BAB V
ILLICIT DRUGS TRAFFICKING DI JALUR PERBATASAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DAN PAPUA NEW GUINEA
Perbatasan RI-PNG yang ada di Kota Jayapura, merupakan salah satu perbatasan negara yang berada di paling Timur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari definisi dan karakteristik perbatasan yang disampaikan oleh O.J Martinez terkait tipe-tipe perbatasan, perbatasan RI-PNG yang berada di Kota Jayapura termasuk dalam tipe perbatasan
interdependent Borderland dan integrated borderland. Perbatasan RI-PNG masuk kedalam dua kategori ini karena, hubungan internasional antara negara RI-PNG masih dalam hubungan yang relatif stabil dan juga penduduk kedua negara yang berada di daerah perbatasan terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi yang saling menguntungkan kedua negara tersebut. Disamping itu juga, penduduk kedua negara ini masih tergabung dalam sebuah persekutuan yang erat. Hal ini disebabkan karena sejarah masa lalu penduduk kedua negara di daerah perbatasan ini masih memiliki hubungan kekerabatan. Walaupun sering beredar isu-isu terkait pergerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sering mencari suaka ke negara PNG, namun sampai saat ini hubungan bilateral kedua negara masih terjalin dengan baik.
Pengelolaan wilayah perbatasan baik perbatasan darat maupun laut, memiliki peran yang sangat penting bagi keamanan dan pertahanan serta kedaulatan suatu negara. Hal ini sejalan seperti apa yang dijabarkan oleh Riwanto (2002), bahwa perbatasan adalah salah satu manifestasi yang terpenting dari kedaulatan territorial. Sejauh perbatasan itu secara tegas diakui dengan traktak atau diakui secara umum tanpa pernyataan yang tegas, maka perbatasan merupakan bagian dari suatu hak negara terhadap wilayahnya. Oleh sebab itu apabila perbatasan suatu negara tidak dikelola dengan baik atau kurang adanya pengawasan dan pengamanan yang baik, sudah tentu dapat menimbulkan berbagai permasalahan keamananan sebuah negara.
Secara garis besar, permasalahan keamanan yang terjadi di perbatasan darat RI-PNG
kedaulatan dan identitas negara/bangsa, seperti isu militer strategis (lebih mengacu pada keamanan sebuah negara). Dari permasalahan inilah, pada bab ini peneliti akan memfokuskan untuk membahas dan mendeskripsikan kejahatan illicit drug trafficking serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkan illicit drug trafficking dapat melewati jalur perbatasan darat negara RI-PNG di Kota Jayapura.
IV. 1. Kejahatan Illicit Drug Trafficking di Jalur Perbatasan Darat RI-PNG
Kawasan wilayah perbatasan Indonesia merupakan salah satu ladang subur bagi para
sindikat organisasi transnational crime untuk melakukan aksi kejahatannya. Hal ini disebabkan karena kurang efektifnya sistem pengamanan di wilayah perbatasan negara baik perbatasan darat maupun perbatasan laut. Kondisi ini terjadi karena, selama ini wilayah perbatasan masih dianggap sebagai halaman belakang dari sebuah negara dan merupakan wilayah terbelakang yang sulit dijangkau dan diawasi oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Namun masalah kejahatan lintas negara ini tidak hanya dialami oleh negara Indonesia saja, tetapi juga dialami oleh semua negara di dunia ini, termasuk juga negara
super power Amerika Serikat. Begitu pula yang terjadi di kawasan wilayah perbatasan yang ada di Indonesia, termasuk wilayah perbatasan RI-PNG di Kota Jayapura.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997, narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sintesis yang bisa menyebabkan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketegantungan. Narkotika sendiri terbagi kedalam tiga golongan, yaitu golongan I, II, dan III dimana letak perbedaannya pada skala sangat tinggi (I: Opium, Koka, Ganja dan Heroin), skala menengah (II: Morfina, Fetanil, dan Petidina), dan yang ringan (III: Kodeina dan Etil Morfina). WHO mendefinisikan narkotika sebagai zat padat, cair maupun yang dimasukan kedalam tubuh yang dapat mengubah fungsi dan struktur secara fisik maupun psikis tidak termasuk makanan, air dan oksigen yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal (Winarto, 2014:400).
lintas kejahatan transnasional berupa kejahatan illicit drug trafficking.1 Hal ini disebabkan karena disepanjang garis batas wilayah perbatasan RI-PNG masih dikelilingi oleh banyaknya hutan yang belum terjamah oleh manusia, dan juga belum tersediannya pos-pos penjaga keamanan kedua negara. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh sekelompok oknum-oknum yang dengan sengaja melakukan tindak kejahatan penyelundupan narkotika (illicit drug
trafficking). Namun kadang juga aktivitas kehajatan ini ada yang tidak melewati jalur jalan tikus, seperti terjadi dalam berbagai kasus penyelundupan narkotika (illicit drug trafficking) kerap kali diselundupkan melalui Pos Pemeriksaan Lintas Batas tanpa pemeriksaan dari pihak
Imigrasi dan Bea dan Cukai maupun pihak aparat keamanan. Tidak hanya di perbatasan darat saja, tetapi kejahatan ini juga sering menggunakan jalur laut untuk menyelundupkan narkoba
dari negara PNG.
