• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Electoral dan Politik Aliran

P ARTAI P OLITIK : P OLITIK A LIRAN DAN K ONDISI E LEKTORAL

C. Pembilahan Politik Berbasis Aliran dan Kondisi Electoral 1 Fragmentasi Politik Berbasis Aliran

2. Kondisi Umum Electoral dan Politik Aliran

Dari 48 partai politik pada pemilu 1999, tercatat ada 10 partai politik yang secara formal berasaskan Islam.34 Sementara yang lainnya berasaskan Pancasila dan dua partai yang berasaskan gabungan antara Pancasila dan Islam. Pada Pemilu 2004 hanya diikuti oleh 24 partai politik, 9 partai yang terkategorikan partai Islam, 14 partai Nasionalis, dan 1 partai Kristen (PDS)

Kategorisasi ideologis, khususnya Islam, yang didasarkan pada asas partai yang secara formal tercantum dalam AD/ART tidak akan mampu mendalami secara substantif dari partai politik yang bersang- kutan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa walaupun ada partai yang secara formal mencantumkan asas selain Islam, namun dalam praktiknya basis massa mereka adalah pemilih Islam. Di sisi lain, figur-figur elit partai dilihat dari latar belakang keagamaannya termasuk tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi keberpihakannya terhadap Islam. Sebagai contoh PAN yang didirikan oleh Amin Rais yang punya latar belakang sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah, termasuk PKB, ada Gus Dur yang merupakan tokoh Islam mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Nahdlotul Ulama. Begitupun ada beberapa partai yang dibangun, walaupun tidak mengatasnamakan partai Islam, tapi konstituen yang dibidiknya adalah konstituen Islam. Kalau dianalisis dari asal usul partai serta basis pemilih, yang mendukung partai-partai peserta pemilu 1999, 2004, 2009 masih sejalan dengan politik aliran,35 sebagaimana yang berkembang pada 34 Secara formal berasas Islam artinya partai tersebut mencantumkan Islam secara formal sebagai asas partai dalam AD dan ART nya.

35 Konsep politik berdasarkan pola aliran menjadi menonjol, tatkala kehidupan politik dalam masyarakat bukan didasarkan pada ideologi politik belaka, melainkan antar hubungan organisasi-

pemilu 1955.36 PDIP yang merupakan representasi dari pemilih Abangan sebagai kelanjutan dari PNI, PKB dan PPP kelanjutan dari partai tradisionalis NU yang merupakan representasi dari pemilih Santri Tradisional, PAN, PBB dan PK kelanjutan dari partai mordernis Masyumi representasi dari pemilih santri Modernis, sementara Partai Golkar merupakan representasi dari pemilih Priyayi.37 Pada pemilu 1955 priyayi merupakan kelompok pemilih yang mendukung PNI. Jika kita bandingkan dengan partai-partai peserta pemilu 1955, dimana PNI dan PKI mewakili kelompok Nasionalis dengan basis pemilih Abangan. PNI mendapat dukungan terbesar dari Abangan kelas menengah atas dan birokrat (priyayi), sementara PKI kelompok Abangan kelas bawah. Di sisi lain Masyumi dan NU yang mewakili kelompok partai Islam, Masyumi merupakan basis bagi pemilih Santri Modernis dan NU merupakan basis pemilih Santri Tradisional. Dengan demikian tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa partai politik pada pemilu 1999, 2004, 2009 pasca reformasi ada ada keterkaitan dengan partai politik pemilu 1955.

Namun demikian, ada perbedaan dalam persaingan politik yang dirasakan cukup penting untuk dikemukakan. Pada pemilu 1955 Masyumi dan NU sebagai partai pemenang empat besar yang mewakili segmen pemilih Santri. Di tingkat legislatif (DPR dan Konstituante) kedua partai ini berjuang untuk menggolkan syariat Islam atau negara

organisasi sosial dengan kehidupan dari suatu sistem sosial yang kompleks (dari suatu infrastruktur sosial dan kebudayaan di pedesaan dan perkotaan). Karena itu terbentuk suatu aliran politik yang terformulasikan melalui istilah-istilah yang lebih bersifat ideologis. Sebenarnya perumusan tentang aliran politik di Indonesia telah dinyatakan di dalam pemikiran Soekarno tentang rumpun ideologi utama di Indonesia (Nasionalisme, Islam, dan marksisme). Namun klasifikasi tiga kelompok itu dianggap masih mengandung banyak kesulitan. Sebab tiap-tiap kategori sifatnya masih terlalu heterogen. Contohnya, perbedaan yang tajam antara kaum komunis dengan kaum sosialis, kelompok-kelompok yang radikal dan keningratan di kalangan Nasionalis, di samping pengaruh dari kehidupan subkultur terhadap kehidupan politik di kalangan Islam.

