampuan yang baik, cukup dengan hanya sikap kooperatif dengan penguasa saja. Di sisi lain, ada hal yang cukup penting untuk dijadikan argumen dari rendahnya kinerja partai politik pasca Orde Baru adalah tingginya ketergantungan pada tokoh partai. Sebagai contoh, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ada Megawati, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ada Gus Dur, Partai Amanat Nasional (PAN) ada Amin Rais, dan Partai Demokrat ada Soesilo Bambang Yudhoyono.

Berdasar hasil temuan di lapangan, kemandegan proses kade- risasi di dalam partai politik ini telah menimbulkan kekecewaan dalam masyarakat. Kekecewaan ini diwujudkan dengan banyak kader partai yang beralih ke partai lain karena dalam partainya merasa

tidak ada kejelasan dalam proses karderisasi yang dijalankan. Oleh karena itu banyak harapan yang muncul dari masyarakat, agar ada kejelasan dalam proses kaderisasi agar tidak terjadi konflik internal yang sering terjadi dalam proses pencalegan maupun dalam nominasi untuk menjadi calon kepala daerah dari partai. Keberhasilan partai politik dalam melakukan proses rekrutmen politik yang bisa meng- hasilkan kader-kader muda yang handal akan dengan sendirinya menghapuskan kekecewaan publik. Selanjutnya, wajah-wajah baru akan muncul dan siap untuk menggantikan posisi generasi lama. C. Pemahaman Partai Dan Upaya Partai Politik