Tidak dapat dipungkiri lagi, jalur perbatasan darat RI-PNG di Kota Jayapura merupakan salah satu jalur perbatasan darat yang sangat rawan akan terjadinya tindak kejahatan illicit drug trafficking (terutama jenis ganja) dari negara PNG. Hal ini terbukti dengan jumlah kasus penyelundupan yang berhasil digagalkan oleh aparat keamanan yang terus bertambah setiap tahunnya. Terhitung sejak tahun 2013-2016, kasus penyelundupan yang berhasil digagalkan oleh aparat keamanan adalah berjumlah 7 kasus dengan hasil tangkapan sebanyak kurang lebih 19 Kg ganja dengan berbagai motif penyelundupan.2 Namun banyak juga kasus illicit drug trafficking dari negara PNG yang berhasil lolos dan luput dari pengawasan aparat keamanan, karena banyak penyelundupan yang melewati jalur jalan tikus yang tidak diawasi oleh aparat keamanan dan berhasil lolos masuk ke negara Indonesia khususnya di Kota Jayapura. Hal ini terbukti dengan tingginya tingkat pemakai narkoba jenis ganja di Kota Jayapura dan sekitarnya. Di tingkat Provinsi Papua, berdasarkan hasil survei BNN tahun 2011, yang dipublikasikan pada 2012, ditemukan sebanyak 5.000 orang pemakai pemula, 7.500 pemakai tetap, 250 kecanduan narkoba suntik, dan 4.000 kecanduan narkoba nonsuntik. Jika jumlah ini kita totalkan mencapai 0,8 persen penduduk Papua, dan golongan pemakai terbanyak adalah para remaja dan pelajar. Sementara untuk kasus narkoba sendiri pada tahun 2013 terdapat 136 kasus narkoba dan di tahun 2014 terdapat
81 kasus.3
1“Polisi: Banyak Jalur Tikus Peredaran Ganja dari Papua New Guinea”. Diakses dari http://news.liputan6.com/r ead/2121114/polisi-banyak-jalur-tikus-peredaran-ganja-dari-papua-nugini, pada tanggal 14 Desember 2016.
2
Lihat Tabel 1.1 Data Tangkapan Ganja di Kota Jayapura
3
Pada tahun lalu, tepatnya pada bulan Juli 2016, sebanyak 21 pelajar di tujuh sekolah di Kota Jayapura, dinyatakan positif sebagai pengguna narkoba golongan satu jenis ganja. Hal ini ditemukan berdasarkan pemeriksaan urine oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Papua di sejumlah SMA selama bulan Juli 2016.4 Disamping itu, diketahui juga bahwa sepanjang tahun 2015 terdapat sebanyak 174 pengguna yang menjalani rehabilitasi di BNNP Papua. Sebanyak 60 persen dari 174 pengguna itu adalah pelajar dan mahasiswa. Semuanya mengonsumsi ganja yang berasal dari Papua New Guinea. Tidak hanya itu saja, baru-baru ini tepatnya tanggal 11 Febuari 2017, Polsek Nimbokrang Kabupaten Jayapura berhasil
menangkap 87 anak dibawah umur yang terbukti menggunakan narkoba jenis ganja.5 Hal ini tentunya sangat memperihatinkan, dimana anak yang masih dibawah umur sudah terjerumus
untuk menggunakan narkoba jenis ganja.
Dari data-data yang telah dijabarkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sampai dengan sekarang ini penggunaan narkoba jenis ganja yang ada di Kota Jayapura, sudah mencapai level yang sangat memperihatinkan. Korbannya bukan hanya pemuda/pelajar saja, tetapi anak-anak yang dibawah umur pun terkena dampaknya. Hal ini bila tidak diatasi dengan cepat, bahaya narkoba jenis ganja dapat merusak generasi penurus bangsa. Menurut Kapolda Provinsi Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw, semua barang haram (narkoba) jenis ganja yang beredar di Kota Jayapura semuanya berasal dari negara Papua New Guinea yang berhasil diselundupkan masuk ke Indonesia khususnya di Kota Jayapura.6 Memang sampai saat ini belum ada informasi yang pasti terkait dimana wilayah penghasil narkoba jenis ganja di PNG. Namun pada tahun lalu tepatnya pada tanggal 7 September 2016, aparat gabungan TNI/POLRI berhasil menemukan setengah hektar ladang ganja di wilayah perbatasan darat RI-PNG tepatnya di Kampung Bompay, Kabupaten Keerom. Ladang ganja ini sudah setinggi 1,8-2 meter yang berumur 3-4 bulan yang sudah siap panen. Ada dugaan bibit ganja ini didapat atau dibeli dari negara PNG.7
4
“Temuan BNN, 21 Pelajar di Jayapura Positif Gunakan Ganja”. Diakses dari http://regional.kompas.com/read/ 2016/07/29/17550791/temuan.bnn.21.pelajar.di.jayapura.positif.gunakan.narkoba, pada tanggal 10 Febuari 2017.
