• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Prinsip Syariah Dalam Eksekusi Jaminan Terhadap Kerugian Yang Diakibatkan Kelalaian Mudharib Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi makhluk manusia,

artinya hanya dengan hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya.

Hal ini berarti manusia tidak mungkin hidup secara atomistis dan soliter seperti yang

diduga oleh teori-teori spekulatif1. Tidak dapat disangkal bahwa secara kodrati manusia memang makhluk bermasyarakat.2 Manusia selalu membutuhkan manusia lain untuk saling memenuhi kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup antar manusia

dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup inilah yang dalam Islam disebut

denganmuamalah.3

Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, perilaku-perilaku ekonomi4 manusia muncul dengan sendirinya. Kegiatan ekonomi pada awalnya berhubungan

dengan ihwal kerumahtanggaan yang sangat sederhana sifatnya. Seiring dengan

perkembangan komunitas manusia, semakin beragam pula kebutuhan hidup yang

1 Teori spekulatif adalah teori2 yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes, John Locke dan

Rousseau yang mengandaikan adanya keadaan pra negara dengan individu2 yang hidup secara atomistis dan perlu mengadakan perjanjian masyarakat atau kontrak sosial untuk hidup bermasyarakat.

2Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta, Kencana Prenada Media Group,

Cet. 3, 2009, hlm. 43.

3 HZ Syarafuddin dkk,Studi Islam 2, Surakarta, Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar

Bidang Studi Islam dan Kemuhammadiyahan UMS, 1996, hlm. 137.

4 Perkataan “ekonomi” berasal dari bahasa Latin, Oikonomia. Oikonomia terdiri atas kata

(2)

ingin dipenuhi. Oleh sebab itu kegiatan ekonomi berkembang pula menjadi kegiatan

yang semakin kompleks dan rumit.5

Cara manusia untuk memenuhi kebutuhan dan mendistribusikan kebutuhan

hidupnya, didasari oleh filosofi yang berbeda antara seorang manusia yang satu

dengan manusia lain, antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok

masyarakat lain, antara suatu negara dengan negara yang lain. Hal ini terjadi sebagai

akibat perbedaan keyakinan, agama, ideologi, budaya hukum (legal culture), serta

kepentingan politik yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas

masyarakat.6

Pengaruh agama juga turut mewarnai sistem hukum dan sistem perekonomian

Indonesia. Prinsip-prinsip dalam Islam, sebagai agama yang dianut mayoritas

masyarakat Indonesia, telah diakomodasi ke dalam hukum positif di Indonesia. Salah

satu bentuk penerapan prinsip-prinsip Islam ke dalam sistem hukum Indonesia adalah

diterapkannya sistem hukum ekonomi syariah di Indonesia di samping sistem hukum

ekonomi konvensional. Meskipun institusi ekonomi keuangan itu selalu berevolusi,

5 Kegiatan ekonomi yang semakin kompleks kemudian melahirkan ilmu ekonomi. Paul A.

Samuelson menyatakan: “Economics is a study of how people choose to use scarce or limitid productive resource to produce various commodities and distribute these goods to variuos member of society for their consumption” (Ilmu ekonomi adalah kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi). Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa ekonomi adalah perilaku manusia yang berhubungan dengan bagaimana proses dan cara memperoleh dan mendayagunakan produksi, distribusi, dan konsumsi atas barang dan jasa. Paul A. Samuelson,Economics, New York, McGraw-Hill Book Co, 1973, hlm. 2.

6 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta, Sinar Grafika, Edisi I, 2008, hlm. 1.

(3)

kebangkitan perbankan Islam tidak dapat dikatakan sebagai semata-mata proses

evolusi dari industri keuangan yang ada. Harus dipahami bahwa pandangan hidup

muslim (worldview) yang melihat Islam sebagai sebuah perangkat aturan dari

perilaku untuk seluruh area kehidupan termasuk aspek ekonomi, merupakan sebuah

kekuatan pendorong (driving force) atas kelahiran perbankan Islam.7

Dalam konteks inilah keberadaan maupun kehadiran lembaga keuangan

mutlak adanya. Karena lembaga keuangan bertindak sebagai perantara antara unit

supply dan unit demand.8 Sebagai lembaga intermediary keuangan, bank syariah memiliki kegiatan utama berupa penghimpunan dana dari masyarakat melalui

simpanan dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito yang menggunakan prinsip

wadi’ah yad dlamanah (titipan), dan mudharabah (investasi bagi hasil). Bank

kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat umum dalam

berbagai bentuk skim, seperti skim jual beli/al-ba’i (murabahah, salam, dan

istishna), sewa (ijarah), dan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah), serta produk

pelengkap, yaknifee based service, sepertihiwalah(alih utang piutang),rahn(gadai),

qard (utang piutang), wakalah (perwakilan, agency), dan kafalah (garansi bank).9 Dalam hal ini masyarakat menyerahkan dananya pada bank syariah pada dasarnya

7

Hukum bukan sesuatu yang steril. Hukum bukan sesuatu yang bebas nilai. Hukum dapat dipengaruhi oleh berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Hukum dipengaruhi oleh budaya hukum masyarakat tertentu. Sikap atau persepsi masyarakat hukum antara lain dipengaruhi oleh nilai-nilai agama, filosofi, pendidikan, kepentingan, dan kebudayaan.7 Hukum, sebagaimana halnya dengan ekonomi, merupakan sesuatu yang lahir dari kehidupan sosial manusia, oleh sebab itu hukum dan ekonomi tidak mungkin terlepas dari pengaruh nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Lawrence M Friedman,American Law, W.W. Norton & Co. London, 1984, hal. 5-6.Lihat pula Ridwan Khairandy, “Landasan Filosofis Mengikatnya Kontrak”,Jurnal Hukum,Edisi Khusus 18 Oktober 2011, hlm. 38.

