• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG PENCEGAHAN PENULARAN FILARIASIS DENGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN KELURAHAN KURIPAN KERTOHARJO KOTA PEKALONGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG PENCEGAHAN PENULARAN FILARIASIS DENGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN KELURAHAN KURIPAN KERTOHARJO KOTA PEKALONGAN"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG

PENCEGAHAN PENULARAN FILARIASIS DENGAN

KONDISI FISIK LINGKUNGAN KELURAHAN

KURIPAN KERTOHARJO KOTA

PEKALONGAN 2015

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh: Febi Listiyarini NIM.6411411018

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015

(2)

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang Juli 2015 ABSTRAK

Febi Listiyarini.

Hubungan Pengetahuan dan Sikap tentang Pencegahan Penularan Filariasis dengan Kondisi Fisik Lingkungan Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015,

XIV + 64 halaman + 12 tabel + 4 gambar + 18 lampiran

Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan cacing filaria dewasa yang hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Tahun 2014 Kelurahan Kertoharjo masih mempunyai Mf-rate 9,7%.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan.

Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Pada penelitian ini digunakan Random Sampling. Jumlah sampelnya adalah 70.

Hasil penelitian ini didapatkan data responden yang memiliki pengetahuan cukup (24,3%) dan pengetahuan baik (75,7%). Responden yang memiliki sikap cukup (40,0%) dan sikap baik (60,0%). Responden yang memiliki kondisi fisik lingkungan buruk (40,0%) dan baik (60,0%). Tidak ada hubungan pengetahuan tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan dengan p-value (0,584>0,005) dan ada hubungan sikap tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan dengan p-value (0,014<0,005).

Saran yang peneliti rekomendasikan adalah meningkatkan sikap tentang pencegahan penularan filariasis yang baik terhadap kondisi fisik lingkungan.

Kata Kunci : Filariasis, Kondisi Fisik Lingkungan, Kota Pekalongan. Kepustakaan : 32 (1997-2014).

(3)

Public Health Science Departement Faculty of Sport Science Semarang State University July 2015 ABSTRACT

Febi Listiyarini.

Relationship of Knowledge and Attitudes about Prevention of Transmission of Filariasis with Physical Environment Sub Kuripan Kertoharjo Pekalongan City in 2015,

XIV + 64 pages + 12 tables + 4 pictures + 18 attachments

Filariasis is a systemic infection caused by adult filarial worms that live in the human lymph nodes and blood transmitted by mosquitoes. In 2014 Kertoharjo have mf-rate 9,7%.

This study aims to determine the relationship between knowledge and attitudes about the prevention of transmission of filariasis with the physical condition of the environment.

This type of research is analytic with cross sectional approach. In this study used random sampling. The number of samples is 70.

From the results of this study, the data of respondents who have enough knowledge (24.3%) and a good knowledge (75.7%). Respondents who has enough attitude (40.0%) and a good attitude (60.0%). Respondents who have poor physical environmental conditions (40.0%) and good (60.0%). there is no relationship of knowledge about the prevention of transmission of filariasis with the physical condition of the environment with a p-value (0.584> 0.005) and there was a relationship attitudes about the prevention of transmission of filariasis with the physical condition of the environment with a p-value (0.014 <0.005).

Suggestions researchers recommend is to improve understanding attitude on the prevention of transmission of filariasis well to the physical condition of the environment.

Keywords : Filariasis, Physical Environment, Pekalongan. Bibliography : 32 (1997-2014).

(4)

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasik pekerjaan saya sendiri dan didalamnya tidak terdapat karya yang pernah digunakan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian manapun yang belum atau tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan dalam daftar pustaka.

Semarang, Agustus 2015

(5)
(6)

MOTTO dan PERSEMBAHAN

Motto:

Berdoa dan berusaha keras untuk sebuah cita-cita. (Penulis)

Persembahan:

1. Untuk yang tercinta Ayah yang tak hentinya memberikan kasih sayang, dukungan, serta doa penuh harapan.

2. Untuk yang tersayang Almh. Ibu yang pernah hidup untuk memberikan seluruh kasih sayang dan pengorbanannya.

3. Kakakku, semua saudara dan semua sahabatku.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karuniaNya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Pengetahuan dan Sikap Tentang Pencegahan Penularan Filariasis dengan Kondisi Fisik Lingkungan Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015” dapat terselesaikan dengan baik.

Dalam penulisan skripsi ini sudah tentu banyak pihak yang telah turut serta memberikan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang Bapak Dr. H. Harry Pramono, M.Si. atas ijin penelitian.

2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang Bapak Irwan Budiono, S.KM, M.Kes atas persetujuan penelitian.

3. Penguji I, Bapak Sofwan Indarjo, S.KM, M.Kes atas arahan dan persetujuan penelitian.

4. Penguji II, Bapak Eram Tunggul Pawenang, S,KM, M.Kes atas arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi.

5. Dosen Pembimbing, Ibu Arum Siwiendrayanti, S.KM, M.Kes atas bimbingan dan arahan dalam menyesaikan skripsi.

(8)

6. Lurah Kuripan Kertoharjo, Bapak Bilal, S.Sos atas ijin dilakukannya penelitian oleh penulis.

7. Kedua orang tua tercinta, Bapak Raminto dan Almarhumah Ibu Sudjinah serta kakakku Subandi dan Siswoyo atas motivasi, doa, kasih sayang, dan dukungan materiil selama perkuliahan hingga selesai.

8. Teman-teman Novia, Emy, Ina, Gilang, Mumun, Wulan yang telah terlibat dalam penelitian.

9. Teman-teman D’Kepo Fika, Dyas, Tyas, Exa, Dinda, Yuyun, Izza yang selalu memberikan semangat.

10. Dan semua pihak yang terlibat dalam penelitian dan penyususnan skripsi ini.

Semoga amal baik dari semua pihak selalu diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Penulis yakin dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis menerima kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. Atas saran dan masukan yang diberikan, penulis mengucapkan terimakasih.

Semarang, Juli 2015

(9)

DAFTAR ISI Halaman JUDUL ... i ABSTRAK ... ii ABSTRACT ... iii PERNYATAAN ... iv PENGESAHAN ... v

MOTTO dan PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 6 1.5 Keaslian Penelitian ... 7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Definisi Filariasis ... 11

2.2 Epidemiologi Filariasis ... 11

(10)

2.5 Cara Penularan Filariasis... 14

2.6 Tanda dan Gejala Filariasis ... 16

2.7 Diagnosa Filariasis ... 17

2.8 Pengobatan Filariasis ... 18

2.9 Pencegahan Filariasis ... 20

2.10 Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Fisik Lingkungan ... 23

2.11 Praktik Pencegahan Filariasis dari Faktor Lingkungan ... 30

2.12 Kerangka Teori... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Kerangka Konsep ... 35

3.2 Variabel Penelitian ... 36

3.3 Hipotesis Penelitian ... 37

3.4 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ... 37

3.5 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 39

3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ... 39

3.7 Sumber Data ... 41

3.8 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data ... 42

3.9 Validitas dan Reliabilitas ... 43

3.10 Prosedur Penelitian... 44

3.11 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 47

4.1 Gambaran Umum ... 47

4.2 Hasil Penelitian ... 49

BAB V PEMBEHASAN ... 54

(11)

5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian ... 59

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 60

6.1 Simpulan ... 60

6.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1: Keaslian Penelitian ... 7

Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Skala Pengukuran... 37

Tabel 3.2: Pembagian Sampel Masing-masing RW ... 40

Tabel 4.1: Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur ... 48

Tabel 4.2: Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Pekerjaan ... 48

Tabel 4.3: Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan ... 48

Tabel 4.4: Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan ... 49

Tabel 4.5: Distribusi Frekuensi Pengetahuan tentang Pencegahan Penularan Filariasis ... 50