5
“ Memperihatinkan! Bocah Pengguna Ganja di Jayapura Kian Melonjak”. Diakses dari http://news.okezone.co m/read/2017/02/11/340/1615736/memprihatinkan-bocah-pengguna-ganja-di-jayapura-kian-melonjak, pada tanggal 17 Febuari 2017.
6
“Peredaran Ganja, Papua Berstatus Waspada”. Diakses dari http://kabarpapua.co/peredaran-ganja-papua-berstatus-waspada/, pada tanggal 7 Maret 2017.
7
V. 2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Illicit Drug Trafficking
Melewati Jalur Perbatasan Darat Negara RI-PNG
Kejahatan illicit drug trafficking merupakan salah satu jenis kejahatan yang termasuk dalam kategori transnational crime. Kajahatan ini merupakan kejahatan yang melibatkan oganisasi kejahatan internasional dimana akibat yang ditimbulkan sangat merusak dan merugikan bagi negara. Permasalahan ini tidak hanya dialami oleh negara Indonesia namun juga oleh seluruh negara di dunia. Hal ini juga seperti yang terjadi di perbatasan RI-PNG di Kota Jayapura. Fenomena kejahatan lintas negara seperti illicit drug traffickingakan sangat berdampak besar pada penurunan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini senada
dengan apa yang di kemukakan oleh Buzan, 1998 menjelaskan bahwa, ancaman keamanan diterjemahkan tidak hanya pada kekuatan bersejata dan politik (state), tetapi lebih didominasi oleh faktor-faktor berupa populasi penduduk, kejahatan transnasional, sumber daya alam, bencana alam dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena ancaman-ancaman yang ada sekarang ini lebih mengarah pada aktor non-state seperti keamanan individu (human security).
Kawasan wilayah perbatasan negara merupakan salah satu ladang yang subur bagi para sindikat kejahatan lintas negara terorganisir. Kejahatan yang terjadi secara teroganisir di perbatasan negara semakin menjadi masalah yang sangat serius bagi suatu negara, karena tidak saja terjadi di wilayah perbatasan darat, tetapi juga di wilayah perbatasan laut yang berbatasan dan memiliki jarak yang relatif dekat atau dengan kecanggihan teknologi transportasi tentu dapat diakses dengan cepat dan mudah. Hal seperti inlah yang terjadi di wilayah perbatasan negara RI-PNG di Kota Jayapura.
Wilayah perbatasan darat RI-PNG di Kota Jayapura merupakan salah satu ladang subur dan akses masuk kejahatan illicit drug trafficking. Hal ini terbukti dengan berbagai kasus illicit drug trafficking yang terjadi di wilayah perbatasan darat RI-PNG seperti yang telah dijelaskan peneliti pada sub bab sebelumnya. Oleh sebab itu, selanjutnya di bawah ini peneliti akan menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kejahatan
illicit drug trafficking di jalur perbatasan darat negara RI-PNG.
a) Faktor Globalisasi
dunia menjadi masyarakat global, mudahnya akses infomasi, terjadinya kerjasaama bilateral maupun multilateral diberbagai bidang, dan lain sebagainya. Namun dengan adanya globalisasi juga dapat menimbulkan dampak negatif, seperti terjadinya kejahatan lintas negara seperti illicit darug trafficking.
Adanya aktivitas kejahatan lintas negara diatas, termasuk penyelundupan dan perdagangan narkoba, tidak dapat dilepaskan dari era globalisasi yang ditandai dengan munculnya teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan interaksi individu antarnegara makin intensif. Komunikasi dan pertukaran informasi bisa dengan cepat dilakukan. Munculnya teknologi informasi dan komunikasi di satu sisi “menyederhanakan
dan memuaskan” kerja, baik individu maupun suatu organisasi. Namun di sisi lain juga
menjadi instrumen bagi para pelaku kriminal untuk menaikkan intensitas operasinya baik pada tataran domestik maupun global, seperti yang dikemukakan Thomas L. Friedman (dalam jurnal Muhamad, 2015), bahwa teknologi mendorong terjadinya globalisasi yang melibatkan integrasi global, bahkan lebih jauh menurutnya dunia seolah menjadi kampung global (global village).