36 Perbandingan pemilu 1955 dan pemilu 1999 dibahas oleh King (2003). Dalam pembahasan tersebut King berkesimpulan bahwa pemilu 1999 dan 1955 mempunyai kemiripan, dimana partai-partai politik yang ikut pentas pada pemilu 1999 masih bercorak aliran karena masih merepresentasikan cleavages agama sama dengan pemilu 1955. untuk lebih jelasnya lihat Dwight Y. King, 124-126.

37 Patut disampaikan, walaupun PKB dan PAN dalam paltform partai tidak mencantumkan asas Islam, namun dari kacamata sosiologis dan historis kedua partai ini bisa dikategorikan partai Islam karena mempunyai kedekatan dengan pemilih Islam. PKB didirikan oleh Gus Dur yang merupakan mantan Ketua Umum PB NU dan sekaligus cucu pendiri NU yaitu KH. Hasyim Asyari, sementara Amin Rais merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Islam, dan mereka setuju dengan Piagam Jakarta. Di sisi lain PNI dan PKI yang merupakan representasi dari kaum Abangan yang Nasionalis, dan ditingkat legislatif tidak berkehendak untuk menjadi- kan negara Islam, dan berjuang agar Pancasila dipertahankan sebagai Dasar negara.38 Pada pemilu 1999, 2004, 2009 pertarungan politik yang berpusat pada pembentukan jati diri negara dalam hal ideologi tidaklah menjadi tema persaingan partai politik. Persaingan antara partai Islam dan Nasionalis lebih fokus pada bagaimana mengisi negara Republik Indonesia ini dari perspektif ideologisnya masing- masing. Partai Islam berusaha agar Syariat Islam itu dapat teraktua- lisasi dalam kehidupan atau dalam hukum formal, seperti hukum waris atau ekonomi Islam.39 Lebih jauh, pada pemilu 1955 spektrum ideologi kiri dan kanan masih jelas. Kutub terkiri dari garis idologi partai ditempati oleh PKI. Sementara pada pemilu pasca reformasi kutub kiri menghilang, yang ada hanya partai-partai yang berideologi tengah kanan.

Lebih jauh, sistem kepartaian yang dihasilkan dari pemilu yang dilaksanakan di Indonesia bisa dilacak sebagai berikut: Pada tahun 1955, Indonesia mempunyai model sistem kepartaian yang terpolarisasi dari hasil pemilu demokratis pertama sejak Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka Tahun 1945. Sistem kepartaian selanjutnya adalah sistem tiga partai yang dihasilkan dari pemilu yang dilaksanakan secara berturut-turut Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dengan suasana kehidupan demokrasi yang sedikit banyak terkurangi akibat intervensi dari rezim otoriter Orde Baru. Setelah terjadi reformasi politik 1988, sistem kepartaian yang dihasilkan kembali terfragmentasi walau tidak menunjukkan adanya polarisasi ideologis yang akut sebagaiman hasil pemilu 1955. Pemilu demokratis pasca Orde Baru dilaksanakan Tahun 1999, 2004 dan 2009. Kembalinya pemilu demokratis, sedikit banyak punya dampak

38 Pertarungan ideology di tingkat legislative pasca pemilu 1955 lihat Herbert Feith, The Decline

of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca London: Cornell Univeristy Press, 1962. 39 Argument ini saya kemukakan karena pada pemilu 1999, walaupun partai-partai memberi label sebagai Nasionalis atau Islam, namun secara ril isu-isu yang dimunculkan tidaklah terlalu ekstrim. Walaupun demikian, lompatan ideology terjadi pada PPP yang lebih mengarah ke kanan, sementara PKS lebih mengarah ke tengah. Lihat, Kuskridho Ambardhi, Mengungkap Politik Kartel, Jakarta: PT Gramedia, 2009. hal 239.

pada sistem kepartaian, dan sistem politik secara keseluruhan. Pemilu yang dilaksanakan secara reguler, bagi negara yang tengah menjalani pendalaman kehidupan demokrasi, punya pemahaman yang sangat besar tidak hanya suksesnya penyelengggaraan pemilu namun juga seberapa besar pemilu tersebut dapat meningkatkan kinerja sistem politik secara keseluruhan.