Tabel 4.6: Distribusi Frekuensi Sikap tentang Pencegahan Penularan Filariasis 50 Tabel 4.7: Distribusi Frekuensi Kondisi Fisik Lingkungan ... 51

Tabel 4.8: Hubungan antara Pengetahuan tentang Pencegahan Penularan Filariasis dengan Kondisi Fisik Lingkungan ... 51

Tabel 4.9: Hubungan antara Sikap tentang Pencegahan Penularan Filariasis dengan Kondisi Fisik Lingkungan ... 52

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.3: Tiga Spesies Cacing Filaria ... 13

Gambar 2.5: Siklus Penularan Filariasis ... 16

Gambar 2.11: Kerangka Teori ... 34

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Surat Tugas Pembimbing ... 65

Lampiran 2: Ethical Clearance ... 66

Lampiran 3: Surat Ijin Penelitian dari Fakultas ... 67

Lampiran 4: Surat Ijin Penelitian dari Ristekin ... 68

Lampiran 5: Surat Ijin Penelitian dari Dinkes Kota Pekalongan ... 69

Lampiran 6: Surat Uji Validitas dan Reliabilitas ... 70

Lampiran 7: Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 71

Lampiran 8: Kuesioner Penelitian ... 72

Lampiran 9: Tabulasi Skor Uji Validitas Pengetahuan ... 76

Lampiran 10: Tabulasi Skor Uji Validitas Sikap ... 77

Lampiran 11: Data Pengetahuan Responden ... 78

Lampiran 12: Data Sikap Responden ... 81

Lampiran 13: Data Hasil Penelitian ... 84

Lampiran 14: Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Pengetahuan ... 87

Lampiran 15: Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sikap ... 89

Lampiran 16: Analisis Chi Square Data Pengetahuan dengan Kondisi Fisik Lingkungan ... 91

Lampiran 17: Analisis Chi Square Data Sikap dengan Kondisi Fisik Lingkungan ... 93

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan cacing filaria dewasa yang hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (elephantiasis), pembesaran lengan, payudara, dan alat kelamin pada wanita maupun laki-laki. Penyakit ini menyebabkan produktifitas penderitanya penurun dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit akibat kehilangan jam kerja yang disebabkan penyakit tersebut (Akhsin Zulkoni, 2011:55).

Data WHO menunjukkan bahwa 1,3 milyar penduduk dunia yang tinggal di 83 negara berisiko tertular filariasis dan 60% kasus berada di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara jumlah kasus mencapai 851 juta penderita dan Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus tertinggi. Di Indonesia pada tahun 2005 sampai dengan 2009 berturut-turut jumlah kasus klinis yaitu 8.242, 10.427, 11.473, 11.699, dan 11.914 (Kemenkes RI, 2010:5).

Pada tahun 2011 di Jawa Tengah jumlah kasus 537 dengan 141 kasus baru yang mana 125 kasus ditemukan di Kota Pekalongan dan sisanya tersebar di 8 Kabupaten/Kota lain (Dinkes Provinsi Jateng, 2011:29). Pada tahun 2012 jumlah kasus 565 penderita (Dinkes Provinsi Jateng, 2012:26). Kota Pekalongan adalah

(16)

2

Pekalongan ditemukan tahun 2002. Pada tahun 2004 mulai dilakukan Survei Darah Jari (SDJ) yang menunjukkan bahwa Kota Pekalongan endemis filariasis karena Mf-rate (Microfilaria-rate) >1% (Dinkes Kota Pekalongan, 2012).

Angka kasus filariasis tahun 2010 berjumlah 63 kasus yang terdiri dari 55 kasus klinis dan 8 kasus kronis. Pada tahun 2011 menjadi 117 kasus yang terdiri dari 110 kasus klinis dan 7 kasus kronis. Pada tahun 2012 jumlah kasus menjadi 66 penderita yang terdiri dari 59 kasus klinis dan 7 kasus kronis dan tahun 2013 7 kasus klinis (Dinkes Kota Pekalongan , 2013). Program pencegahan penularan filariasis yang sudah dicanangkan Kota Pekalongan adalah Pemberian Obat Masal Pencegahan (POMP). Hasil pelaksanaan POMP menunjukkan pada tahun 2011 sampai 2013 berturut-turut 3,79%; 3,81%; dan 4,26% penduduk tidak minum obat. Pada tahun 2013 penduduk tidak minum obat dengan alasan 60% bepergian, 11% menolak, 2% meninggal, dan 27% dengan alassan lain (Dinkes Kota Pekalongan, 2013).

Survei pemeriksaan darah jari yang dilakukan dari tahun 2009 sampai 2012 terdapat Mf-rate>1% yaitu Kelurahan Tegalrejo 2,3%, Kelurahan Pabean 3,39%, Kelurahan Bandengan 2,39% dan Kelurahan Kertoharjo 4,18%. Tahun 2011 Kelurahan Kertoharjo hasil Mf-rate-nya >1 % yaitu sebesar 3,5%. Tahun 2014 Kelurahan Kertoharjo masih mempunyai Mf-rate 9,7%. Artinya bahwa Kelurahan Kertoharjo yang sekarang menjadi RW V sampai RW X Kelurahan Kuripan Kertoharjo masih menjadi daerah endemis filariasis. Program pencegahan filariasis tidak hanya pengobatan masal tetapi pengendalian vektor dan peran serta

(17)

3

masyarakat juga menjadi perhatian untuk mencegah penularan filariasis (Widoyono, 2008:141). Oleh karena itu untuk mengurangi perkembangan vektor penularan filariasis perlu adanya pengendalian lingkungan.

Banyak faktor risiko yang dapat menimbulkan kejadian filariasis. Salah satunya adalah faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kepadatan vektor penularan filariasis. Faktor lingkungan dapat menunjang kelangsungan hidup vektor sehingga pengendalian dari faktor lingkungan masih sangat diperlukan. Oleh karena itu pengendalian vektor penularan filariasis perlu dikendalikan untuk membuat kondisi lingkungn tidak cocok sebagai perkembangan dan peristirahatan nyamuk, dimana pemberantasan tempat perkembangan nyamuk melalui pembersihan saluran pembuangan air, pengaliran air yang tergenang, penebaran bibit ikan pemakan jentik. Pemberantasan tempat peristirahatan nyamuk melalui pembersihan semak-semak dan pembersihan kandang ternak (Widoyono, 2008:141).

Kondisi fisik lingkungan tercipta dari perilaku yang dipengaruhi dari praktik seseorang, perubahan perilaku seseorang diikuti tahapan antara pengetahuan, sikap, dan praktik. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu, untuk menciptakan kondisi lingkungan fisik yang diharapkan diperlukan pendirian yang kuat untuk mencegah penularan filariasis dari kondisi fisik lingkungan (Soekidjo Notoatmodjo, 2012:140). Terbentuknya sikap didasari pengetahuan yang didapat untuk mengetahui tujuan dan manfaat bagi kesehatan.

(18)

4

dimiliki diharapkan seseorang akan membentuk perilaku yang akan langgeng bahkan selama hidup dilakukan (Soekidjo Notoatmodjo, 2012:18).

Menurut Risky Amalia (2013:1) tentang faktor risiko kejadian filariasis di Kelurahan Kertoharjo Kecamatan Pekalongan Selatan tahun 2013, OR tempat perindukan nyamuk 8,556, OR keberadaan kandang disekitar rumah 11, OR kondisi sanitasi sekitar rumah 8,556, OR tingkat pengetahuan 10,714,. Menurut Ardias (2012:202) tentang faktor lingkungan dan perilaku masyarakat yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Sambas bahwa OR habitat nyamuk 11,074 dan OR resting place 4,840.

