• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partai Politik Islam 31 : Asal Usul, Isu, dan Basis Kelompok

P ARTAI P OLITIK : P OLITIK A LIRAN DAN K ONDISI E LEKTORAL

C. Pembilahan Politik Berbasis Aliran dan Kondisi Electoral 1 Fragmentasi Politik Berbasis Aliran

1.1. Partai Politik Islam 31 : Asal Usul, Isu, dan Basis Kelompok

Pemilih

Kalau kita menengok ke belakang, sejarah berdirinya partai politik Islam di inspirasi oleh adanya keinginan untuk membentuk wadah politik tunggal untuk perjuangan ummat Islam pasca kemerde- kaan 1945. Sesuai dengan manifestasi politik pemerintah yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta bulan November 1945 semua golongan ummat Islam sepakat untuk membentuk suatu wadah politik tunggal yang bernama MASYUMI (Moh. Sjafaat Mintaredja, 1971).

Partai Politik Masyumi ini didukungan oleh organisasi-organi- sasi Islam besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PSII. Akan tetapi kebersamaan ketiga ormas Islam ini mengalami perpecahan dalam mendukung Masyumi pada tahun 1948 dengan dibentuknya kembali Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dibawah pimpinan Arudji Kartawinata, Abikoesno Tjokrosoejoso dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1953 disusul dengan keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dan menjadi partai politik sendiri. Sampai pemilu 1955 praktis basis kelompok pendukung Masyumi yang secara formal mendukung adalah Muhammadiyah. Walapun pada akhirnya, Muhammadiyah harus menyatakan diri mundur dari keanggotaan istimewa Masyumi sebelum partai ini dibubarkan pada tahun 1960.32

Isu yang muncul dari partai Islam sering berhubungan dengan upaya pembentukan negara Islam dan pelaksanaan syariat. Dalam periode pasca pemilu 1955, pertarungan ideologis di arena pemilu juga terjadi di arena parlemen ketika bersidang untuk menentukan dasar Negara. Kelompok Islam mengajukan Islam sebagai Dasar Negara, sementara Kelompok Nasionalis mengajukan Pancasila sebagai Dasar Negara. Guna menunjukkan kedekatan ideologis dengan kelompok Muslim, partai-partai Islam mendesain lambang partai dengan simbol-simbol yang mencirikan nilai-nilai keislaman.

Dalam Pemilu 1955, secara Nasional, Partai Masyumi (Majelis 31 Yang dimaksud dengan parpol Islam dalam penelitian ini adalah parpol yang secara formal mencantumkan Islam sebagai asas partai dan parpol yang secara sosiologis punya kaitan dengan Islam seperti PAN dan PKB.

32 Untuk lebih jelasnya bisa dilihat, Moh. Sjfaat Mintaredja, Masyarakat Islam dan Politik di Indonesia, Jakarta, Permata Jakarta, 1971.

Syuro Muslimin Indonesia) menempati peringkat kedua dalam perolehan suara pemilih (20,9%) dan NU (Nahdatul Ulama) mendu- duki urutan ketiga dengan perolehan suara pemilih (16,68%). Kedua partai ini dikenal sebagai partai politik berbasis Islam yang menonjol diantara partai-partai Islam yang ada di panggung politik nasional pada masanya. Partai-partai berbasis Islam lainnya seperti PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), AKUI (Aksi Kemenangan Umat Islam) dan PPTI (Partai Persatuan Tharekat Indonesia) jauh terpuruk dipapan bawah dan meraih suara sangat sedikit. Keempat partai Islam tersebut adalah partai-partai kecil yang dalam percaturan politik dipentas nasional tidak memiliki peranan dan suara yang signifikan dan posisi mereka berada diarena pinggiran saja.

Masa Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran yang salah satunya disebabkan karena dibubarkannya Partai Masyumi akibat menolak mendungkan ideologi Nasakom. Dengan memudarnya kekuatan politik Islam, menyebabkan partai- partai Islam menjadi terpinggirkan dari arena kekuasaan. Setelah masa demokrasi terpimpin berakhir, dan Orde Baru tampil memegang kendali kekuasaan, umat Islam mempunyai harapan besar kembali Masyumi. Harapan itu berubah menjadi kekecewaan karena “Rezim Orde Baru tidak memperbolehkan Masyumi tampil kembali sebagai partai politik. Sebagai gantinya, rezim Orde Baru mengizinkan berdiri- nya Parmusi”. Itu pun dengan catatan, tokoh-tokoh eks-Masyumi dilarang terlibat dalam kepengurusan partai. Hal itu menunjukkan adanya niat awal untuk memarginalkan peran politik Islam.

