BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Umum
Drainase berasal dari bahasa inggris yaitu drainage yang artinya mengalirkan, menguras, membuang atau mengalihkan air. Dalam bidang Teknik
Sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis
untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan
maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi
kawasan/lahan tidak terganggu (Suripin, 2004).
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT/M/2014
Tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan, drainase adalah prasarana
yang berfungsi mengalirkan kelebihan air dari suatu kawasan ke badan air
penerima. Sedangkan drainase perkotaan adalah drainase di wilayah kota yang
berfungsi mengelola/mengendalikan air permukaan, sehingga tidak menganggu
dan/atau merugikan masyarakat.
2. 1. 1.Sistem Drainase
Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian
bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air
dari suatu kawasan/lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Bangunan sistem drainase secara berurutan mulai dari hulu terdiri dari saluran
gorong-gorong, jembatan-jembatan, talang dan saluran miring/got miring
(Suripin, 2004).
Sesuai dengan cara kerjanya, jenis saluran drainase buatan dapat dibedakan
menjadi:
a. Saluran Interceptor (Saluran Penerima)
Berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari
suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran ini biasanya
dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan garis
kontur. Outlet dari saluran ini biasanya terdapat di saluran collector atau
conveyor atau langsung di natural drainage/sungai alam. b. Saluran Collector (Saluran Pengumpul)
Berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran
drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuan ke saluran conveyor
(pembawa).
c. Saluran Conveyor (Saluran Pembawa)
Berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi
pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui.
Menurut cara terbentuknya, jenis drainase dapat dikelompokkan menjadi:
a. Drainase alamiah (natural drainage)
Drainase alamiah terbentuk melalui proses alamiah yang
berlangsung lama. Saluran drainase terbentuk akibat gerusan air sesuai
dengan kontur tanah. Drainase alamiah ini terbentuk pada kondisi tanah
masuk ke sungai-sungai. Pada tanah yang cukup poreous, air yang ada di
permukaan tanah akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi).
b. Drainase buatan (artificial drainage)
Drainase buatan adalah sistem yang dibuat dengan maksud tertentu
dan merupakan hasil rekayasa berdasarkan hasil hitung-hitungan yang
dilakukan untuk upaya penyempurnaan atau melengkapi kekurangan
sistem drainase alamiah. Pada sistem drainase buatan memerlukan
biaya-biaya baik pada perencanaannya maupun pada pembuatannya.
Menurut sistem pengalirannya, jenis drainase dapat dikelompokkan
menjadi:
a. Drainase dengan sistem jaringan
Drainase dengan sistem jaringan adalah suatu sistem pengeringan
atau pengaliran air pada suatu kawasan yang dilakukan dengan
mengalirkan air melalui sistem tata saluran dengan bangunan-bangunan
pelengkapnya.
b. Drainase dengan sistem resapan
Drainase dengan sistem resapan adalah sistem pengeringan atau
pengaliran air yang dilakukan dengan meresapkan air ke dalam tanah. Cara
resapan ini dapat dilakukan langsung terhadap genangan air di permukaan
tanah ke dalam tanah atau melalui sumuran atau saluran resapan. Sistem
resapan ini sangat menguntungkan bagi usaha konservasi air.
Menurut tujuan pembuatannya jenis drainase dapat dikelompokkan
a. Drainase perkotaan
Drainase perkotaan adalah pengeringan atau pengaliran air dari
wilayah perkotaan ke sungai yang melintasi wilayah perkotaan tersebut
sehingga wilayah perkotaan tersebut tidak digenangi air.
b. Drainase daerah pertanian
Drainase daerah pertanian adalah pengeringan atau pengaliran air
di daerah pertanian baik di persawahan maupun daerah sekitarnya yang
bertujuan untuk mencegah kelebihan air agar pertumbuhan tanaman tidak
terganggu.
c. Drainase lapangan terbang
Drainase lapangan terbang adalah pengeringan atau pengaliran air
di kawasan lapangan terbang terutama pada runway (landasan pacu) dan
taxiway sehingga kegiatan penerbangan baik takeoff, landing maupun taxing tidak terhambat. Pada lapangan terbang drainase juga bertujuan
untuk keselamatan terutama pada saat landing dan take off yang apabila
tergenang air dapat mengakibatkan tergelincirnya pesawat terbang.
d. Drainase jalan raya
Drainase jalan raya adalah pengeringan atau pengaliran air di
permukaan jalan yang bertujuan untuk menghindari kerusakan pada badan
jalan dan menghindari kecelakaan lalu lintas. Drainase jalan raya biasanya
berupa saluran di kiri-kanan jalan serta gorong-gorong yang melintas di
e. Drainase jalan kereta api
Drainase jalan kereta api adalah pengeringan atau pengaliran air di
sepanjang jalur rel kereta api yang bertujuan untuk menghindari kerusakan
pada jalur rel kereta api.