Hasil survei pendahuluan pada tanggal 12 Februari 2014 pada 20 rumah menunjukkan bahwa kondisi fisik lingkungan di Kelurahan Kuripan Kertoharjo 90% terdapat semak-semak, 70% terdapat saluran pembuangan air limbah yang terbuka dan limbah tidak mengalir, 25% terdapat genangan air, 10% terdapat ternak disekitar rumah, dan 45% dari 20 responden pernah mengikuti penyuluhan filariasis.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Pengetahuan dan Sikap Tentang Pencegahan Penularan Filariasis dengan Kondisi Fisik Lingkungan Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015”. Penelitian ini bagian dari penelitian hibah bersaing yang berjudul “Program Aktif-Mandiri (Aksi Tindakan Filariasis-Media Baca Hindari Filariasis) Sebagai Penyempurna Akselerasi Eliminasi Filariasis Dalam Menurunkan Mf-rate Wilayah Endemis Filariasis di Kota Pekalongan”.

(19)

5

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.2.1 Rumusan Masalah Umum

Adakah hubungan pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan di Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015?

1.2.2 Rumusan Masalah Khusus

1. Adakah hubungan pengetahuan tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan di Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015?

2. Adakah hubungan sikap tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan di Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan di Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015.

(20)

6

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan di Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015.

2. Untuk mengetahui hubungan sikap tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan di Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015.

1.4 MANFAAT HASIL PENELITIAN

Manfaat dalam penelitian ini adalah:

1.4.1 Untuk Dinas Kesehatan Kota Pekalongan

Sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Pekalongan untuk mengambil kebijakan dalam menanggulangi filariasis.

1.4.2 Untuk Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat

Sebagai bahan pustaka di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakt dan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri semarang dalam pnegembangan ilmu di bidang Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.

1.4.3 Untuk Peneliti

(21)

7

1. Dapat memperoleh ilmu, pengalaman serta penerapan materi yang telah diperoleh dalam perkuliahan dan penelitian dapat dilakukan untuk tugas akhir atau skripsi.

2. Penerapan pengetahuan tentang Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang dimiliki terhadap kenyataan dilapangan.

3. Sebagai upaya pengembangan pribadi dalam berfikir logis, terstruktur, dan tersistematis.

4. Dapat diketahui seberapa penting penerapan Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku di Masyarakat.

1.5 KEASLIAN PENELITIAN

Keaslian penelitian ini merupakan matrik yang memuat tentang judul, penelitian, nama peneliti, tahun, tempat penelitian, desain penelitian, variabel, dan hasil penelitian (Tabel 1.1).

Tabel 1.1: Keaslian Penelitian

No Judul Penelitian Nama Peneliti Tahun dan Tempat Penelitian Rancangan Penelitian Variabel

Penelitian Hasil Penelitian

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Pencegahan Filariasis di Kelurahan Kertoharjo Kecamatan Dina Agustiantin ingsih 2013, Kelurahan Kertoharjo Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan Explanatory Research, cross sectional Variabel Bebas: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan, Variabel faktor yang berhubungan dengan praktik pencegahan filariasis adalah tingkat pendidikan p=0,041; jenis

(22)

8 Selatan Kota Pekalongan Tahun 2013 sosialisasi pengobatan masal dari Dinas kesehatan, dukungan kepala keluarga, dukungan tenaga pelaksana eliminasi, dan pemeliharaan hewan ternak Variabel Terikat: praktik pencegahan penyakit filariasis p=0,047; tingkat pengetahuan p=0,000; sikap p=0,000; persepsi p=0,000; dan dukungan kepala keluarga p=0,000. Variabel yang tidak berpengaruh adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendapatan, sosialisasi pengobatan masal, dukungan TPE, dan memelihara hewan ternak 2. Faktor Risiko Kejadian Filariasis Di Kelurahan Kertoharjo Kecamatan Pekalongan Selatan Tahun 2013 Risky Amelia 2013, Kelurahan Kertoharjo Pekalongan Selatan

Case Control Variabel Bebas:

praktik menutup kasa ventilasi, tempat perindukan nyamuk, kebiasaan keluar rumah malam hari, kebiasaan menggunakan obat nyamuk oles, kondisi sanitasi sekitar rumah, tingkat pengetahuan filariasis, jenis pekerjaan, kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang pada malam hari, praktik minum obat filariasis, keberadaan kandang ternak, Variabel faktor yang berhubungan dengan faktor risiko filariasis adalah praktik menutup kasa ventilasi p=0,034; tempat perindukan nyamuk p=0,015; kebiasaan keluar rumah malam hari 0,006; kebiasaan menggunakan obat nyamuk oles p=0,002; kondisi sanitasi sekitar rumah p=0,015; tingkat pengetahuan filariasis p=0,012; jenis pekerjaan

(23)

9 jenis kelamin Variabel Terikat: kejadian filarisis kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang pada malam hari p=0,002; praktik minum obat filariasis p=0,005 Variabel yang tidak berpengaruh adalah keberadaan kandang ternak dan jenis kelamin. 3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Desa Bringin Kecamatan Juwana Kabupaten Pati Tahun 2007 Arry Kurniyanti 2008, Desa Bringin Kecamatan Juwana Kabupaten Pati Cross Sectional Variabel Bebas: kebersihan lingkungan, keluar rumah malam hari, menutup ventilasi dengan kasa, obat nyamuk bakar, obat nyamuk semprot, obat anti nyamuk oles, kelambu, baju dan celana panjang pada malam hari, obat anti nyamuk oles saat kerja, pekerjaan, bekerja dengan baju panjang, bekerja dengan celana panjang Variabel Terikat: kejadian filariasis Ada hubungan antara faktor-faktor dengan kejadian filariasis dengan p<0,05

(24)

10

1. Penelitian menjelaskan mengenai faktor pengetahuan dan sikap yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan di Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015.

2. Variabel yang berbeda dengan penelitian terdahulu adalah kondisi fisik lingkungan.

3. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik dengan desain cross sectional.

1.6 RUANG LINGKUP PENELITIAN

1.6.1 Ruang Lingkup Tempat

Penelitian ini dilakukan di RW V sampai RW X Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan.

1.6.2 Ruang Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Agustus 2015.

1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan

Pengambilan data ini termasuk dalam bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan kajian Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan Sikap Tentang Pencegahan Penularan Filariasis dengan Kondisi Fisik Lingkungan Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015”.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI FILARIASIS

Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan cacing filaria dewasa yang hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (elephantiasis), pembesaran lengan, payudara, dan alat kelamin pada wanita maupun laki-laki. Penyakit ini menyebabkan produktifitas penderitanya penurun dan mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit akibat kehilangan jam kerja yang disebabkan penyakit tersebut (Akhsin Zulkoni, 2011:55).

Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular pada saluran dan kelenjar kemih yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat manahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin baik pada perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009:1).

2.2 EPIDEMIOLOGI FILARIASIS

Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa. Di Indonesia filariasis banyak ditemukan di pedesaan. Di kota hanya Wuchereria Bancrofti yang

(26)

12

ditemukan di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan, Semarang, dan kota lain (Inge Sutanto, 2009:40).

Survei prevalensi filariasis yang telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkkan bahwa prevalensi infeksi cukup tinggi, mulai dari 0,5% sampai 19,46%. Prevalensi dapat berubah dan pada umumnya kondisi akan berubah dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan. Oleh karena itu perlu diperhatikan faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoir, vektor, dan keadaan lingkungan yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing (Inge Sutanto, 2009:40).

