• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN SOAL MATEMATIKA UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN SOAL MATEMATIKA UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMA."

Copied!
239
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu proses dan tujuan yang penting dalam pembelajaran di sekolah adalah mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Menurut Abidin (2016: 1), kompetensi yang seharusnya dicapai dalam pendidikan abad ke-21 antara lain kemampuan berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi dan berkomunikasi, serta mampu menguasai media teknologi informasi dan komunikasi. Apabila kemampuan berpikir kritis dikembangkan, seseorang akan cenderung mencari kebenaran, berpikir terbuka, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir sistematis, mantap dalam menyampaikan pendapat dan alasannya, punya rasa ingin tahu yang tinggi, dan dapat mengambil keputusan dengan baik (Facione, 2013: 23). Seseorang yang berpikir secara kritis juga akan dapat menjawab permasalahan-permasalahan dengan baik. Namun, berpikir kritis tidak hanya berpusat pada menjawab pertanyaan, tetapi juga mempertanyakan kembali jawaban yang sudah ada. Selain itu, orang yang berpikir kritis dapat menggunakan ide abstrak untuk membuat model penyelesaian masalah nyata secara efektif.

(2)

2 untuk masyarakat, apalagi siswa sekolah. Pemerintah sulit membatasi dan menyaring berbagai informasi yang masuk. Maka dari itu, siswa perlu dibekali kemampuan berpikir kritis agar dapat menyaring informasi tersebut secara mandiri.

Matematika merupakan salah satu sarana yang tepat untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa di sekolah. Matematika banyak mengandalkan kemampuan berpikir, mulai dari hal yang konkret hingga abstrak. Menurut Kowiyah (2012: 176), belajar matematika pada hakikatnya berkenaan dengan stuktur dan ide abstrak yang disusun secara sistematis dan logis melalui proses penalaran deduktif. Selain itu, Santrock (2011: 223) juga menyampaikan bahwa kemampuan matematika merupakan salah satu dasar bagi pengembangan kemampuan berpikir kritis pada masa remaja. Senada dengan hal itu, Sembiring (2010: 1) juga menyatakan bahwa dengan belajar matematika siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikirnya, karena matematika melibatkan dan membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis dan kreatif.

(3)

3 dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah merupakan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa di berbagai mata pelajaran. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan sudah seharusnya mampu menunjukkan hasil memuaskan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki pola pemikiran kritis.

Akan tetapi, kebiasan melatih kemampuan berpikir kritis belum sepenuhnya diterapkan kepada siswa sekolah. Menurut Jacqueline dan Brooks (1993), sedikit sekolah yang mengajarkan siswanya untuk berpikir kritis. Sekolah justru mendorong siswa untuk memberi jawaban tunggal yang benar secara imitatif daripada mendorong mereka memunculkan ide-ide baru atau memikirkan ulang kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada. Kecenderungan di lapangan menunjukkan, guru lebih sering meminta siswa untuk membaca, mendefinisikan, mendeskripsikan, menyatakan, dan mendaftar daripada menganalisis, menarik kesimpulan, menghubungkan, mensintesis, mengevaluasi, mengkritik, mengkreasi, dan memikirkan ulang. Akibatnya beberapa sekolah meluluskan siswa dengan tingkat berpikir rendah.

(4)

4 Kebanyakan soal ujian lebih difokuskan pada pengetahuan dan keahlian yang cenderung mudah daripada kemampuan kognitif yang lebih kompleks (Quality Counts, 2001: 36). Sebagian besar soal ujian yang sering digunakan di sekolah berbentuk pilihan ganda. Hal ini memungkinkan siswa untuk sekadar menebak jawaban. Sedangkan untuk mengukur kemampuan berpikir diperlukan alasan dan sumber informasi yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Soal pilihan ganda juga lebih menuntut daya ingat siswa, sehingga soal tersebut kurang mampu mengukur kemampuan proses mental yang lebih tinggi (Arikunto, 2013: 180).

Menurut Hendriana (2009: 3), pada saat pembelajaran matematika, siswa cenderung hanya mencatat cara guru menyelesaikan soal latihan. Sehingga, siswa akan kebingungan ketika menjumpai soal yang berbeda dengan soal latihan. Senada dengan hal itu, Rohaeti (2008: 2) mengemukakan bahwa siswa lebih suka menghafalkan rumus dan langkah penyelesaian dari soal yang telah dikerjakan guru atau yang terdapat dalam buku pegangan. Maka dari itu, menghafal bukan merupakan cara yang tepat dalam belajar matematika. Matematika akan dapat dipelajari dengan baik jika siswa lebih banyak mengerjakan soal yang bervariasi.

(5)

5 Kemudian siswa dan guru memecahkan masalah tersebut sambil membahas teori, definisi maupun rumus matematikanya bersama-sama (Shadiq, 2008: 26). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Winn (2004: 497) bahwa jika guru ingin mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswanya, maka sudah seharusnya guru lebih banyak memberikan latihan soal daripada sekadar penjelasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Osborne (2010) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mendorong siswa berpikir kritis adalah menyajikan permasalahan yang dapat dilihat dari berbagai sisi. Hal ini dapat memotivasi siswa untuk menggali dan meneliti masalah lebih dalam.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap guru matematika di SMA N 1 Boyolali, diperoleh hasil bahwa soal yang digunakan untuk Ulangan Harian (UH), Ujian Tengah Semester (UTS), dan Ujian Akhir Semester (UAS) belum teruji kualitasnya. Sebagian besar soal disusun hanya beberapa hari sebelum tes dilaksanakan. Soal yang digunakan diambil dan diadaptasi dari buku pegangan dan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang beredar. Soal yang ditujukan khusus untuk mengukur kemampuan berpikir kritis belum pernah disusun. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan guru dalam hal waktu dan tenaga.

(6)

6 hasil pembelajaran. Judul penelitian yang diangkat adalah “Pengembangan Soal Matematika untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMA.

B. Identifikasi Masalah

Kemampuan berpikir matematis siswa yang kurang dilatih dalam proses pembelajaran matematika di sekolah merupakan permasalahan utama dalam kajian penelitian ini. Hal ini terjadi karena apa yang disajikan kepada siswa kurang memotivasi mereka untuk berpikir lebih mendalam dan mendorong mereka dapat secara bebas untuk memandang suatu permasalahan dari berbagai sudut.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, muncul beberapa masalah yang memperkuat permasalahan tersebut untuk diteliti. Adapun identifikasi masalah dari judul yang penulis pilih adalah sebagai berikut:

1. Berpikir kritis merupakan salah satu tujuan dalam pembelajaran matematika, namun proses pembelajaran di sekolah masih belum sepenuhnya merangsang kemampuan berpikir kritis.

2. Soal yang digunakan guru di sekolah belum mengukur kemampuan berpikir kritis.

(7)

7 C. Batasan Masalah

Untuk memfokuskan masalah yang akan dikaji, maka dalam penelitian ini akan dibatasi pada:

1. Soal matematika yang dikembangkan dalam penelitian ini berbentuk uraian yang mencakup topik aritmatika dan aljabar sederhana.

2. Uji coba soal matematika dilakukan pada siswa kelas XI SMA N 1 Boyolali kelompok matematika dan ilmu alam (MIA).

3. Kriteria instrumen evaluasi yang baik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi aspek validitas isi, validitas konstruk, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya beda butir soal.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah instrumen evaluasi yang dikembangkan memenuhi kriteria sebagai instrumen evaluasi yang baik dalam mengukur kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMA kelas XI?

E. Tujuan penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk:

(8)

8 2. mendeskripsikan kualitas instrumen evaluasi matematika untuk

mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA kelas XI.

F. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dikembangkan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya:

1. Bagi siswa, penelitian ini memberikan kesempatan untuk lebih tertarik dan semangat dalam mengerjakan latihan-latihan soal matematika.

2. Bagi guru, penelitian ini sebagai masukan dan pertimbangan jenis tes dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan sumbangan dalam rangka peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada siswa.

(9)

9 bulat mengenai pengertian matematika. Sebagaimana musik yang tidak hanya sekadar bernyanyi, matematika juga tidak hanya sekadar berhitung menggunakan rumus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), matematika diartikan sebagai ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Sedangkan, Downing (2009: 205) menyampaikan dalam bukunya, Dictionary of Mathematics Terms, bahwa matematika merupakan studi berkelanjutan mengenai struktur dan pola dari hal-hal yang sebenarnya ada namun abstrak. Dan dalam Oxford Dictionaries, matematika didefinisikan sebagai “the abstract science of

number, quantity, and space” atau dapat diartikan sebagai ilmu yang bersifat abstrak mengenai bilangan, kuantitas, dan ruang.

