• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Komoditas Kakao di Indonesia

Penelusuran tentang sejarah tanaman kakao melalui publikasi yang tersedia menunjukkan bahwa tanaman kakao berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan bagian utara Amerika Selatan. Tanaman kakao pertama kali dibudidayakan serta digunakan sebagai bahan makanan dan minuman cokelat oleh Suku Maya dan Suku Aztec. Bangsa Spanyol memperkenalkan kakao di Indonesia pada tahun 1560 di Sulawesi (Wahyudi dan Rahardjo, 2008).

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan utama di dunia. Komoditas ini dicari karena merupakan bahan baku pembuatan cokelat. Biji kakao yang telah mengalami serangkaian proses pengolahan sehingga bentuk dan aromanya seperti yang ada di pasaran sekarang. Banyak sekali produk dengan bahan baku cokelat yang sangat familiar dengan kehidupan modern saat ini, seperti kue cokelat, ice cream cokelat, ataupun minuman cokelat (Jauhari dan Wirjodirdjo, 2010).

Pada abad modern seperti saat ini hampir semua orang mengenal cokelat yang merupakan bahan makanan favorit, terutama bagi anak-anak dan remaja. Salah satu keunikan dan keunggulan makanan dari cokelat karena sifat cokelat dapat meleleh dan mencair pada suhu permukaan lidah. Bahan makanan dari cokelat juga mengandung gizi yang tinggi karena di dalamnya terdapat protein dan lemak serta unsur-unsur penting lainnya. Faktor pembatas utama konsumsi cokelat sehari-hari oleh masyarakat adalah harganya relatif tinggi dibandingkan dengan bahan makanan lainnya (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2005).

(2)

Biji buah kakao/coklat yang telah difermentasi dijadikan serbuk yang disebut sebagai coklat bubuk. Coklat ini dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk makanan dan minuman. Buah coklat/kakao tanpa biji dapat difermentasi untuk dijadikan pakan ternak. Biji kakao dapat diproduksi menjadi empat jenis produk kakao setengah jadi seperti cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake, cocoa powder dan cokelat. Pasar cokelat merupakan konsumen terbesar dari biji kakao dan produk setengah jadi seperti cocoa powder dan cocoa butter. Cocoa powder umumnya digunakan sebagai penambah cita rasa pada biscuit, ice cream, minuman susu dan kue. Sebagian lagi juga digunakan sebagai pelapis permen atau manisan yang dibekukan. Cocoa powder juga dikunsumsi oleh industri minuman seperti susu cokelat. Selain untuk pembuatan cokelat dan permen, kakao butter juga dapat digunakan pembuatan rokok, sabun dan kosmetika (Ragimun, 2013).

Dari tahun ke tahun konsumsi kakao dunia terus meningkat. Selain karena adanya pertambahan jumlah penduduk dunia, pengaruh perbaikan ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakat ikut berperan dalam peningkatan konsumsi kakao dan olahannya. Konsumsi kakao dunia didominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat atau negara-negara industri dengan pendapatan perkapita jauh di atas US$ 1.000 (Panggabean dan Satyoso, 2008).

Berdasarkan identifikasi lapangan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan dan data tahun 2008, diketahui kurang lebih 70.000 ha kebun kakao dengan kondisi tanaman tua, rusak, tidak produktif, dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat sehingga perlu dilakukan peremajaan, 235.000 ha kebun kakao dengan tanaman yang kurang produktif dan terkena

(3)

serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan sedang sehingga perlu dilakukan rehabilitasi dan 145.000 ha kebun kakao dengan tanaman tidak terawat serta kurang pemeliharaan sehingga perlu dilakukan intensifikasi.

Serangan hama penyakit utama adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) mengakibatkan menurunnya produktivitas menjadi 660 kg/ha/tahun atau sebesar 37% dari produktivitas yang pernah dicapai (1.100 kg/ha/thn). Hal ini mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 184.500 ton/thn atau setara dengan Rp 3,69 triliun per tahun. Selain menurunkan produktivitas, serangan tersebut menyebabkan mutu kakao rakyat rendah sehingga ekspor biji kakao ke Amerika Serikat mengalami pemotongan harga sebesar US$ 301,5/ton. Rendahnya mutu kakao menyebabkan citra kakao Indonesia menjadi kurang baik di pasar internasional (Ditjenbun, 2012).