Sebagai vektor filariasis, perilaku nyamuk merupakan penentu penyebaran filariasis dan timbulnya daerah endemis filariasis. Perilaku vektor tersebut yaitu: (1) derajat infeksi alami yang dapat diketahui dengan hasil pembedahan nyamuk yang tersebar dialam (2) sifat antropofilik dan zoofilik yang meningkatkan jumlah sumber infeksi (3) umur nyamuk yang panjang hingga mampu mengembangkan pertumbuhan larva mencapai stadium infektif untuk ditularkan (4) dominasi terhadap spesies nyamuk lain (5) mudah menggunakan tempat pengandung air sebagai tempat perindukan nyamuk dari telur sampai dewasa (Rosdiana Safar: 2010:246).

2.3 ETIOLOGI FILARIASIS

Penyebab filariasis disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009:2), yaitu:

(27)

13

2.3.1 Wuchereria Bancrofti

Wuchereria Bancrofti dewasa berbentuk seperti rambut, berwarna putih susu. Panjang tubuh cacing jantan sekitar 4 cm, ekor yang melengkung dilengkapi spikulum yang tidak sama panjang. Panjang cacing betina sekitar 10 cm, mempunyai ekor yang runcing (Soedarto, 2011:221).

2.3.2 Brugia Malayi

Brugia Malayi betina panjangnya dapat mencapai 55 mm, sedangkan cacing jantan hanya sekitar 23 mm (Soedarto, 2011:225).

2.3.3. Brugia Timori

Brugia Timori betina sekitar 39 mm, sedangkan cacing jantan panjangnya sekitar 23 mm (Soedarto, 2011:225).

Gambar 2.3: Tiga Spesies Cacing Filaria (Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009:2) 2.4 VEKTOR

Menurut Akhsin Zulkoni (2011:58) banyak spesies nyamuk yang menjadi vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya. Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor yaitu dari genus Mansonia, Culex, Anopheles, Aedes dan Armigeres. Oleh karena itu filariasis menular sangat cepat. Dijelaskan bahwa vektor nyamuk itu sebagai berikut:

(28)

14

1) Wuchereria Bancrofti perkotaan dengan vektor Culex Quinquefasciatus yang tempat perindukannya air kotor dan tercemar (Inge Sutanto, 2009:41). Selain itu dapat hidup pada tempat yang berair jernih dan permukaan dapat ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuhan air (Rosdiana Safar, 2010:245). Artinya bahwa kondisi lingkungan dengan keadaan saluran air pembuangan limbah yang tidak mengalir,rawa-rawa dan genangan air sangat berpotensi menjadi penularan filariasis.

2) Wuchereria Bancrofti pedesaan dengan vektor Anopheles, Aedes, dan Armigeres.

3) Brugia Malayi dengan vektor Mansonia sp, dan Anopheles Barbirostris. Mansonia dapat berkembang biak dalam rawa-rawa.

4) Brugia Timori dengan vektor Anopheles Barbirostris. Vektor ini dapat berkembang biak di daerah sawah, baik didekat pantai maupun didaerah pedalaman.

2.5 CARA PENULARAN FILARIASIS

Penularan filariasis pada seseorang terjadi gigitan nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva. Nyamuk mendapat cacing filaria kecil (mikrofilaria) ketika menghisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria atau binatang reservoir yang mengandung mikrofilaria (Akhsin Zulkoni, 2011:59).

Menurut Ditjen P2 & PL Depkes RI (2009:3) siklus penularan filariasis yaitu sebagai berikut:

(29)

15

2.5.1 Tahap Perkembangan Dalam Tubuh Nyamuk (Vektor)

1) Nyamuk menghisap darah penderita (mikrofilaremia) beberapa mikrofilaria ikut terhisap dan masuk lambung nyamuk.

2) Setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofilaria melepas selubung kemudian menembus dinding lambung menuju rongga badan dan selanjutnya ke thoraks.

3) Didalam thoraks, larva stadium I berkembang menjadi larva stadium II dan selanjutnya berkembang menjadi larva stadium III yang infektif. Waktu perkembangan dari larva stadium I ke stadium III untuk W. Bancrofti antara 10-14 hari dan untuk B. Malayi dan B. Timori 7-10 hari.

4) Lava stadium III menuju alat tusuk (probosis) nyamuk dan akan berpindah ke manusia jika nyamuk tersebut menggigit.

5) Mikrofilaria dalam tubuh nyamuk hanya mengalami perubahan bentuk dan tidak berkembangbiak sehingga diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi.

2.5.2 Tahap Perkembangan Dalam Tubuh Manusia (Hospes Reservoir) 1) Larva stadium III dalam tubuh manusia menuju sistem limfe dan

tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina.

2) Cacing betina menghasilkan mikrofilaria dalam darah melalui kopulasi. Secara periodik akan mengeluarkan 50.000 larva setiap hari.

(30)

16

3) Perkembangan larva stadium III menjadi cacing dewasa dan menghasilkan mikrofilaria untuk W. Bancrofti selama 9 bulan dan untuk B. Malayi dan B. Timori selama 3 bulan.

Gambar 2.5: Siklus Penularan Filariasis (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx) 2.6 TANDA DAN GEJALA FILARIASIS

Menurut Ditjen PP & PL Depkes RI (2009:5), tanda dan gejala filariasis terdiri dari:

2.6.1 Tanda dan Gejala Klinis Akut

1) Demam berulang selama 3-5 hari. Demam akan hilang setelah istirahat dan akan timbul setelah bekerja berat.

(31)

17

2) Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa luka), di lipatan paha, ketiak yang tampak kemerahan, panas, dan sakit.

3) Radang saluran kelenjar getah bening yang berasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan.

4) Abses filarial terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.

5) Pembengkakan tungkai, lengan, payudara, skrotum yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (limfadema dini).

2.6.2 Tanda dan Gejala Klinis Kronis

Pembengkakan yang menetap pada tungkai, lengan, payudara, dan skrotum. 2.7 DIAGNOSA FILARIASIS

Menurut Inge Sutanto (2009:35), diagnosa filariasis dapat dipastikan dengan pemeriksaan:

2.7.1 Diagnosis Parasitologi

1) Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah. Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari yaitu pukul 20.00 s.d 02.00 waktu setempat (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009:5). Pada pemeriksaan histopatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor.

2) Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melaui DNA parasit menggunakan reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction/ PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada crytic infection.

(32)

18

2.7.2 Diagnosis Radiologi

1) Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya bisa digunakan untuk infeksi filaria W. Bancrofti.

2) Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan adanya zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.

2.7.3 Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi W. Bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah.

Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif.

Pada stadium obstruktif, mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi di dalam darah. Kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria.

2.8 PENGOBATAN

Menurut Widoyono (2008:141) dan Akhsin Zulkoni (2011:60), pengobatan filariasi dapat diberikan obat sebagai berikut:

(33)

19

2.8.1 Diethilcarbamazyne (DEC)

Pada kasus yang masih bersifat subklinis (gejalanya belum tampak) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif misalnya dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yaitu ketika cacing dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat utama. Penggunaan standar DEC yaitu 6 mg/kgBB (total dosis 72 mg) selama 12 hari yang mampu membunuh parasit-parasit yang ada didalam tubuh. Biasanya penggunaan DEC dosis tunggal dikombinasikan dengan Albendazole atau Ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang efektif. Penggunaan DEC diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih.

2.8.2 Ivermecitin (Mectizan)

Ivermecitin diberikan 400 mg dua kali sehari selama 21 hari, obat ini merupakan alternatif yang mampu menunjukkan hasil yang baik.

2.8.3 Albendazole

Albendazole diberikan 400 mg dua kali sehari selama 21 hari, obat ini merupakan alternatif yang mampu menunjukkan hasil yang baik.

2.8.4 Doksisiklin

Doksisiklin bekerja terhadap bakteri simbiotik yaitu Wolbacia yang hidup dalam cacing filaria. Jika bakteri tersebut dibunuh maka cacing tersebut juga mati. Doksisiklin telah terbukti efektif terhadap cacing Wuchereria sp.