8Warkum Sumitro,Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait, Jakarta, RajaGrafindo

Persada,1996, hlm. 16.

9Widjanarto,Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti,

(4)

tanpa jaminan yang bersifat kebendaan dan semata-mata hanya dilandasi oleh

kepercayaan bahwa pada waktunya dana tersebut akan kembali ditambah dengan

sejumlah keuntungan (return). Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan

masyarakat tersebut, bank harus melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential).

Prinsip syariah yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya sebatas

landasan ideologis saja, melainkan juga merupakan landasan operasionalnya. Bank

syariah dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan nilai-nilai ekonomi

Islam secara utuh. Tidak hanya kegiatan usaha atau produknya saja yang harus sesuai

dengan prinsip syariah, tetapi juga meliputi hubungan hukum yang tercipta dan akibat

hukum yang timbul dalam operasionalnya. Sengketa antara bank dan nasabah, semua

juga harus didasarkan dan diselesaikan sesuai dengan prinsip syariah tersebut. Pada

ayat 2 dan 3 Pasal Undang-Undang Perbankan Syariah dijelaskan bahwa pemenuhan

prinsip syariah harus dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam

antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun)10, kemaslahatan (maslahah)11 dan universalisme (alamiyah)12 serta tidak mengandung gharar13, maysir14, riba15,zhalim16dan objek haram17.

10 Adl yaitu menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya

pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya.Tawazunadalah keseimbangan yang meliputi aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial serta keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian. Asas keseimbangan merupakan asas yang pada dasarnya tidak diatur dalam hukum perjanjian dalam KUHPerdata. Asas-asas fundamental yang diatur dalam KUHPerdata adalah asas kebebasan berkontrak, asas konsesnsualisme,asas pacta sunt servanda,asas itikad baik dan asas kepribadian. Asas keseimbangan ditetapkan salah satu dari delapan Asas Hukum Perikatan Nasional pada Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 17-19 Desember 1985. Asas-asas lainnya adalah asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.

11Maslahahadalah segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material

(5)

Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai

bentuknya, dan menggunakan sistem keuangan bebas bunga antara lain berdasarkan

prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, bank syariah18dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik

keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi

yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan

mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya

dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.19 Mudharabah merupakan salah satu bentuk akad pembiayaan pada bank syariah yang berlandaskan

prinsip bagi hasil. Mudharabah ini merupakan akad kerja sama usaha antara dua

pihak di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya

menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan

dalam kontrak.20

12Alamiyah

adalah sesuatu yang dapat dilakukan dan diterima oleh, dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).

13 Gharar adalah transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui

keberadaannya atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah.

14 Maysir yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti untung

dan ruginya.

15Riba adalah pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil) antara lain dalam

transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah).

16Zhalimadalah transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya 17Objek haram adalah suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah.

18Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008: “Bank syariah adalah bank yang

menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”. Bank yang tidak beroperasi berdasarkan prinsip syariah disebut bank konvensional. Dengan demikian Indonesia menerapkan dual system bankingdalam kegiatan perekonomian saat ini.

19Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

20 Menurut Afzalur Rahman, mudharabah adalah suatu kontrak atau perjanjian kemitraan

(6)

Dalam pembiayaan mudharabah,hubungan antara pihak bank dengan dengan

pihak nasabah pengelola dana didasarkan pada prinsip kepercayaan (amanah),

maksudnya pengelola dana (mudharib) dipercaya untuk mengelola modal

mudharabah. Mudharabah merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak

dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan modal 100% sedangkan pihak

lainnya menjadi pengelola dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan dimuka

dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal sepanjang kerugian tersebut tidak

disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengelola, dalam hal ini harus dilakukan

investigasi terhadap sebab-sebab kerugian. Apabila kerugian diakibatkan karena

kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas

kerugian tersebut.21 Karena kepercayaan merupakan prinsip terpenting dalam transaksi pembiayaan mudharabah, maka mudharabah dalam istilah bahasa Inggris

disebut trust financing atau trust investment. Prinsip inilah yang membedakan

pembiayaan yang menggunakan akadmudharabahdengan akad-akad lainnya.

Berdasarkan prinsip trust financing tersebut, pihak pemilik modal (shahibul

mal) pada prinsipnya tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib untuk

mengembalikan modal atau modal dengan keuntungan. Jika pihak shahibul mal

mempersyaratkan pemberian jaminan dari nasabah pengelola (mudharib) dan

menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudharabah tersebut

modalnya kepada pihak lain untuk melakukan bisnis dan kedua pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama. Afzalur Rahman,Doktrin Ekonomi Islam Jilid 4,Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, hlm. 32.

21 Produk dan prinsip pembiayaan Mudharabah PT Bank Syariah Mandiri No. PP.M.I.II.3

(7)

menurut mayoritas ulama (jumhur ulama) tidak sah (ghair shahih) karena

bertentangan dengan prinsip dasar kontrak “amanah” dalammudharabah.22

Meskipun fiqih tidak mengizinkan pemilik modal/investor untuk menuntut

jaminan dari mudharib, dalam kenyataannya, bank syariah umumnya benar-benar

meminta beragam bentuk jaminan, baik dari mudharib sendiri maupun dari pihak

ketiga. Bank syariah menegaskan bahwa jaminan tidak dibuat untuk memastikan

kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan

syarat-syarat kontrak. International Islamic Bank for Investment and Development,

misalnya, mempersyaratkan bagi pemohon pendanaan mudharabah untuk

menyatakan jenis jaminan yang dapat mereka berikan kepada bank. Demikian juga,

salah satu klausul dalam kontrak mudharabah pada Faisal Islamic Bank of Egypt

menyatakan, “jika terbukti bahwa mudharib menyalahgunakan atau tidak

sungguh-sungguh melindungi barang-barang atau dana-dana, atau bertindak bertentangan