f. Drainase pada tanggul dan dam
Drainase pada tanggul dan dam adalah pengaliran air di daerah sisi
luar tanggul dan dam yang bertujuan untuk mencegah keruntuhan tanggul
dan dam akibat erosi rembesan aliran air (piping).
g. Drainase lapangan olahraga
Drainase lapangan olahraga adalah pengeringan atau pengaliran air
pada suatu lapangan olahraga seperti lapangan bola kaki dan lainnya yang
bertujuan agar kegiatan olahraga tidak terganggu meskipun dalam kondisi
hujan.
h. Drainase untuk keindahan kota
Drainase untuk keindahan kota adalah bagian dari drainase
perkotaan, namun pembuatan drainase ini lebih ditujukan pada sisi estetika
seperti tempat rekreasi dan lainnya.
i. Drainase untuk kesehatan lingkungan
Drainase untuk kesehatan lingkungan merupakan bagian dari
drainase perkotaan, dimana pengeringan dan pengaliran air bertujuan
j. Drainase untuk penambahan areal
Drainase untuk penambahan areal adalah pengeringan atau
pengaliran air pada daerah rawa ataupun laut yang tujuannya sebagai
upaya untuk menambah areal.
Menurut tata letaknya jenis drainase dapat dikelompokkan menjadi:
a. Drainase permukaan tanah (surface drainage)
Drainase permukaan tanah adalah sistem drainase yang salurannya
berada di atas permukaan tanah yang keras. Pengaliran air terjadi karena
adanya beda tinggi permukaan saluran (slope).
b. Drainase bawah permukaan tanah (subsurface drainage)
Drainase bawah permukaan tanah adalah sistem drainase yang
dialirkan di bawah tanah (ditanam) biasanya karena sisi artistic atau pada
suatu areal yang tidak memungkinkan untuk mengalirkan air di atas
permukaan seperti pada lapangan olahraga, lapangan terbang, taman dan
lainnya.
Menurut fungsinya, jenis drainase dapat dikelompokkan menjadi:
a. Drainase single purpose
Drainase single purpose adalah saluran drainase yang berfungsi
mengalirkan satu jenis air buangan misalnya air hujan atau air limbah atau
lainnya.
Drainase multi purpose adalah saluran drainase yang berfungsi
mengalirkan lebih dari satu air buangan baik secara bercampur maupun
bergantian misalnya campuran air hujan dan air limbah.
Menurut konstruksinya, jenis drainase dapat dikelompokkan menjadi:
a. Drainase saluran terbuka
Drainase saluran terbuka adalah sistem saluran yang permukaan
airnya terpengaruh dengan udara luar (atmosfir). Drainase saluran terbuka
biasanya mempunyai luasan yang cukup dan digunakan untuk mengalirkan
air hujan atau air limbah yang tidak membahayakan kesehatan lingkungan
dan tidak mengganggu keindahan.
b. Drainase saluran tertutup
Drainase saluran tertutup adalah sistem saluran yang permukaan
airnya tidak terpengaruh dengan udara luar (atmosfir). Saluran drainase
saluran tertutup sering digunakan untuk mengalirkan air limbah atau air
kotor yang mengganggu kesehatan lingkungan dan mengganggu
keindahan.
2. 1. 2.Pola Jaringan Drainase
Sistem jaringan drainase perkotaan umumnya dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu:
a. Sistem Drainase Makro
Sistem drainase makro yaitu sistem saluran/ badan air yang
(Catchment Area). Pada umumnya sistem drainase makro ini disebut juga sebagai sistem saluran pembuangan utama (major system) atau drainase primer. Sistem jaringan ini menampung aliran yang berskala besar dan
luas seperti saluran drainase primer, kanal-kanal atau sungai-sungai.
Perencanaan drainase makro ini umumnya dipakai dengan periode ulang
antara 5 sampai 10 tahun dan pengukuran topografi yang detail mutlak
diperlukan dalam perencanaan system drainase ini.
b. Sistem Drainase Mikro
Sistem drainase mikro yaitu sistem saluran dan bangunan
pelengkap drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah
tangkapan hujan. Secara keseluruhan yang termasuk dalam sistem drainase
mikro adalah saluran di sepanjang sisi jalan, saluran/ selokan air hujan di
sekitar bangunan, goronggorong, saluran drainase kota dan lain sebagainya
dimana debit air yang dapat ditampungnya tidak terlalu besar. Pada
umumnya drainase mikro ini direncanakan untuk hujan dengan masa ulang
2, 5 atau 10 tahun tergantung pada tata guna lahan yang ada. Sistem
drainase untuk lingkungan permukiman lebih cenderung sebagai sistem
drainase mikro.