(34)

20

2.9 PENCEGAHAN

Menurut Widoyono (2008:141), pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan:

2.9.1 Pengobatan Masal

Pengobatan massal dilakukan didaerah endemis dengan Mf-rate >1% dengan menggunakan Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albendazole sekali selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah demam dari reaksi obat diberikan Paracetamol.

Pengobatan massal diikuti seluruh penduduk di daerah endemis yang berusia 2 tahun ke atas. Pengobatan dapat ditunda pada orang yang sedang sakit, anak-anak di bawah usia 2 tahun, dan wanita hamil (Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009:6).

2.9.2 Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah pemberantasan tempat perkembangan nyamuk melalui saluran pembuangan air limbah, pengaliran air yang tergenang, penebaran ikan pemakan jentik, menghindari dai gigitan nyamuk dengan memasang kelambu, menggunakan obat nyamuk oles, memasang kasa pada ventilasi rumah, dan menggunakan obat nyamuk bakar atau semprot

Menurut Inge Sutanto (2009:275) pengendalian vektor dibagi menjadi (1) pengendalian secara alami dan (2) pengendalian secara buatan.

2.9.2.1 Pengendalian Secara Alami

Pengendalian secara alami berhubungan dengan faktor ekologi, adanya gunung, lautan, sungai. Ketidakmampuan mempertahankan hidup vektor pada

(35)

21

daerah dengan ketinggian tertentu dari permukaan laut. Perubahan musim, iklim yang panas, udara dingin, udara kering, angin, curah hujan, dan tanah tandus yang tidak memungkinkan perkembangbiakan vektor. Adanya burung, katak, cicak yang dapat memakan vektor.

2.9.2.2 Pengendalian Secara Buatan

Pengendalian secara buatan yang dapat dilakukan atas usaha manusia adalah:

1) Pengendalian lingkungan (environment control), yaitu dilakukan dengan cara mengelola lingkungan, dengan memodifikasi atau manipulasi lingkungan sehingga terbentuk lingkungan yang tidak cocok untuk yang dapat mencegah atau membatasi perkembangan vektor. Cara ini paling aman karena tidak merusak keseimbangangan alam dan tidak mencemari lingkungan. Dalam modifikasi lingkungan yaitu mengubah sarana fisik yang bersifat permanen, misalnya (1) mengatur irigasi, (2) menimbun tempat yang dapat menampung air atau mengalirkan genangan air, (3) pengubahan rawa menjadi sawah, (4) dan mengubah hutan menjadi tempat pemukiman. Dalam manipulasi lingkungan dapat dilakukan dengan cara pembersihan atau pemeliharaan sarana yang ada supaya tidak menjadi tempat perindukan vektor dan hasilnya tidak bersifat permanen. Misalnya (1) membersihkan tanaman air, (2) melancarkan saluran pembuangan air limbah.

2) Pengendalian kimiawi menggunakan bahan kimia untuk membunuh vektor. Kelebihannya dapat membunuh vektor dengan segera sehingga dapat menekan populasi dalam waktu singkat. Kekurangannya pengendalian ini bersifat

(36)

22

sementara dan menyebabkan pencemaran lingkungan dan kemungkinan timbul resistensi pada vektor. Misalnya (1) pemakaian paris green, temefos, dan fention untuk membunuh larva nyamuk, (2) penggunaan herbisida untuk membunuh tanaman air untuk perkembangan nyamuk, dan (3) penggunaan insektisida residual spray untuk membunuh nyamuk dewasa.

3) Pengendalian mekanik dilakukan dengan alat yang langsung membunuh, menangkap, menghalau, menyisir vektor. Misalnya, (1) menggunakan baju lengan panjang, menggunakan kasa nyamuk pada ventilasi rumah.

4) Pengendalian fisik menggunakan alat fisika untuk pemanasan, pembekuan, dan penggunaan alat listrik untuk pengadaan angin dan penyinaran. Misalnya, (1) memasang hembusan angin keras pada pintu masuk, (2) memasang lampu kuning untuk menghalau nyamuk.

5) Pengendalian biologik dengan memperbanyak pemangsa sebagai musuh alami bagi vektor. Pemangsa yang efktif untuk nyamuk yaitu ikan yang dapat memangsa larva nyamuk.

6) Pengendalian genetika bertujuan untuk mengganti populasi vektor yang berbahaya dengan populasi yang baru dan tidak berbahaya. Caranya yaitu dengan memandulkan dengan bahan kimia.

7) Pengendalian legislatif yaitu untuk mencegah tersebarnya vektor berbahaya dari suatu daerah. Misalnya karantina dipelabuhan laut dan udara untuk mencegah masuknya vektor penyakit. Di Indonesia jika melanggar peraturan tersebut akan dikenakan sanksi oleh pemerintah.

(37)

23

2.9.3 Peran Serta Masyarakat

Ketersediaan masyarakat dalam pemeriksaan survei darah jari, bersedia meminum obat anti filariasis secara teratur sesuai dengan ketentuan petugas, memberitahukan kepada petugas kesehatan jika menemukan penderita filariasis, dan bersedia membersihkan sarang nyamuk atau tempat perkembangan nyamuk. 2.10 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI FISIK LINGKUNGAN

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat menularkan filariasis. Kondisi fisik lingkungan di daerah endemis sangat diperlukan untuk mencegah penularan filariasis. Filariasis didaerah endemi dapat diduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungan. (Inge Sutanto, 2009:41).

Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo, 2012:137).Menurut Lawrence Green dalam Soekidjo Notoatmodjo (2012:18) bahwa perilaku untuk mewujudkan kondisi lingkungan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:

2.10.1 Faktor Predisposisi (predisposing factors)

2.10.1.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu seseorang terhadap objek tertentu melalui pengindraan yang dimiliki. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan. Pengetahuan sesorang terhadap objek mempunyai tingkatan yang berbeda. Tingkatan pengetahuan meliputi 6 bagian, yaitu:

(38)

24

1) Tahu (know)

Untuk mengetahui sesorang tahu atau tidak dapat diukur menggunakan pertanyaan-pertanyaan. Apakah masyarakat mengetahui bagaimana cara mencegah filariasis dari faktor lingkungan.

2) Memahami (comprehention)

Seseorang dapat dikatakan memahami suatu objek maka harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi adalah pengaplikasian prinsip dari pemahaman yang diketahui pada situasi yang lain.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan kemudian mencari hubungan komponen yang terdapat dalam objek yang diketahui.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah kemampuan seseorang untuk meringkas dengan kata-kata sendiri dari materi yang ada.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan sesorang untuk menilai dari suatu objek tertentu.

Pengetahuan tentang pencegahan filariasis diperlukan sebagai dasar membentuk perilaku pencegahan terhadap kondisi fisik lingkungan. Diharapkan dengan memiliki pengetahuan tentang pencegahan filariasis mengenai bagaimana lingkungan itu tidak menjadi tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk, maka

(39)

25

Menurut Rizky Amelia (2014:8) bahwa pengetahuan mengenai penyakit filariasis sangat penting sebagai penunjang keberhasilan upaya pemberantasan penyakit filariasis yang dilakukan. Upaya pencegahan yang dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan yang aplikatif dan sederhana dilakukan seperti pencegahan filariasis dengan pengendalian vektor untuk membentuk kondisi lingkungan supaya tidak cocok sebagai perindukan dan peristirahatan nyamuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang filariasis berisiko 10,714 kali dengan kejadian filarisis. Dalam penelitian Dina Agustiantiningsih (2013:194) bahwa hubungan pengetahuan dengan praktik pencegahan filariasis berhubungan (p-value=0,000).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukann dengan wawancara yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dalam subjek penelitian (Soekidjo Notoatmodjo, 2012:140).