(10)

10 seseorang ketika ia mengerjakan soal matematika dan belajar pelajaran lain yang menjadikan matematika sebagai dasarnya. Sehingga, banyak orang mempertanyakan untuk apa sebenarnya mereka belajar matematika.

Anggapan atau persepsi seseorang terhadap matematika akan mempengaruhi bagaimana cara orang tersebut dalam belajar dan mengajarkan matematika. Menurut Shadiq & Mustajab (2011: 25), secara umum teori belajar dibedakan menjadi dua, yaitu teori belajar tingkah laku dan teori belajar kognitif. Penganut teori belajar tingkah laku meyakini bahwa proses pembelajaran terjadi melalui hubungan antara stimulus dan respons. Penganut teori belajar ini berpendapat bahwa hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat apabila interaksi antara keduanya semakin sering terjadi (law of exercise). Mereka mengibaratkan belajar seperti berlubangnya sebuah batu ketika ditetesi air secara terus menerus. Sedangkan penganut teori belajar kognitif lebih fokus pada proses mengaitkan antara pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang di dalam struktur kognitifnya dengan pengalaman barunya. Teori ini menekankan pada makna dari proses internal manusia. Dengan kata lain, tingkah laku yang nampak pada proses belajar tidak dapat diukur maupun dijelaskan tanpa melibatkan proses mental (Sugihartono, 2007: 104).

(11)

11 terdapat 4 hakikat matematika di sekolah, yaitu: (1) matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan, (2) matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah, (3) matematika sebagai sarana untuk mengomunikasikan ide dan informasi, dan (4) matematika sebagai suatu kegiatan yang memerlukan kreativitas, imajinasi, intuisi, dan penemuan.

Di sekolah, siswa juga tidak hanya sekadar mempelajari angka maupun simbol-simbol. Menurut Robert M. Gagne (Shadiq & Mustajab, 2011: 10), terdapat dua macam objek matematika, yaitu objek langsung dan tidak langsung. Objek langsung terdiri dari: (1) fakta, yang berarti konvensi atau kesepakan, seperti simbol-simbol matematika, (2) konsep atau ide abstrak yang digunakan untuk mengelompokkan suatu objek dan kejadian, (3) prinsip, yang berarti kumpulan dari beberapa konsep berikut kaitannya, dan (4) keterampilan. Sedangkan objek tidak langsung meliputi hal-hal yang mempengaruhi hasil belajar, misalnya kemampuan memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan, dan ketelitian. Dengan kata lain, objek tak langsung berupa kemampuan yang dipelajari siswa ketika mereka belajar objek langsung.

2. Pendidikan Matematika

(12)

12 Pendidikan lebih condong kepada pembentukan karakter seseorang, sedangkan pembelajaran condong kepada pembentukan kecerdasan.

Menurut PPPPTK Matematika (2011), pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yaitu: (1) tujuan bersifat formal, yaitu penataan nalar anak sebagai cara pembentukan pribadi anak; dan (2) tujuan yang bersifat material, yaitu memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Secara lebih rinci, NCTM (2000) mengemukakan bahwa tujuan belajar matematika adalah agar siswa mampu: (1) memecahkan masalah (problem solving); (2) bernalar dan membuktikan sesuatu (reasoning and proof); (3) belajar berkomunikasi (communication); (4) menemukan

hubungan dari berbagai hal (connections); dan merepresentasikan sesuatu (representations). Selaras dengan hal tersebut, berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tujuan diadakannya pendidikan matematika adalah agar siswa:

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalsasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

(13)

13 matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dalam mencapai tujuan pendidikan matematika, NCTM (2000) membagi materi matematika menjadi lima, yaitu: (1) operasi bilangan; (2) aljabar; (3) geometri; (4) pengukuran; dan (5) analisis data dan peluang. Sedangkan PPPPTK Matematika (2011) membaginya menjadi: (1) bilangan; (2) pengukuran dan geometri; (3) peluang dan statistika; (4) trigonometri; (5) aljabar; dan (6) kalkulus. Tidak jauh berbeda dengan pendapat tersebut, Kemendikbud (2013) membagi cakupan materi matematika sekolah di Indonesia menjadi: (1) aljabar; (2) geometri; (3) trigonometri; (4) statistika; dan (5) kalkulus.

3. Penilaian dalam Pendidikan Matematika

Sebagian orang yang menganggap bahwa pengukuran, penilaian, dan evaluasi memiliki arti yang sama. Sehingga, penggunaannya tergantung pada kata mana yang siap diucapkan. Sedangkan, sebagian yang lain lebih memilih membedakan istilah-istilah tersebut.

(14)

14 dari pengukuran dan penilaian. Sebenarnya, ketika seseorang melakukan penilaian, maka orang tersebut secara otomatis telah melakukan pengukuran. Dengan kata lain, evaluasi dan penilaian memiliki makna yang sama.

Selain itu, Reynolds, Livingston, & Wilson (2010: 3) mengartikan penilaian sebagai langkah sistematis untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan mengenai karakteristik seseorang atau sesuatu. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penilaian dalam pendidikan adalah proses pengumpulan informasi untuk menentukan ketercapaian tujuan pendidikan dan dilanjutkan dengan tindak lanjut berdasarkan keputusan yang diperoleh. Penilaian dalam pendidikan dapat dilakukan oleh guru, lembaga pendidikan formal maupun nonformal, dan bahkan negara.

(15)

15 Menurut Purwanto (2013: 5-7), penilaian dalam pendidikan memiliki empat fungsi, antara lain: (1) untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan siswa, yang terdiri dari fungsi formatif dan sumatif; (2) untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pendidikan dan pengajaran; (3) untuk keperluan bimbingan dan konseling (fungsi diagnostik); dan (4) untuk pengembangan dan perbaikan kurikulum, baik sekolah maupun negara. Selain empat fungsi tersebut, Arikunto (2013: 18-19) menambahkan bahwa penilaian juga memiliki fungsi selektif dan penempatan. Sedangkan Reynolds, Livingston, & Wilson (2010: 21) menambahkan fungsi penentu kebijakan di tingkat sekolah, daerah, maupun nasional.

Menurut de Lange (1995) penilaian dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkatan alat penilaian yang dikembangkan, yaitu:

a. Penilaian tingkat rendah

Penilaian pada tingkat ini mencakup pengetahuan tentang objek, definisi istilah, keterampilan serta algoritma standar. Misalnya, operasi pecahan, penyelesaian persamaan linear satu variabel, menghitung rata-rata dari sekumpulan data, dan bahkan masalah sederhana sehari-hari yang sebenarnya tidak memberikan tantangan bagi siswa.

b. Penilaian tingkat sedang

(16)

16 tingkatan ini juga menuntut siswa untuk menggunakan beberapa strategi berbeda dalam menyelesaikan soal.

c. Penilaian tingkat tinggi

Penilaian pada tingkatan ini menuntut siswa untuk menggunakan kemampuan yang cukup kompleks, seperti berpikir matematis, kritis, kreatif, kemampuan interpretasi, komunikasi, refleksi, generalisasi dan matematisasi. Aspek utama dari tingkat ini adalah kemampuan siswa untuk mengkonstruksi sendiri penyelesaian yang diinginkan.

4. Instrumen Evaluasi untuk Mengukur Kemampuan Matematika Menurut Arikunto (2013: 40-63), evaluasi dalam pendidikan memiliki dua macam teknik, yaitu teknik tes dan nontes. Teknik nontes terdiri dari: (1) skala bertingkat; (2) kuisioner; (3) check list; (4) wawancara; (5) observasi; dan (6) riwayat hidup. Sedangkan tes biasanya berupa kumpulan soal yang memuat materi pembelajaran di sekolah. Dalam kaitannya mengukur pemahaman matematika, teknik tes lebih tepat daripada nontes. Hal ini dikarenakan teknik nontes cenderung diperuntukkan untuk mengukur kemampuan noneksak.