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ketiga sub sektor perkebunan setelah minyak sawit dan karet (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).

Sementara menurut KPPU (2009), Pengembangan komoditas kakao di Indonesia menghadapi beberapa permasalahan antara lain masih rendahnya

(4)

produktivitas komoditas kakao yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : (a) penggunaan benih asalan, belum banyak digunakan benih unggul (b) masih tingginya serangan hama PBK (penggerek buah kakao), hingga saat ini belum ditemukan klon kakao yang tahan terhadap hama PBK (c) sebagian besar perkebunan berupa perkebunan rakyat yang dikelola masih dengan cara tradisional dan (d) umur tanaman kakao sebagian besar sudah tua, di atas 25 tahun jauh di atas usia paling produktif 13-19 tahun.

Permasalahan lain menurut KPPU (2009) adalah rendahnya mutu biji kakao indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengelolaan produk kakao yang masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi) sehingga mutu kakao Indonesia dikenal sangat rendah (berada di kelas 3 dan 4). Akibat mutu rendah harga biji dan produk kakao Indonesia sangat rendah di pasar internasional dan terkena diskon hingga USD 200/ton atau 10-15% dari harga pasar.

Dalam perekonomian regional, sektor ekonomi kakao mempunyai keterkaitan dengan sektor ekonomi lainnya. Perkebunan kakao dalam proses produksinya memerlukan sejumlah input dan bersamaan dengan itu dihasilkan sejumlah output yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumah tangga, ekspor dan lain-lain maupun sebagai input produksi sektor ekonomi lainnya (Herman, 2007).

Saat ini, industri hilir kakao di Indonesia masih belum berkembang dan beroperasi secara optimal. Hal ini karena sebagian besar besar kakao yang diekspor masih dalam bentuk komoditas primer. Kakao dalam bentuk komoditas

(5)

primer tersebut akan terkena diskon harga yang kemudian akan diinput sebagai kerugian (Dradjat dan Wahyudi, 2008).

Di pasar dunia terutama Eropa, mutu kakao Indonesia dinilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor flavor, dan rendahnya kadar lemak sehingga harga kakao Indonesia selalu mendapatkan potongan harga cukup tinggi sekitar 15% dari rata-rata harga kakao dunia (Departemen Perindustrian, 2007).

Perkembangan harga kakao merupakan aspek yang kompleks karena banyak faktor yang saling mempengaruhi terbentuknya harga. Selama ini faktor pasokan kakao relatif paling berpengaruh terhadap pembentukan harga. Untuk Indonesia, dijumpai indikasi adanya ketidaksinkronan harga di pasar spot di tingkat produsen yaitu di Makassar dengan harga yang terjadi di bursa New York Board on Trade (NYBOT) sebagai pasar acuan (Firdaus dan Ariyoso, 2010).

Selanjutnya hasil studi Firdaus dan Aryoso (2010), juga menyimpulkan bahwa tidak terdapat keterpaduan harga yang kuat baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek antara pasar kakao spot di Makassar dengan bursa berjangka di NYBOT. Pergerakan harga kakao Indonesia dipengaruhi oleh harga kakao di NYBOT, konsumsi kakao dunia serta kurs Rupiah terhadap US Dollar.

Berbagai kebijakan dilakukan pemerintah untuk menggenjot produksi kakao dan pendapatan dari ekspor komoditas kakao. Dari sektor hulu pemerintah meluncurkan Program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao). Gernas Kakao ini urgent untuk dilaksanakan karena tanaman kakao di Indonesia rata-rata telah berumur tua dan sudah tidak produktif. Gernas kakao terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu: peremajaan, rehabilitasi dan

(6)

intensifikasi. Tujuan program ini adalah untuk memperbaiki kondisi kebun yang tanamannya sudah tua, rusak, tidak produktif, dan terserang berat oleh hama dan penyakit (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012).