dengan syarat-syarat investor, makamudharibharus menanggung kerugian, dan harus

memberikan jaminan sebagai pengganti kerugian semacam ini.”23

Di Indonesia, penerapan jaminan untuk pembiayaan mudharabah adalah sah

(legal) adanya, baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah maupun berdasarkan peraturan Bank Indonesia. Majelis Ulama

melalui lembaga Dewan Syariah Nasional (DSN) juga membolehkan praktik jaminan

22 Pendapat madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali sebagaimana dikutip oleh Ah.

Azharuddin Latif, ”Penerapan Hukum Jaminan dalam Pembiayaan di Perbankan Syariah”, http/www.uin-jakarta.ac.id dan http://azharuddinlathif.com, diakses tanggal 07 April 2015.

23 Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: a Study of Riba And Its Contemporary

(8)

tersebut.24 Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Perbankan Syariah menyatakan, “Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak

bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau Unit

Usaha Syariah, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas”.

Pemilik modal tidak dibenarkan ikut dalam pengelolaan usaha, tetapi diperbolehkan

membuat usulan dan melakukan pengawasan.25 Keuntungan usaha secara mudharabahdibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan

apabila mengalami kerugian ditanggung pemilik modal selama kerugian tidak

dikarenakan kelalaian pengelola, jika kerugian itu diakibatkan kecurangan atau

kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian

tersebut.26 Hal ini dipertegas dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN/MUI/IV/2000 tentang pembiayaanmudharabah pada bagian ketiga angka 3

yang menyatakan, “pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena

pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari

kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”. Oleh karena itu,

agunan dalam mudharabah hanya dapat dipergunakan dengan batasan-batasan

tertentu dan tidak semua kerugian dapat ditutupi dengan agunan.

Fungsi jaminan pada akad mudharabah berbeda dengan fungsi jaminan pada

perbankan konvensional. Fungsi jaminan pada perbankan konvensional adalah

24 Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000. Ichwan Syam dkk, Himpunan Fatwa Dewan

Syari’ah Nasional, Jakarta, DSN-MUI dan BI, 2003, Cet. 2, hlm. 45 Lihat pula ketentuan dalam Pasal 23 dan Pasal 40 Undang-Undang Perbankan Syariah.

25Warkum Sumitro,Op.Cit.,hlm 32.

26 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,

(9)

sebagai penjamin atas utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur,

karena pada dasarnya perjanjian yang telah disepakati oleh kreditur dengan debitur

adalah perjanjian utang piutang. Jaminan pada akad mudharabah pada hakikatnya

hanya untuk menjaminmudharibagar tidak melakukan suatu penyimpangan ataupun

melalaikan kewajibannya (moral hazard).

Kewajiban menyerahkan jaminan ini sesuai dengan Fatwa DSN MUI No.

07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah pada angka 7 bagian 1

tentang Ketentuan Pembiayaan, yang berbunyi:

Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dapat meminta agunan dari mudharib atau pihak ketiga. Agunan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang disepakati dalam akad.

Berdasarkan ketentuan ini, jika mudharib menderita kerugian yang murni

bukan karena kesalahan, kelalaian dan pelanggaran kesepakatan, maka jaminan tidak

dapat disita.

Aturan mengenai jaminan juga dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia

Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank

yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasar Prinsip Syariah yaitu pasal 6 huruf O

yang menyatakan, “Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi

resiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam

(10)

Salah satu bank yang melakukan pembiayaan mudharabah adalah PT Bank

Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada. Calon nasabah yang ingin mengajukan

permohonanmudharabahdisyaratkan memberikan jaminan kepada pihak bank. Nilai

jaminan tersebut harus melebihi dari peminjaman dana, sebagai jaminan dalam

melunasi hutangnya. Hal ini ditegaskan Pasal 1 angka 1 Akad Pembiayaan

Mudharabah PT Bank Syariah Mandiri yang mengatakan bahwa jaminan atau

agunan dalam pembiayaanmudharabah, baik itu benda bergerak atau tidak bergerak

guna menjamin pelunasan hutang nasabah kepada bank. Dalam Pasal 10 selanjutnya

dinyatakan bahwa apabila barang jaminan telah menurun nilai harganya (nilai harga

jaminan kurang dari peminjaman dana) dari perjanjian semula, pihak bank akan

melakukan pembaharuan kontrak dengan pihak nasabah.

Adanya persyaratan bagi nasabah untuk menyediakan jaminan dalam

pengajuan pembiayaan mudharabah, pada prinsipnya tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan bidang perbankan di Indonesia dan tidak pula

bertentangan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional sebagaimana telah dibicarakan.

Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana batasan untuk menyatakan

seorang mudharib melakukan kelalaian dalam mudharabah? Berbagai aturan yang

ada tidak memberi batasan yang jelas mengenai kelalaian dan sejauh mana kelalaian

mudharib dapat berakibat pada terjadinya eksekusi jaminan. Persoalan selanjutnya

adalah bagaimana implementasi prinsip syariah dalam pelaksanaan eksekusi terhadap

(11)

mendalam mengenai “implementasi prinsip syariah dalam eksekusi jaminan terhadap

kerugian yang diakibatkan kelalaianmudharib dalam pembiayaan mudharabahpada

PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada”.

B. Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk kelalaian mudharib yang mengakibatkan

timbulnya kerugian dalam pembiayaan mudharabahyang disalurkan oleh PT

Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada?

2. Bagaimanakah penyelesaian pembiayaan mudharabah bermasalah akibat

kelalaianmudharibdi PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada?