2.10.1.2 Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap objek tertentu. Sikap meliputi faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan untuk mengungkapkan dari objek tertentu. Menutut Newcomb dalam Soekidjo Notoatmojdo (2012:140), bahwa sikap merupakan kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksaan motif tertentu.

Menurut Alport dalam Soekidjo Notoatmodjo (2012:141) sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu:

1) Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap objek

2) Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek 3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

(40)

26

Komponen-komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam menentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi merupakan hal yang sangat penting.

Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2012:141) sikap mempunyai 4 tingkat dalam intensitasnya, yaitu:

1) Menerima (receiving) diartikan bahwa seseorang mau menerima stimulus yang diberikan.

2) Menanggapi (responding) diartikan memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan

3) Menghargai (valving) diartikan seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek

4) Bertanggung jawab (responsible) adalah bertanggung jawab apa yang telah diyakininya. Sesorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain.

Sikap merupakan cerminan suka tidaknya seseorang terhadap obyek tertentu. Untuk membentuk kondisi fisik lingkungan sebagai upaya pencegahan filariasis diperlukan pendirian atau keyakinan yang kuat bahwa kondisi fisik lingkungan dapat mencegah penularan filariasis.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pengukuran secara langsung dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang objek yang bersangkutan (Soekidjo Notoatmodjo, 2012:142). Dalam penelitian

(41)

27

Dina Agustiantiningsih (2013:194) bahwa hubungan sikap dengan praktik pencegahan filariasis berhubungan (p-value=0,000).

2.10.2 Faktor Pemungkin (enabling factors)

Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan perilaku sesorang. Faktor pemungkin meliputi sarana dan prasana yang mendukung untuk perilaku kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo, 2012:19).

2.10.2.1 Sosialisasi Pencegahan Penularan Filariasis

Sosialisasi pencegahan penularan merupakan kegiatan pencegahan filariasis. Sosialisasi ini merupakan upaya yang dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya filariasis. Menurut Dina Agustiantinisngsih (2013:195) bahwa sosialisasi pengobatan masal merupakan inti dari kegiatan pengobatan masal supaya orang mau minum obat untuk mencegah filariasis. Maka sosialiisasi mengenai kondisi lingkungan fisik perlu di lakukan supaya masyarakat tidak berisiko untuk tertular filariasis.

2.10.3 Faktor Penguat (reinforcing factors)

Faktor penguat adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat meliputi dukungan tenaga pelaksana eliminasi dan dukungan keluarga.

2.10.3.1 Dukungan Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE)

Dukungan tenaga pelaksana eliminasi (TPE) sangat berengaruh terhadap pencegahan penularan filariasis. Karena TPE memiliki tugas dalam pemberantasan nyamuk penular filariasis. Tugasnya yaitu memberi contoh cara memberantas nyamuk dan menghindari gigitan nyamuk, menggerakkan masing-masing keluarga binaannya untuk meniadakan tempat berkembang biak nyamuk secara teratur

(42)

28

dirumah dan lingkungan sekitarnya, dan mengajak bergotong royong membersihkan tempat berkembang biak nyamuk dalam lingkungan pemukoman (Ditjen P2 & PL Depkes RI, 2008:6).

2.10.3.2 Dukungan Keluarga

Dukungan terdiri dari informasi yang menuntun orang bahwa ia diurus, disayangi, memiliki rasa nyaman, dipedulikan, dihargai, dan dibantu atau di dukung (Eunike R. Rustiana, 2005:80). Dukungan yang diberikan orang tua adalah dasar perilaku terutama perilaku kesehatan bagi anak-anak mereka (Soekidjo Notoatmodjo, 2012:44).

Dukungan keluarga dapat diberikan kepada anggota keluarganya yang dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan kepada keluarga yang lainnya. Semakin tinggi pengetahuan maka akan semakin efektif dalam mendukung keluarga untuk melakukan tindakan pencegahan melalui kondisi fisik lingkungan. Pada hasil penelitian bahwa dukungan keluarga berhubungan dengan praktik pencegahan filariasis (p-value=0,000) (Dina Agustiantiningsih, 2013:195).

2.10.4 Karakteristik individu

2.10.4.1 Pendidikan

Pendidikan adalah upaya agar masyarakat berperilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, memberi informasi, memberikan kesadaran, dan lain sebagainya. Mengenai dampak yang timbul dari pendidikan terhadap perubahan perilaku memakan waktu lama, tetapi bila perilaku dapat diadopsi oleh masyarakat maka akan langgeng bahkan seumur hidup (Soekidjo Notoadmodjo, 2012:18). Karena pendidikan yang semakin tinggi akan mudah menyerap informasi

(43)

29

filariasis (p-value=0,041) (Dina Agustiantiningsih, 2013:193). Pendidikan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan. Dengan kata lain mengupayakan agar perilaku masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo, 2013:18).

2.10.4.2 Umur

Umur atau usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan, dan kekuatan sesorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (A Wawan, 2010:17). Dalam penelitian ini ditentukan usia dewasa yaitu umur 18 sampai 55 tahun. 2.10.4.3 Jenis pekerjaan

Kebiasaan bekerja pada malam hari perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Ditjen P2 & PL Depkes RI, 2008:18). Menurut Dina Agustiantiningsih (2013:193) jenis pekerjaan berhubungan dengan praktik pencegahan filariasis (p-value=0,047). Responden yang bekerja sebagai buruh sering bekerja lembur pada malam hari. Kebiasaan bekerja lembur pada malam hari tersebut dapat meningkatkan intensitas kontak dengan vektor filariasis. Artinya terjadi peningkatkan tindakan pencegahan penyakit filariasis jika pekerjaan yang dilakukan responden tidak dilakukan pada siang hari sebaliknya jika pekerjaan yang dilakukan pada malam hari maka tindakan pencegahan terhadap penyakit rendah.

(44)

30

2.10.5 Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan mempunyai pendekatan yang menetapkan sasaran ketersediaan, keterjangkauan, dan ketepatan. Pelayanan kesehaatan meliputi preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif untuk mencapai kesehatan. Selain itu melibatkan pendidikan atau promosi pola perilaku peningkatan kesehatan. Pelayanaan kesehatan memberikan prioritas pada orang yang membutuhkan, memberikan perhatian pada masalah kesehatan utama di suatu komunitas (Eunike R. Rustiana, 2005:5).

2.11 PRAKTIK PENCEGAHAN FILARIASIS DARI FAKTOR

LINGKUNGAN

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologi, lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya (Ditjen P2 & PL Depkes RI, 2008:16).

2.11.1 Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, geografis, dan struktur geologi. Lingkungan fisik sangat berkaitan dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Lingkungan fisik sebagai tempat perindukan (breeding place) dan peristirahatan nyamuk (resting place) adalah:

(45)

31

2.11.1.1 Kondisi saluran pembungan air limbah (SPAL)

Dalam penelitan Santoso (2011:3) bahwa jenis dan kondisi tempat penampungan air limbah dengan kejadian filariasis berhubungan (p-value=0,000). Penderita yang tidak mempunyai SPAL akan membiarkan air limbah mengalir begitu saja, dan mengakibatkan genangan air yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk dan berpotensi tejadinya kejadian filariasis.

Menurut Rizky Amelia (2014:6) tempat perindukan nyamuk sebaiknya ditiadakan dengan cara selalu menjaga kebersihan lingkungan, secara rutin membersihkan SPAL, tidak membiarkan sampah menumpuk, dan minimal seminggu sekali sebaiknya dibersihkan untuk pengendalian vektor. Hasil penelitian bahwa tempat perindukan nyamuk (breeding place) berisiko 8,556 kali terhadap kejadian filariasis.