Sedangkan dari sektor hilir, pemerintah menerapkan kebijakan pengenaan bea keluar terhadap ekspor biji kakao. Kebijakan ini bertujuan untuk menjamin pasokan bahan baku biji kakao bagi industri pengolahan kakao di dalam negeri serta mendorong berkembangnya industri pengolahan kakao di Indonesia. Kebijakan ini dituangkan di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Upaya-upaya peningkatan daya saing kakao berkaitan langsung dengan program pengembangan industri nasional. Sebagaimana yang dilakukan pemerintah, strategi pengembangan industri kakao nasional terbagi menjadi dua kategori yaitu dari sisi penawaran (supply) dan yang kedua dari sisi permintaan (demand). Sisi supply dimaksudkan kakao nasional berupa intensifikasi dan ekstensifikasi lahan kakao nasional, pengembangan bahan baku kakao, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penyediaan insentif bagi investasi produk-produk berbahan baku kakao atau powder cocoa nasional serta kemudahan dalam permodalan. Sedangkan dari sisi demand berupa pengembangan kualitas kakao nasional, adanya diversifikasi produk dari kakao, pengembangan dan perluasan pasar domestik serta pengembangan dan perluasan pasar luar dan dalam negeri melalui berbagai pameran, promosi maupun expo (Ragimun, 2013).

(7)

Selama ini industri pengolahan kakao lebih banyak berada di negara-negara Eropa dan Amerika sehingga nilai tambah tidak dinikmati Indonesia sebagai penghasil biji kakao. Oleh karena itu pengenaan bea keluar atas biji kakao dimaksudkan untuk merangsang tumbuhnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang pada gilirannya ekspor komoditas kakao meningkat nilai tambahnya (Kementerian Keuangan, 2013).

2.2. Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang berhubungan dengan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor biji kakao antara lain:

Arsyad (2004), dalam penelitiannya Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao adalah harga ekspor kakao tahun sebelumnya, pertumbuhan produksi, nilai tukar rupiah tahun sebelumnya dan trend waktu.

Dampak kebijakan ekonomi berupa subsidi harga pupuk, depresiasi rupiah, penerapan pajak ekspor, kuota ekspor dan perubahan faktor eksternal menyebabkan perubahan perilaku produksi dan ekspor kakao, perubahan kesejahteraan masyarakat dan devisa ekspor.

Semartoto (2004), dengan penelitiannya Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Perkembangan dan Ekspor Kakao Indonesia dengan menggunakan rumus simultan menghasilkan kesimpulan bahwa dalam jangka pendek, ekspor kakao Indonesia kurang responsif terhadap perubahan produksi kakao Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika. Sedangkan dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan produksi kakao Indonesia. Produksi kakao sangat mempengaruhi ekspor kakao Indonesia.

(8)

Sementara itu depresiasi rupiah terhadap Dollar Amerika menyebabkan ekspor kakao Indonesia dan harga kakao domestik meningkat. Peningkatan ekspor ini mendorong negara-negara pengimpor utama Indonesia meningkatkan impor kakao. Sedangkan peningkatan harga kakao domestik menyebabkan konsumsi kakao menurun, tapi luas areal kakao dan produksi kakao Indonesia meningkat.

Nurhidayani, et al (2006) meneliti tentang Penawaran Ekspor Kakao di Indonesia dengan metode kuantitatif yang menggunakan model ekonometrika dengan menggunakan persamaan tunggal (single equation) dalam persamaan model regresi linier berganda, mendapatkan hasil faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap penawaran ekspor kakao Indonesia adalah produksi kakao domestik, harga kakao domestik, dan nilai tukar.

Syarfi, et al (2008), melakukan peneltian dengan metode studi kasus yang dilaksanakan di Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Lima Puluh Kota tentang potensi pengembangan industri pengolahan kakao di Sumatera Barat menemukan bahwa permasalahan untuk pengembangan industri pengolahan kakao adalah; (a) produktivitas dan kualitas kakao rakyat masih rendah. Penyebab rendahnya produksi kakao adalah (1) mutu benih rendah, (2) serangan hama Hellopeltis, PBK, dan jamur phytoptora yang belum dikendalikan secara optimal, (3) pemangkasan dan pemeliharaan tidak optimal, (4) pemupukan belum dilakukan sesuai rekomendasi. (b) Penerapan teknologi pascapanen dan pengolahan kakao di sentra produksi masih dilakukan dengan alat-alat yang sederhana. Ketersediaan kotak fermentasi di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Padang Pariaman belum dimanfaatkan secara efektif untuk menghasilkan biji kakao fermentasi. Disamping itu, ketersediaan alat dan mesin

(9)

pengolahan kakao yang diberikan oleh pemerintah belum dimanfaatkan untuk pengolahan hasil kakao rakyat.