Proporsi suara yang diperoleh masing-masing partai politik dalam setiap pemilu yang dilaksanakan adalah sebagai berikut: Pemilu 1955, secara nasional partai yang meraih suara signifikan dibanding dengan partai-partai lainnya adalah PNI dengan 22,3% suara, Masyumi 20,9% suara, NU 18,4% suara, dan PKI mendapat 16,4% suara. Dengan melihat kekuatan empat besar partai pemenang pemilu menunjukkan adanya kekuatan yang seimbang antara partai Islam berbanding dengan partai Nasionalis plus Komunis, dengan rasio 39,3% berbanding 38,7%, dengan selisih hanya 0,6%. Sementara peroleh kursi di Parlemen, PNI mendapat 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI mendapat 39 kursi.

Dari komposisi politik di Parlemen yang terpolarisi secara ideologis berakibat pada pola kerja Parlemen yang tidak sehat akibat ekstrimnya perbedaan perspektif untuk menentukan dan menggolkan satu keputusan. Hal yang paling menonjol adalah perdebatan dan perselisihan yang menjurus pada dua blok yang sama-sama kuat yaitu blok Nasionalis plus Komunis dengan blok Islam. Sumber utama perdebatan dan perselisihan diantara kedua blok itu berkaitan dengan penentuan dasar negara. Kubu Islam menghendaki agar Islam men- jadi dasar negara, sementara kubu Nasionalis tidak menghendaki- nya. Kenyataan ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959,40 untuk kembali ke UUD’45 dan membubar- kan Parlemen dan Konstituante.

Sementara hasil pemilu 1955 di Jatim menunjukkan konfigurasi kekuatan politik sebagai berikut: dari enam wilayah keresidenan di Jatim (sementara data hasil pemilu di Karesidenan Malang tidak ada),

40 Dekrit Presiden dikeluarkan atas dukungan TNI yang tidak senang dengan keadaan di Parlemen yang terlalu banyak perselisihan dan pertentangan Ideolgi. Hal-hal yang terkait dengan persoalan peran TNI pada masa kemerdekaan, bisa dilihat dalam bukunya Harold Crouch, Army and Pilitic in Indonesia.

partai Nasionalis unggul dibanding dengan partai Islam. Di Karesidenan Basuki, Partai NU mendapat dukungan suara 699.000 suara, Masyumi 150.000, PNI 380.000, dan PKI 232.000. Di Karesidenan Madura, Partai NU mendapatkan dukungan suara 59.000, Masyumi 134.000, PNI 88.000, dan PKI 3.000. Di Karesidenan Surabaya, Partai NU mendapat dukungan suara 431.000, Masyumi 117.000, PNI 265.000, dan PKI 231.000. Di Karesidenan Kediri, Partai NU mendapat dukungan suara 366.000 suara, Masyumi 155.000, PNI 455.000, dan PKI 457.000. Kemudian di karesidenan Madiun, Partai NU mendapat dukungan suara 92.000, Masyumi 137.000, PNI 254.000, dan PKI 447.000. Di Karesidenan Bojonegoro, Partai NU mendapat dukungan suara 131.000, Masyumi 300.000, PNI 155.000, PNI 455.000, dan PKI 289.000.

Hasil pemilu 1955 di Jawa Timur menunjukkan bahwa: di wilayah Karesidenan Kediri dan Madiun, PKI unggul dibanding dengan ketiga partai lainnya. Sementara Partai NU unggul mutlak di karesidenan Basuki, dan partai Islam Modernis Masyumi hanya unggul di Karesidenan Bojonegoro. Walaupun demikian selisih suara antara Masyumi dan PKI tidak terlalu jauh dengan perbandingan 300.000 suara untuk Masyumi dan 289.000 suara untuk PKI. Total suara pada pemilu 1955 di Jatim sebesar 9.030.960, dengan akumulasi suara yang diperoleh Partai NU dan Masyumi adalah 4.480.289 suara atau 49,61 persen. Sementara gabungan suara PNI dan PKI yaitu 4.550.671 suara atau 50,39 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemilu di Jatim Partai Nasionalis unggul tipis dibanding dengan Partai Islam dengan selisih suara 0,39 persen.