Ternyata proses marginalisasi yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap Islam politik terus berlanjut, yaitu dengan mengeluarkan deideologisasi. Dalam kebijaksanaan ini, partai-partai politik tidak diperbolehkan menggunakan asas lain selain asas Pancasila. Akibat kebijaksanaan itu maka partai-partai politik tidak mempunyai pilihan lain. PPP terpaksa menanggalkan asas Islam dan menggantinya dengan asas Pancasila. Pemerintah Orde Baru mengiring Islam untuk menjadi agama yang hanya mengurusi ibadah dan soal-soal kemasyarakatan dan menanggalkah yang bersifat politik praktis. Hal ini ditunjukan dengan besarnya dukungan rezim Orde Baru dalam kegiatan umat Islam yang berhubungan dengan masalah ibadah dan

kemasyarakatan, tetapi yang berkaitan dengan politik rezmim Orde Baru membatasinya, bahkan melarangnya.

Memasuki era reformasi sistem kenegaraan Indonesia menga- lami perubahan yang mendasar, yaitu dari sistem politik otoriter dengan supremasi militer menjadi sistem politik demokrasi. Salah satu ciri dari sistem politik demokrasi adalah kebebasan untuk membentuk partai politik. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pasca Orde Baru partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan, tidak hanya partai-partai yang berbasi Islam, tetapi juga partai-partai berbasis Nasionalis. Dengan beragamnya partai politik yang muncul dan berkembang di era reformasi, ada kecenderungan partai-partai tersebut menghadirkan ruh politik yang berkembang pada massa Orde Lama yaitu politik aliran.

Walaupun demikian, diantara elit-elit partai yang tergiur untuk mengembalikan romantisme politik masa lalu, masih ada sebagian elit yang tidak merasa perlu untuk menghadirkan politik aliran sebagaimana pernah ada. Di antara elit-elit tersebut, sebutlah Amin Rais dan Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Amin Rais membidani lahirnya Partai Amanat Nasional, sementara Gus Dur mendorong lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa. Kedua partai ini walaupun secara riil kekuatan massa pendukung ada dalam segmen pemilih Islam namun keduanya tidak mencantum kan Islam sebagai dasar Partai, melainkan Pancasila. Dan pada kenyaataannya terbukti bahwa pada pemilu 1999 maupun 2004 baik PAN maupun PKB sebagian besar suaranya diperoleh dari basis sosiologis masing-masing. PAN dari kelompok Islam Modernis, seperti Muhammadiyah dan Ormas Islam Modernis lainnya, sementara PKB berasal Kelompok Islam Tradisional yaitu NU.

Karena banyaknya partai politik yang mengatasnamakan Islam, atau pun partai politik yang berebut massa Islam. Pada akhrinya partai politik Islam tidak ada satu pun yang mempunyai suara signifikan pada pemilu 1999, termasuk PAN dan PKB. Bahkan pada pemilu 2004 kedua partai politik ini mengalami kemunduran dalam hal jumlah suara. Hal yang menarik dalam pemilu 2004 ini adalah muncul- nya Partai Keadilan Sejahtera yang pada pemilu 1999 bernama Partai Keadilan. PKS mengalami peningkatan suara yang signifikan. PKS, berbeda dengan PAN dan PKB yang menyatakan dirinya sebagai partai

terbuka, dengan tidak menjadikan Islam sebagai dasar ideologi partai, PKS secara formal jelas mencantumkan Islam sebagai dasar ideologi partai. Partai Islam yang ikut pemilu 1999 terdiri dari partai yang secara eksplisit dan formal menyatakan diri sebagai partai Islam atau partai yang didasarkan atas asas Islam, termasuk juga di sini adalah partai politik yang mempunyai akar sosiologis berdirinya partai. Dalam pemilu 1999, yang secara formal menyatakan diri sebagai partai Islam adalah PPP, PBB, PK, PUI, PSII, PSII 1905, PNU, PKU, Partai Politik Islam Masyumi, Partai Masyumi Baru, KAMI, PP, dan yang secara sosiologis masuk kedam partai Islam adalah PAN dan PKB. Sementara partai-partai Islam yang secara sosiologis berakar dalam organisasi sosial keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah adalah PKB dan PAN. PKB adalah partai yang didirikan oleh para elite NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Walaupun secara formal NU tidak menyatakan PKB sebagai partai NU, namun di bawah kepengu-rusan Gus Dur, sebagian besar elite dan pengurus NU mendukung dan duduk dalam kepengurusan PKB. Pada pemilu 2004 partai Islam, terdiri dari Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan, partai Keadilan Sejahtera, dan partai Bintang Reformasi, PAN dan PKB.