2.11.1.2 Kondisi genangan air

Genangan air disekitar rumah atau tempat tinggal memiliki risiko terhadap kejadian filariasis karena genangan air tersebut sebagai habitat vektor filariasis. Genangan air mempunyai risiko 38,031 kali terhadap kejadian filariasis (Ardias dkk, 2012:203). Menurut Mulyono dalam Ardias dkk (2012:203) bahwa genangan air merupakan faktor risiko untuk terjadinya filariasis sebesar 4,12 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki genangan air. Oleh karena itu untuk memutus rantai penularan filariasis diperlukan penimbunan genangan air supaya tidak menjadi habitat vektor filariasis. Menurut Ike Ani Windiastuti dkk (2013:54) bahwa habitat nyamuk dengan kejadian filariasis didapatkan nilai (p-value=0,003). Responden yang rumahnya terdapat habitat nyamuk memiliki risiko

(46)

32

8,707 kali lebih besar menderita filariasis dibandingkan dengan responden yang rumahnya tidak memiliki habitat nyamuk, karena genangan air menjadi habitat nyamuk Cx. Quinquefasciatus diluar rumah, dengan jumlah air (50 cc) nyamuk sudah dapat menggunakannya sebagai habitat.

2.11.1.3 Kondisi kandang ternak

Menurut Bagus Febrianto, dkk (2008:53) keberadaan kandang ternak mempunyai hubungan dengan kejadian filariasis (p-value=0,02). Keberadaan kandang ternak di dekat rumah mempunyai dampak yang besar untuk tertular filariasis. Kandang ternak mempunyai temperatur dan kelembaban ideal untuk perkembangbiakan vektor.

2.11.1.4 Kondisi semak-semak

Tempat peristirahatan yamuk Cx. Quinquefasciatus diluar rumah adalah semak-semak karena sifatnya terlindung dari matahari dan lembab. Cx. Quinquefasciatus merupakan vektor filariasis di Kota Pekalongan. Semakin dekat jarak rumah dengan semak-semak maka semakin besar peluang untuk tertular filariasis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semak-semak berisiko 2,170 kali tertular filariasis (p-value=0,025) (Ike Ani Windiastuti dkk, 2013:55). Menurut Mulyono dalam Ike Ani Windiastuti dkk (2013:55) bahwa semak-semak berisiko 4,194 kali terhadap kejadian filariasis. Dalam penelitian Ardias, dkk (2012:202) bahwa resting place berhubungan dengan kejadian filariasis (p-value=0,006), (OR 4,840).

(47)

33

2.11.2 Lingkungan Biologi

Menurut Mukono (2000:11) dalam hubungannya dengan penyakit maka dari sektor lingkungan biologi dapat dibagi dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. Agen penyakit yang infeksius

2. Reservoir (manusia atau binatang)

3. Vektor pembawa penyakit (lalat, nyamuk, dll) 4. Tumbuhan dan binatang

Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Contoh lingkungan biologi adalah tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Dalam penelitian Santoso (2011:6) bahwa keberadaan ternak berhubungan dengan kejadian filariasis (p-value=0,000). Keberadaan ternak dapat menjadi penghambat untuk terjadinya penularan filariasis, yaitu dapat menjadi penghambat agar nyamuk tidak menggigit manusia bila kandang ternak terletak diantara tempat perkembangbiakan dan rumah pemiliknya.

2.11.3 Lingkungan Sosial, Ekonomi, Dan Budaya

Lngkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Kebiasaan bekerja pada malam hari perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya.

(48)

34

2.12 Kerangka Teori

Gambar 2.1: Kerangka Teori

(Sumber: Modifikasi Lawrence Green dalam Soekidjo Notoatmodjo (2012:18), Dina Agustiantiningsih(2013), Rizky Amelia (2014), Eunike R. Rustiana (2005), A. Wawan (2010), Depkes RI (2008), Santoso (2011), Ardias, dkk (2012), Ike Ani Windiastuti, dkk (2013), Bagus Febrianto, dkk (2008), Mukono, (2000)). Pelayanan Kesehatan Faktor predisposisi (predisposing factors) 1. Pengetahuan pencegahan filariasis 2. Sikap pencegahan filariasis Faktor pemungkin (enabling factors) 1. Sosialisasi pencegahan penularan filariasis Faktor Penguat (reinforcing faktor) 1. Dukungan TPE 2. Dukungan keluarga Praktik pencegahan filariasis terhadap kondisi fisik lingkungan Kondisi fisik lingkungan Karakteristik Individu 1. Umur 2. Pendidikan 3. Jenis pekerjaan Pelayanan kesehatan

(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan konsep serta variabel yang akan diukur atau diteliti (Soekidjo Notoatmodjo, 2010:22).

Gambar 3.1: Kerangka Konsep Variabel Bebas: 1. Pengetahuan tentang pencegahan penularan filariasis 2. Sikap tentang pencegahan penularan filariasis Variabel Terikat: Kondisi Fisik Lingkungan Variabel Perancu: 1. Tingkat pendidikan 2. Umur

(50)

36

3.2 VARIABEL PENELITIAN

Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2010:103), yang dimaksud variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki kelompok lain. Pada penelitian ini variabel yang digunakan yaitu: 3.2.1 Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel risiko atau sebab (Soekidjo Notoatmodjo, 2010:104). Variabel bebas yang diteliti adalah pada penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap pada masyarakat RW V sampai RW X Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan.

3.2.2 Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Soekidjo Notoatmodjo, 2010:104). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kondisi fisik lingkungan di RW V sampai RW X Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan.

3.2.3 Variabel Perancu

Variabel perancu adalah variabel yang mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat tetapi bukan variabel antara (Sudigdo Sastroasmoro, 1995:158). Variabel perancu dalam penelitian ini dikendalikan dengan restriksi. Restriksi yaitu menyingkirkan variabel perancu dari setiap subyek penelitian (Sudigdo Sastroasmoro, 1995:163).

1. Pendidikan diambil pendidikan minimal lulusan SMA 2. Umur, batasan umur mulai 18 tahun sampai 55 tahun

(51)

37

3.3 HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian (Soekidjo Notoatmodjo, 2010:105).

3.3.1 Hipotesis Mayor

Ada hubungan pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015.

3.3.2 Hipotesis Minor

1) Ada hubungan pengetahuan tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015. 2) Ada hubungan sikap tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi

fisik lingkungan Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015. 3.4 DEFINISI OPERASIONAL DAN SKALA PENGUKURAN VARIABEL

Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel penelitian. Adapun definisi operasional penelitian (Tabel 3.1).

Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel No Variabel Definisi

Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

(1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Pengetahuan tentang pencegahan penularan filariasis Kemampuan responden untuk menjawab benar pertanyaan tentang cara pencegahan penularan filariasis Kuesioner 0. Pengetahuan kurang, jika: <56% jawaban benar (skor 1-5) 1. Pengetahuan cukup, jika: 56-75% jawaban benar Ordinal

(52)

38 baik, jika: 76-100% jawaban benar (skor 8-10) (Arikunto dalam A Wawan, 2010:18) 2. Sikap tentang pencegahan penularan filariasis Kemampuan responden dalam menanggapi pertanyaan upaya pencegahan penularan filariasis

Kuesioner 0. Sikap kurang, jika skor <60% (skor 1-5) 1. Sikap cukup, jika skor 60%-80% (skor 6-8) 2. Sikap baik, jika skor >80% (skor 9-10) (Yayuk dalam Febrina 2013) Ordinal 3. Kondisi Fisik Lingkungan. Keadaan lingkungan fisik tempat tinggal responden meliputi syarat kondisi fisik lingkungan dan hal-hal yang perlu diperhatikan didalam kondisi fisik lingkungan yaitu (1) keberadaan kandang ternak serumah dengan responden (2) keberadaan genangan air karena tidak memiliki

SPAL/tampungan air hujan/kolam tanpa ikan/tampungan air pada pot tanaman dalam radius 100 m (3) keberadaan semak-semak/tanaman hias rimbundalam radius 100 m (4) Kondisi SPAL yang terbuka dan tidak mengalir.

