• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERBASIS ICE BREAKER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERBASIS ICE BREAKER"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

56

MODEL PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN

SAINTIFIK BERBASIS ICE BREAKER UNTUK

MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR PADA ANAK

TUNAGRAHITA RINGAN DI SLB C YPAC SEMARANG

Wahyu Agus Setyani wahyu.styani@yahoo.com

ABSTRAK

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa adalah dengan menggunakan ice breaker. Ice breaker adalah pemecah kebekuan fikiran atau fisik siswa agar proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar pada anak tunagrahita ringan melalui model pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis ice breaker. Obyek penelitian ini adalah model pembelajaran dengan pendekatan saintifik di SLB C YPAC Semarang. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah purposive sampling. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian pengembangan. Metode penelitian yang digunakan pada tahap I adalah: 1) wawancara mendalam, 2) pengamatan terlibat, 3) analisis isi dokumen. Hasil yang sudah dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) identifikasi model pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang dijalankan oleh guru bagi anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang,2) Identifikasi gambaran motivasi belajar anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang, 3) susunan draft model pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis Ice Breaker yang efektif dapat meningkatkan motivasi belajar bagi anak tunagrahita ringan.

(2)

57

PENDAHULUAN

Kurikulum yang dipakai di Indonesia saat ini adalah Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 juga digunakan pada anak berkebutuhan khusus pada semua kategori ketunaan termasuk pada anak tunagrahita ringan. Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 memiliki karakterisitik yang menjadi ciri khas pembeda dengan kurikulum-kurikulum yang telah ada selama ini salah satunya adalah pada pendekatan pembelajarannya. Pendekatan pembelajaran yang dipakai pada Kurikulum 2013 adalah mengggunakan pendekatan saintifik (pendekatan ilmiah). Berdasarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013 menyebutkan bahwa proses pembelajaran pada pendekatan saintifik ini meliputi tiga ranah belajar, yaitu: Sikap (yang terdiri dari sikap spiritual dan sikap sosial), Pengetahuan (Produk), dan Keterampilan (Proses dan Psikomotorik). Peserta didik diharapkan mampu mengimplementasikan penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang saling terintegrasi satu sama lain. Hasil akhirnya diharapkan implementasi kurikulum ini dapat membantu siswa menjadi insan yang pandai bersyukur, berjiwa sosial tinggi, cerdas, mandiri, dan kreatif ( soft skill dan hard skill seimbang).

Pada beberapa jurnal dan penelitian ilmiah, pengggunaan pendekatan saintifik dalam pembelajaran di sekolah umum dengan peserta didik non tunagrahita telah terbukti berhasil untuk meningkatkan motivasi maupun hasil belajar anak. Menurut Deden (2015) Dengan pendekatan saintifik peserta didik akan lebih tertarik untuk belajar, dengan konsep menemukan sendiri maka mereka juga dapat lebih mengingat materi yang dibahas dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pendapat serupa juga diberikan oleh Sumayasa, Marhaeni dan Dantes (2015) yang mengatakan motivasi belajar dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran saintifik (kelompok eksperimen) hasilnya lebih baik daripada siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional (kelompok kontrol).

Namun, pada anak tunagrahita yang mengalami hambatan khususnya yang berkenaan dengan perhatian atau konsentrasi, ingatan, berbicara dengan bahasa yang benar, dan dalam kemampuan akademiknya, pendekatan saintifik yang menekankan pada keterlibatan peserta didik secara aktif sepanjang kegiatan pembelajaran, mungkin akan

(3)

58 nampak rumit bagi anak tunagrahita. Oleh karena itu, kurikulum 2013 yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan khusus membutuhkan modifikasi yang disesuaikan dengan ragam hambatan yang dialami peserta didik yang bervariasi, sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didikterutama pada anak tunagrahita. Model pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik dan dapat mengakomodir segala kebutuhan dan kekhasan yang ada pada setiap individu.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti pada seorang guru di SLB C YPAC Semarang menyebutkan bahwa motivasi belajar siswa masih rendah. Siswa juga kurang bersemangat untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Rendahnya motivasi belajar siswa tersebut mengakibatkan hasil belajar yang rendah pula pada anak. Motivasi belajar juga berpengaruh terhadap hasil belajar. Siswa yang mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung memiliki hasil belajar yang baik. Begitu juga sebaliknya, siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah cenderung memiliki hasil belajar yang kurang baik. Hasil belajar akan menjadi lebih optimal jika disertai dengan motivasi belajar yang baik. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi siswa (Sardiman, 2012).