Bila ditinjau dari segi fisik (hirarki susunan saluran) sistem drainase
perkotaan diklassifikasikan atas saluran primer, sekunder, tersier dan seterusnya.
a. Saluran Primer
Saluran yang memanfaatkan sungai dan anak sungai. Saluran
b. Saluran Sekunder
Saluran yang menghubungkan saluran tersier dengan saluran
primer (dibangun dengan beton/ plesteran semen).
c. Saluran Tersier
Saluran untuk mengalirkan limbah rumah tangga ke saluran
sekunder, berupa plesteran, pipa dan tanah.
d. Saluran Kwarter
Saluran kolektor jaringan drainase lokal.
Gambar 2.1 Hirarki Susunan Saluran
di mana: a = saluran primer, b = saluran sekunder, c = saluran tersier, d = saluran
kwarter.
2.2. Analisis Hidrologi
Hidrologi membahas tentang air yang ada di bumi, yaitu kejadian,
sirkulasi dan penyebaran, sifat-sifat fisis dan kimiawi serta reaksinya terhadap
lingkungan, termasuk hubungannya dengan kehidupan (Linsley, 1982).
Untuk menyelesaikan persoalan drainase sangat berhubungan dengan
aspek hidrologi khususnya masalah hujan sebagai sumber air yang akan di alirkan
drainase mengalirkan ke tempat pembuangan akhir. Desain hidrologi diperlukan
untuk mengetahui debit pengaliran.
2. 2. 1.Siklus Hidrologi
Daur hidrologi dimulai dengan penguapan air dari laut. Uap yang
dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan,
uap tersebut terkondensasi membentuk awan, yang pada akhirnya dapat
menghasilkan presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi menyebar dengan arah
yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari presipitasi tersebut
untuk sementara tertahan pada tanah di dekat tempat ia jatuh, dan akhirnya
dikembalikan lagi ke atmosfer oleh penguapan (evaporasi) dan pemeluhan
(transpirasi) oleh tanaman. Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui
permukaan dan bagian atas tanah menuju sungai, sementara lainnya menembus
masuk lebih jauh ke dalam tanah menjadi bagian dari air-tanah (groundwater). Di bawah pengaruh gaya gravitasi, baik aliran air-permukaan (surface streamflow) maupun air dalam tanah bergerak menuju tempat yang lebih rendah yang akhirnya
dapat mengalir ke laut. Namun, sejumlah besar air permukaan dan air bawah
tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan dan pemeluhan (transpirasi)
sebelum sampai ke laut (Linsley, 1982).
Daur hidrologi memperlihatkan empat fase yang menarik, yaitu presipitasi,
evaporasi dan transpirasi, aliran permukaan dan air tanah. Namun proses penting
yang berkaitan dengan drainase adalah presipitasi dan aliran permukaan.
a. Presipitasi adalah uap air di atmosfir terkondensasi dan jatuh ke
b. Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan badan air (sungai, danau,
waduk);
c. Infiltrasi adalah air yang jatuh ke permukaan menyerap ke dalam tanah;
d. Limpasan permukaan (surface runoff) dan limpasan air tanah (subsurface runoff).
Untuk terjadinya hujan diperlukan beberapa mekanisme guna
mendinginkan udara sehingga cukup menjadikannya jenuh atau mendekati jenuh.
Pendinginan yang diperlukan oleh hujan dalam jumlah besar diperoleh dari
pengangkatan udara. Pengangkatan ini terjadi oleh suatu sistem konvektif yang
dihasilkan dari ketidaksamaan pemanasan atau pendinginan permukaan bumi dan
atmosfer atau oleh konvergensi rintangan-rintangan orografik. Tetapi, kejenuhan
(saturation) belum tentu menghasilkan hujan.
Salah satu bentuk presipitasi yang terpenting di Indonesia adalah hujan.
Maka pembahasan mengenai presipitasi ini selanjutnya hanya dibatasi pada hujan
saja. Jika kita membicarakan data hujan, ada 5 buah unsur yang harus ditinjau,
yaitu (Soemarto, 1993):
a. Intensitas (I) adalah laju curah hujan atau tinggi air per satuan waktu
(mm/menit, mm/jam, mm/hari).
b. Lama waktu atau durasi (t) adalah lamanya curah hujan terjadi (menit atau
jam).
c. Tinggi hujan (d) adalah banyaknya atau jumlah hujan yang dinyatakan
d. Frekuensi (T) adalah frekuensi terjadinya hujan, biasanya dinyatakan
dengan waktu ulang (tahun).
e. Luas (A) adalah luas geografis curah hujan (km2
2. 2. 2.Pengolahan Data Hujan
).