Dampak dari hubungan lintas batas dan globalisasi ini pada gilirannya mengakibatkan negara tidak mampu untuk memenuhi secara optimal keamanan individu, pertumbuhan ekonomi, perlindungan sosial, bahkan hak-hak individu itu sendiri. Ini artinya, keamanan manusia (human security) suatu masyarakat juga menjadi terancam, yang disebabkan oleh tidak maksimalnya upaya perlindungan yang diberikan oleh negara. Hal seperti inilah yang terjadi di daerah wilayah Perbatasan RI-PNG.Itulah yang menyebabkan globalisasi adalah salah satu faktor yang menimbulkan terjadinya kejahatan illicit drug trafficking di jalur perbatasan darat RI-PNG.
Dengan adanya globalisasi, terciptalah kerjasama bilateral antara RI-PNG di berbagai bidang, salah satunya di bidang ekonomi yaitu adanya pasar bersama untuk penduduk di wilayah perbatasan kedua negara. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah pelintas batas baik pelintas batas tradisional, maupun pelintas batas resmi yang menggunakan papor dan visa. Pada awalnya, perbatasan RI-PNG mulai dibuka untuk aktivitas ekonomi pada tahun
penduduk daerah perbatasan.8 Namun jika dibandingan dengan sekarang, jumlah pelintas batas sudah mencapai 900-1000 orang perharinya. Dari faktor inilah yang menyebabkan sebagian oknum-oknum mengambil kesempatan untuk melakukan kejahatan illicit drug
trafficking seperti kasus-kasus tangkapan kejahatan illicit drug trafficking yang sudah peneliti jelaskan pada sub-sub bab sebelumnya.
Salah satu contoh kasus yang berhasil ditangkap oleh pihak Kepolisian yaitu pada tanggal 9 Agustus 2016. Berdasarkan data daru Humas Polres Kota Jayapura bahwa ada seorang mahasiswa disalah satu Universitas Negeri di Kota Jayapura yang memasuki daerah PNG secara illegal serta membawa ransel (tas punggung). Pelaku masuk ke negara PNG pada
siang hari dan kemudian kembali ke perbatasan RI-PNG pada pukul 18.30 WIT. Pelaku menyimpan tas yang sudah terisi dengan ganja di komlpek Pasar Skouw. Namun sebelum pelaku mengambil motor yang diparkir di pondok pekerja salah satu PT yang bertugas membangun gedung Pos Pelintas Batas yang baru,para pekerja segera melaporkan ke Pospol perbatasan. Pelaku pun akhirnya diamankan oleh pihak Pospol perbatasan. Setelah diinterogasi pelaku pun mengakui kejahatannya. Pelaku mengaku sudah melakukan transaksi melalui Facebook, pada hari itu pelaku bertujuan untuk mengambil pesanannya yaitu ganja di PNG.9 Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya globalisasi, para oknum-oknum yang dengan sengaja ingin menyelundupkan narkoba lebih dipermudah untuk bertransaksi atau memuluskan kejahatan mereka.
b) Faktor Perdagangan Lintas Batas
Perdagangan lintas batas antara RI-PNG merupakan implementasi dari perjanjian yang telah disepakati antara kedua negara dalam Persetujuan Dasar Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua New Guinea tentang Pengaturan-Pengaturan Perbatasan, Pasal 9 Tahun 2013 terkait Perdagangan Berdasarkan Kebiasaan di Perbatasan.10
8
Sumber: Badan Pengelola Perbatasan Kota Jayapura Tahun 2015.
9
“Bawa Ganja di Perbatasan Papua-PNG, Mahasiswa Ditangkap”. Diakses dari http://megapolitan.kompas.com/ read/2016/08/11/12332761/bawa.ganja.di.perbatasan.papua-png.mahasiswa.ditangkap, pada tanggal 3 Maret 2017.
10
Sumber: Dokumen Resmi Badan Nasional Pengelola Perbatasan Kota Jayapura.
Namun sebelum adanya perjanjian kedua negara terkait perdagangan lintas batas, sejak dahulu penduduk kedua negara didaerah perbatasan sudah lebih dulu melakukan kegiatan perdagangan lintas batas ini.