Temuan pada observasi peneliti menunjukkan bahwa pola pembelajaran di kelas sebagian besar guru masih mengandalkan pada metode ceramah. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, hanya 5-10 menit anak dapat berkonsentrasi pada pelajaran yang disampaikan oleh guru, setelah ituanak mengalami kejenuhan dan tidak lagi memperhatikan pelajaran yang disampaikan. Mereka melampiaskannya dengan mengobrol, berbaring di lantai bahkan ada yang keluar dari kelas. Menanggapi masalah tersebut, pendekatan dapat dikembangkan melalui teknik pembelajaran kreatif, inovatif dan menyenangkan yang cocok untuk mengatasi kejenuhan anak.

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa adalah dengan menggunakan ice breaker. Icebreaker adalah pemecah kebekuan fikiran atau fisik siswa agar proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Penggunaan ice breaker dalam pembelajaran akan sangat membantu dalam menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis (Sunarto, 2012).

(4)

59 Ice breaker sangat diperlukan dalam proses pembelajaran di kelas untuk menjaga stamina emosi dan kecerdasan berfikir siswa. Ice breaker diberikan untuk memberikan rasa gembira yang bisa menumbuhkan sikap positif siswa dalam proses pembelajaran. Suasana belajar yang menyenangkan dan penuh semangat tentu tidak terjadi begitu saja, tetapi harus direncanakan dengan baik oleh guru. Untuk menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan selain membuat skenario pembelajaran yang dapat melibatkan seluruh siswa aktif, tentu akan sangat membantu jika para guru bisa menggunakan ice breaker sebagai alat untuk menciptakan nuansa kegembiraan.

Hasil penelitian ini diharapkan keakraban antar siswa, maupun antara guru dan siswa (Sunarto, 2012). Hasil penelitian pada model pembelajaran melalui pendekatan saintifik berbasis ice breaker diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar bagi anak tunagrahita ringan. Secara khusus penelitian ini bertujuan :1) Untuk mengetahui model pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang dijalankan oleh guru bagi anak tunagrahita ringan pada saat ini, 2) Untuk mengetahui gambaran motivasi belajar anak tunagrahita ringan pada saat ini, 3) Untuk mengetahui gambaran hasil belajar anak tunagrahita ringan pada saat ini, 4) Untuk mengetahui model pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis ice Breaker yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar bagi anak tunagrahita ringan, 5) Untuk mengetahui model pembelajaran dengan pendekatan saintifik dengan berbasis ice breaker efektif untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar anak tunagrahita ringan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di SLB C YPAC Semarang dengan pendekatan kualitatif. Kajiannya ditekankan pada aspek pengembangan model pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang dapat meningkatkan memotivasi siswa untuk yang bisa menumbuhkan sikap positif siswa dalam proses pembelajaran. Teknik cuplikan yang digunakan didasarkan pada konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik dan lain-lainnyan (Sutopo, 2006).

Beberapa sumber data yang dipilih sebagai sampling dalam penelitian meliputi informan, tempat/ peristiwa dan dokumen didasarkan dengan teknik purposive sampling. Adapun sampel penelitian adalah berupa orang (guru dan siswa) dan atau benda seperti silabus serta materi pembelajaran. Teknik untuk melangkapi data hasil pengamatan adalah wawancara mendalam.

(5)

60

Validitas dilakukan dengan tiga cara yaitu: (1) tringulasi sumber, (2) recheck, (3) peer debriefing. Tringulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan data informasi terhadap berbagai sumber data berbeda mengenai masalah yang sama. Recheck dilakukan dengan cara meneliti ulang data informasi dari para informan agar diperoleh perbaikan atau kebenrana data terhadap berbagai sumber informasi yang salah dan tidak lengkap dari hasil informasi sebelumnya. Peer debriefing, yaitu mendiskusikan hasil penelitian dengan personal yang sebanding (setara pengetahuan) untuk memperoleh kritikan dan pertanyaan tajam yang menentang tingkat kepercayaan terhadap kebenaran penelitian, dengan demikian peneliti sebagai instrumen penelitian senantiasa melakukan koreksi secara terus menerus mengenai hasil penelitian yang telah dihimpun. (Nasution, 1988:116).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian telah dilaksanakan selama kurun waktu 1 bulan, yaitu pada bulan April 2016 di SLB C YPAC Semarang. Berdasarkan penelitian permasalahannya dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Model pembelajaran yang dijalankan oleh guru bagi anak tunagrahita ringan pada saat ini.