3. Bagaimanakah implementasi prinsip syariah dalam pelaksanaan eksekusi

jaminan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian mudharib di PT

Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan

tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bentuk-bentuk kelalaian mudharib yang yang mengakibatkan

timbulnya kerugian dalam pembiayaan mudharabah Bank Syariah Mandiri

(12)

2. Memahami penyelesaian pembiayaan mudharabah bermasalah akibat

kelalaianmudharibdi PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada.

3. Menganalisis implementasi prinsip syariah dalam pelaksanaan eksekusi

jaminan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian mudharib di PT

Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Gajahmada.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, untuk memperluas pengetahuan di bidang hukum, khususnya

hukum perbankan syariah, terutama kaitannya dengan pelaksanaan eksekusi

jaminan dalam pembiayaan mudharabah di Indonesia dalam upaya

mewujudkan sistem pembiayaan pada perbankan syariah yang sesuai prinsip

syariah.

2. Secara praktis:

a) Bagi pemerintah, sebagai suatu kajian ilmiah yang dapat dipakai dalam

menentukan politik hukum perekonomian nasional yang berkaitan dengan

regulasi, khususnya di bidang hukum perjanjian yang lebih menjamin

keadilan bagi para pihak dalam perjanjian berdasarkan prinsip syariah.

b) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi

kalangan akademisi, praktisi serta para pelaku usaha yang bergerak di

bidang usaha berdasarkan prinsip syariah, khususnya pada perbankan

syariah, agar dapat memahami eksistensi jaminan dalam perjanjian

(13)

E. Keaslian Penelitian

Hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara,

khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul yang sama dengan

judul tesis yang direncanakan, belum pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan

beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini yaitu antara lain :

1. Saraswati Jaya, NIM 087011111, judul Perlindungan Hukum terhadap Bank

sebagai Kreditur Pemegang Hak Tanggungan dalam Penangguhan Eksekusi

Jaminan Berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dengan

rumusan masalah:

a. Bagaimana proses eksekusi hak tanggungan oleh bank sebagai kreditur

separatis dan perlindungan hukum yang didapat oleh kreditur tersebut.

b. Bagaimanakah kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dengan

adanya lembaga penangguhan eksekusi.

c. Bila penangguhan eksekusi yang diakhiri oleh debitur insolven (tidak

mampu membayar utang-utangnya), bagaimana hak eksekusi kreditur

pemegang tanggungan dilaksanakan.

2. Muhammad Nur, NIM 067011057, judul Pelaksanaan Pemberian

Mudharabah kepada Koperasi (Studi pada Bank Muamalat Cabang Medan)

dengan rumusan masalah:

a. Bagaimana tata cara pemberianmudharabah kepada Koperasi pada Bank

(14)

b. Faktor-faktor apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan

pemberian pembiayaanmudharabahkepada Koperasi.

c. Bagaimanakah penyelesaian sengketa apabila terjadi wanprestasi dalam

pembiayaan secara mudharabah kepada Koperasi pada Bank Muamalat

Cabang Medan.

Dari judul-judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian

yang akan dilakukan, sebab penelitian yang akan dilakukan adalah mengenai kriteria

untuk menentukan adanya kelalaian yang dilakukan mudharib dalam pembiayaan

mudharabah. Dengan demikian penelitian dengan judul "Implementasi Prinsip

Syariah dalam Eksekusi Jaminan terhadap Kerugian yang diakibatkan oleh Kelalaian

Mudharib dalam Pembiayaan Mudharabah pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang

Medan Gajahmada" belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga penelitian ini

dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau

pegangan teoritis dalam penelitian.27Sebuah penelitian membutuhkan kerangka teori untuk dapat menganalisis masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut, apalagi di

dalam penelitian-penelitian yang berhubungan dengan disiplin ilmu hukum yang

(15)

membutuhkan teori guna menganalisis masalah yang diangkat dalam penelitian

tersebut.

Sudikno Mertokusumo menyatakan, teori hukum adalah cabang ilmu hukum

yang menganalisis secara kritis dalam perpektif interdisipliner, dari pelbagai aspek

perwujudan (fenomena) hukum secara tersendiri atau menyeluruh baik dalam

konsepsi teoritis maupun dalam pelaksanaan praktis dengan tujuan memperoleh

pengetahuan yang lebih baik dan uraian yang lebih jelas tentang bahan-bahan yuridis

ini.28 Perkembangan ilmu hukum tidak lepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan

postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini

tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem

pemikiran para ahli hukum sendiri.29

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi30, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.31 M.Solly Lubis menyatakan konsep teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi si pembaca

menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak

28 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka,

2012, hlm. 87.

29 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (Hukum dan Masalah-Masalah Kontemporer,

Susunan III), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 2.

30 J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial-Asas-asas, (Penyunting: M.Hisyam),

Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hlm. 203.

(16)

disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti.

Teori mempunyai kegunaan yang paling sedikit mencakup hal-hal sebagai

berikut:32

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi; c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui

serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah Teori

Maqashid Syariah. Maqashid syariah berarti tujuan syariah. Menurut Ash-Shatibi,

tujuan utama syariat Islam yang disebut dengan istilah maqashid syariah adalah

mencapai kesejahteraan hakiki manusia yang terletak pada perlindungan terhadap

lima elemen, yaitu keimanan (ad-dien), ilmu (al-‘ilm), kehidupan (an-nafs), harta (

al-maal) dan kelangsungan keturunan (an-nasl). Kelima elemen tersebut pada dasarnya

merupakan sarana yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan kehidupan yang baik

dan terhormat. Jika salah satu dari lima elemen ini tidak tercukupi, niscaya manusia

tidak akan mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya.33 Secara ringkas dapat dikatakan bahwa teori ini bertujuan mewujudkan kemaslahatan.

32Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta, UI Press, 1984, hlm. 121. 33Ash-Shatibi sebagaimana dikutip oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam

(17)

Sistem ekonomi Islam secara umum dapat dikatakan merupakan sistem

ekonomi yang menekankan pada konsep manfaat kegiatan ekonomi yang luas, sejak

proses transaksi sampai hasil akhirnya. Setiap kegiatan, termasuk proses transaksi,

harus mengacu kepada konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas keadilan. Prinsip

ini juga menekankan para pelaku ekonomi untuk selalu menjunjung tinggi etika dan

norma hukum dalam kegiatan ekonomi.34 Islam memiliki konsep-konsep pemikiran ekonomi yang filosofis, nilai-nilai etika ekonomi yang moralis, dan norma-norma

hukum ekonomi yang tegas dan jelas. Ekonomi Islam berakarkan akidah Islamiyah

yang ajeg (kokoh) dan dibingkai dengan tiga pilar utama, yaitu konsep yang filosofis,

nilai etika yang moralis dan hukum yang normatif aplikatif.35

Di kalangan ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa hukum mempunyai

tiga nilai dasar yang juga merupakan tujuan hukum yaitu: keadilan (justice),

kepastian (certainty/zakerheid), dan kegunaan (utility).36 Keadilan sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepatutan (equity) serta kewajaran

(proporsionality). Kepastian hukum terkait dengan ketertiban (order) dan keteraturan,

yang berkaitan dengan keamanan dan ketenteraman. Sedangkan kegunaan diharapkan

terbentuk suatu peradaban yang luhur. Peradaban Islam adalah peradaban yang mengedepankan aspek budi pekerti atau akhlak, baik dalam hubungan manusia dengan sesama manusia maupun hubungannya dengan Tuhan. Kesejahteraan hanya dapat dicapai jika manusia hidup dalam keseimbangan (equilibrium), sebab keseimbangan merupakansunnatullah (hukum alam). Lihat QS 67:3-4 dan QS 36:40.

34 Fathurrahman Djamil, “Prinsip Ekonomi Syariah dan Implementasinya dalam Lembaga

Keuangan Syariah”, Makalah disampaikan pada Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme Bagi Para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama Peradilan Agama Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Semarang, DI Yogyakarta, Bandung, Banten dan DKI Jakarta di Batu - Malang, 1-4 Mei 2006, hlm. 1.

35Muhammad Amin Suma,Op.cit., hlm. 51.

36 Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, Citra Aditya

(18)

dapat menjamin bahwa semua nilai tersebut akan mewujudkan kebahagiaan dan

kedamaian hidup bersama.37

Sistem ekonomi dan perbankan syariah dalam konteks tujuan negara

kesejahteraan (welfare state) merupakan salah satu sistem ekonomi yang hidup dan

telah memainkan peran signifikan di dunia. Sistem ekonomi syariah juga merupakan

sistem alternatif bagi dunia usaha untuk menciptakan tatanan ekonomi nasional yang

menjanjikan keadilan dan mendukung kesejahteraan masyarakat. Untuk itu

pembahasan mengenai ekonomi syariah termasuk perbankan syariah terus menerus

dikembangkan di tengah masyarakat di berbagai forum agar selaras dengan

perkembangan zaman. Sistem ekonomi syariah memiliki nilai-nilai unggul yang

membedakannya dengan sistem ekonomi konvensional. Nilai-nilai itu antara lain

adalah: prinsip keadilan, prinsip kemitraan, prinsip keseimbangan, prinsip

kemaslahatan, larangan praktik bunga (riba), larangan kegiatan spekulatif (maysir),

larangan kegiatan yang bersifat eksploitatif dan sebagainya, sehingga konsep

ekonomi syariah pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan moralitas.38

Kegiatan bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada dasarnya merupakan

perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhkan dan menghendaki

pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistem bunga, melainkan atas dasar

prinsip bagi hasil39 atau jual beli sebagaimana digariskan syariat Islam.40 Bank

37Jimly Asshiddiqie,Konstitusi Ekonomi,Kompas Media Group, Jakarta, 2010,hlm. 9. 38 Setiawan Budi Utomo, “Kajian Hukum atas Keabsahan Produk Perbankan Syariah

dikaitkan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Tujuan Negara Kesejahteraan”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2011, hlm. 19.

39Bunga dan bagi hasil dapat digambarkan sebagai berikut, yaitu:1). Penentuan keuntungan

(19)

berdasarkan prinsip bagi hasil juga diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan

lembaga-lembaga keuangan lainnya yang telah terlebih dahulu dikenal dalam sistem

perbankan Indonesia. Disamping itu pendirian jenis bank bagi hasil ini akan dapat

memberi pelayanan kepada bagian masyarakat yang karena prinsip agama atau

kepercayaan tidak bersedia menggunakan jasa perbankan konvensional.

Istilah bank bagi hasil kemudian dirumuskan secara lebih tegas dengan istilah

“bank berdasarkan prinsip syariah” dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.41 Dalam pasal 1 angka 3 undang-undang tersebut dinyatakan: “Bank Umum adalah

bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan

Prinsip Syariah42 yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas

didasarkan pada jumlah uang/modal yang dipinjamkan,sedangkan untuk bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. 3). Pembayaran bunga sebagaimana yang diperjanjikan tanpa pertimbangan untung rugi, sedangkan bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek, bila rugi ditanggung bersama. 4). Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat walaupun keuntungan berlipat, sedangkan bagi hasil sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. 5). Eksistensi bunga diragukan oleh agama, sedangkan bagi hasil tidak ada yang meragukan keabsahannya. Wirdaningsih, dkk,Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hlm. 41.