Hariyadi, et al (2009), dalam penelitiannya Identifikasi Permasalahan dan Solusi Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan menemukan bahwa permasalahan yang dihadapi petani kakao adalah kondisi tanaman yang sudah tua, serangan hama penggerek buah kakao (PBK), penyakit kanker batang dan busuk buah. Peran dan fungsi kelembagaan di tingkat petani (kelompok tani) masih terbatas jika ada program/proyek pemerintah. Peran kelompok tani masih terbatas pada kegiatan pemeliharaan tanaman sementara peran sebagai penyedia sarana produksi dan pemasaran hasil kakao masih belum dilakukan. Permasalahan kelembagaan lainnya adalah terbatasnya tenaga penyuluh lapangan, baik jumlah maupun kompetensinya.

Maswadi (2011), dalam jurnalnya yang berjudul Agribisnis Kakao dan Produk Olahannya Berkaitan dengan Kebijakan Tarif Pajak di Indonesia menyimpulkan bahwa setiap pelaku yanng terlibat dalam subsistem agribisnis kakao masih dapat meningkatkan pendapatan karena pasar kakao masih terbuka untuk produk kakao yang hendak dipasarkan, hanya saja bagi petani dan pengusaha agroindustri perlu dengan teliti mengetahui dan memperhatikan standart mutu kakao yang ada di pasaran.

Kebijakan fiskal oleh pemerintah telah memacu peningkatan produksi dalam negeri namun produktivitas hasil semakin menurun karena petani perkebunan kakao sudah tidak memperhatikan kualitas kebun, berusaha menekan hama dan penyakit serta kualitas buah yang dipanen

(10)

Arsyad, et al (2011) dalam penelitiannya yang menganalisis dampak kebijakan pajak ekspor dan subsidi harga pupuk terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia menyimpulkan bahwa (1) faktor-faktor yang secara potensial mempengaruhi ekspor kakao Indonesia adalah harga ekspor kakao Indonesia, pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar rupiah dan trend waktu; (2) rencana pemberlakuan pajak ekspor berdampak negatif menurunkan volume produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran Uruguay sementara rencana kebijakan pemberian subsidi harga pupuk berdampak positif meningkatkan produksi dan ekspor kakao Indonesia. Implikasinya adalah bahwa kebijakan subsidi harga pupuk masih dapat diharapkan sebagai strategi kunci untuk memacu produksi dan ekspor kakao Indonesia.

2.3. Landasan Teori 2.3.1. Teori Penawaran

Penawaran suatu komoditas adalah jumlah komoditas yang bersedia ditawarkan oleh produsen pada pasar dengan tingkat harga dan waktu tertentu. Harga dan jumlah komoditas yang ditawarkan berhubungan secara positif dengan semua faktor yang lain tetap sama, jika harga barang naik maka jumlah yang ditawarkan akan meningkat dan sebaliknya.

Menurut Sukirno (2011) Hukum penawaran adalah suatu pernyataan yang menjelaskan tentang sifat hubungan antara harga sesuatu barang dan jumlah barang tersebut yang ditawarkan para penjual. Dalam hukum ini dijelaskan bagaimana keinginan para penjual untuk menawarkan barangnya apabila harganya tinggi dan bagaimana pula keinginan untuk menawarkan barangnya tersebut

(11)

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran suatu komoditas secara umum adalah harga komoditas itu sendiri, harga komoditas lain sebagai alternatif, biaya produksi, tujuan perusahaan, dan tingkat penggunaan teknologi yang digunakan.

1. Harga komoditas

Hipotesis dasar ekonomi menyatakan bahwa hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah penawarannya memiliki hubungan positif, artinya semakin tinggi harga suatu komoditas maka semakin besar pula jumlah yang ditawarkan, demikian pula sebaliknya, cateris paribus. Dengan adanya peningkatan harga maka akan merangsang produsen untuk meningkatkan produksinya dan menjualnya dengan tujuan peningkatan keuntungan.