Sementara itu PAN didirikan oleh sejumlah aktivis dan intelek- tual dengan latar belakang keagamaan lebih beragam. Karena itu sejak awal partai ini mengklaim dirinya sebagai partai terbuka yang punya komitmen terhadap pluralisme keagamaan. Tapi kepemim- pinan Amien Rais dan sejumlah figur di jajaran elite PAN membuat partai ini secara sosiologis cukup mudah diidentikan dengan umat Islam yang berafiliasi dengan ormas Islam terbesar kedua, yakni Muhammadiyah. Karena itu cukup beralasan kalau partai ini secara sosiologis juga dimasukkan ke dalam kategori partai Islam.

Partai Islam yang ikut kontes dalam pemilu 2004 berjumlah 7 partai, terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang.

Memasuki pemilu 2004, terjadi semacam restorasi, di mana partai-partai yang semula dikenal “hijau” mulai mencoba untuk menampilkan wajah Nasionalis dengan mereduksi isu-isu penegakan

Syariat Islam dan Negara Islam dalam kampanyenya, sebagaimana dilakukan PKS. Ketika masih bernama Partai Keadilan (PK), dengan mengusung isu Islam partai ini tidak mendapatkan suara yang signifikan dalam pemilu 1999. Di Parlemen hanya memperoleh 7 kursi. Namun setelah melakukan pembenahan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di mana isu yang diluncurkan lebih riil dan menjadi dambaan masyarakat, seperti penegakan keadilan dan pemberantasan korupsi dengan semboyan “bersih dan peduli”, PKS yang pada pemilu 1999 hanya menadapat 7 kursi, pada pemilu 2004 menjadi 45 kursi.

Hasil Pemilu Legislatif 2004, dari 24 partai yang ikut menjadi kontestan pemilu, sebanyak 17 partai politik mendapat kursi di DPR RI. Dari tujuh partai Islam yang berlaga pada pemilu kali ini, tiga partai mengalami penurunan dukungan suara (PPP, PKB dan PAN) dan dari tiga partai politik lainnya meningkat, yakni PKS, PBB, dan partai persatuan Nahdatul Ummah Indonesia (PPNUI). Satu partai lagi adalah pendatang baru, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR).

Pada pemilu 2004, partai Islam Modernis diwakili oleh PAN yang inklusif, sementara yang Konservatif diwakili oleh PBB yang eksklusif. Di sisi lain partai Islam Tradisionalis diwakili oleh PKB yang inklusif dan PNU yang eksklusif. Perkembangan selanjutnya, nampak ada kecenderungan partai-partai Islam membuka diri ke segmen massa yang lebih lebih luas, sebagai contoh PKS yang sudah membuka diri kepada luar yang bukan dari kalangan Santri.

Pada pemilu 2009, yang dapat terdeteksi sebagai partai Islam umumnya merupakan partai yang sudah pernah ikut dan berganti nama, atau partai Islam yang lulus threshold. Diantara partai-partai Islam yang ikut pemilu 2009 antra lain PBB, PKS, PAN, dan partai baru PMB merupakan partai berbasis Islam modernis, sementara yang mewakili partai Islam tradisional adalah PKB, PPP, dan PKNU yang merupakan partai lama dengan baju baru ( the old wine in the new bottle). 1.2. Partai Nasionalis: Asal Usul, Isu, dan Basis Kelompok Pemilih Partai politik berbasis ideologi Nasionalis, pada masa Orde Baru identik dengan PNI. Sementara PNI pada masa Orde Lama meru- pakan representasi dari kelompok priyayi, sementara PKI menjadi representasi kelompok abangan. PNI atau Partai Nasional Indonesia merupa-kan partai politik tertua di Indonesia. Partai ini didirikan

pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Bung Karno merupakan simbol dari partai Nasionalis ini.

Dalam perjalanan politiknya Soekarno banyak mengalami benturan – benturan dengan kalangan Islam, dimana polemik yang paling tajam adalah seputar dasar negara dengan tokoh paling terke- muka kalangan Islam saat itu, Mr. Mohammad Natsir. Partai Nasionalis Indonesia (PNI) cukup mendapat sambutan, hal ini dibuktikan dengan hasil pemilu 1955 yang meraih suara signifikan dibanding dengan partai-partai lainnya. Dari empat besar perolehan suara pada pemilu 1955 PNI mendapatkan 22,3% suara, Masyumi 20,9% suara, NU 18,4% suara, dan PKI mendapat 16,4% suara. Dengan melihat kekua- tan empat besar partai pemenang pemilu menunjukkan adanya kekuatan yang seimbang antara partai Islam berbanding dengan partai Nasionalis plus Komunis, dengan rasio 39,3% berbanding 38,7%, dengan selisih hanya 0,6%. Sementara peroleh kursi di Parlemen, PNI mendapat 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI mendapat 39 kursi.