40 Bagaimanapun juga harus diakui bahwa dalam masyarakat banyak kelompok yang

memiliki prinsip bahwa sistem bunga yang dianut oleh perbankan merupakan pelanggaran terhadap syariat agama dan merupakan riba yang di dalam hukum Islam merupakan perbuatan dosa atau haram. Sejalan dengan itu bank dengan prinsip bagi hasil ini dimaksudkan untuk melayani segmen pasar tersebut. Lihat Dahlan Siamat,Manajemen Lembaga Keuangan,Jakarta, Intermedia, 1995, hlm. 121.

41 Meskipun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah mengakomodir peraturan bank

syariah, namun belum mengatur ketentuan perbankan syariah pada pasal-pasal khusus. Dalam undang-undang tersebut, ketentuan bank syariah baru sebatas mendefinisikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan jenis-jenis prinsip syariah yang digunakan pada perbankan. UU tersebut juga mengubah masing-masing satu ayat pada pasal 6 dan 7 yang berkaitan dengan pembiayaan bagi hasil, serta pasal 13 yang berkaitan dengan usaha bank perkreditan rakyat. Dengan demikian, sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, lembaga dan operasional bank syariah di Indonesia belum memiliki payung hukum tersendiri.

42 Pasal 1 angka 13 UU No. 10 Tahun 1998 menyatakan: “Prinsip Syariah adalah aturan

(20)

pembayaran”. Sejak keluarnya undang-undang tersebut maka bank syariah

merupakan lembaga yang telah diakui secara yuridis sebagai bagian dari sistem

perbankan Indonesia. Bank syariah semakin mendapat kepastian setelah Pemerintah

Indonesia mensahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah. Undang-undang ini merupakan jaminan bagi kepastian usaha dan jaminan

perlindungan hukum yang sangat diperlukan bagi semua kalangan yang berhubungan

dengan bank syariah untuk memastikan bahwa pelaksanaan dan operasional

perbankan syariah tetap berjalan secara konsisten dengan prinsip syariah.

Terdapat empat perbedaan mendasar antara bank konvensional dengan bank

syariah.43 Pertama, dari segi akad dan legalitas. Akad yang dilakukan bank syariah memiliki konsekuensi duniawi danukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan

hukum Islam. Kedua, mengenai struktur organisasi. Bank Syariah dapat memiliki

struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional, tetapi unsur yang

membedakan adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas

mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis syariah.

Ketiga, mengenai bisnis dan usaha yang dibiayai. Pada Bank Syariah, bisnis dan

usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Keempat, mengenai

modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Sedangkan dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 21 Tahun 2008 dinyatakan: “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. Lihat juga Peraturan Bank Indonesia No. 10/16/PBI/2008 pada pasal 1 ayat 6.

43 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani

(21)

lingkungan kerja dan corporate culture. Sifat amanah dan shidiq harus melandasi

setiap karyawan sehingga tercipta profesionalisme yang berdasarkan Islam, dan

dalam hal reward dan punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan

syariah.44

Di antara keempat perbedaan mendasar antara lembaga keuangan syariah

dengan lembaga keuangan konvensional, akad45 atau transaksi pada bank syariah merupakan bagian yang sangat penting karena akad merupakan landasan keterikatan

antara bank dan nasabah yang menimbulkan hak dan kewajiban. Kegiatan bisnis

pada bank syariah harus ada transaksi pendukung (underlying transaction)yang jelas,

sehingga uang tidak boleh mendatangkan keuntungan dengan sendirinya, tanpa ada

alas transaksi, seperti jual beli yang akan menimbulkan margin, sewa-menyewa yang

akan menimbulkan fee dan penyertaan modal yang akan memperoleh bagi hasil.46 Mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2006 tentang

Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan

Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dinyatakan bahwa kegiatan penyaluran dana

dapat dilakukan melalui prinsip bagi hasil, jual beli, sewa menyewa, dan prinsip

pinjam meminjam.47

44Ibid.

45 Akad sebagaimana didefiniskan dalam pasal 20 KHES, adalah “kesepakatan dalam suatu

perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”.

46Fathurrahman Djamil,Op.Cit., hlm.5.

47 Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta, UII Press,

(22)

Salah satu kegiatan usaha penyaluran dana perbankan dengan menggunakan

prinsip bagi hasil adalah pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah

merupakan akad pembiayaan antara bank syariah sebagai shahibul-mal dan nasabah

sebagai mudharib untuk melaksanakan kegiatan usaha, dimana bank syariah

memberikan modal usaha sepenuhnya (100 persen) dan nasabah menjalankan

usahanya. Hasil usaha atas pembiayaanmudharabahakan dibagi antara bank syariah

dan nasabah dengan nisbah yang telah disepakati pada saat terbentuknya perjanjian

(akad).48

Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh bank

syariah kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini

bank sebagai shahibul-mal (pemilik dana) membiayai 100% (seratus persen)

kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan nasabah (pengusaha) bertindak sebagai

mudharibatau pengelola dana. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan

pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Mudharibboleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan

sesuai dengan syariah dan bank tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau

proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.49

48 Dalam Pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan: “Akad adalah

kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah”. Secara bahasa, akad adalah ikatan antara dua hal, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi. Wahbah Al-Zuhaili,al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, Dar al-Fikr, Damaskus, 1996, hal. 80. Para ahli Hukum Islam mendefinisikan akad sebagai hubungan antaraijabdan qabulsesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh/ akibat hukum pada objek perikatan. Rumusan akad ini menunjukkan bahwa akad terdiri dari adanya para pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal tertentu. Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transakasi di Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal. 6. Akad adalah istilah yang mempunyai pengertian sama dengan kontrak.