Adanya perdagangan lintas batas antara kedua negara ini, sudah tentu sangat menguntungkan bagi kedua negara, terutama penduduk di wilayah daerah perbatasan kedua negara. Disatu sisi, adanya kegiatan perdagangan lintas batas sudah tentu dapat menambah pendapatan negara dan juga disisi lain, penduduk kedua negara yang tinggal di daerah wilayah perbatasan tidak perlu bersusah payah pergi ke kota untuk melakuakan kegiatan jual beli atau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Untuk lebih mempermudah dan memfasilitasi perdagangan lintas batas ini, Pemerintah Provinsi Papua melalui Pemerintah Kota Jayapura membangun dua pasar yang terletak di daerah wilayah perbatasan RI-PNG, yaitu: Marketing Point dan Lhoncin, yang ditempati oleh 173 orang pedagang. Kedua pasar ini menjualan berbagai jenis barang, mulai dari makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, peralatan elektronik dan lain sebagainya. Keberadaan kedua pasar ini menpunyai peranan yang sangat bagi penduduk PNG yang tinggal di sekitar perbatasan. Hal ini disebabkan karena, barang dagangan di kedua pasar ini harganya jauh lebih murah jia dibandingkan dengan harga barang di PNG (Reinhold.,&
Ma’rif, 2008).
Adanya perdagangan lintas batas inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kasus illicit drug trafficking. Hal ini dapat terjadi karena para petugas CIQS kewalahan dalam menjaga dan mengamati pelintas batas tradisonal yang ingin pergi berbelanja di pasar Marketing Point dan Lhoncin dengan jumlah pelintas batas yang setiap harinya berkisar antara 900 sampai dengan 1000 orang pelintas batas. Jumlah pelintas batas ini lebih didominasi oleh pelintas batas yang berasal dari PNG. Sedangkan para pelintas batas yang berasal dari RI ke PNG per harinya hanya berkisar 20-30 orang pelintas batas dan itupun hanya didominasi oleh para pebisnis dan penduduk lokal di Jayapura yang ingin berbelanja di Kota Vanimo, PNG.11 Hal ini disebabkan karena, lebih banyak penduduk PNG yang lebih memilih untuk berbelanja di pasar Marketing Point dan Lhoncin karena mereka
Perjanjajian ini ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. R. M. Marty M Natalogawa dan Menteri Luar Negeri dan Imigrasi Papua New Guinea, Hon. Rimbink Pato, OBE, LLB, MP.
11
menganggap barang-barang yang di jual di pasar Marketing Point dan Lhoncin lebih murah jika dibandingkan dengan harga barang-barang jika di beli di negara mereka.
CIQS terdiri dari Custom (Bea dan Cukai), Imigration, Quarantina, dan Security
(TNI/POLRI). Sistem kerja CIQS adalah bagi para pelintas batas untuk masuk ke RI pertama-tama harus melewati bagian Imigrasi yang diawasi sekitar kurang lebih 10-15 orang petugas yang biasanya bekerja secara bergantian. Setelah melewati Imigrasi, para pelintas batas harus melewati pemeriksaan bagian Bea dan Cukai yang diawasi oleh 5-7 petugas dan hanya memiliki satu buah alat x-ray. Setelah melewati pemeriksaan bagian Bea dan Cukai, para pelintas batas sudah bisa manaiki angkutan seperti ojek dan angkutan carteran dan diawasi
oleh pihak aparat keamanan seperti TNI/POLRI. Bagian karantina biasanya tidak terlalu banyak terlibat dalam pemeriksaan karena, sangat jarang para pelintas batas yang membawa hewan ternak untuk dijual maupun bibit-bibit tanaman.
Meskipun sudah ada pos pemeriksaan pelintas batas atas Pos Lintas Batas, namun masih banyak para pelintas batas yang tidak mengikuti prosedur dan hanya melewati sisi luar pos pemeriksaan dengan beralasan mereka adalah pelintas batas tradisional yang ingin berkebun dan berbelanja. Disamping itu juga, banyak dari petugas yang berwenang di wilayah perbatasan seperti CIQS yang membiarkan hal itu terjadi, dengan alasan yang sama bahwa mereka adalah pelintas batas tradisional yang ingin pergi berkebun dan berbelanja.12 Tentulah hal ini tidak sesuai dengan SOP dari yang seharusnya dilakukan, dan sudah tentu juga bisa menjadi ancaman tersendiri seperti adanya oknum-oknum yang dengan sengaja berpura-pura sebagai pelintas batas tradisional yang ingin berkebun dan juga berbelanja padahal mereka sedang melakukan kejahatan illicit drug trafficking.
Menurut Kasat Intelkam Polres Jayapura, Iptu Yan Viktor Makanuay, dari beberapa kasus yang berhasil ditangkap di Kota Jayapura, ada sebagian pelaku yang mendapatkan barang selundupan berupa ganja melalui pelintas batas tradisional yang melewati Pos Lintas Batas dengan alasan ingin berkebun serta berbelanja di pasar Marketing Point dan Lhoncin.13
12
Ibid.
Ketika itu peneliti bertanya pada atasan peneliti, kenapa orang-orang yang melewati sisi luar Pos Lintas Batas tidak diperiksa, dan jawab atasan peneliti tidak usah diperiksa, mereka hanya pelintas batas tradisional yang ingin pergi berkebun dan juga berbelanja. Disamping itu juga, apabila sudah mulai meningginya jumlah pelintas batas yaitu pada siang hari, biasanya kami hanya memeriksa mengawasi barang bawaan mereka melalui x-ray tanpa pemeriksaan fisik.