Kondisi umum hasil perolehan suara baik tingkat Nasional maupun Jawa timur tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Karesidenan Malang, khususnya untuk Kabupaten Malang. Pemenang pemilu di Kabupaten Malang adalah PNI, yang menang dengan perolehan suara cukup signifikan yaitu 20,6 persen. Namun berbeda dengan perolehan yang berskala Nasional di mana peringkat kedua pemenang pemilu 1955 diduduki oleh Masyumi dan peringkat ketiga adalah NU, di Kabupaten Malang peringkat kedua diduduki oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memperoleh suara 19,8 persen., dan NU berada diperingkat ketiga dengan perolehan suara 12,7 persen, sementara partai Islam Masyumi hanya berada di posisi ke

empat dengan perolehan suara 6,8 persen.41

Hasil pemilu-pemilu berikutnya, sistem kepartaian di negeri kita baik 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, menunjukkan adanya kestabilan, namun kualitas demokrasinya banyak dipertanyakan karena pelaksanaan pemilu tidak berjalan dengan jujur dan adil. Pemerintah Orde Baru tidak memberikan ruang gerak bagi partai politik (PPP dan PDI) untuk meraih dukungan pemilih, sebaliknya Golkar yang merupakan partai pendukung pemerintah mendapat berbagai kemudahan dan fasilitas. Oleh karena itu pemilu di bawah rezim Orde Baru yang authoritarian,42 telah menempatkan Golkar sebagai pemenang mayoritas. Sementara dua partai lainnya (PPP dan PDI) hanya sebagai partai pendamping yang tidak boleh besar namun juga tidak boleh mati. Kemenangan Golkar dalam setiap pemilu masa Orde Baru tidak lepas dari proses rekayasa pemerintah untuk meng- ekploitasi suara pada setiap pemilu seperti dilakukannya fusi partai, membuat massa mengambang (floating mass), dan penetapan azas tunggal Pancasila (monolitik). Disamping itu trauma politik (peristiwa G.30.S/PKI) pada tahun 1965, juga dijadikan senjata oleh rezim Orde Baru untuk melakukan intimidasi kepada masyarakat sehingga banyak masyarakat khususnya di pedesaan memilih Golkar karena takut dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI.43

Sementara dua partai lain (PPP dan PDI) tidak diberi kebebasan untuk melakukan manuver politik, karena gerak langkahnya selalu diawasi dan dikendalikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, bagi PPP

41 Soewignyo, 1962, dalam Asfar, 2005

42 Sejalan dengan pergerakan politik Indonesia pasca tahun 1957 ke arah otoritarianisme, banyak para sarjana mencoba untuk membuat model bangunan sistem politik Soekarno maupun Soeharto. Fokus perhatian mereka diarahkan pada konflik elit dan budaya politik. Berbagai istilah yang dipergunakan oleh mereka, namun semuanya punya makna sama yang menerangkan sebuah fenomena otoritarian. Mareka memberikan karakter pada rezim Soeharto, dan sebagian lagi pada rezim Soekarno, sebagai “Neo-Patrimonial Regime” (Wilner, 1966; Anderson, 1972; Crouch, 1979); “Repressive-Developmentalist Regime” (Feith, 1979); “Bureucratic Polity” (Jackson, 1978); “Personal Rule” (Liddle, 1985); “Tecnocratic State” (Dougall, 1989); “Beamtenstaat” (Benda, 1966; McVey, 1982); “State Corporatism” (Mas’oed, 1989).

43 Dwingt Y. King, menyebut demokrasi era Orde Baru sebagai “semidemocracy” atau “pseusedo democracy”, yaitu sebuah demokrasi yang mempunyai banyak partai, pemilu, dan institusi demokrasi lain, akan tetapi dalam kenyataannya partai penguasa menentukan keikutsertaaan partai dan pemilu. Lebih jelasnya lihat, Dwight Y. King, Half-Hearted Reform, Electoral Institution And The Struggle For Democracy In Indonesia, USA: Praeger Publisher, 2003.

agar bisa survive hanya bisa mengandalkan sentimen keagamaan (khususnya pemilih Islam), karena PPP merupakan satu-satunya partai Islam. Begitu pun PDI tidak lebih hanya mengandalkan kharisma Bung Karno sebagai pendiri PNI, itu pun selalu direkayasa agar keluarga Soekarno tidak terlibat dalam pimpinan PDI. Dengan demikian partai ini (PDI) menjadi partai yang paling “tertindas” di masa Orde Baru, dan ini menjadi berkah tertunda (blessing indisguise) karena masyarakat yang merasa tertindas oleh kebijakan Orde Baru menjadi pendukung bagi PDI-P pada pemilu 1999.44

Bagi PPP yang cenderung berharap dari pemilih Islam, khusus- nya kalangan Islam tradisional (waga NU) mengalami kesulitan, karena Pemerintah dan Golkar juga melakukan ekspansi besar-besaran ke dalam pemilih Islam dengan berbagai cara. Pemerintah berupaya memisahkan PPP dari basis pemilihnya dengan cara mengintervensi setiap pergantian pucuk pimpinan PPP adalah orang yang kooperatif dan tidak punya legitimasi kuat di kalangan NU.45

3. Kondisi Electoral Dalam Kultur Politik Aliran Pasca Orde Baru