Model pembelajaran yang digunakan di SLB C YPAC Semarang adalah pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Dalam pengembangan silabus kurikulum 2013, setiap satuan pendidikan diberikankebebasan dan keleluasaan dalam mengembangkanya disesuaikan dengan kebutuhan masing masing sekolah. Prinsip ini belum dilaksanakan oleh guru untuk anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang. Dalam pengembangan silabus guru masih mengadopsi silabus dari hasil rapat KKG/KKS. Selanjutnya model silabus tersebut ditelaah dan disesuaikan dengan kondisi sekolah. Apabila silabus tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa maka akan direvisi dan disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Untuk penyusunan rencana Pelaksanaan model pembelajaran (RPP) guru berpedoman pada silabus yang telah disediakan oleh KKG/KKS. Dalam silabus tersebut sudah disediakan pemetaan KI/KD setiap mata pelajaran

(6)

61

yang akan dalam hal ini media tersebut harus memilki kegunaan yang dapat dimanfaatkan olehberbagai bidang studi yang terkait dan terpadu.

Penggunaan metode pembelajaran yang dipakai guru dalam pembelajaran saintifik bagi siswa tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang dapat dideskrisikan guru berorientasi pada metode ceramah dan pemberian tugas. Sehingga pembelajaran yang dilaksanakan kurang menarik perhatian siswa. Dalam penerapannya, kurikulum 2013 memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk dapat memperkaya pengetahuan dari berbagai sumber, seperti buku, internet, dan lingkungan sosial masyarakat. Peran guru dalam kurikulum 2013 hanya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, yang fungsinya mengarahkan peserta didik untuk mencapai target pembelajaran sesuai dengan yang ditetapkan. Hasil akhir yang diharapkan dari model pembelajaran yang aktif, kreatif, dan gembira ini adalah para peserta didik terpacu untuk meningkatkan kemampuannya di bidang sains, matematika, dan membaca.

Namun, pada anak tunagrahita yang mengalami hambatan khususnya yang berkenaan dengan perhatian atau konsentrasi, ingatan, berbicara dengan bahasa yang benar, dan dalam kemampuan akademiknya, pendekatan saintifik yang menekankan pada keterlibatan peserta didik secara aktif sepanjang kegiatan pembelajaran, mungkin akan nampak rumit bagi anak tunagrahita. Oleh karena itu, kurikulum 2013 yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan khusus membutuhkan modifikasi yang disesuaikan dengan ragam hambatan yang dialami peserta didik yang bervariasi, sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didikterutama pada anak tunagrahita. Model pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus disusun secara khusus melalui penggalian kemampuan diri peserta didik dan dapat mengakomodir segala kebutuhan dan kekhasan yang ada pada setiap individu.

Menurut Mulyasa (2014) kunci sukses pembelajaran dengan pendekatan saintifik ada beberapa faktor yaitu:

a) Kepemimpinan Kepala Sekolah

Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor penentu yang dapat menggerakkan semua sumber daya sekolah untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan terprogram.

(7)

62

b) Kreativitas guru

Guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya siswa dalam belajar. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang berbasis karakter dan kompetensi, antara lain ingin mengubah pola pendidikan sebagai sebuah proses yang dalam pembelajarannya harus sebanyak mungkin melibatkan melibatkan siswa agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi dan kebenaran ilmiah. Dalam kerangka inilah perlunya kreativitas guru, agar mereka mampu menjadi fasilitator dan mitra belajar bagi siswa. Tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada siswa, tetapi harus kreatif memberikan layanan dan kemudahan belajar kepada seluruh siswa agar mereka belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas dan berani mengemukakan pendapat secara terbuka.