Jika di dalam suatu areal terdapat beberapa alat penakar atau pencatat
curah hujan, maka dapat diambil nilai rata-rata untuk mendapatkan nilai curah
hujan areal. Cara untuk menentukan harga rata-rata curah hujan pada beberapa
stasiun penakar hujan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Pemilihan
metode mana yang cocok dipergunakan pada suatu DAS dapat ditentukan dengan
mempertimbangkan tiga faktor seperti pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Tabel Pemilihan metode analisis sesuai dengan kondisi DAS
No Kondisi DAS Metode
1 Jaring-jaring pos penakar hujan
Jumlah pos penakar hujan cukup
Jumlah pos penakar hujan terbatas Jumlah pos penakar hujan tunggal
Metode Isohyet, Thiessen, atau Rata-rata Aljabar
Thiessen, atau Rata-rata Aljabar Metode Hujan Titik
2 Luas DAS
DAS Besar (>5000km2 DAS Sedang (500 s/d 5000km
)
Berbukit dan tidak beraturan Dataran
Metode Rata-rata Aljabar Metode Isohyet
Metode Thiessen atau Rata-rata Aljabar
Sumber : Suripin, 2004
Ada 3 macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan
rata-rata pada areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos
a. Cara Rata-rata Aljabar
Metode rata-rata aljabar adalah metode yang merata-ratakan jumlah yang
terukur dalam daerah itu secara aritmetik. Metode ini menghasilkan perkiraan
yang baik di daerah datar, bila alat-alat ukurnya ditempatkan tersebar merata dan
masing-masing tangkapannya tidak bervariasi banyak dari nilai rata-ratanya.
Kendala ini dapat diatasi sebagian bila pengaruh-pengaruh topografi dan
keterwakilan daerahnya dipertimbangkan pada waktu pemilihan lokasi-lokasi alat
ukur.
�= ��(��+��+��+ …��) ... (2.1)
di mana: R = curah hujan daerah, n = jumlah pos pengamatan, R1, R2, Rn = curah
hujan tiap pos pengamatan.
b. Metode Thiessen
Metode thiessen berusaha untuk mengimbangi tidak meratanya distribusi
alat ukur dengan menyediakan suatu faktor pembobot (weighting factor) bagi
masing-masing stasiun. Stasiun-stasiunnya diplot pada suatu peta, dan garis-garis
yang menghubungkannya digambar. Garis-garis bagi tegak lurus dari garis-garis
penghubung ini membentuk poligon-poligon di sekitar masing-masing stasiun.
Sisi-sisi setiap poligon merupakan batas luas efektif yang diasumsikan untuk
stasiun tersebut. Luas masing-masing poligon ditentukan dengan planimetri dan
dinyatakan sebagai persentase dari luas total. Curah hujan rata-rata untuk seluruh
luas dihitung dengan mengalikan hujan pada masing-masing stasiun dengan
persentase luas yang diserahkannya dan menjumlahkannya. Hasilnya biasanya
sederhana. Kendala terbesar dari metode ini adalah ketidakluwesannya, suatu
diagram Thiessen baru selalu diperlukan setiap kali terdapat suatu perubahan
dalam jaringan alat ukurnya. Juga dalam metode itu tidak boleh ada
pengaruh-pengaruh orografis. Metode ini secara sederhana menganggap variasi hujan adalah
linear antara stasiun-stasiun dan menyerahkan masing-masing segmen luas kepada
stasiun yang terdekat.
R = (����+����+ …����)
��+��+ …�� ... (2.2)
di mana: R = curah hujan daerah, R1, R2, Rn = curah hujan tiap pos
pengamatan, A1, A2, An= luas daerah tiap pos pengamatan.
Gambar 2.2Contoh Poligon Thiessen (Wesli, 2008) c. Metode Isohyet
Metode isohyet bila digunakan oleh seorang analis berpengalaman akan
merupakan yang paling akurat dalam merata-ratakan hujan pada suatu daerah.
Lokasi stasiun dan besarannya diplot pada suatu peta yang cocok dan kontur
untuk hujan yang sama (isohiet) kemudian digambar. Hujan rata-rata suatu daerah
dihitung mengalikan hujan rata-rata antara isohyet yang berdekatan (biasanya
menjumlahkan hasilnya dan membaginya dengan luas total. Metode ini
mengizinkan penggunaan dan interpretasi semua data yang tersedia dan telah
digunakan untuk ditampilkan dan dibahas. Dalam membuat suatu peta isohyet
para analis bisa menggunakan semua pengetahuannya tentang pengaruh-pengaruh
orografis dan morfologi hujan lebat, dan dalam hal ini peta tersebut akhirnya
harus memberikan suatu pola hujan yang lebih realistis daripada yang bisa
diperoleh dari jumlah terukur saja. Bila digunakan interpretasi linear antara
stasiun-stasiun, hasilnya akan menjadi sama secara hakiki seperti yang diperoleh
dengan metode Thiessen.