Elastisitas harga untuk penjualan merupakan gambaran dari seberapa jauh kepekaan jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga itu sendiri. Elastisitas untuk penawaran adalah positif, ini berarti semakin besar elastisitas harga untuk penawaran semakin peka jumlah yang ditawarkan akibat perubahan harga produk itu sendiri.

2. Harga komoditas lain

Komoditas lain yang merupakan alternatif dapat berupa komoditas komplemen (joint product) ataupun komoditas substitusi (competitive product). Antara komoditas dengan produk komplemennya memiliki hubungan elastisitas penawaran positif. Sehingga peningkatan harga suatu produk komplemen akan menurunkan jumlah penawaran komoditas tersebut. Jika terjadi peningkatan harga terhadap suatu produk substitusi maka akan meningkatkan jumlah penawaran

(12)

komoditas. Hal ini disebabkan adanya hubungan elastisitas penawaran yang negatif antara komoditas dengan produk substitusinya.

3. Biaya produksi

Biaya produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Semakin tinggi biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan akan menurunkan laba yang diterima perusahaan tersebut. Hal ini akan menyebabkan perusahaan menurunkan produksinya. Sehingga biaya produksi yang mengalami peningkatan akan menurunkan jumlah komoditas yang ditawarkan.

4. Tujuan perusahaan

Jumlah komoditas yang ditawarkan juga tergantung pada tujuan perusahaan. Tidak semua perusahaan memiliki tujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Perusahaan yang mementingkan volume produksi akan menghasilkan dan menjual lebih banyak atau meningkatkan penawaran.

5. Tingkat penggunaan teknologi

Penggunaan teknologi baru akan meningkatkan efisiensi waktu dan tenaga serta meningkatkan modal. Peningkatan modal tersebut berasal dari peningkatan penerimaan dan penurunan biaya pada penggunaan faktor produksi yang sama. Hal ini menyebabkan peningkatan penawaran (cateris paribus) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan korelasi positif antara teknologi dengan jumlah penawaran.

2.3.2. Teori Perdagangan Internasional

Dasar dalam perdagangan internasional adalah adanya perdagangan barang dan jasa antara dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mendapatkan

(13)

penawaran dan permintaan suatu negara dengan negara lain. Suatu negara tidak dapat menghasilkan semua komoditas atau barang yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditas tertentu. Pada umumnya perdagangan internasional terjadi karena keinginan suatu negara untuk meningkatkan penerimaan devisa dan memperluas pasar komoditas ekspor.

Secara teoritis ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam teori Perdagangan Internasional (Global Trade) disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran (Krugman dan Obstfeld, 2000).

Melakukan ekspor dan impor merupakan kegiatan yang cukup penting di setiap negara. Di sebagian negara, ekspor dan impor meliputi bagian yang cukup besar dalam pendapatan nasional sedangkan di beberapa negara lain hanya merupakan bagian yang kecil saja dari pendapatan nasional. Beberapa keuntungan perdagangan internasional adalah memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri, memperoleh keuntungan dari spesialisasi, memperluas pasar industri-industri dalam negeri, dan menggunakan teknologi modern dan meningkatkan produktivitas (Sukirno, 2012).

Batas suatu negara dengan sendirinya membatasi kemampuan alamiah negara tersebut untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Negara, seperti juga daerah atau perorangan dapat memperoleh keuntungan dari spesialisasi dan perdagangan internasional. Spesialisasi berarti bahwa setiap negara terterntu menghasilkan produk spesialisasinya lebih banyak daripada yang akan dikonsumsi oleh rakyatnya sementara produk lain yang juga dibutuhkan rakyatnya

(14)

hanya diproduksi di dalam negeri dalam jumlah sedikit atau bahkan tidak diproduksi sama sekali (Lipsey, et al, 1993).

2.3.3. Penawaran Ekspor

Volume ekspor suatu komoditas dari negara tertentu ke negara lain merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Pada pihak lain, kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand).

Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri, jumlah komoditas itu sendiri dan komoditas substitusinya di pasar internasional serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kurva penawaran ekspor komoditas suatu negara merupakan kurva kelebihan penawaran, yaitu selisih antara penawaran dan permintaan komoditas di dalam suatu negara. Dengan demikian kurva kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan kurva penawaran ekspor di pasar internasional (Kindlerberger dan Lindert, 1982 dalam Semartoto, 2004). Dapat dikatakan juga bahwa penawaran ekspor suatu negara merupakan penawaran produsen melebihi permintaan konsumen negara tersebut.

Analisis terhadap penawaran ekspor dapat dilakukan dengan menurunkan kurva penawaran ekspor yang pada dasarnya diperoleh dari kurva penawaran dan permintaan domestik seperti disajikan pada Gambar 5. Jika harga suatu barang

(15)

yang tersedia untuk ekspor meningkat. Misalkan penawaran ekspor dilakukan oleh negara domestik.

Sumber : Krugman dan Obstfeld, 2004.

Gambar 5. Penurunan Kurva Penawaran Ekspor

Pada saat harga P1, penawaran produsen domestik sebesar S1, sementara itu permintaan konsumen domestik hanya sebesar D1. Jadi jumlah dari seluruh penawaran yang dimungkinkan untuk diekspor adalah S1-D1. Pada tingkat harga P2, terjadi peningkatan jumlah penawaran oleh produsen domestik menjadi S2 dan jumlah permintaan konsumen domestik menjadi turun sebesar D2. Jumlah total yang dimungkinkan untuk diekspor adalah sebesar S2-D2.

Penawaran komoditas yang memungkinkan untuk diekspor akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harga, kurva penawaran ekspor domestik XS adalah upward sloping. Pada saat harga PA, penawaran dan permintaan akan sama dengan tidak ada perdagangan, jadi kurva penawaran ekspor dimulai pada saat harga PA (penawaran ekspor sama dengan nol pada tingkat harga PA).

Ketika harga domestik suatu komoditas turun maka produsen/eksportir akan meningkatkan penjualan/ ekspornya ke luar negeri. Sedangkan jika harga domestik naik maka produsen/eksportir suatu komoditas akan mengurangi volume

(16)

ekspornya dan lebih mengutamakan penjualan di dalam negeri. Hal ini dilakukan untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya.

Sebaliknya ketika harga internasional suatu komoditas naik, produsen/eksportir akan meningkatkan volume ekspornya sedangkan jika harga internasional turun maka produsen/eksportir akan menurunkan volume ekspornya ke luar negeri. Hal ini juga dilakukan untuk memaksimumkan keuntungan yang diperoleh dari perdagangan komoditas.

Pajak yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap suatu komoditas juga dapat mempengaruhi kurva penawaran terhadap komoditas tersebut. Menurut Kementerian Pertanian (2011) di Indonesia ada beberapa jenis pajak yang diberikan terhadap komoditas pertanian yang akhir-akhir ini menjadi isu utama yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Keluar (BK) yang sebelumnya disebut Pajak Ekspor. Kedua jenis pajak tersebut mempunyai tujuan berbeda yaitu PPN lebih bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak sementara BK lebih bertujuan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dan mengembangkan industri hilir dengan menghambat ekspor komoditas yang menjadi bahan baku industri hilir yang ingin dikembangkan tersebut.

2.4. Kerangka Pemikiran

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memproduksi biji kakao. Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao seharusnya mampu meningkatkan produksinya untuk menjadi produsen biji kakao terbesar di dunia. Dengan tingginya produksi biji kakao, Indonesia juga harus berupaya agar dapat menjadi eksportir biji kakao dan olahannya yang

(17)

Dalam penelitian ini dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor biji kakao Indonesia secara kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif untuk melihat perkembangan ekspor biji kakao dapat dianalisis dengan metode deskriptif berdasarkan perkembangan volume ekspor biji kakao.

Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor biji kakao Indonesia yang dilakukan dengan analisis regresi berganda. Selanjutnya akan diestimasi dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Variabel-variabel yang diestimasi mempengaruhi penawaran ekspor dalam penelitian ini antara lain: produksi biji kakao Indonesia, harga domestik biji kakao, harga internasional biji kakao, ekspor biji kakao tahun sebelumnya, dan kebijakan pemerintah berupa penerapan bea keluar terhadap ekspor biji kakao Indonesia (dummy). Pengujian hipotesis dilakukan satu arah dimana hasil dari pengujian nantinya ditentukan di depan apakah arahnya positif atau negatif.