Menurut Arikunto (2013: 177), tes sendiri memiliki beberapa bentuk, diantaranya:

1) Tes subjektif

(17)

17 bentuk ini adalah: mudah disusun; lebih mampu menghindari tebakan dalam menjawab; lebih ekonomis; mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat dengan kalimatnya sendiri; dan lebih mampu mengetahui pemahaman siswa terhadap materi yang diteskan. Sedangkan kelemahan tes ini antara lain: tingkat validitas dan reliabilitasnya rendah; kurang bisa mewakili seluruh cakupan materi yang ingin diteskan; penilaiannya cenderung subjektif; dan membutuhkan waktu pemeriksaan yang lama.

2) Tes objektif

Kelebihan tes jenis ini adalah: lebih mudah dan cepat dalam pemeriksaannya; pemeriksaan dapat diwakilkan kepada orang lain; tidak adanya unsur subjektivitas dalam menilai; dan dapat mewakili cakupan materi pelajaran yang lebih luas. Sedangkan kelemahannya antara lain: lebih sulit untuk disusun; sulit mengukur kemampuan berpikir yang lebih tinggi; terdapat banyak kesempatan siswa untuk menebak jawaban; dan lebih mudah bagi siswa untuk melakukan kerjasama dalam menjawab soal.

Tes objektif memiliki beberapa macam bentuk, yaitu: a. Tes benar-salah

(18)

18 Menurut Arikunto (2013: 72), suatu tes dikatakan baik jika memenuhi beberapa persyaratan, antara lain validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas, dan ekonomis. Selain itu, syarat tes yang baik berkaitan dengan tingkat kesukaran dan daya beda soalnya. Suatu tes dikatakan valid jika tes tersebut dapat mengukur apa yang sebenarnya hendak diukur. Tes yang reliabel adalah tes yang dapat memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berulang kali. Kemudian, tes yang baik juga harus objektif, yaitu tes tersebut tidak terdapat faktor subjektif yang memengaruhi. Selain itu, suatu tes dikatakan praktis apabila tes tersebut mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan memiliki petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan oleh orang lain. Sedangkan, tes yang ekonomis adalah tes yang tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.

(19)

19 Sedangkan, jika indeksnya lebih besar dari 0,8, maka validitasnya sangat baik.

Validitas konstruk membuktikan sejauh mana korelasi antara hasil pengukuran yang diperoleh dari soal tes dengan konstruk teoretis yang menjadi dasar penyusunan tes. Pembuktian yang banyak dilakukan adalah pendekatan analisis faktor. Analisis faktor merupakan kumpulan prosedur matematis yang kompleks untuk menganalisis hubungan antarvariabel dan menjelaskan hubungan tersebut dalam bentuk kelompok variabel yang terbatas yang disebut faktor (Azwar, 2015: 121). Faktor tersebut merupakan variabel baru dan bersifat tidak dapat diketahui secara langsung (Retnawati, 2016: 20).

Analisis faktor dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu exploratory factor analysis (EFA) dan confirmatory factor analysis (CFA). EFA

dilakukan ketika ingin mencari atau mengeksplorasi model pengukuran dari konstruk instrumen. EFA membantu penyusun tes dalam mengidentifikasi faktor yang membentuk konstruk dengan cara menemukan varians skor terbesar dengan jumlah faktor paling sedikit, yang dinyatakan dalam bentuk Eigenvalues yang lebih besar dari 1. Sedangkan, CFA menindaklanjuti hasil EFA. Pada intinya, CFA menguji sejauh mana model statistik sesuai dengan data yang diperoleh (Azwar, 2015: 123).

(20)

20 kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2015: 7). Menurut Arikunto (2013: 104-122), pembuktian reliabilitas suatu tes dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain metode bentuk paralel (equivalent), tes ulang (test-retest), dan belah dua (split-half). Dalam metode paralel, pengetes harus membuat dua seri tes untuk

diujikan pada kelompok subjek yang sama. Sedangkan dalam motode test-retest, pengetes hanya memiliki satu seri tes, namun diujicobakan

dua kali. Metode ini memiliki kelemahan dimana terdapat faktor ingatan siswa terhadap soal pada uji coba pertama. Metode yang lebih praktis adalah metode belah dua. Dalam metode ini, pengetes hanya perlu membuat satu seri tes dan mengujicobakannya sebanyak satu kali. Namun, terdapat persyaratan dalam penggunaan metode belah dua ini, yaitu belahan pertama dengan belahan kedua kesejajarannya harus seimbang.

Pembuktian reliabilitas soal dapat dilakukan dengan mencari koefisien reliabilitas menggunakan beberapa rumus. Sedangkan, untuk membuktikan reliabilitas soal uraian dapat menggunakan rumus Alpha Cronbach atau Kuder-Richardson 21 (KR-21). Setelah itu, koefisien tersebut dapat dikonsultasikan dengan r product moment atau pengategorian lain.

(21)

21 berada pada interval 0,3 sampai 0,7. Soal yang terlalu mudah mengindikasikan bahwa hampir semua siswa dapat menjawab soal tes tersebut. Jika soal terlalu susah, maka hampir semua siswa tidak dapat menjawab soal tersebut.

Selain itu, soal dapat dikatakan baik apabila memiliki indeks daya beda lebih dari atau sama dengan 0,3 (Retnawati, 2016: 115). Daya beda soal merupakan kemampuan soal dalam membedakan siswa yang memiliki kemampuan tinggi dengan siswa berkemampuan rendah. Secara lengkap, kualitas daya beda butir soal disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Indeks Daya Beda Butir Soal No. Indeks Daya Beda ( ) Keterangan

(22)

22 waktu, rumus tersebut mudah dilupakan oleh siswa. Pada umumnya, ketika siswa mendapati soal yang sama sesudah waktu yang cukup lama, mereka tidak dapat mengerjakan soal tersebut. Bahkan mereka tidak melakukan apapun atau sekadar memiliki ide untuk dapat menyelesaikan soal tersebut. Berbagai macam hal yang dipelajari siswa menjadi tidak nampak. Yang mampu mereka lakukan hanya melakukan penghitungan yang sebenarnya juga dipelajari dalam mata pelajaran lain.

(23)

23 Secara umum, Polya (Budhi & Kartasasmita, 2015: 14) menyampaikan bahwa strategi penyelesaian soal matematika terdiri dari beberapa hal, antara lain: (1) menggunakan konsep atau teori yang diperoleh sebelumnya; (2) menebak nilai jawaban dan memperbaikinya, (3) menyatakan soal atau masalah dalam bentuk lain; (4) menggunakan analogi (permisalan); (5) menggunakan langkah penyelesaian mundur; (6) menemukan pola; (7) menyelesaikan soal; dan (8) menggunakan tabel, diagram, atau model. Sedangkan, Budhi & Kartasasmita (2015: 155) menambahkan bahwa terdapat beberapa teknik penyelesaian soal, diantaranya: (1) terka, uji, dan perbaiki, 92) bekerja mundur, (3) menggunakan cara pandang berbeda, (4) menggunakan cara ekstrem, (5) menggunakan gambar, dan (6) menggunakan cara aljabar.

6. Kriteria Soal Matematika yang Baik

Menurut Fung & Roland (2004: 290), sebuah soal matematika yang baik memenuhi karakteristik sebagai berikut:

a. memerlukan lebih dari satu langkah untuk menjawab. b. dapat diselesaikan dengan beberapa metode penyelesaian. c. memiliki lebih dari satu kemungkinan solusi.

d. memiliki bahasa yang jelas dan tidak terdapat informasi yang berlebihan.

e. menarik dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa. f. mengandung konsep matematika yang nyata sehingga dapat

(24)

24 7. Kemampuan Berpikir Kritis

a. Pengertian Berpikir Kritis

Berpikir kritis memiliki banyak definisi. Menurut Judge, Jones, & McCreery (2009: 2), berpikir kritis diartikan sebagai kemampuan mengevaluasi pemikiran untuk mengetahui kelebihan dan kelemahannya, serta membangun kembali pemikiran itu dalam tingkatan yang lebih baik. Sedangkan, Ennis (1993: 180) berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan berpikir secara rasional dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang harus diyakini atau dilakukan. Selain itu, Facione (2013) mengartikan berpikir kritis sebagai proses berpikir yang bertujuan untuk membuktikan suatu permasalahan, menafsirkan maksud dari pernyataan, dan menyelesaikan masalah. Senada dengan hal itu, Rudd, Baker, & Hoover (1999) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah proses pemecahan masalah atau merumuskan pertanyaan secara sengaja dan beralasan berdasarkan bukti dan informasi yang kurang lengkap. Berdasarkan penjelasan tersebut, berpikir kritis dapat disimpulkan sebagai proses pemecahan masalah berdasarkan bukti dan informasi yang kurang lengkap untuk mengambil keputusan terhadap suatu hal.

b. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

(25)
(26)

26 digunakan, mempresentasikan pendapat; dan (6) regulasi diri (self regulation), yang terdiri dari: memeriksa dan mengoreksi kembali.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka indikator kemampuan berpikir kritis yang dipakai dalam penelitian ini disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis dalam Penelitian No.

Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

Penjelasan

1. Menginterpretasi memahami dan mengekspresikan maksud atau arti dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, kejadian, pendapat, kaidah, keyakinan, aturan, prosedur atau kriteria

2. Menganalisis mengidentifikasi hubungan antara berbagai pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi, dan yang lainnya 3. Mengevaluasi menilai kredibilitas suatu pernyataan

dan kebenaran suatu hubungan antara berbagai pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi, dan yang lainnya 4. Menjelaskan menegaskan dan memberikan alasan

atas langkah yang diambil, mengemukakan alasan dengan argumen yang kuat

Pemilihan indikator didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak semua indikator dapat terlihat (mudah diukur) dari hasil jawaban siswa atas suatu tes. Sebagai contoh, indikator regulasi diri (self regulation) akan lebih dapat diukur jika menggunakan teknis nontes.

(27)

27 memiliki cakupan yang kurang lebih sama. Maka dari itu, keempat indikator yang terdapat dalam Tabel 2 adalah indikator kemampuan berpikir kritis yang dapat terlihat (mudah diukur) menggunakan instrumen tes.

8. Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut Aprianti (2013: 1), berpikir kritis merupakan perwujudan dari kemampuan berpikir tingkat tinggi. Secara lebih luas, berpikir tingkat tinggi meliputi berpikir kritis, kreatif, reflektif, dan metakognitif (King, Goodson, & Rohani, 2015: 17). Sehingga, cara untuk mengukur kemampuan berpikir kritis tidak jauh berbeda dengan cara mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi.

(28)

28 a. Contoh soal uraian yang mengukur kemampuan berpikir kritis

Berikut adalah beberapa contoh soal yang dapat mengukur kemampuan berpikir kritis siswa:

1) Soal yang memuat indikator mengevaluasi dan menjelaskan: Sebuah bola ditembakkan ke udara dari permukaan tanah. Setelah t detik, bola tersebut mencapai ketinggian h meter. Bola menyentuh tanah (jatuh ke tanah) setelah 4 detik. Jika lintasan bola dinyatakan dalam bentuk fungsi, diantara ketiga fungsi berikut manakah yang memenuhi? Kemukakan alasannya! a)

c)

b) Sumber: Samritin (2014: 142)

2) Soal yang mengukur indikator mengevaluasi dan menjelaskan: Perhatikan gambar dipotong/diiris dari titik F melalui titik P dan Q, dengan titik P dan Q berturut-turut adalah titik tengah dari AD dan BE.

Terdapat pernyataan bahwa: “Sudut F pada segitiga FDE sama besar dengan sudut F pada segitiga FPQ.”

Apakah kamu setuju dengan pernyataan tersebut? Jelaskan jawabanmu!

Sumber: Soeyono, Y. (2014: 207)

3) Soal yang memuat indikator menginterpretasi dan menganalisis: Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuk 12 cm. Titik P terletak pada perpanjangan rusuk CD sehingga . Tentukan jarak titik P terhadap bidang BCGF.

(29)

29 b. Contoh rubrik penskoran soal uraian yang memuat indikator

interpretasi, analisis, dan evaluasi

Ayah memiliki dua lembar brosur penjualan motor “Honda” dari dua dealer yang berbeda. Ada sebuah sepeda motor yang ingin dibeli ayah dan memiliki harga yang sama di kedua dealer itu.

Dealer pertama memberlakukan diskon 10% dari harga barang yang telah dikenai pajak 5% terlebih dahulu. Sedangkan, dealer kedua memberlakukan pajak 5% dari harga barang yang telah dikenai diskon 10% terlebih dahulu. Ayah berpendapat bahwa dealer pertama memberikan harga yang lebih murah.

Apakah kamu setuju dengan pendapat ayah? Berikan alasanmu! Tabel 3. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian

Jawab Skor

Misalkan harga sepeda motor itu adalah . Pada dealer pertama berlaku:

Harga barang setelah kena pajak adalah

1 int

Harga barang setelah kena diskon

Harga barang setelah kena diskon adalah

1 int Harga barang setelah kena diskon

Maka, harga sepeda motor di kedua dealer itu sama.

Sehingga, ayah salah ketika mengatakan bahwa dealer pertama memberikan harga yang lebih murah

1 evl

TOTAL 5

Keterangan: int = interpretasi; anl = analisis; evl = evaluasi. 9. Kesalahan Konsep Pengukuran Kemampuan Berpikir Kritis

(30)

30 melaksanakan pengukuran tersebut. Kesalahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Instrumen pengukuran kemampuan berpikir kritis digunakan untuk mengetes siswa di kelas yang sama secara berulang-ulang.

b. Penggunaan kata kerja operasional tingkat tinggi dari taksonomi Bloom secara otomatis menjadikan butir soal yang disusun berkategori mengukur kemampuan berpikir kritis.

c. Soal yang sulit dianggap merupakan soal yang mengukur kemampuan berpikir kritis.

d. Siswa dianggap memiliki tingkat kemampuan berpikir yang sama. e. Pengukuran kemampuan berpikir kritis hanya dapat dilakukan secara

lisan.

f. Soal pilihan ganda hanya dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat rendah.

g. Kemampuan berpikir kritis hanya bisa diajarkan pada siswa SMA dan mahasiswa.

h. Kemampuan berpikir kritis hanya dimiliki oleh siswa yang berbakat.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Ali Syahbana (2012) yang berjudul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Kontekstual untuk

(31)

31 ini, dikategorikan valid, praktis dan memiliki potential effect terhadap hasil belajar dan aktivitas siswa di kelas VIII.1 dan VIII.2 SMPN 18 Palembang. Sedangkan nilai rata-rata kemampuan siswa tersebut masuk dalam kategori baik, dengan nilai 69,85 dalam interval nilai 0-100.

Penelitian yang dilakukan oleh Lissa, Prasetyo, & Indriyanti (2012) yang berjudul “Pengembangan Instrumen Penilaian Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Materi Sistem Respirasi dan Ekskresi” memberikan hasil bahwa instrumen penelitian yang berupa tes dan nontes dinyatakan valid dan reliabel. Instrumen juga dinyatakan praktis dengan respons positif dari guru dan siswa yang lebih dari 80%.

Penelitian yang dilakukan oleh Anisah, Zulkardi, & Darmawijoyo (2011) dengan judul “Pengembangan Soal Matematika Model PISA pada Konten Quantity untuk Mengukur Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sekolah

Menengah Pertama” menghasilkan perangkat soal yang valid dan praktis.

Sedangkan hasil uji lapangan menunjukkan bahwa sebagian siswa masih memiliki kemampuan penalaran matematis yang kurang karena kesulitan dalam mengidentifikasi permasalahan yang diberikan pada soal.

Penelitian yang dilakukan oleh Mufida Nofiana (2013) dengan judul “Pengembangan Instrumen Evaluasi Twotier Multiple Choice Question untuk

Mengukur Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi pada Materi Kingdom

Plantae” menghasilkan bahwa karakteristik instrumen evaluasi two-tier multiple choice question untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi

(32)

32 serta memiliki reabilitas yang tinggi. Butir soal yang dikembangkan memiliki tingkat kesukaran soal dengan proporsi 15% mudah: 80% sedang: 5% sulit, memiliki daya beda soal dengan interpretasi minimal “cukup”, serta memiliki

tingkat kepraktisan soal yang dinilai baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Maslukha (2011) dengan judul “Pengembangan Perangkat Evaluasi Pembelajaran Matematika dengan

Memperhatikan Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotor Siswa di MTs

(33)

33 Penelitian yang dilakukan oleh Samritin (2014) dengan judul “Pengembangan Instrumen Penilaian Kemampuan Higher Order Thinking

Siswa SMP dalam Mata Pelajaran Matematika” menunjukkan bahwa 12 butir soal uraian yang dikembangkan dinyatakan valid dan reliabel. Setiap butir soal tersebut juga memiliki indeks kesukaran butir yang berada antara 0.3 dan 0.7, sehingga memenuhi kriteria parameter butir yang baik.