c) Aktivitas peserta didik

Dalam rangka mendorong dan mengembangkan aktivitas peserta didik, guru harus mampu mendisiplinkan peserta didik, terutama disiplin diri. Guru harus mampu membantu peserta didik mengembangkan pola perilakunya, meningkatkan standar perilakunya, dan melaksanakan aturan sebagai alat untuk menegakkan disiplin dalam setiap aktivitasnya. Untuk mendisiplinkan diri perlu dimulai dengan prinsip yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yakni sikap demokratis sehingga peraturan disiplin perlu berpedoman pada hal tersebut. dalam hal ini guru harus mampu memerankan diri sebagai pengemban ketertiban, yang patut ditiru dan diteladani serta tidak otoriter.

d) Sosialisasi Kurikulum 2013

Sosialisasi sangat penting dilakukan, agar semua pihak yang terlibat dalam implementasinya di lapangan paham dengan perubahan yang harus dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing, sehingga mereka memberikan dukungan terhadap perubahan kurikulum yang dilakukan. Dalam hal ini sebaiknya pemerintah memberikan grand

(8)

63

design yang jelas dan menyeluruh, agar konsep kurikulum yang diimplementasikan dapat dipahami oleh para pelaksana secara utuh, tidak ditangkap secara parsial, keliru atau salah paham.

e) Fasilitas dan sumber ajar

Dalam pengembangan fasilitas dan sumber ajar, guru di samping harus mampu membuat sendiri alat pembelajaran dan alat peraga juga harus berinisiatif mendayagunakan lingkungan sekitar sekolah sebagai sumber ajar yang lebih konkret. Pendayagunaan lingkungan sebagai sumber ajar misalnya memanfaatkan bebatuan, tanah, tumbu-tumbuhan, keadaan alam, pasar, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya kehidupan yang berkembang di masayarakat.

f) Lingkungan yang kondusif akademik

Lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari seluruh warga sekolah, kesehatan sekolah, serta kegiatan-kegiatan yang terpusat pada peserta didik merupakan iklim yang membangkitkan nafsu, gairah dan semangat belajar. Iklim belajar yang kondusif merupakan tulang punggung dan faktor pendorong yang dapat memberikan daya tarik sendiri bagi proses belajar, sebaliknya iklim belajar yang kurang menyenangkan akan menimbulkan kejenuhan dan rasa bosan.

2. Gambaran motivasi belajar anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang.

Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa motivasi belajar pada anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang cenderung rendah. Motivasi belajar yang rendah menyebabkan siswa menjadi kurang bersemangat dalam belajar terlebih dengan karakteristik anak tunagrahita yaitu keterlambatan dalam proses berfikir, maka karakteristik anak tunagrahita berdampak pada keseluruhan perilaku dan pribadinya, termasuk dalam pencapaian hasil belajarnya. Menurut pendapat Schunk, Pintrich, dan Meece (2012:6) “Motivasi merupakan sebuah

(9)

64

proses diinisiasikannya dan dipertahankannya aktivitas yang diarahkan pada pencapaian tujuan.” Ini berarti motivasi menyangkut berbagai tujuan yang memberikan daya penggerak dan arah bagi tindakan. Mengawali pencapaian sebuah tujuan merupakan sebuah proses penting dan sering kali sulit. Akan tetapi, proses-proses motivasi seperti pengharapan, persepsi penyebab, emosi, dan afek membantu invidu mengatasi kesulitan dan mempertahankan motivasi.

Menurut Slameto (2003:2) Belajar adalah “Suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”

Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik (Uno, 2006).

Slameto (2010: 54) berpendapat bahwa ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi minat belajar, yakni faktor jasmani, faktor psikologis, dan faktor kelelahan. Beberapa hal yang harus dikuasai anak tunagrahita dalam motivasi belajar yaitu ketekunan belajar, keuletan dalam belajar, minat/perhatian dalam belajar, tidak bosan belajar, belajar dan senang belajar. Berdasarkan keterbatasan tersebut maka diperlukan pelayanan pendidikan khusus untuk mengembangkan motivasi anak.

3. Gambaran hasil belajar anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang

Berdasarkan penelitian, menunjukan bahwa hasil belajar anak tunagrahita ringan di SLB C YPAC Semarang rendah. Hal ini ditunjukkan dari penilaian hasil belajar pada anak tunagrahita ringan yang hampir semua tidak mencapai Standar Kelulusan Batas Minimum (SKBM) yang ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sekolah tidak menentapkan SKBM (standar kelulusan batas minimum) kepada siswa dengan alasan memperhatikan kemampuan yang dimiliki

(10)

65

siswa.Apabila SKBM ditetapkan sesuai aturan maka akan banyak siswa yang tidak naik kelas sedangkan usia mereka sudah besar.