R = (����+����+ …����)
��+��+ …�� ... (2.3)
di mana: R = curah hujan daerah, R1, R2, Rn = curah hujan rata-rata pada area
A1, A2, An ; A1, A2, An= luas area antara garis isohyet (topografi).
Gambar 2.3Contoh Garis Isohyet Topografi (Sri Harto, 1993)
2. 2. 3.Memperkirakan Data Hujan yang Hilang
Banyak stasiun hujan kadang-kadang mengalami kekosongan data karena
ketidakhadiran si pengamat ataupun karena kerusakan alat. Untuk itu sering
diperlukan perkiraan catatan yang hilang tersebut. Dalam prosedur [56] yang
digunakan oleh U.S Environmental Data Service’, jumlah hujan dihitung dari
pengamatan di tiga stasiun terdekat dan sedapat mungkin berjarak sama terhadap
masing-masing stasiun indeks berada dalam 10 persen dari stasiun-stasiun yang
kehilangan catatan tersebut, rata-rata aritmetik sederhana dari hujan di
stasiun-stasiun indeks dapat memberikan jumlah yang diperkirakan.
Bila hujan tahunan normal di sembarang stasiun-stasiun indeks berbeda
dari stasiun yang dinyatakan sebesar lebih dari 10 persen, maka digunakan metode
rasio-normal (normal-ratio method) atau metode inversed square distance. Dalam penelitian ini, kita akan membahas metode inversed square distance.
Metode inversed square distance adalah salah satu metode yang digunakan untuk mencari data yang hilang. Metode perhitungan yang digunakan hampir
sama dengan metode normal ratio yakni memperhitungkan stasiun yang berdekatan untuk mencari data curah hujan yang hilang di stasiun tersebut. Jika
pada metode normal ratio yang digunakan adalah jumlah curah hujan dalam 1 tahun, pada metode ini variabel yang digunakan adalah jarak stasiun terdekat
dengan stasiun yang akan dicari data curah hujan yang hilang. Rumus metode
inversed square distance untuk mencari data curah hujan yang hilang sebagai berikut:
= data hujan di stasiun sekitarnya pada periode yang sama
i
Jika persamaan (2.4) dijabarkan lagi akan menghasilkan suatu persamaan
dalam bentuk
Px
= tinggi hujan yang dicari
A, PB, PC
dXA, dXB, dXC = jarak stasiun X terhadap stasiun disekitarnya = tinggi hujan pada stasiun di sekitarnya
2. 2. 4.Distribusi Frekuensi Curah Hujan
Distribusi frekuensi digunakan untuk memperoleh probabilitas besaran
curah hujan rencana dalam berbagai periode ulang. Dasar perhitungan distribusi
frekuensi adalah parameter yang berkaitan dengan analisis data yang meliputi
rata-rata, simpangan baku, koefisien variasi, dan koefisien skewness
(kecondongan atau kemencengan).
Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi yang
banyak digunakan dalam bidang hidrologi. Berikut ini empat jenis distribusi
frekuensi yang paling banyak digunakan dalam bidang hidrologi:
a. Distribusi Gumbel
Menurut Gumbel (1941), persoalan tertua adalah berhubungan dengan
nilai-nilai ekstrim datang dari persoalan banjir. Tujuan teori statistik nilai-nilai
ekstrim adalah untuk menganalisis hasil pengamatan nilai-nilai ekstrim tersebut
untuk memperkirakan nilai-nilai ekstrim berikutnya.
Gumbel menggunakan teori nilai ekstrim untuk menunjukkan bahwa dalam
deret nilai-nilai ekstrim X1, X2, X3, … Xn, dengan sampel-sampel yang sama
kumulatifnya P, pada sebarang nilai di antara n buah nilai Xn akan lebih kecil dari
nilai X tertentu (dengan waktu balik Tr
�(�) =�−�−�(�−�) ... (2.6) ), mendekati
Jika diambil Y=a(X-b), maka dapat menjadi
�(�) =�−�−� ... (2.7)
Dengan : e = bilangan alam = 2,7182818..