C. Kerangka Berpikir

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan seseorang memperoleh berbagai informasi dengan mudah dan cepat. Namun, masih banyak informasi yang masuk ke Indonesia tidak sesuai dengan adat dan budaya ketimuran. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu mendorong masyarakatnya untuk berpikir secara kritis agar mampu memilih dan memilah mana saja informasi yang baik dan patut diterima.

(34)

34 Salah satu mata pelajaran yang banyak melibatkan proses berpikir dalam pendidikan di Indonesia adalah matematika. Matematika mampu melatih siswa untuk memaksimalkan kemampuan berpikirnya dalam menyelesaikan berbagai macam masalah, baik konkret maupun abstrak. Maka, sudah seharusnya matematika mampu membantu siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik.

Bagan 1. Kerangka Berpikir Penelitian

Sebagian besar proses pembelajaran matematika di sekolah diperuntukkan bagi pemecahan soal. Namun banyak soal matematika yang hanya menuntut kemampuan berpikir tingkat rendah, sehingga kurang mendukung perkembangan kemampuan berpikir kritis siswa. Padahal, untuk

Hasil:

Soal matematika yang baik dan dapat mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA

Ideal:

1. Berdasarkan KTSP 2006 dan Kurikulum 2013, dalam

3. Soal yang ada belum teruji kualitasnya

Solusi:

(35)
(36)

36 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan atau research & development (R & D) dengan menggunakan model pengembangan instrumen yang dikemukakan oleh Retnawati (2016: 3-6). Model ini terdiri dari 9 langkah, yaitu: (1) menentukan tujuan pengembangan, (2) menentukan cakupan materi, (3) menentukan indikator instrumen, (4) menyusun butir instrumen, (5) validasi isi, (6) revisi, (7) uji coba instrumen, (8) analisis hasil uji coba, dan (9) merakit instrumen.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada hari Kamis-Jum’at, 17-18 Maret 2016 di SMA N 1 Boyolali yang beralamat di Jalan Kates No. 8 Boyolali.

C. Subjek Penelitian

(37)

37 D. Desain Penelitian

1. Menentukan tujuan pengembangan

Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk: (1) menghasilkan instrumen evaluasi matematika untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA kelas XI, dan (2) mendeskripsikan kualitas instrumen evaluasi matematika untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa SMA kelas XI.

2. Menentukan cakupan materi

Pada penelitian ini, peneliti memilih materi aritmetika dan aljabar sederhana. Kedua materi tersebut dipilih karena lebih dapat dibuat menjadi masalah yang realistik maupun kontekstual. Hal ini ditujukan agar soal yang disusun memenuhi kriteria soal matematika yang baik menurut Fung & Roland (2004: 290), yaitu menarik, sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa, dan mengandung konsep matematika yang nyata sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan siswa. 3. Menentukan indikator instrumen

(38)

38 menjelaskan. Penjelasan masing-masing indikator disajikan pada Tabel 2 halaman 26. Indikator yang ada disusun ke dalam kisi-kisi soal agar penyebarannya lebih merata. Kemudian, butir soal disusun berdasarkan kisi-kisi yang sudah ada.

4. Menyusun butir instrumen

Butir instrumen harus disesuaikan dengan tujuan penelitian. Pengukuran kemampuan berpikir kritis menitikberatkan pada proses. Maka dari itu, butir soal yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk esai/uraian yang lebih mampu menampilkan proses siswa memperoleh jawaban. Selain itu, jumlah butir yang digunakan menyesuaikan alokasi waktu yang tersedia. Pada rancangan awal, peneliti menyusun 4 paket soal dengan masing-masing paket terdiri dari 10 butir soal uraian. Keempat paket tersebut selanjutnya dinamai dengan “Paket 1”, “Paket 2”, “Paket 3”, dan “Paket 4”. Selengkapnya, instrumen awal penelitian

dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 83-133. 5. Validasi isi

(39)

39 Tabel 4. Daftar Nama Validator

No. Nama Validator Keterangan

1. Dr. Ali Mahmudi Dosen Pendidikan Matematika UNY 2. Musthofa, M. Sc. Dosen Pendidikan Matematika UNY 3. Ilham Rizkianto, M. Sc. Dosen Pendidikan Matematika UNY 6. Revisi berdasarkan masukan validator

Instrumen yang telah disusun beserta lembar validasi diserahkan kepada ahli/validator untuk dinilai dan diberikan masukan. Kemudian hasilnya dijadikan acuan untuk melakukan revisi agar instrumen siap diujicobakan. Jumlah soal dan soal mana saja yang akan diujicobakan dipilih berdasarkan masukan ahli/validator.

Skor yang terdapat pada lembar validasi menggunakan skala 1 sampai 5, dengan keterangan sebagai berikut: 1 = sangat tidak sesuai ; 2 = kurang sesuai ; 3 = cukup sesuai ; 4 = sesuai ; dan 5 = sangat sesuai. Kemudian, dari skor tersebut dihitung indeks Aiken-nya untuk menentukan validitas isi instrumen. Indikator yang digunakan dalam lembar validasi ahli diadaptasi dari Puspendik (2007: 13-14) dan Indrayana (2010) serta disajikan pada Tabel 5 halaman 40.

(40)

40 dari keempat paket yang ada sehingga setiap paket memuat keempat indikator kemampuan berpikir kritis. Kemudian, instrumen hasil revisi disebut “Paket A”, “Paket B”, “Paket C”, dan “Paket D”.

Tabel 5. Indikator Penilaian Instrumen Soal

No. Aspek yang Dinilai

A Aspek Materi

1 Materi soal sesuai dengan tujuan pengukuran 2 Butir soal sesuai dengan indikator

3 Materi soal sesuai dengan tingkat/jenjang pendidikan siswa 4 Hanya ada satu jawaban yang benar

5 Masalah yang disajikan menarik bagi siswa B Aspek Konstruksi

6 Setiap butir soal tidak bergantung satu sama lain 7 Penyelesaian soal lebih dari satu langkah

8 Merangsang kemampuan berpikir kritis siswa 9 Merangsang rasa ingin tahu siswa

10 Rumusan pertanyaan soal menggunakan kata tanya atau perintah yang menuntut siswa menguraikan jawaban

11 Penyajian gambar, grafik, tabel, atau sejenisnya disajikan secara jelas dan dapat dipahami

12 Petunjuk mengerjakan soal jelas dan dapat dipahami 13 Terdapat pedoman penskoran

C Aspek Bahasa

14 Penggunaan bahasa sesuai dengan EYD 15 Bahasa yang digunakan komunikatif

16 Tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat 17 Rumusan soal tidak menimbulkan penafsiran ganda 18 Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat

menyinggung perasaan siswa 7. Uji coba instrumen

Instrumen yang lolos revisi dan telah dinyatakan layak serta dapat diujicobakan dipilih untuk digunakan pada tahap uji coba. Pada tahap ini, instrumen evaluasi yang diujicobakan adalah Paket A.

8. Analisis hasil uji coba

(41)

41 analisis data yang dilakukan, diantaranya: (1) pembuktian validitas konstruk, (2) analisis butir soal, yang terdiri dari tingkat kesukaran, daya beda, dan reliabilitas butir soal.

9. Merakit instrumen

Apabila terdapat soal yang tidak memenuhi kriteria sebagai butir soal yang baik, maka peneliti dapat merekomendasikan butir soal yang terdapat pada paket lain untuk dirakit dengan butir yang lolos seleksi. Selengkapnya, instrumen akhir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 146-186.

E. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah lembar kisi-kisi soal, lembar soal, lembar kunci jawaban dan panduan penskoran, serta lembar validasi ahli. Secara lengkap, intrumen awal penelitian disajikan pada Lampiran 2 halaman 83-133.

F. Teknik Pengumpulan Data

(42)

42 sekitar 80 menit. Selanjutnya, hasil yang diperoleh dianalisis sebagai dasar untuk mengevaluasi dan memperbaiki soal agar menjadi produk yang layak digunakan.

G. Teknik Analisis Data a. Validitas Isi

Validitas isi merupakan validitas yang diperoleh dari pengujian terhadap kelayakan atau kesesuaian isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten atau expert judgement (penilaian ahli). Untuk instrumen evaluasi berbentuk tes, pembuktian validitas isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan (Sugiyono, 2013: 353).