(23)

Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad

berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabangfiqh

muamalah juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta

adanya keadaan memaksa.50 Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada

akad bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau

ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan ke

rumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak

tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak

sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah

ganti rugi dari pihak yang lalai.51 Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian

berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan

perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus

membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja

atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati

maka barang tersebut harus diganti. Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal

dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama

mengatakan adakalanyaadh-dhamanberupa barang atau uang.

(24)

Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah

disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi

sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang

menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak

menghukum orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan

lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maksimal untuk memenuhi

prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam

pembayaran hutang.52

Dalam praktik pembiayaan, keberadaan agunan sebagai jaminan tambahan

ternyata menjadi hal yang lebih diutamakan oleh bank dibandingkan dengan sekedar

jaminan berupa keyakinan bahwa debitur akan mampu mengembalikan kredit atau

pembiayaan yang diterimanya. Di samping itu, untuk lebih meyakinkan bahwa

agunan yang diberikan akan mampu menjamin pengembalian kredit atau pembiayaan

bila terjadi wanprestasi, maka agunan yang diserahkan oleh debitur harus dilakukan

pengikatan.53

Pengikatan jaminan/agunan merupakan perjanjianaccessoir(perjanjian buntut

atau perjanjian turutan), sedangkan perjanjian pokoknya dalam konteks perbankan

berupa pemberian kredit atau pembiayaan. Oleh karena itu, berdasarkan doktrin

hukum maka perjanjian accessoir dibuat berdasarkan suatu perjanjian pokok. Bila

perjanjian pokok hapus maka perjanjianaccessoir juga harus dihapuskan. Perjanjian

52Ibid.,hlm.123

53 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,

(25)

kredit atau pembiayaan adalah perjanjian pokok dan perjanjian pengikatan

jaminan/agunan adalah perjanjian accessoir. Dengan demikian untuk pengamanan

pemberian kredit atau pembiayaan seharusnya setelah perjanjian ditandatangani

segera dilakukan perjanjian pengikatan jaminan kredit atau pembiayaan.54

Kelalaian mudharib merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan

kegagalan dan kerugian dalam pembiayaan mudharabah. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, kelalaian termasuk salah satu bentuk wanprestasi atau

cedera janji. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi

buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai

melaksanakan kewajiban sebagai mana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang

dibuat antarakrediturdandebitur.55

Menurut Rutten, “lalai adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi

janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat

dipersalahkan kepadanya”.56Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kelalaian merupakan faktor yang menyebabkan seorang debitur (mudharib) dapat

dipersalahkan dan dituntut untuk melakukan ganti rugi atas kelalaiannya.

Menurut ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak

dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai

memenuhi perikatannya, debitur tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus

54M. Bahsan,Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta, Rejeki Agung, 2002,

hlm. 110.

55Abdul R Saliman,Esensi Hukum Bisnis Indonesia,Jakarta, Kencana, 2004, hlm. 15. 56 Rutten dalam J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan pada Umumnya,Bandung, Alumni,

(26)

diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.57 Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur

melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti

oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M. Yahya Harahap,

kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi

baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa

belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling”atau ”in morastelling”.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah

sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada

dalam pikiran. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia

teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.58 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang

disebut dengan defenisi operasional.59

Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas

masalah yang dibahas. Karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu

masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Tan Kamello, pentingnya defenisi

operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran

mendua(dubius)dari suatu istilah yang dipakai.60

57 R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. Ke-34, Jakarta, AKA, 2004,

hlm.324.

58Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survey,Jakarta, LP3ES, 1999, hlm. 34. 59Sumandi Suryabrata,Metodologi Penelitian,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 3. 60 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung,

(27)

Konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian.

Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini perlu dirumuskan serangkaian defenisi

operasional atas beberapa variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak

akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang

dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsep ini, diperoleh

suatu persamaan pandangan dalam menganalisa masalah yang diteliti, baik dipandang

dari aspek yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.

Untuk menghindari kesalahan persepsi dalam memahami tujuan yang akan

dicapai dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan konsep dari istilah-istilah yang

digunakan, yaitu :

a. Implementasi (berasal dari bahasa Inggris,implementation) berarti penerapan.

b. Prinsip Syariah, adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan

berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan

dalam menetapkan fatwa di bidang syariah.61

c. Eksekusi adalah menjalankan putusan dalam perkara perdata secara paksa

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak

tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela.62

61Pasal 1 ayat (12) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

62 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 314.

(28)

d. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda

tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah

dan/atau Unit Usaha Syariah, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah

penerima fasilitas.63

e. Kelalaian adalah sikap kurang hati-hati yang menimbulkan kerugian pada

pihak lain. Kelalaian disebut juga kealpaan atauculpadapat dibedakan atas:

1) Kelalaian yang disadari (bewuste schuld)

Dalam hal ini pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi

2) Kelalaian yang tidak disadari (onbewuste schuld).

Dalam hal ini pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya. Van Hattum mengatakan, bahwa “kelalaian yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kelalaian sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kelalaian seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana seharusnya si pelaku itu berbuat.

f. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh bank

syariah kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam

pembiayaan ini bank sebagai shahibul mal (pemilik dana) membiayai 100%

(seratus persen) kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan nasabah

(pengusaha) bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. Jangka waktu

usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan

63

(29)

berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Mudharib boleh melakukan

berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan

syariah dan bank tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek

tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.64

g. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan dana atau tagihan

yang dipersamakan dengan itu berupa:

1) transaksi bagi hasil dalam bentukmudharabahdanmusyarakah;

2) transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentukijarah muntahiya bittamlik;

3) transaksi jual beli dalam bentuk piutangmurabahah,salam, danistishna’ 4) transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutangqardh; dan

5) transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.65

h. PT Bank Syariah Mandiri adalah lembaga perbankan di Indonesia. Bank ini

berdiri pada tahun 1973 dengan nama Bank Susila Bakti. Pada tahun 1999,

bank ini terpengaruhi krisis moneter sehingga bersama-sama Bank Dagang

Negara, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Bumi Daya dan Bank Ekspor

Impor Indonesia melakukan merger membentuk Bank Mandiri. Bank Susila

Bakti diambil alih oleh Bank Mandiri menjadi Bank Syariah Sakinah Mandiri,

64Warkum Sumitro,Op.Cit.,hlm 32.