Produksi biji kakao Indonesia diduga berpengaruh karena bila produksi biji kakao dalam negeri tidak diolah seluruhnya di dalam negeri maka kelebihan ini dapat ditawarkan ke negara lain melalui kegiatan ekspor. Harga biji kakao domestik dan harga biji kakao internasional digunakan dalam penelitian ini karena dalam hukum penawaran, harga dapat mempengaruhi jumlah penawaran.

Jumlah ekspor biji kakao pada tahun sebelumnya digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi karena naik turunnya jumlah ekspor biji kakao pada tahun berjalan dapat diperkirakan oleh jumlah ekspor biji kakao pada tahun sebelumnya. Sedangkan kebijakan pemerintah berupa penerapan bea keluar terhadap ekspor biji kakao digunakan sebagai variabel yang diduga turut mempengaruhi ekspor

(18)

biji kakao karena akan menambah biaya bagi eksportir yang langsung mengekspor biji kakao jika dibandingkan dengan menjual biji kakao di dalam negeri atau mengekspornya setelah melalui pengolahan. Kebijakan ini diperkirakan akan mempengaruhi sikap eksportir dalam kegiatan ekspor biji kakao.

Selain itu, dengan adanya kebijakan penerapan bea keluar terhadap biji kakao akan membatasi para eksportir untuk melakukan ekspor bahan mentah berupa biji kakao. Pembatasan bahan mentah ini akan merangsang bagi industri pengolahan kakao di dalam negeri untuk meningkatkan investasi dan kapasitas pengolahannya.

Produksi Biji Kakao

Harga Domestik Biji Kakao

Ekspor Biji Kakao Indonesia Harga Internasional Biji

Kakao

Ekspor Biji Kakao Tahun Sebelumnya

Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao

Gambar 6. Alur Kerangka Berfikir

Kebutuhan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor biji kakao Indonesia penting untuk diketahui guna penyusunan kebijakan strategis

(19)

dan nilai tambah dari ekspor kakao. Alur Kerangka Berfikir disajikan pada Gambar 6.

2.5 Hipotesis Penelitian

1. Produksi biji kakao, harga internasional biji kakao dan ekspor biji kakao tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap ekspor biji kakao Indonesia.

2. Harga biji kakao domestik dan kebijakan pemerintah berupa penerapan bea keluar terhadap ekspor biji kakao berpengaruh negatif terhadap jumlah ekspor biji kakao Indonesia.

Gambar

Gambar  5.  Penurunan Kurva Penawaran Ekspor
Gambar  6.  Alur Kerangka Berfikir

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab pasti miastenia gravis belum diketahui, jadi tindakan pencegahan yang dapat dilakukanpun belum dapat dipastikan. Pada keadaan miastenia gravis terjadi

Pada Tabel 1 dapat dibaca bahwa berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi ektoparasit caplak pada deteksi infestasi ektoparasit caplak Boophilus sp di peternakan

Dengan fasilitas-fasilitas yang ada pada komputer yang setiap saat menuju ke yang lebih maksimal kegunaannya dalam pengolahan database akan lebih cepat dan mudah

Sistem penerimaan pegawai dengan menggunakan sistem ini adalah sebuah sistem yang terkomputerisasi dengan program yang telah dirancang sehingga memudahkan pemakai sistem tersebut

LAPORAN REALISASI SEMESTER PERTAMA APBD DAN PROGNOSIS 6 (ENAM) BULAN BERIKUTNYA. PEMERINTAH KABUPATEN

Penulisan Ilmiah ini bertujuan untuk membuat aplikasi chat yang bergerak, yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan komunikasi data lewat telepon selular. Pembuatan

Oleh karena itu penulis mencoba membuat suatu Pengembangan Aplikasi Game WATERMELONS,dengan tujuan membuat sebuah aplikasi game sederhana yang menggunakan bahasa

Berdasarkan data wawancara dan survei awal bulan Februari 2019 para petambak ikan kerapu khususnya tambak “Kompak bersama” di Kabupaten Batu Bara dimana ketua