Dalam membuktikan validitas isi butir instrumen, peneliti menggunakan rumus indeks Aiken ( ) yang dikemukakan oleh Retnawati (2016: 18), yaitu:

keterangan:

= indeks kesepakatan ahli mengenai validitas butir

= angka penilaian validitas terendah C = angka penilaian validitas tertinggi N = banyaknya ahli/validator

(43)

43 Nilai yang diperoleh kemudian diklasifikasikan validitasnya. Pengklasifikasian validitas isi instrumen didasarkan Tabel 6 berikut: Tabel 6. Klasifikasi Validitas Isi Instrumen

No. Indeks Aiken (V) Validitas

Sebuah instrumen evaluasi dikatakan memiliki validitas konstruk jika butir soal yang membangun instrumen tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti yang disebutkan dalam tujuan evaluasi (Arikunto, 2013: 83). Pembuktian validitas konstruk dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu exploratory factor analysis (EFA) dan confirmatory factor analysis (CFA).

Penelitian ini menggunakan metode EFA untuk membuktikan validitas konstruk instrumen dan dibantu program SPSS 16.0. Beberapa langkah yang dilakukan dalam metode EFA adalah sebagai berikut: 1) Pengujian KMO and Bartlett’s Test

Pada langkah ini, analisis faktor layak dilakukan apabila nilai Kaiser-Meyer-Olkin measure of sampling adequacy (KMO) lebih

(44)

44 2) Pengujian Total Variance Explained

Pada tahap ini, pengujian difokuskan pada kolom Initial Eigenvalues. Nilai minimal Eigenvalues pembentuk faktor adalah 1.

Hal ini berarti bahwa jika Eigenvalues kurang dari 1, maka tidak terdapat variabel pembentuk faktor. Sedangkan nilai Cummulative % menunjukkan berapa persen (%) instrumen mampu mengukur kemampuan berpikir kritis siswa.

3) Pengujian Scree Plot

Selain dari tabel Total Variance Explained, untuk menentukan jumlah faktor yang terbentuk, peneliti menggunakan grafik Scree Plot. Caranya adalah dengan memperhatikan garis penghubung

antarnilai Eigen. Jika setelah suatu faktor mengalami penurunan tajam, maka faktor yang valid hanya sampai faktor tersebut. Selain itu, dapat pula dilihat dari nilai Eigen-nya. Apabila titik-titik tersebut berada di atas nilai Eigen 1 (satu), maka dapat disimpulkan variabel tersebut membentuk suatu faktor.

4) Pengujian Rotated Component Matrix

(45)

45 yang muncul dapat dinamai berdasarkan indikator kemampuan berpikir kritis yang dominan.

c. Taraf Kesukaran ( )

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu sulit atau terlalu mudah. Soal yang terlalu mudah kurang dapat merangsang kemampuan berpikir kritis siswa. Sedangkan soal yang terlalu sulit cenderung membuat siswa putus asa dalam mengerjakannya. Rumus untuk mencari taraf kesukaran ( ) adalah:

keterangan:

indeks kesukaran butir soal ke-i

jumlah skor yang diperoleh seluruh siswa pada soal ke-i .

Nilai yang diperoleh kemudian diklasifikasikan tingkat kesukarannya. Pengklasifikasian tersebut didasarkan Tabel 7 berikut: Tabel 7. Klasifikasi Tingkat Kesukaran Butir Soal

No. Indeks Kesukaran ( ) Keterangan

1 Sulit

2 Sedang

3 Mudah

(Arikunto, S. 2013: 225) d. Daya Beda Butir Soal

(46)

46 berkemampuan rendah. Butir soal yang baik adalah soal yang memiliki indeks daya beda (diskriminasi) 0,3 sampai 0,7.

Ada beberapa cara untuk mengetahui daya beda butir soal. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan koefisien korelasi point biserial ( ) dalam mengukur daya beda butir soal. Untuk menentukan kriteria daya beda butir soal penelitian, koefisien korelasi point biserial ( ) yang telah ditemukan dikonsultasikan kepada Tabel 1 halaman 21. Rumus menghitung koefisien korelasi point biserial ( ):

keterangan:

indeks daya beda butir soal

mean skor pada tes dari peserta pada kelompok atas

mean skor pada tes dari peserta pada kelompok bawah

standar deviasi seluruh skor tes

proporsi peserta tes kelompok atas

. e. Reliabilitas

Untuk menentukan reliabilitas soal, peneliti menggunakan perbandingan antara dengan pada taraf signifikan 5%. Jika , maka tes dikatakan reliabel. Akan tetapi, jika

(47)

47 Sedangkan rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya koefisien reliabilitas butir soal uraian adalah rumus Alpha Cronbach (Arikunto, 2013: 122):

keterangan:

= reliabilitas tes secara keseluruhan ∑ = jumlah varians skor tiap-tiap item

= varians total = banyak item (soal).

Tabel 8. Klasifikasi Reliabilitas Butir Soal

No. Koefisien Reliabilitas ( ) Keterangan 1. Sangat rendah

2. Rendah

3. Cukup

4. Tinggi

(48)

48 instrumen disusun dengan mempertimbangkan 4 indikator kemampuan berpikir kritis yang harus ada di masing-masing paket. Namun, satu soal tidak memuat keempat indikator kemampuan berpikir kritis. Oleh karena itu, muatan indikator kemampuan berpikir kritis dilihat berdasarkan ketercukupannya pada masing-masing paket. Rincian indikator yang termuat dalam masing-masing paket disajikan pada tabel berikut:

Tabel 9. Muatan Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Pada Instrumen Awal Penelitian

Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Paket Interpretasi Analisis Menjelaskan Evaluasi

Paket 1 V V V V

Paket 2 V V V V

Paket 3 V V V V

Paket 4 V V V V

Keterangan: V = ada; rincian indikator yang termuat pada masing-masing soal disajikan secara lengkap pada Lampiran 2 halaman 83-86.

(49)

49 untuk menilai kesesuaian instrumen dengan indikator yang ada pada lembar validasi ahli. Aspek yang dinilai meliputi 3 hal, yaitu: (1) materi; (2) konstruksi; dan (3) bahasa. Hasil penilaian ahli/validator disajikan dalam tabel 10, 11, dan 12. Selain hasil ketiga aspek penilaian tersebut, ahli menyatakan bahwa keempat paket instrumen evaluasi tersebut dapat diujicobakan setelah dilakukan revisi. Dokumentasi hasil penilaian ahli/validator dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 195-218.

Tabel 10. Hasil Penilaian Indikator Materi Instrumen

No. Indikator Skor (%) Kriteria

1 Materi soal sesuai dengan tujuan pengukuran

88,33 Sangat Baik 2 Butir soal sesuai dengan indikator 81,67 Baik 3 Materi soal sesuai dengan

tingkat/jenjang pendidikan siswa

80,00 Baik

4 Hanya ada satu jawaban yang benar 80,00 Baik 5 Masalah yang disajikan menarik

bagi siswa

75,00 Baik

Rata-rata 81,00 Baik

Tabel 11. Hasil Penilaian Indikator Konstruksi Instrumen

No. Indikator Skor (%) Kriteria

1 Setiap butir soal tidak bergantung satu sama lain

93,33 Sangat Baik 2 Penyelesaian soal lebih dari satu

langkah

90,00 Sangat Baik 3 Merangsang kemampuan berpikir

kritis siswa

83,33 Sangat Baik 4 Merangsang rasa ingin tahu siswa 83,33 Sangat Baik 5 Rumusan pertanyaan soal

menggunakan kata tanya atau perintah yang menuntut siswa menguraikan jawaban

80,00 Baik

6 Penyajian gambar, grafik, tabel, atau sejenisnya disajikan secara jelas dan dapat dipahami

78,33 Baik

7 Petunjuk mengerjakan soal jelas dan dapat dipahami

78,33 Baik

8 Terdapat pedoman penskoran 85,00 Baik

(50)

50 Tabel 12. Hasil Penilaian Indikator Bahasa Instrumen

No. Indikator Skor (%) Kriteria

1 Penggunaan bahasa sesuai dengan EYD

80,00 Baik

2 Bahasa yang digunakan komunikatif

78,33 Baik

3 Tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat

86,67 Baik

4 Rumusan soal tidak menimbulkan penafsiran ganda

73,33 Baik

5 Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan siswa

85,00 Baik

Rata-rata 80,67 Baik

Selanjutnya, skor yang diperoleh dari penilaian ahli digunakan untuk menghitung koefisien validitas isi instrumen. Besarnya koefisien validitas ditentukan berdasarkan indeks Aiken. Berdasarkan hasil penghitungan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 13. Perolehan Indeks Aiken Instrumen Evaluasi No. Instrumen Indeks Aiken Keterangan

1. Paket 1 0,75 Cukup valid (sedang) 2. Paket 2 0,78 Cukup valid (sedang) 3. Paket 3 0,80 Cukup valid (sedang) 4. Paket 4 0,78 Cukup valid (sedang) Rata-rata 0,78 Cukup valid (sedang)

(51)

51 2. Hasil Revisi Produk

Revisi instrumen dilakukan berdasarkan masukan dari ahli/validator. Secara umum, saran atau masukan yang diperoleh selama proses validasi dari ahli disajikan pada Tabel 14 halaman 52.