Lembar Observasi

0. Buruk, jika skor ≤ 2 1. Baik, jika skor

> 2

(53)

39

3.5 JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik. Penelitian analitik adalah penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi, kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena antar faktor risiko dengan faktor efek. Sedangkan pendekatan yang digunakakan adalah cross sectional yaitu penelitian yang mempelajari dinamika korelasi antar faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Soekidjo Notoatmodjo, 2010:37). 3.6 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

3.6.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010:117). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat RW V sampai RW X Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan yang berjumlah 3.334 penduduk (Rekapitulasi jumlah penduduk Kelurahan Kuripan Kertoharjo, Februari 2015).

3.6.2 Sampel Penelitian

Bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2010:118). Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan rumus:

(54)

40 dibulatkan menjadi 66 Keterangan: n = besar sampel N = besar populasi P = target populasi (0,5)

d = derajat kesalahan yang diterima 10% (0,1)

= standar deviasi normal untuk 1,64 dengan confidence interval 90% (Stanley

Lemeshow, 1997:54).

Pengambilan sampel dilakukan setelah restriksi, untuk mengendalikan variabel perancu tingkat pendidikan minimal lulusan SMA dan umur 18-55 tahun, diharapkan kriteria tersebut memiliki pemahaman tentang pencegahan penularan filariasis dengan kondisi fisik lingkungan. Pengambilan sampel yang dipilih berdasarkan metode acak proporsional berdasarkan jumlah penduduk dari setiap RW. Masing-masing RW V sebesar 11, RW VI sebesar 11, RW VII sebesar 11, RW VIII sebesar 8, RW IX sebesar 13, RW X sebesar 12 yang dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 3.2: Pembagian Sampel Masing-masing RW

No. RW Jumlah Penduduk Jumlah Sampel

(1) (2) (3) (4)

1. V 530

(55)

41 3. VII 575 4. VII 395 5. IX 674 6. X 609 Jumlah 3334 66 3.7 SUMBER DATA

Sumber data penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh. Sumber

data penelitian ini yaitu:

3.7.1 Data Primer

Data primer yaitu pengumpulan data dilakukan secara langsung oleh

peneliti (Eko Budiarto, 2002:5). Data primer diperoleh melaui kuesioner. Kuesioner

dalam penelitian ini digunakan untuk mendapatkan informasi melalui jawaban dari

responden mengenai pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penularan

filariasis.

3.7.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu pengumpulan data yang diinginkan diperoleh dari

orang lain dan tidak dilakukan oleh penelliti sendiri (Eko Budiarto, 2002:5). Data

sekunder yang diambil diperoleh dari buku, jurnal, instansi, referensi lain yang

(56)

42

3.8 INSTRUMEN PENELITIAN DAN TEKNIK PENGAMBILAN DATA 3.8.1 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah perangkat yang digunakan untuk mengungkap data (Soekidjo Notoatmodjo, 2010:87). Instrumen dalam penelitian ini adalah:

3.8.1.1 Kuesioner

Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data tentang pengetahuan dan sikap responden mengenai upaya pencegahan filariasis di RW V sampai RW X Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015 dengan masing-masing skor pengetahuan sebanyak 10 dari 10 soal dan skor sikap sebanyak 10 dari 10 soal.

3.8.1.2 Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk membuktikan kondisi fisik lingkungan dalam upaya pencegahan filariasis di RW V sampai RW X Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015 dengan skor total 6 dari 6 soal.

3.8.2 Teknik Pengambilan Data

3.8.2.1 Wawancara

Wawancara secara langsung untuk memperoleh data pengetahuan dan sikap responden tentang pencegahan penularan filariasis di RW V sampai RW X Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015.

3.8.2.2 Observasi

Observasi digunakan untuk pengumpulan data untuk membuktikan kebenaran kondisi fisik lingkungan responden untuk upaya pencegahan penulalaran filariasisi di RW V sampai RW X Kelurahan Kuripan Kertoharjo Kota Pekalongan 2015.

(57)

43

3.9 VALIDITAS DAN RELIABILITAS 3.9.1 Validitas

Untuk mengetahui validitas suatu instrumen (kuesioner) dapat dilakukan dengan cara melakukan korelasi antara skor seriap variabel dengan skor totalnya. Suatu pertanyaan dikatakan valid bila skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya.

Rumus yang digunakan yaitu dengan korelasi “product moment”:

Keterangan:

= koefisien korelasi antara X dan Y N = jumlah subjek

X = skor item Y = skor total

∑X = jumlah skor item ∑Y = jumlah skor total ∑X2

= jumlah kuadrat skor item ∑Y2

= jumlah kuadrat skor total (Soekidjo Notoatmodjo, 2010:166).

Pengujian validitas kuesioner dalam penelitian ini dilakukan di masyarakat Kelurahan Jenggot Kota Pekalongan dengan N=20 taraf signifikansi 5% diketahui r tabel Pearson Product Moment 0,444. Setelah dilakukan perhitungan dari 12 butir soal pengetahuan yang diujikan, terdapat 2 butir soal yang tidak valid yaitu nomor 5 dan 6. Sedangkan soal sikap yang diujikan dengan jumlah soal 10 butir, semua soal

Gambar

Gambar 2.3: Tiga Spesies Cacing Filaria  (Sumber: Ditjen PP &amp; PL Depkes RI, 2009:2)  2.4 VEKTOR
Gambar 2.5: Siklus Penularan Filariasis  (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)  2.6 TANDA DAN GEJALA FILARIASIS
Gambar 2.1: Kerangka Teori
Gambar 3.1: Kerangka Konsep Variabel Bebas: 1.  Pengetahuan tentang pencegahan penularan filariasis 2
+4

Referensi

Dokumen terkait

' Saya berusaha membuat soal-soal dan mencoba mengerjakan % ' +4 ( Saya menulis pernyataan atau pendapat sendiri di buku catatan + $+4 * Menurut saya, dalam membantu mengatasi

Mendengar atau melihat namanya di awali dengan kata SAYYID menandakan bahwa Beliau adalah seorang bangsawan dari keturunan dari AHLUL BAIT yaitu keturunan dari Imam

Berdasarkan Berdasarkan hasil pemeriksaan sitologi serviks wanita pekerja seksual tidak langsung (WPS-TL) pada hotspot X Kecamatan Marpoyan Damai Pekanbaru, maka

Pengetahuan tentang seks bebas pada siswa kelas X di SMK Negeri 1 Kasihan Bantul sebelum penyuluhan sex education yaitu kategori baik 10 (18,5%) responden, kategori cukup 37

Setelah Itu Dia Memberikan Instruksi Rahasia Kepada 4 Jendral Lainnya, Hu Ban, Wu Yi, Ma Zheng Dan Zhang Ni Untuk Pergi Mengamati Musuh Dan Jika Mereka Melihat Musuh

Rokan Hilir 20,000,000 APBD Mei 2012 Juni - Agustus 2012 EK 340 - Pengadaan/Pemasangan instalasi dan meteran listrik Perkantoran Kecamatan Rimba Melintang Penunjukan Langsung 1

Selanjutnya, hasil observasi pada saat proses belajar mengajar berlangsung dilakukan dengan mengamati aktivitas guru dan aktivitas peserta didik selesai proses pembelajaran

Hasil uji koefisien determinasi R 2 menunjukkan bahwa hasil estimasi menunjukkan nilai R 2 sebesar 0,71020, artinya 71% variasi variabel dependen tingkat