13
c) Wilayah Perbatasan RI-PNG Sebagai Objek Wisata
Daerah wilayah perbatasan negara RI-PNG di Kota Jayapura, kini merupakan salah satu tempat yang paling banyak di kunjungi oleh wisatan lokal maupun luar Kota Jayapura yang pada saat berkunjung ke Kota Jayapura sering menyempatkan diri untuk berkunjung ke daerah wilayah perbatasan ini. Hal menarik yang menjadikan daerah wilayah perbatasan RI-PNG menjadi tujuan wiasata adalah karena selain bisa melihat-lihat keindahan alam yang ditawarkan, para pengunjung juga dapat melewati garis batas perbatasan tanpa menggunakan paspor atau Kartu Lintas Batas untuk melihat-lihat daerah perbatasan serta mengabadikan gambar (foto-foto) di negara PNG. Disamping itu juga, biasanya para pengunjung tidak
hanya berwisata saja, tetapi juga berbelanja. Barang-barang yang biasanya di beli pengunjung dari pedagang-pedagang di daerah wilayah perbatasan PNG adalah makanan (sosis, kornet, makanan ringan, dll) khas negara PNG, kain batik PNG, dan lain sebagainya.
Gambar 5
Aktivitas Pengunjung Wisata di Perbatasan RI-PNG
Objek wisata di daerah perbatasan inilah yang merupakan salah satu bagian dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatanillicit drug trafficking. Hal ini bisa terjadi karena para pengunjung tidak diawasi dengan baik oleh bagian CIQS. Para pengunjung yang datang berkunjung disamping tidak harus melewati jalur CIQS, para pengunjung juga dapat langsung menggunakan kendaraan mereka hingga mencapai pintu gerbang perbatasan RI-PNG, dan setelah selesai berkunjung mereka dapat langsung kembali tempat asal mereka melewati Pos Pelintas Batas tanpa diperiksa oleh petugas CIQS . Sedangkan letak Pos Lintas Batasnya berada sekitar 500 M di belakang pintu gerbang
RI-PNG. Oleh karena adanya kurang pengawasan yang baik dari para petugas keamanan inilah yang digunakan oleh para penyelundup untuk melakukan transaksi di depan pintu gerbang
perbatasan RI-PNG. Hal ini terbukti dengan beberapa kasus yang berhasil ditangkap oleh para aparat keamanan.14 Ada juga motif yang digunakan oleh para oknum penyelundup narkoba jenis ganja dari PNG dengan berpura-pura menjadi penumpang dan rekannya yang dari Kota Jayapura berpura-pura sebagai angkutan ojek. Namun mereka berhasil ditangkap setelah sesudah melewati Pos Lintas Batas dan setelah ada kecurigaan dari para aparat keamanan. Dari masalah inilah yang menyababkan salah satu faktor terjadinya kejahatan
illicit drug trafficking adalah objek wisata di daerah wilayah perbatasan.
Salah satu contoh kasus yang berhasil ditangkap oleh aparat Kepolisian adalah pada tanggal 7 Juli 2016. Pada saat itu pihak Kepolisian berhasil menangkap salah seorang warga negara PNG yang membawa 2 Kg ganja kering melewati jalur Pos Pelintas Batas dengan memanfaatkan momen syukuran yang dilaksanakan di daerah perbatasan RI-PNG serta dengan alasan hanya berkunjung untuk melihat-lihat objek wisata di daerah perbatasan.15 Dan adanya juga kasus seperti yang sudah peneliti contohkan pada sub bab sebelumnya yaitu, seorang mahasiswa yang berhasil ditangkap oleh pihak Pospol Perbatasan. Awalnya juga pelaku berpura-pura untuk berwisata di perbatasan RI-PNG.
d) Minimnya Sarana dan Prasarana Penunjang Keamanan di Pos Lintas Batas Pos Lintas Batas RI-PNG masih mengalami kendala dalam pengamanan dan
pemeriksaan barang bawaan yang dibawa oleh pelintas batas. Hal ini disebabkan karena di
14
Lihat Tabel 1.1 Data Tangkapan Ganja di Kota Jayapura
15
Pos Lintas Batas RI-PNG masih mengandalkan genset (mesin diesel) sebagai pengganti arus listrik. Ditambah lagi mesin pemeriksa barang-barang (x-ray) yang ada, kondisinya sudah tidak terlalu baik dan sering mengalami masalah. Apabila mesin x-ray mengalami masalah, dengan terpaksa petugas Pos Lintas Batas seperti Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan secara manual, dan sudah tentu tidak efisien dan sangat rawan untuk terjadinya kejahatan
illicit drug trafficking.16 Disamping itu juga, minimnya atau kurangnya petugas CIQS yang menjaga di Pos Lintas Batas menjadi salah satu kelemahan dalam mengawasi para pelintas batas, khusunya para oknum yang dengan sengaja ingin melakukan penyelundupan
barang-barang iligal seperti narkoba dan lain sebagainya.