Memasuki periode Orde Baru, pemerintah berusaha menyeder- hanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Dalam pengelompokan ini ada partai yang merasa tidak pas masuk kedalam kelompok spiritual yaitu Partai katolik dan Parkindo, akhirnya mereka memutuskan untuk bergabung dengan kelompok Nasionalis.33 Akhirnya pada tanggal 4 Maret 1970 terbentuk kelompok 33 Situasi pada saat itu tidak memberikan pilihan lain bagi parpol kecuali mempusikan diri. Kelompok Nasionalis yang disebut kelompok Demokrasi Pembangunan menjadi Partai Demokrasi Indonesia pada tanggal 10 januari 1973. Sedangkan kelompok persatuan menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Sejak saat itu Indonesia mempunyai sistem tiga partai, yaitu: Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan partai Golongan Karya. Walaupun dalam komunikasi politiknya Golkar tidak mau menyebutkan dirinya sebagai partai politik, dalam setiap pemilu yang dilaksanakan pada masa Orde Baru selalu mencantumkan dirinya hanya Golkar tanpa di embel-embeli dengan partai.

Nasionalis yang merupakan gabungan dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai katolik. Selanjutnya pada tanggal 14 Maret Tahun 1970 terbentuk kelompok spiritual yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Penyederhanaan (baca: penciutan) baru tuntas pada tahun 1972. Partai-partai Islam seperti NU, Parmusi, Perti, dan PSII dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan Partai Katolik, Parkindo, IPKI, PNI, dan Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, organisasi politik yang mengikuti pemilu tahun 1977 tinggal tiga. Bersamaan dengan itu, akar partai di tingkat desa dan kecamatan diputus, dan hanya diizinkan sampai daerah tingkat Kota atau Kabupaten (floating mass). Pada pemilu 2004, partai Nasionalis berjumlah 16 partai yang terdiri dari Partai Sarikat Indonesia, Partai Golkar, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Patriot Pancasila, Partai Demokrat, Partai Persatuan Daerah, Partai Merdeka, Partai Indonesia Baru, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan. PDI- P, PNBK, Partai Pelopor, PNI Marhaenisme, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, Partai Buruh Sosial Demokrat.

Partai-partai tersebut berorientasi Nasionalis lintas agama, dan masing-masing berasas Pancasila. Dilihat dari sosiologi elite partai- partai ini sangat pluralistik dilihat dari kategori Islam versus non- Islam. Secara historis, PDI-P adalah pelanjut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang hampir identik dengan figur Bung Karno. Sementara itu, Partai Golkar dan PKP adalah partai yang hadir dari elite Orde Baru, terutama kelompok militer dan birokrasi, yang pada masa Orde Baru telah berhasil membebaskan partai-partai politik dari afiliasinya dengan kelompok keagamaan tertentu, setidaknya secara formal.

Dengan demikian sebanarnya kalau kita kaji genologi dari partai-partai yang tumbuh dan berkembang di era multipartai sekarang ini, kebanyakan merupakan turunan dari partai-partai sebelumnya (era Orde Baru). Baik partai Golkar, maupun, sebagai partai Nasionalis yang pada masa Orde Baru merupakan fusi dari beberapa partai politik, pada akhirnya harus terjadi pembelahan sel politik dan berkembang menjadi partai baru. Adapun Golkar walaupun bukan merupakan gabungan dari beberapa partai, namun karena berdiri atas dukungan banyak ormas kekaryaan, maka tidak bisa dihindari terjadinya disintegrasi politik dalam partai.

Partai politik yang berideologi Nasionalis, dalam pemilu 2009 menunjukkan adanya perkembangan. Selain PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat, ada dua partai Nasionalis baru yang cukup mendapat apresiasi dari pemilih yaitu partai Hanura dan Partai Gerindra. Partai Hanura merupakan partai yang didirikan oleh Wiranto seorang pensiunan jenderal yang pernah jadi Menkopolkam era pemerintahan Gus Dur. Di sisi lain Partai Gerindra didirikan oleh Prabowo Subianto, yang juga seorang pensiunan jenderal.