Pada lembar kisi-kisi instrumen awal penelitian (lihat Lampiran 2 halaman 83-86) terdapat beberapa kata kerja operasional yang diganti. Seperti Indikator Soal 1.1 pada Paket 1 yang tertulis “Siswa dapat memahami konsep untung dalam proses jual beli”. Ahli mengatakan

bahwa “memahami” tidak dapat digunakan sebagai kata kerja

operasional pada indikator soal. Karena, kata tersebut sangat sulit diukur. Oleh karena itu, kalimat tersebut diganti menjadi “Siswa dapat

memecahkan masalah terkait konsep untung dalam proses jual beli”.

Selain itu, terdapat kesalahan pemahaman terkait sistem persamaan linear. Pada Indikator Soal 2.2 Paket 1 tertulis “Siswa dapat menentukan solusi dari soal cerita yang berkaitan dengan sistem persamaan linear

satu variabel”. Persamaan linear satu variabel tidak dapat dikatakan

suatu sistem. Sehingga, kata “sistem” dihilangkan menjadi “Siswa dapat menentukan solusi dari soal cerita yang berkaitan dengan persamaan

linear satu variabel”. Sedangkan pada semua paket penulisan

“aritmatika” diubah menjadi “aritmetika”. Informasi perbaikan instrumen

disajikan secara lengkap pada Lampiran 3 halaman 135-144.

(52)

52 indikator kemampuan berpikir kritis yang ada pada masing-masing paket soal. Apabila terdapat paket soal yang kekurangan salah satu atau beberapa indikator kemampuan berpikir kritis, maka diambil soal dari paket lain atau soal baru yang memuat indikator tersebut sehingga masing-masing paket soal memuat 4 indikator kemampuan berpikir kritis.

Tabel 14. Perbaikan Instrumen Evaluasi Secara Umum

No. Saran/Masukan Perbaikan

1. Jumlah soal terlalu banyak Mengurangi jumlah soal agar sesuai dengan alokasi waktu yang ada 2. Kata kerja operasional yang

digunakan dalam kisi-kisi soal kurang jelas

Mengganti kata kerja operasional pada kisi-kisi dengan kata kerja yang lebih mudah diukur

3. Kalimat soal tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang baku

Mengganti kalimat soal agar sesuai dengan kaidah penulisan yang baku 4. Konteks yang digunakan

dalam soal terlalu mengada-ada

Menghapus atau memperbaiki soal dengan masalah yang lebih realistik atau kontekstual

5. Kalimat soal bermakna ambigu

Mengganti atau melengkapi kalimat soal agar tidak bermakna ambigu 6. Pemilihan kata pada soal dengan aturan matematika yang baik dan benar

Menghapus atau memperbaiki soal serta kunci jawaban agar sesuai dengan aturan matematika yang baik dan benar

(53)

53 namun dengan perbaikan dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 135-144.

Tabel 15. Soal yang Dibuang pada Instrumen Rancangan Awal No. Soal yang Dibuang Keterangan

1 Paket 2 nomor 2 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

2 Paket 3 nomor 1 Maksud soal tidak jelas & terjadi

kesalahan konsep dalam penyusunan soal 3 Paket 3 nomor 4 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan

berpikir kritis

4 Paket 3 nomor 5 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

5 Paket 3 nomor 6 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

6 Paket 3 nomor 9 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

7 Paket 4 nomor 9 Soal rutin/tidak mengukur kemampuan berpikir kritis

8 Paket 4 nomor 10 Soal terlalu mudah

Setelah dilakukan revisi, dihasilkan instrumen evaluasi baru dengan nama “Paket A”, “Paket B”, “Paket C”, dan “Paket D” yang

(54)

54 Tabel 16. Muatan Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Pada Instrumen

Akhir Penelitian

Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Paket Interpretasi Analisis Menjelaskan Evaluasi

Paket A V V V V

3. Hasil Uji Coba Produk

Uji coba instrumen dilakukan di SMA N 1 Boyolali yang beralamat di Jalan Kates No. 8 Boyolali. Sebelum melakukan uji coba, peneliti berkoordinasi dengan kepala sekolah beserta guru matematika di sekolah. Selanjutnya, untuk memperoleh izin penelitian, peneliti menyiapkan beberapa syarat administrasi berupa surat-surat yang disajikan pada Lampiran 1 halaman 73-81. Sebagai hasilnya, peneliti dapat melakukan penelitian pada hari Kamis dan Jum’at, tanggal 17-18 Maret 2016.

(55)

55 Tabel 17. Hasil Perolehan Nilai Siswa Keseluruhan

No. Interval Nilai Banyak Siswa

(56)

56 Lampiran 5 halaman 188-192, sedangkan contoh jawaban siswa dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 219-224.

Tabel 18. Hasil Kelulusan Siswa Berdasarkan Mean

No. Keterangan Interval Nilai Banyak Siswa

1 Tidak Lulus (TL) < 46 75

a. Validitas konstruk instrumen evaluasi 1) Pengujian KMO and Bartlett’s Test

Pada tahap ini, diperoleh nilai Chi-kuadrat pada uji Bartlet menggunakan program SPSS 16.0 sebesar 63,028 dengan derajat kebebasan 28 dan nilai signifikan 0,000. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. 0,572 Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 63,028

df 28

Sig. 0,000

(57)

57 korelasi yang sangat signifikan antar variabel dan hasil penghitungan KMO.

2) Pengujian Total Variance Explained

Hasil penghitungan menggunakan SPSS yang disajikan pada Tabel 20 menunjukkan bahwa data respons siswa terhadap soal matematika yang dikembangkan terdapat 3 nilai Eigen yang lebih besar dari 1. Hasil selengkapnya disajikan pada tabel berikut:

Tabel 20. Total Variance Explained

Component Initial Eigenvalues

Hasil ini menunjukkan bahwa tiga faktor dengan total faktor mampu menjelaskan variabel sebesar 51,716%. Dengan kata lain, instrumen yang dikembangkan memiliki kemampuan untuk mengukur berpikir kritis sebesar 51,716%.

3) Pengujian Scree Plot

(58)

58 perolehan nilai Eigen. Gambar tersebut menunjukkan bahwa ada 3 faktor yang terukur dalam instrumen evaluasi yang dikembangkan. Dengan 3 faktor tersebut, instrumen telah dapat menjelaskan 51,716% varians hasil pengukuran sebagaimana yang terdapat pada Tabel 20 halaman 57.

Gambar 1.

Hasil Analisis Faktor Exploratory

(59)

59 4) Pengujian Rotated Component Matrix

Tahap analisis faktor selanjutnya adalah memperhatikan hasil pada tabel Rotated Component Matrix. Dengan hasil ini, dapat ditentukan variabel mana saja yang termasuk faktor 1, 2, dan 3. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Rotated Component Matrixa Component “faktor 1” adalah soal nomor 4, 7, dan 8. Sedangkan soal yang

termasuk dalam “faktor 2” adalah soal nomor 3 dan 6. Soal nomor 1, 2, dan 5 termasuk dalam “faktor 3”.