Gambar 6
Kodisi Sarana dan Prasaran di Pos Pemeriksaan Bea dan Cukai
Sumber: Dokumentasi pribadi pada saat Magang
Tidak hanya itu saja, minimnya pos-pos penjagaan disepanjang batas wilayah perbatasan RI-PNG pun yang menjadi celah yang dimanfaatkan oleh para oknum-oknum
16
kejahatan illicit drug trafficking untuk melakukan aksinya. Karena minimnya sarana dan prasarana penunjang keamanan di Pos Lintas Batas RI-PNG inilah yang menjadi salah satu faktor sehingga dapat terjadinya kejahatan illicit drug trafficking.
e) Jalur Pelintas Batas Tidak Resmi (Jalan Tikus)
Jalur pelintas batas tidak resmi (jalan tikus) merupakan salah satu jalur alternatif terbaik yang digunakan oleh para oknum penyelundup narkoba jenis ganja dari negara PNG. Tidak bisa dipungkiri bahwa di daerah wilayah perbatasan RI-PNG di Kota Jayapura, terdapat
banyak sekali jalur jalan tikus yang sering digunakan untuk bertransaksi ataupun menyelundupkan narkoba jenis ganja dari negara PNG. Hal ini terjadi karena wilayah perbatasan RI-PNG dari Jayapuran sampai ke Merauke, hampir semua masih di selimuti oleh hutan-hutan yang sebagian besar belum terjamah oleh manusia. Hal ini juga diakui oleh Kepala Badan Perbatasan dan Kerjasama Luar Negeri Provinsi Papua, Zusana Wanggai bahwa masih banyak jalan-jalan tikus disepanjang perbatasan RI-PNG yang digunakan sebagai jalur peredaran ganja.17 Hal serupa juga sampaikan oleh Letkol Inf. A. Yoyok Pramonok (Dandim 1701/Jayapura), beliau mengatakan bahwa masih terdapat begitu banyak jalan-jalan pelintas tradisional yang belum memiliki Pos Lintas Batas sehingga di khawatirkan apabila tidak disikapi dengan baik akan dijadikan daerah penyelundupan narkoba, ganja, miras, maupun senjata api ilegal yang dapat membahayakan masyarakat lain di Kota Jayapura (BPP, 2015).
Dari bebarapa faktor di atas inilah dalam penelitian dan pengamatan peneliti yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan illicit drug trafficking melewati jalur perbatasan darat RI-PNG di Kota Jayapura. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus kejahatan illicit drug trafficking dan tinggginya angka kejahatan dan kasus narkoba jenis ganja baik di perbatasan RI-PNG, maupun di Kota Jayapura yang sudah peneliti jabarkan sebelumnya. Permasalahan ini harus cepat diatasi dengan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sebab permasalahan ini memiliki dampak yang sangat buruk dan merugikan bagi negara, terlebih khusus penduduk wilayah perbatasan maupun pendududk
yang ada di Kota Jayapura kedepannya. Disamping itu juga sudah seharusnya manajemen keamanan di perbatasan negara RI-PNG diperketat pengawasannya, agar tidak dapat terjadi
17
masalah-masalah yang akan merugikan bagi negara dan terutama masyarakat wilayah perbatasan.
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Blake (1998) tentang manajemen perbatasan terkait manajemen akses bahwa, bila akses perbatasan dibuka seluas-luasnya (dengan adanya globalisasi dan kerjasama internasional seperti adanya pasar bersama atau pasar lintas batas antara RI-PNG) maka dari aspek keamanannya harus dikelola dengan sangat baik. Disamping itu juga, pegawai pemerintahan kedua negara seperti; bea cukai, polisi, imigrasi, jasa transportasi, serta pelayanan kesejahatan perlu disiapkan secara baik. Sedangkan untuk menajemen keamanan menurut Blake, aktivitas keamanan di perbatasan
akan sangat tergantung pada politik hubungan luar negeri antara kedua negara, aspek geografi dan ekonomi. Yang terpenting adalah masyarakat kedua negara khususnya di perbatasan harus diberi pemahaman dan kesadaran tentang; pendatang haram (migran gelap), barang-barang haram (narkoba, senjata api ilegal dll), bahaya kesejahatan, dan serangan militer.