Ada keterkaitan langsung antara kemampuan intelektual dengan hasil belajar pada anak. Menurut Edgar dalam Efendi (2006) mengatakan bahwa sesorang dikatakan tunagrahita jika (1) secara sosial tidak cakap, (2) secara mental di bawah anak normal sebayanya, (3) Kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda dan (4) kematangannya terhambat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tunagrahita adalah anak yang memiliki tingkat intelektual yang rendah yaitu dibawah 70, karena ketunagrahitaanya tersebut berdampak pula pada keterbatasan kecerdasannya, maupun keterlambatan dalam sosial, akademik dan tingkat kematangan dari seorang anak tunagrahita.

Keterbatasan kecerdasan yang dimiliki anak tunagrahita menjadi kendala utama dalam belajar. Materi pembelajaran bagi anak tunagrahita harus dirinci dan sedapat mungkin dimulai dari hal-hal konkrit, mengingat mereka mengalami keterbatasan dalam berfikir abstrak. Materi yang bersifat akademik juga diberikan pada anak tunagrahita. Namun, hanya anak tunagrahita dengan kategori ringan yang masih mendapatkan pembelajaran akademik di sekolah. Walaupun begitu, mereka tetap memiliki kemampuan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan anak yang memiliki tingkat intelegensi normal atau diatas rata-rata.

4. Model pembelajaran dengan pendekatan saintifik berbasis Ice Breaker yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar bagi anak tunagrahita ringan.

Teknik pembelajaran Ice Breaker mengutamakan suasana belajar-mengajar yang ceria, semangat, dan tidak membosankan yang dilakukan secara individual dan kelompok. Memang, ice breaker ini biasanya dipakai pada saat penataran atau diklat. Namun, ice breaker juga sangat baik diterapkan pada saat proses pembelajaran.

Chlup and Collin (2009) berpendapat bahwa:

Icebreaker activities, as the name implies help "break the ice" in various ways. They help group members get acquainted and begin conversations, relieve inhibitions or tension between people, allowing those involved to build trust with and feel more open to one another. Icebreakers encourage

(11)

66

participation by all, helping a sense of connection and shared focus to develop.

Artinya adalah kegiatan Ice breaker, seperti namanya membantu "memecahkan es" dalam berbagai cara. Mereka membantu anggota kelompok berkenalan dan mulai percakapan, meredakan hambatan atau ketegangan antara orang-orang, yang memungkinkan mereka yang terlibat untuk membangun kepercayaan dengan dan merasa lebih terbuka satu sama lain. Ice breaker mendorong partisipasi dari semua, membantu rasa saling membutuhkan dan mengembangkan kefokusan.

Penggunaan Ice breaker dalam pembelajaran dimaksudkan untuk memecahkan kejenuhan dan kebosanan di saat pembelajaran tengah berlangsung. Hal ini sesuai dengan fungsi Ice Breaker dalam pembelajaran menurut Pramudyo (2007) yaitu:

a) Membuat anak saling mengenal dan akan menghilangkan jarak mental sehingga suasana menjadi benar-benar rileks, cair dan mengalir,

b) Mengarahkan atau memfokuskan peserta pada topik pembahasan atau pembicaraan,

c) Dapat digunakan sebagai daya pembangkit (energizer),

d) Menghidupkan anak. Hal ini terutama bila anak menunjukkan gejala bosan, jenuh, capai atau mengantuk,

e) Memotivasi anak untuk melanjutkan pembelajaran berikutnya, f) Membantu memahami masalah,

g) Mempercepat proses pembelajaran, h) Membantu memahami orang lain.

5. Model pembelajaran dengan pendekatan saintifik / berbasis ice breaker efektif untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar anak tunagrahita ringan.

Tujuan utama ice breaker dalam pembelajaran adalah untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa. Dengan dilakukannya ice breaker motivasi siswa menjadi tinggi, sehingga mempunyai rasa senang dalam mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, penggunaan ice breaker dalam pembelajaran perlu mempertimbangkan beberapa prinsip yaitu; efektivitas, motivate, sinkronized,

(12)

67

tidak berlebihan, tepat situasi, tidak mengandung unsur SARA, serta tidak mengandung unsur pornografi.