Y= reduced variate
Jika diambil nilai logaritmanya dua kali berurutan dengan bilangan dasar
e terhadap rumus didapat
�= 1�[�� − ��{−���(�)}] ... (2.8)
Waktu balik merupakan nilai rata-rata banyaknya tahun (karena Xn
��(�) =1−�1(�) ... (2.9)
merupakan data debit maksimum dalam tahun), dengan suatu variate disamai atau
dilampaui oleh suatu nilai, sebanyak satu kali. Jika interval antara 2 buah
pengamatan konstan, maka waktu baliknya dapat dinyatakan sebagai berikut:
Ahli-ahli teknik sangat berkepentingan dengan persoalan-persoalan
pengendalian banjir sehingga lebih mementingkan waktu balik Tr
��= ��−�1�� �−�����(��(�)−)1� ... (2.10)
(X) daripada
probabilitas P(X), untuk itu rumus diubah menjadi
�� =−�� �−�����(��(�)−)1� ... (2.11)
Chow menyarankan agar variate X yang menggambarkan deret hidrologi
acak dapat dinyatakan dengan rumus berikut ini
�= �+��... (2.12)
dengan � = nilai tengah (mean) populasi
� = standard deviasi populasi K = faktor frekuensi
Rumus dapat didekati dengan
�= ��+�� ... (2.13)
dengan �� = nilai tengah sampel
s = standard deviasi sampel
Faktor frekuensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan rumus
berikut ini:
�= ��−��
�� ... (2.14)
dengan YT
Y
= reduced variate
n
s
= reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n
n
Dari rumus (2.13) dan (2.14)
��= ��+���− ��
� �
=��� �� +
���
��
Jika dimasukkan ��
= debit banjir dengan waktu balik T tahun
T
b. Distribusi Log Pearson Tipe III
= reduced variate
Parameter-parameter statistik yang diperlukan oleh distribusi Pearson Tipe
III adalah:
Nilai tengah Standard deviasi
Koefisien kemencengan
Untuk menghitung banjir perencanaan dalam praktek, the Hydrology Committee of Water Resources Council, USA, menganjurkan pertama kali mentransformasi data ke nilai-nilai logaritmanya, kemudian menghitung
parameter-parameter statistiknya. Karena transformasi tersebut, maka cara ini
disebut log Pearson Tipe III.
Dalam pemakaian Log Pearson Tipe III, kita harus mengkonversi
rangkaian datanya menjadi logaritma.
Rumus untuk metode Log Pearson :
Xi
n = banyaknya data pengamatan = curah hujan ke-I (mm)
Sx
Nilai X
= Standard deviasi
T
LogX
bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan yang telah
dimodifikasikan :
= besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T
K = faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang dan
tipe distribusi frekuensi.
c. Distribusi Normal
Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi
Normal dengan persamaan sebagai berikut :
��= ��+�.�� ... (2.19)
dengan : XT
rencana untuk periode ulang T tahun.
= Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan
�� = Harga rata-rata dari data = ∑ ��1 �
�
K = Variabel reduksi Gauss
Sx
d. Distribusi Log Normal
= Standard Deviasi = �(��−��)2
�−1
Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Log
Normal dengan persamaan sebagai berikut :
dengan : Log XT
rancangan untuk periode ulang T tahun.
= Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan
Log X = Harga rata-rata dari data =∑�1log(��)
�
SX
K = Variabel reduksi
Log X = Standard Deviasi = �∑�1(�����2−��� ∑ ��1 �) �−1
2. 2. 5.Uji Kesesuaian Pemilihan Distribusi
Untuk mengetahui apakah pemilihan distribusi yang digunakan dalam
perhitungan curah hujan rancangan diterima atau ditolak, maka perlu dilakukan
uji kesesuaian distribusi. Uji ini digunakan untuk menguji simpangan secara
vertikal apakah distribusi pengamatan dapat diterima secara teoritis. Uji
Chi-Square menguji penyimpangan distribusi data pengamatan dan seluruh bagian
garis persamaan distribusi teoritisnya. Uji Chi-Square dapat diturunkan menjadi
persamaan sebagai berikut (Suripin, 2004):
(
)
Ef = frekuensi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan = Chi-Square
Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama.
Nilai X2 yang terhitung ini harus lebih kecil dari harga X2cr
Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan :
(yang didapat
dari tabel Chi-Square).
DK = K – (P+1) ... (2.22)
K = banyaknya kelas
P = banyaknya keterikatan atau sama dengan banyaknya parameter,
yang untuk sebaran Chi-Square adalah sama dengan 2 (dua).
Berdasarkan literatur di atas, pada uji Chi-Square menguji penyimpangan
distribusi data pengamatan dengan mengukur secara matematis kedekatan antara
data pengamatan dan seluruh bagian garis persamaan distribusi teoritisnya dengan
nilai X2cr. Nilai X2cr
Tabel 2.2 Nilai X
untuk uji Chi-Square dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini.
2 cr
dk
untuk uji Chi-Square
Untuk menghindarkan hilangnya informasi data pada uji Chi-Square
akibat pengelompokan data dalam kelas-kelas interval, ada beberapa metode lain
yang telah dikembangkan. Salah satunya metode yang sering digunakan adalah uji
Kolmogorov-Smirnov (1993). Uji kecocokan ini adalah uji kecocokan “non parametric” karena tidak mengikuti distribusi tertentu. Uji ini menghitung besarnya jarak maksimum secara vertikal antara pengamatan dan teoritisnya dari
distribusi sampelnya.