f) Permintaan Konsumen terhadap Narkotika Jenis Ganja dari PNG
Faktor penyebab terjadinya kejahatan illicit Drug Trafficking di jalur perbatasan RI-PNG yang terahir ini, merupakan faktor atau akar sebenarnya dari permasalahann penyebab terjadinya illicit Drug Trafficking di jalur perbatasan RI-PNG. Mengapa peneliti mengatakan demikian, karena dari jumlah kasus yang sudah peneliti jabarkan pada bab-bab sebelumnya tidak mungkin dapat terjadi apabila tidak ada permintaan terhadapa narkotik jenis ganja dari PNG itu sendiri. Oleh karena adanya permintaan, mengakibatkan kasus-kasus illicit Drug
Trafficking tidak akan pernah berakhir. Oleh sebab itu, Pemerintah harus bekerjasama dengan harus bekerja ekstra keras agar dapat memutuskan rantai permintaan terhadap narkotika jenis ganja yang berasal dari negara PNG itu sendiri.
V. 3. Refleksi Hasil Penelitian
Wilayah perbatasan RI-PNG merupakan salah satu perbatasan negara yang langsung berbatasan dengan negara tetangga yang terletak di Desa Wutung Kampung Mosso-Distrik
permasalahan ancaman keamanan non-tradisional berupa ancaman kejahatan illicit drug trafficking. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhamad (2015) dengan judul “Kejahatan Transnasional Penyelundupan Narkoba Dari Malaysia ke Indonesia: Kasus di Provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat”, bahwa ancaman yang dialami oleh negara saat ini adalah ancaman yang lebih bersifat non-tradisional. Hal ini disebabkan karena aktornya bukan lagi negara, tetapi lebih kepada aktor-aktor non-state dan ancamannya bukan lagi negara tetapi lebih kepada individu atau penduduk di dalam negara itu sendiri. Hal ini tentu tidak terlepas dari apa yang dikatakan oleh Buzan bahwa, ancaman-ancaman yang di
sekarang ini dihadapi oleh negara-negara di dunia bukan lagi ancaman-ancaman berupa ancaman tradisional berupa konflik (militer strategis) atau ancaman kedaulatan dari sebuah
negara, namun lebih bersifat ancaman non-tadisional (human security) seperti ancaman kejahatan transnasional, human trafficking, illegal fishing, dan lain sebagainya.
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa, jalur perbatasan negara RI-PNG merupakan salah satu jalur yang digunakan oleh para oknum-oknum sindikit kejahatan terorganisir (transnational crime) untuk melakukan kejahatan illicit drug trafficking. Jalur perbatasan ini memang menjadi sasaran yang sangat empuk, hal ini didukung oleh letak dan kondisi wilayah perbatasan yang membentang sepanjang 820 Km dari Jayapura di sebelah Utara sampai ke muara sungai Bensbach, Merauke di sebelah Selatan. Ditambah lagi dengan kondisi wilayah perbatasan yang masih dikelilingi oleh banyaknya hutan-hutan yang sebagian besar belum terjamah oleh manusia. Namun yang menjadi dasar sehingga dapat terjadinya tindak kejahatang illicit drug trafficking di jalur perbatasan negara RI-PNG adalah karena adanya faktor globalisasi. Dengan adanya globalisasi maka terciptalah keterhubungan dan keterbukaan negara RI dengan Negara PNG. Hal inilah yang menjadi akses pertama masuknya tindak kejahatan illicit drug trafficking. Kita tahu bahwa globalisasi tidak hanya memberikan dampak yang positif bagi sebuah negara, tetapi juga memberikan dampak negatif bagi negara, sebagai contohnya adalah ancaman tindak kejahatan illicit drug
trafficking di jalur perbatasan negara RI-PNG. Hal seperti ini juga yang terjadi di daerah-daerah lain maupun di negara lain. Seperti contoh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Dr. Pushpita Dus dalam papernya yang berjudul “Drug Trafficking in India, A Case For Border Security”, bahwa jalur perbatasan merupakan sasaran empuk bagi para oknum
yang sengaja digunakan untuk memperluas jaringan kejahatan mereka di berbagai belahan dunia.
Hal ini sudah seharusnya menjadi fokus utama bagi pemerintah daerah maupun pemerintah daerah untuk segera diatasi dan lebih memperketat manajemen keamanan di wilayah perbatasan. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Blake (1998) bahwa, apabila akses perbatasan dibuka seluas-luasnya, maka aspek kemananan atau manajemen keamanannya harus juga dikelola dengan sangat baik. Aktivitas keamanan di perbatasan akan sangat tergantung pada politik hubungan luar negeri antara kedua negara, aspek geografi dan ekonomi. Yang terpenting adalah masyarakat kedua negara khususnya di perbatasan harus
diberi pemahaman dan kesadaran tentang; pendatang haram (migran gelap), barang-barang haram (narkoba, senjata api ilegal dll), bahaya kesejahatan, dan serangan militer.