Jenis ice breaker yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar anak menurut Sunarto (2012:110) adalah:

a) Jenis Yel-yel b) Jenis tepuk c) Jenis lagu d) Jenis game e) Dan jenis cerita

Ice breaker dalam pembelajaran dapat dilakukan secara spontan, pada awal pelajaran, inti proses pembelajaran, maupun pada akhir pembelajaran.

a) Penerapan ice breaker secara spontan dalam proses pembelajaran

Ice breaker dapat dilakukan secara spontan tanpa persiapan sebelumnya. Seorang guru yang tanggap terhadap kondisi siswa tentu akan segera mengambil tindakan terhadap kondisi dan situasi pembelajaran yang kurang kondusif selama proses pembelajaran berlangsung. Ice breaker diberikan spontan dalam pembelajaran dengan tujuan:

(1) Memusatkan perhatian siswa kembali

(2) Memberikan semangat baru pada saat siswa mencapai titik jenuh (3) Mengalihkan perhatian terhadap fokus materi pelajaran yang berbeda

b) Ice breaker di awal kegiatan pembelajaran

Pada saat mengawali proses pembelajaran seorang guru harus melaksanakan beberapa hal yang berkaitan dengan “kesiapan mental” anak didik dalam mengikuti proses pembelajaran yang akan berlangsung. Dalam rangka menyiapkan kondisi tersebutselain melakukan apersepsi, guru dapat memulai proses pembelajaran dengan ice breaker. Kelebihan-kelebihan ice breaker pada awal kegiatan pembelajaran adalah:

(1) Ice breaker dapat terpilih secara lebih tepat, baik dalam menyesuaikan materi maupun ketepatan memilih prinsip penggunaan ice breaker

(13)

68

(2) Ada kesempatan bagi guru untuk belajar terhadap ice breaker yang akan disampaikannya

(3) Ice breaker dapat dipersiapkan lebih sinkron dengan strategi pembelajaran yang dipilih guru saat itu

(4) Ice breaker terasa lebih menyatu dengan proses pembelajaran

c) Ice breaker pada inti kegiatan pembelajaran

Pada kegiatan inti pembelajaran merupakan waktu yang krusial dimana siswa harus terus memusatkan perhatiannya selama pembelajaran berlangsung. Waktu yang begitu panjang untuk terus berkonsentrasi pada hal yang sama adalah hal yang sangat sulit, untuk itu dibutuhkan ice breaker untuk memceahkan kejenuhan tersebut. Penggunaan ice breaker pada inti pembelajaran dilakukan dengan ketentuan-ketentuan berikut:

(1) Ice breaker digunakan pada saat pergantian sesi atau pergantian kegiatan,

(2) Ice breaker digunakan pada saat anak mengalami kejenuhan atau kebosanan pada saat belajar,

(3) Ice breaker digunakan untuk memberikan penguatan materi yang sedang diberikan.

d) Ice breaker pada akhir kegiatan

Walaupun pelajaran sudah selesai ice breaker masih dianggap perlu. Ice breaker diakhir pembelajaran berfungsi untuk :

(1) Memberikan penguatan tentang pemahaman konsep pelajaran yang baru saja dilaksanakan,

(2) Mengakhiri kegiatan dengan penuh kegembiraan,

(3) Memotivasi siswa untuk selalu senang mengikuti pelajaran berikutnya.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pembelajaran selama di lapangan telah ditemukan masalah-masalah yaitu:

(14)

69

1. Perbedaan tunagrahita dengan anak normal dalam proses belajar adalah terletak pada hambatan dan amsalah atau karakteristik belajarnya. Perbedaan karakteristik belajar anak tunagrahita dengan anak sebayanya, anak tunagrahita mengalami masalah pada tingkat kemahiran dalam memecahkan masalah, melakukan generalisasi dan mentransfer sesuatu yang baru, minat dan perhatian terhadap penyelesaian tugas.

2. Model pembelajaran yang diberlakukan saat ini menggunakan pembelajaran dengan pendekatan saintifik namun belum dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan khusus anak tunagrahita ringan.

3. Karakteristik yang dimiliki oleh anak tunagrahita ringan, berdampak pada rendahnya motivasi dan hasil belajar pada anak tunagrahita ringan.