Tabel 2.3 Nilai kritis D0
N
untuk uji Smirnov-Kolmogorov
derajat kepercayaan, α
0,20 0,10 0,05 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
N>50 1,07/N0,5 1,22/N0,5 1,36/N0,5 1,63/N0,5
Sumber: SNI 2415-2016 Tata Cara Perhitungan Debit Banjir Rencana
2. 2. 6.Intensitas Curah Hujan Rencana
Intensitas curah hujan adalah jumlah curah hujan dalam satu satuan waktu,
umpamanya mm/ jam untuk curah hujan jangka pendek, dan besarnya intensitas
curah hujan tergantung pada lamanya curah hujan. Beberapa rumus yang
menyatakan hubungan antara intensitas dan lamanya curah hujan adalah sebagai
berikut:
�= ��′
+� ... (2.23)
2. Prof. Sherman:
�= ��� ... (2.24)
3. Dr. Ishiguro:
�= �
√�+� ... (2.25)
4. Mononobe:
�= ���
�� ( ��
�)�
/� ... (2.26)
Rumus Mononobe sering digunakan di Jepang, digunakan untuk
menghitung intensitas curah hujan setiap jam berdasarkan data curah hujan harian.
di mana: I = intensitas curah hujan (mm/jam), t = lamanya curah hujan (menit),
untuk rumus Mononobe dalam (jam), a; b; a^'; n = tetapan, R_24 = curah hujan
yang mungkin terjadi berdasarkan masa ulang tertentu (curah hujan maximum
dalam 24 jam - mm).
2. 2. 7.Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi pada daerah pengaliran adalah waktu yang dibutuhkan
air untuk mengalir dari daerah yang terjauh ke suatu pembuang (outlet) tertentu,
yang diasumsikan bahwa lamanya hujan sama dengan waktu konsentrasi pada
semua bagian daerah pengaliran dimana air hujan berkumpul bersama-sama untuk
mendapatkan suatu debit yang maksimum pada outlet.
a. Waktu pemasukan (inlet time) atau time of entry yaitu waktu yang dibutuhkan oleh aliran permukaan untuk masukke saluran.
b. Waktu pengaliran (conduit time) yaitu waktu yang diperlukan oleh air
untuk mengalir di sepanjang saluran sampai titik kontrol yang
ditentukan di bagian hilir pada saluran.
Pada gambar, terlihat sebuah saluran drainase melintasi diagonal A-B pada
sebuah daerah pengaliran. Bila hujan jatuh pada titik A maka hujan tersebut akan
segera mengalirkan ke titik B dan seterusnya, demikian juga halnya air hujan yang
jatuh di sekitar titik A akan masuk ke saluran dan seterusnya sampai di titik B.
Dari gambaran ini dapat dijelaskan waktu pemasukan adalah waktu yang
dibutuhkan air hujan dari titik terjauh masuk ke titik pengaliran misalnya titik A,
sedangkan waktu pengaliran adalah waktu yang dibutuhkan oleh air dalam
perjalanan dari titik A ke B.
Waktu pemasukan dipengaruhi oleh:
a. Kekasaran permukaan daerah pengaliran.
b. Kejenuhan daerah pengaliran.
c. Kemiringan daerah pengaliran.
d. Sisi dari bagian daerah atau jarak areal pembagi ke saluran.
e. Susunan atap/perumahan yang ada pada daerah tersebut.
Dalam hal ini untuk curah hujan yang berasal dari dari atap, perkerasan,
halaman ataupun jalan yang langsung masuk ke saluran, waktu pemasukannya
tidak lebih dari 5 menit. Pada daerah komersial yang relatif datar, waktu
pemukiman penduduk yang relatif datar waktu yang dibutuhkan sekitar 20 sampai
30 menit.
Waktu pengaliran (time of flow) tergantung pada perbandingan panjang saluran dan kecepatan aliran. Menurut rumus empiris dari Kirpich yang
diasumsikan dari rumus Manning untuk koefisien kekasaran rata-rata dan jari-jari
hidraulis yang berlaku umum adalah sebagai berikut:
tc
dengan: t = �0,87�2
1000 �� 0,385
... (2.27)
c
L = panjang saluran utama dari hulu sampai penguras (km) = waktu konsentrasi (jam)
S = kemiringan rata-rata saluran utama (m/m)
2. 2. 8.Koefisien Limpasan (run off)
Koefisien limpasan adalah suatu variabel yang didasarkan pada kondisi daerah
pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun kondisi
dan karakteristik yang dimaksud adalah :
1. Keadaan hujan
2. Luas dan bentuk daerah aliran
3. Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai
4. Daya infiltrasi dan perkolasi tanah
5. Kelembaban tanah
6. Suhu udara dan angin serta evaporasi
7. Tata guna tanah
a. Faktor meteorologi yang meliputi intensitas curah hujan, durasi curah
hujan dan distribusi curah hujan;
b. Karakteristik daerah aliran yang meliputi luas dan bentuk daerah aliran,
topografi dan tata guna lahan.