Berdasarkan kisi-kisi soal Paket A yang terdapat pada Lampiran 4 halaman 144, soal 4, 7, dan 8 memuat indikator “analisis” sebagai indikator yang dominan, sehingga “faktor 1” dapat dinamai dengan “analisis”. Soal 3 dan 6 memuat indikator “interpretasi” sebagai indikator yang dominan, sehingga “faktor

(60)

60 dan 5 memuat indikator “evaluasi” sebagai indikator yang

dominan, sehingga “faktor 3” dapat dinamai dengan “evaluasi”.

b. Indeks kesukaran instrumen evaluasi

Berdasarkan hasil penghitungan indeks Aiken instrumen evaluasi menggunakan program Microsoft Excel 2010, diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 22. Perolehan Indeks Kesukaran Butir Soal Nomor Soal Indeks Kesukaran Keterangan

1 0,3288 Sedang

Rata-rata 0,4655 Sedang

Berdasarkan tabel di atas, soal yang masuk kategori mudah adalah nomor 3. Sedangkan soal yang masuk kategori sedang (baik) adalah nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, dan 8. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada soal yang masuk kategori sulit. Namun, tingkat kesukaran yang tergolong mudah tidak bernilai 1 (terlalu mudah) sehingga soal nomor 3 masih bisa dipakai untuk mengukur kemampuan siswa (Allen & Yen, 1979: 121).

c. Indeks daya beda instrumen evaluasi

(61)

61 kemampuan instrumen dalam membedakan antara siswa berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan rendah adalah sangat baik.

d. Reliabilitas instrumen evaluasi

Berdasarkan hasil penghitungan, diperoleh bahwa instrumen evaluasi yang dikembangkan memiliki reliabilitas sebesar 0,417. Setelah dikonsultasikan dengan pada signifikansi 5%, diperoleh bahwa lebih besar daripada . Hal ini menunjukkan bahwa instrumen tersebut dapat dikatakan reliabel. Sedangkan, jika diinterpretasikan menggunakan Tabel 8 halaman 47, maka instrumen dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang cukup.

B. Pembahasan

1. Instrumen evaluasi yang dikembangkan cukup valid untuk mengukur kemampuan berpikir kritis

(62)

62 berpikir kritis, sehingga dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut dapat mengukur kemampuan berpikir kritis.

Sedangkan, berdasarkan hasil pembuktian validitas konstruk terhadap instrumen Paket A dengan menggunakan analisis faktor didapatkan nilai Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) sebesar 0,572. Nilai tersebut menandakan bahwa jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian sudah mencukupi. Dari hasil analisis faktor juga diperoleh nilai signifikansi Barlett’s Test sebesar 0,000. Artinya, pada penelitian ini terdapat korelasi yang sangat signifikan antar variabel.

Selain itu, berdasarkan nilai Eigen yang lebih dari 1, diperoleh bahwa terdapat 3 faktor yang mampu menjelaskan variabel sebesar 51,716%. Lalu, dari hasil Rotated Component Matrixa didapatkan pengelompokkan butir soal dalam 3 faktor dengan ketentuan “faktor 1” sebagai “analisis”, “faktor 2” sebagai “interpretasi”, dan “faktor 3”

sebagai “evaluasi”. Instrumen Paket A juga memuat keempat indikator kemampuan berpikir kritis berdasarkan Tabel 16 halaman 54. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa instrumen Paket A valid untuk mengukur kemampuan berpikir kritis pada indikator analisis, interpretasi, dan evaluasi.

(63)

63 telah dikembangkan cukup valid dalam mengukur kemampuan berpikir kritis.

2. Instrumen evaluasi yang dikembangkan reliabel dalam mengukur kemampuan berpikir kritis

Berdasarkan hasil penghitungan, diperoleh bahwa soal yang diujicobakan memiliki indeks kesukaran butir soal sebesar 0,417. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen tersebut dapat dikatakan cukup reliabel dalam mengukur kemampuan berpikir kritis.

3. Soal matematika yang dikembangkan memenuhi kriteria butir soal yang baik

Berdasarkan Tabel 22 halaman 60, diperoleh bahwa paket soal yang diujicobakan memiliki nilai rata-rata indeks kesukaran butir soal sebesar 0,4655 yang masuk kategori baik. Sedangkan, berdasarkan hasil penghitungan indeks daya beda butir soal, diperoleh bahwa paket soal tersebut memiliki koefisien point biserial sebesar 0,838 yang masuk kategori sangat baik. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa paket soal yang dikembangkan memenuhi kriteria sebagai soal yang baik.

C. Keterbatasan Penelitian

(64)

64 1. Pengembangan instrumen evaluasi terbatas pada penggunaan soal tes berbentuk uraian dengan menggunakan topik aritmetika dan aljabar sederhana yang diujicobakan kepada siswa kelas XI SMA.

2. Uji coba perangkat soal hanya dilakukan satu kali dan menggunakan 1 paket hasil revisi berdasarkan dari 4 paket yang divalidasi oleh ahli. 3. Jumlah responden yang digunakan pada tahap uji coba soal hanya 146

(65)

65 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan Tentang Produk

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan pembuktian validitas isi, diperoleh nilai rata-rata indeks Aiken sebesar 0,78 yang masuk kategori cukup. Sedangkan berdasarkan pembuktian validitas konstruk menggunakan analisis faktor exploratory, instrumen evaluasi yang dikembangkan cukup valid untuk mengukur kemampuan berpikir kritis.

2. Berdasarkan hasil uji coba, soal matematika yang dikembangkan memiliki nilai rata-rata indeks kesukaran sebesar 0,465 yang masuk kategori sedang. Indeks daya beda soal matematika sebesar 0,838 yang masuk kategori sangat baik, dan koefisien reliabilitasnya adalah 0,417 yang masuk kategori cukup baik. Dengan demikian, produk yang dikembangkan memenuhi kriteria sebagai instrumen evaluasi yang baik dan dapat mengukur kemampuan berpikir kritis.

B. Saran Pemanfaatan Produk

(66)

66 1. Guru matematika kelas XI dapat menerapkan produk akhir pengembangan instrumen evaluasi untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Butir soal dengan kategori diperbaiki dapat direvisi dan diujicobakan kembali agar memperoleh butir soal dengan kategori diterima yang lebih banyak, sehingga dapat disusun bank soal matematika untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa.

3. Produk hasil pengembangan dapat digunakan guru matematika kelas XI sebagai contoh untuk mengembangkan instrumen pengukuran kemampuan berpikir kritis siswa.

C. Diseminasi dan Pengembangan Produk Lebih Lanjut

Penelitian tidak sampai pada tahap diseminasi, sehingga perlu dilakukan pengembangan lebih lanjut, antara lain:

1. Produk akhir instrumen evaluasi matematika diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk jenjang SMA kelas X dan XII.

2. Produk akhir instrumen evaluasi matematika diharapkan dapat dikembangkan lagi menggunakan materi yang lebih beragam dan disesuaikan dengan pembelajaran yang sedang berlangsung di sekolah. 3. Produk akhir instrumen evaluasi matematika diharapkan dapat

Gambar

Tabel 2. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis dalam Penelitian Indikator
Gambar I
Tabel 3. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian Jawab
Tabel 4. Daftar Nama Validator No. Nama Validator
+7

Referensi

Dokumen terkait

Model-Eliciting Activities (MEAs). Instrumen penelitian yang digunakan berupa instrumen tes dan non-tes. Instrumen tes berupa soal uraian berdasarkan indikator

Penelitian ini bertujuan: (1) untuk menghasilkan instrumen pengukur higher order thinking skills (HOTS) matematika siswa kelas X yang valid dan reliabel, dan (2) untuk mengetahui

Tes Elektronik (E-test) materi ekosistem untuk mengukur krmampuan berpikir kritis siswa kelas X SMA dinyatakan valid dan reliabel digunakan sebagai alat ukur kemampuan berpikir

nonequivalent control group design. Instrumen tes dalam penelitian ini berupa soal berbentuk uraian untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa. Teknik analisis data

menerapkan proses pembelajaran yang menantang, serta bermakna dan otentik bagi pelajar (Kurniaman &amp; Noviana, 2017). Pengembangan instrumen tes ini mengacu pada

Hasil analisis data menyimpulkan bahwa penelitian ini telah menghasilkan suatu produk berupa soal-soal pilihan ganda mata pelajaran matematika untuk mengukur kemampuan berpikir

Syarat berikutnya adalah (d) reliabilitas instrumen tes berdasarkan item termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 0,93 (koefisien reliabilitas di atas 0,90), sehingga

Menurut Arikunto (dalam Dadang, 2015:48) tes merupakan alat berupa pertanyaan yang digunakan untuk mengukur kemampuan, keterampilan, maupun pengetahuan