4. Guru mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekaan saintifik ini disebabkan kurangya pemahaman guru dalam melaksanakan pembelajaran ini.

5. Teknik pembelajaran Ice Breaker dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar pada anak tunagrahita ringan. Ice breaker mengutamakan suasana belajar-mengajar yang ceria, semangat, dan tidak membosankan yang dilakukan secara individual dan kelompok.

Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dapat diperoleh suatu kesimpulan sebagaimana telah diuraikan diatas, untuk itu peneliti mengajukan beberapa saran yang mungkin bermanfaatkan bagi berbagai pihak.

1. Kepala Sekolah, dengan adanya penelitian ini hendaknya kepala sekolah dapat memotivasi dan memfasilitasi guru – gurunya untuk mengikuti pelatihan -pelatihan yang berkaitan dengan pembelajaran

(15)

70

saintifik ini sendiri. Baik itu tentang perencanaanya, pelaksanaan, maupun penilaianya.

2. Guru hendaknya bisa lebih aktif dalam mencari informasi yang berkaitan dengan pembelajaran dengan pendekatan saintifik . Baik itu aktif dalam mengikuti kegiatan yang dilaksanakan KKG, agar bisa membahas secara bersama-sama bagaimana bentuk pelaksanaan model pembelajaran tematik bagi siswa tunagrahita ringan di sekolah-sekolah luar biasa yang ada.

3. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya maupun masyarakat. Dalam hal ini peserta didik semestinya menerima pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis, dan menyenangkan.

4. Pelaksanaan pembelajaran memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik. Pembelajaran dilaksanakan dalam suasana hubungan yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira, dan berbobot.

DAFTAR PUSTAKA

Chlup, Dominique; Tracy E. Collins. (2014).Breaking the Ice: Using Ice-Breakers and Re-Energizers with Adult Learners. Adult Learning. Hal. 35A- 39A.https://learningtrendz.files.wordpress.com/2014/06/collins-chlup-breaking-the-ice.pdf

Deden. (2015). Penerapan Pendekatan Saintifik Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri Pada Mata Pelajaran Ekonomi. Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015. Universitas Negeri Surabaya. 98-107.

Effendi, Mukhlison. (2006). Ilmu Pendidikan. Jogjakarta: Nadi Ofset.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Depdikbud.

(16)

71

Mulyasa. (2014). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Nasution. 2003. Metode Research, Jakarta : PT. Bumi Aksara

Sardiman. (2012). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Schunk, Dale; Paul, R; Judith, L. (2012). Motivasi dalam Pendidikan. Jakarta: Indeks.

Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumayasa, I Nyoman; A.A.I.N.Marhaeni; Nyoman Dantes. (2015). Pengaruh Implementasi Pendekatan Saintifik Terhadap Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas Vi Di Sekolah Dasar Se Gugus Vi Kecamatan Abang, Karangasem. e- Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan Dasar. Volume 5. hal 1-11.

Sunarto.(2012).Ice breaker Dalam Pembelajaran Aktif. Cakrawala Media: Surakarta.

Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS.

Uno, H. B. (2006). Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara.

Referensi

Dokumen terkait

Jane dan Elizabeth sebagai karakter-karakter dalam Pride Prejudice yang ditulis oleh Jane Austen mewakili semangat untuk menjadi wanita yang tidak bergantung. Jane dan

Puji syukur atas karunia yang Allah swt berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang- Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Hal ini dapat dicontohkan antara dua teori hubungan internasional yang berlawanan yaitu liberalisme dengan realisme, yang dalam prosesnya tentu memberikan

Pencapaian masing-masing variabel input meliputi: dana kapitasi dengan pencapaian 32.2% dimana dana kapitasi puskesmas Utan adalah paling besar diantara puskesmas

Abstract: The purpose of the research were to analyze the level of achievement of islamic management on beef cattle development program of Lembaga Mandiri Mengakar

Hasil analisis regresi mengenai Pengaruh Country of Origin, Brand Image, dan Perceived Quality terhadap Minat Beli produk Toyota menunjukan bahwa seluruh variabel

Service desk management system adalah layanan berupa sistem yang bertujuan agar pegawai perusahaan dapat meminta bantuan secara terkomputerisasi serta pegawai

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk tindakan-tindakan selanjutnya terhadap implementasi Hubungan Investor (Investor Relations)