Salah satu metode untuk memperkirakan koefisien aliran permukaan (C)
adalah metode rasional USSCS (1973). Berdasarkan metode ini, faktor utama
yang mempengaruhi nilai C adalah laju infiltrasi tanah atau persentase lahan
kedap air, kemiringan lahan, vegetasi, sifat dan kondisi tanah dan intensitas hujan.
2. 2. 9.Analisis Debit Banjir Rancangan
Metode yang digunakan untuk memperkirakan laju permukaan puncak
yang umum dipakai adalah metode Rasional USSCS (1973). Metode ini sangat
simpel dan mudah penggunaannya, namun penggunaannya terbatas untuk
DAS-DAS dengan ukuran kecil, yaitu kurang dari 300 ha. Karena model ini merupakan
model kotak hitam, maka tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan dan
aliran permukaan dalam bentuk hidrograf. Persamaan matematik metode Rasional
dinyatakan dalam bentuk
Qp
dimana: Q
= 0,00278 C I A ... (2.28)
p = laju aliran permukaan (debit) puncak (m3
C = koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1)
/detik)
I = intensitas hujan (mm/jam)
A = luas DAS (ha)
Analisis sistem drainase dilakukan untuk mengetahui apakah secara teknis
sistem drainase direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis. Analisis sistem
drainase diantaranya adalah perhitungan kapasitas saluran, penentuan tinggi
jagaan, penentuan daerah sempadan, perhitungan kepadatan drainase, dan
bangunan-bangunan yang dibutuhkan dalam sistem drainase.
Dalam kaitannya dengan pekerjaan pengendalian banjir, analisis sistem
drainase digunakan untuk mengetahui profil muka air, baik kondisi yang ada
(eksisting) maupun kondisi perencanaan. Untuk mendukung analisa hitungan
guna memperoleh parameterisasi desain yang handal, dibutuhkan validasi data
dan metode hitungan yang representatif. Analisis untuk drainase dapat dijelaskan
sebagai berikut:
2. 3. 1 Kapasitas Saluran
Kapasitas rencana dari setiap komponen sistem drainase dihitung
berdasarkan rumus Manning:
= kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/det)
sal = debit aliran dalam saluran (m3
n = koefisien kekasaran Manning /det)
R = jari-jari hidraulik (m), R = �
� dimana
Asal = luas penampang saluran (m
P = keliling basah (m)
a. Penampang Trapesium
Dalam hal ini maka digunakan persamaan:
V = 1
Angka kekasaran ditentukan berdasarkan jenis bahan yang digunakan.
Kemiringan dasar saluran (S) ditentukan berdasarkan topografi (atau disebut S=0,0006).
Kemiringan dinding saluran berdasarkan bahan yang digunakan
Luas penampang : A=(b+mh)hV = 1
dimana: A = Luas penampang saluran (m2
R = Jari-jari hidrolis (m)
)
S = Kemiringan saluran
n = Koefisien kekasaran Manning
B = Lebar dasar saluran (m)
m = Kemiringan talud
y = kedalaman saluran (m)
P = keliling basah saluran (m)
b. Penampang Persegi
Pada penampang melintang saluran berbentuk persegi dengan lebar dasar
B dan kedalaman air h, luas penampang basah A = B x h dan keliling basah P.
setengah dari lebar dasar saluran atau jari-jari hidroliknya setengah dari
kedalaman air.
Untuk bentuk penampang persegi yang ekonomis:
A = B.h ... (2.37)
P = B + 2h ... (2.38)
B = 2h atau h = �
2 ... (2.39)
R = A/P ... (2.40)
Didalam menggunakan rumus Manning harga dari koefisien kekasaran n
adalah merupakan suatu harga pendekatan berdasarkan eksperimen. Selanjutnya
berdasarkan penyelidikan Robert E. Horton harga n adalah seperti yang terdapat
pada tabel berikut:
Tabel 2.4 Koefisien Kekasaran Manning.
JENIS SALURAN NORMAL MAX.
Saluran tanah dengan permukaan bersih 0,018 0,020
Saluran tanah yang bersih setelah hujan 0,022* 0,025
Saluran tanah yang berkerikil dan bersih 0,025 0,030
Saluran tanah yang ditumbuhi rumput pendek 0,027 0,030
Saluran dengan lining beton 0,013* 0,015
Gorong-gorong dalam keadaan baik 0,011 0,013
Gorong-gorong yang mengalami belokan 0,013* 0,014