65 Pasal 1 angka (25) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syraiah. Bandingkan

(30)

sejak tanggal 8 September 1999 berubah menjadi Bank Syariah Mandiri.

Resmi menjadi Bank Syariah tanggal 1 November 1999.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian yang

berusaha menggambarkan atau menguraikan secara analitis mengenai permasalahan

yang berkaitan dengan obyek penelitian.66 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Menurut Sunaryati Hartono, salah satu kegunaan

penelitian hukum normatif adalah untuk melakukan penelitian dasar (basic research)

di bidang hukum, khususnya untuk mencari asas hukum, teori hukum, dan sistem

hukum, terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum yang baru

dan sistem hukum nasional yang baru.67

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual. Pendekatan

konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang

melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas

hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam

membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.68

66Peter Mahmud Marzuki,Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, hlm. 27. 67 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung,

Alumni, 2006, hlm.141.

(31)

Menurut Pollack, tujuanlegal researchadalah mengkaji apakah suatu postulat

normatif tertentu memang dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum

tertentuin-concreto.69Penelitian untuk menemukan hukum (rechtsvinding) bagi suatu perkara in-concreto merupakan usaha untuk menemukan apakah hukumnya yang

sesuai untuk diterapkan in-concreto guna menyelesaikan suatu perkara tertentu dan

dimanakah peraturan itu dapat ditemukan, termasuk ke dalam penelitian hukum juga

disebut juga dengan istilahlegal research.70

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan, yakni di PT Bank Syariah Mandiri

Cabang Medan Gajahmada dengan pertimbangan bahwa bank tersebut merupakan

bank yang menyalurkan pembiayaan mudharabah dengan kewajiban memberikan

jaminan atas pembiayaan yang akan diberikan kepadamudharib.

3. Sumber Data

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara studi kepustakaan

(library research) dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-bahan hukum

primer berupa peraturan perundang-undangan di bidang hukum, hukum perjanjian

dan perbankan serta hukum Islam sebagai landasan akad pada operasional bank

syariah.

69Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,Jakarta, Raja Grafindo

Persada, 2009, hlm. 14-15.

70 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia

(32)

Jenis data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Data sekunder merupakan data atau fakta yang diperoleh melalui bahan-bahan

pustaka, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, teori-teori,

bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan

masalah yang akan diteliti. Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini

meliputi:

a. Bahan Hukum Primer. Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah: Al-Quran dan Al-Hadits, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Himpunan Fatwa Dewan

Syariah Nasional; Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan

b. Bahan Hukum Sekunder. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku,

karya ilmiah, makalah.

c. Bahan Hukum Tertier. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), majalah, surat kabar,

internet, jurnal ilmiah dan ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan, dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang

(33)

Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan

Universitas Sumatera Utara, dan lain-lain yang dibutuhkan untuk penelitian

ini.

b. Wawancara dilakukan kepada Area Manager Medan 2, Marketing Officer,

Legal Officer, Verifikator dan nasabah pembiayaan PT Bank Syariah Mandiri

Cabang Medan Gajahmada untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.

Tujuan wawancara adalah untuk melihat law in action dan melengkapi data

sekunder yang telah diperoleh melalui studi kepustakaan.

5. Analisis Data

Bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian dikategorikan berdasarkan

bentuk, jenis dan tujuannya, selanjutnya dilakukan penafsiran berdasarkan tujuan

penelitian.71 Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif,72 yaitu dengan melakukan analisis terhadap peraturan-peraturan dan bahan-bahan hukum

yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dengan cara menginterprestasikan

semua peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan masalah yang dibahas,

menelaah dan menilai bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang dibahas,

mengevaluasi perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas,

sehingga akhirnya dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara deduktif

yakni dari yang bersifat umum ke yang bersifat khusus, serta dapat dipresentasikan

dalam bentuk deskriptif. Dengan kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat

menjawab rumusan permasalahan dan tercapainya tujuan penelitian.

71Sunaryati Hartono,Op.cit,hlm. 152.

72 Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif-Sumber Tentang Metode-Metode Baru,

Referensi

Dokumen terkait

Fitur – fitur yang ada pada komik meliputi gambar yang menarik untuk menolong pelajar remaja untuk mengembangkan ide dan imajinasi dalam bahasa Inggris, material bacaan dalam

Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan sebagai tanda terima kasih seorang hamba Sujud syukur adalah sujud yang dilakukan sebagai tanda terima kasih seorang

[r]

Oleh karena itu kegiatan ini sangat penting dilakukan dalam mengembangkan kajian tentang evaluasi ekologis pohon pelindung di Kampus Universitas Mataram, dimana nantinya

1 Nalumsari Jepara tahun 2016, pada pra siklus memperoleh skor rata-rata 9,6 persentase 32% kategori cukup mengalami peningkatan pada siklus II memperoleh skor

Alhamdulillahirobbil’ allamin, segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan kesehatan, kekuatan dan hidayahnya sehingga penulis dapat

Berdasarkan data statistikutang luar negeri indonesia berikut di sajikan tentang pembayaran utang Pemerintah, bank sentral serta utang swasta sampai juni 2017,

Ilustrasi atau gambar dalam media interaktif mudah dipahami dan memperjelas materi konsep dasar grading dan grade pola badan depan dengan media interaktif Saya merasa