HUBUNGAN SUDUT GELOMBANG QRS-T BIDANG FRONTAL DENGAN MYOCARDIAL PERFUSION DEFECT (MPD) BERDASARKAN
SINGLE PHOTON EMISSION COMPUTED TOMOGRAPHY (SPECT) PADA PASIEN RIWAYAT INFARK MIOKARD AKUT DENGAN
ELEVASI SEGMEN ST (IMA-EST).
TESIS
Oleh : VITRI ALYA NIM. 157115002
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2020
HUBUNGAN SUDUT GELOMBANG QRS-T BIDANG FRONTAL DENGAN MYOCARDIAL PERFUSION DEFECT (MPD) BERDASARKAN
SINGLE PHOTON EMISSION COMPUTED TOMOGRAPHY (SPECT) PADA PASIEN RIWAYAT INFARK MIOKARD AKUT DENGAN
ELEVASI SEGMEN ST (IMA-EST).
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dalam Program Studi Jantung dan Pembuluh Darah
di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh VITRI ALYA NIM : 157115002
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2020
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
HUBUNGAN SUDUT GELOMBANG QRS-T BIDANG FRONTAL DENGAN MYOCARDIAL PERFUSION DEFECT (MPD) BERDASARKAN SINGLE PHOTON EMISSION COMPUTED TOMOGRAPHY (SPECT) PADA PASIEN RIWAYAT INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST (IMA-EST).
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2020
Vitri Alya
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam Program Studi Jantung dan Pembuluh Darah, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP(K) selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), SpJP(K) selaku Sekertaris Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan saran dalam penelitian ini.
4. dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K) selaku Ketua Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan selaku pembimbing dua penulis dalam penyusunan tesis ini yang telah memberikan ide, arahan serta masukan sehingga dapat menerapkan pola berpikir yang komprehensif mengenai tulisan ini
5. dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Cardio), Sp.JP selaku Sekretaris Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kritikan dan saran yang begitu berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
6. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) selaku pembimbing satu penulis dalam penyusunan tesis ini yang telah memberikan ide, arahan serta masukan sehingga dapat menerapkan pola berpikir yang komprehensif mengenai tulisan ini.
7. dr. Zainal Safri, Sp.PD, SpJP(K) sebagai pembimbing dua penulis yang telah membimbing dan mengoreksi serta memberikan saran-saran berharga dalam penulisan penelitian ini.
8. Para guru penulis: Prof. dr. T. Bahri Anwar, SpJP(K); Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K); Prof. dr. Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K); Prof. dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP(K); Alm. dr. Maruli T.
Simanjuntak SpJP(K); dr.Nora C. Hutajulu, SpJP(K); Dr. dr. Zulfikri Mukhtar, SpJP(K); Alm. dr. Isfanuddin N. Kaoy, SpJP(K); dr. Parlindungan Manik, SpJP(K); dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP(K); dr. Amran Lubis, SpJP(K); dr. Nizam Akbar, SpJP(K); dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP(K); dr.
Andre P. Ketaren, SpJP(K); dr. Andika Sitepu, SpJP(K); dr. Anggia C.
Lubis, SpJP; dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked(Cardio), SpJP(K); dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked(Cardio), SpJP(K); dr. Hilfan Ade Putra Lubis, M.Ked(Cardio), SpJP; dr. Andi Khairul, M.Ked(Cardio), SpJP; dr. Abdul Halim Raynaldo, M.Ked(Cardio), SpJP(K); dr. M. Yolandi, SpJP; dr. Yuke Sarastri, M.Ked(Cardio), SpJP; dr. Teuku Bob Haykal, M.Ked(Cardio), SpJP, dr. Faisal Habib Sp.JP, dr. T Winda Ardini M.Ked (Cardio) Sp. JP serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan dan dorongan selama mengikuti program pendidikan spesialis ini.
9. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas, dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Studi Jantung dan Pembuluh Darah Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular.
10. Suami penulis dr. Kharisma Prasetya Adhyatma yang selama ini selalu memberikan dukungan, doa, moril, perhatian serta turut membantu penulis dalam metodologi dan pengolahan data penelitian sehingga penulis tetap semangat dan dapat menyelesaikan pendidikan sampai selesai.
11. Kedua orang tua kandung penulis, abah tercinta, Ir. H. Ali Umar Bahadjadj dan ibunda tercinta, Hj. Yanrina Savitri, yang selama ini telah memberikan dukungan dan perhatian serta doa dan nasihat agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.
12. Kedua mertua penulis, Alm. dr. Tunggul Sukendar, Sp.PD-KGH dan dr.
Erlida Hanum, yang selama ini telah memberi dukungan dan doa yang tulus agar mengikuti pendidikan sampai selesai.
13. Kepada kakak dan abang penulis yakni Alvina Masyita, SH. MKn, Umar Ali, ST, dan Hamzah Ali, ST yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tesis ini serta seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
14. Keempat sahabat seperjuangan penulis dr. Mirhansyah Perdana Hutasuhut, dr. Cindy A Sitompul, dr. Safni Marlina dan dr. Farida Hanum Margolang yang sedari awal masa pendidikan telah bersama – sama dengan penulis saling membantu dan bekerja sama melalui berbagai proses pendidikan.
15. Kepada dr. Bertha Gabriella Napitupulu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
16. Rekan-rekan sahabat Kelakar Medan yang telah memberikan waktu dan tenaga dalam membantu pengambilan sampel penelitian dan memberikan masukan serta saran dan doa dalam penyelesaian tesis ini.
17. Para perawat Pusat Jantung Terpadu RSUP HAM yang telah memberikan kesempatan kepada penulis pada waktu luang untuk mengambil data sampel penelitian.
18. Para staf administrasi Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Ahmad Syafi’i, Nanda dan Husna yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2020
Penulis
Abstrak
Latar Belakang : Sudut gelombang QRS – T bidang Frontal merupakan sudut antara arah depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Kelainan pada sudut QRS-T dapat mencerminkan ketidakstabilan listrik, menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Sudut Gelombang QRS – T bidang Frontal dapat memprediksi defek perfusi miokard pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST).
Metode : Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang terhadap pasien dengan riwayat IMA-EST di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan sejak Juni 2018 sampai maret 2020. Subjek selanjutnya dilakukan elektrokardiografi (EKG) dan sidik perfusi miokard (SPECT) untuk mendapatkan sudut QRS-T bidang frontal dan nilai defek perfusi miokard.
Hasil : Dari 40 orang pasien dengan riwayat IMA-EST didapatkan sudut gelombang QRS – T bidang frontal memiliki korelasi positif dengan kekuatan korelasi moderate (r = 0,543 ; p < 0,001) terhadap defek perfusi miokard. Titik potong sudut gelombang QRS-T terbaik dalam memprediksi defek perfusi miokard yaitu > 70o dengan sensitifitas 70,6% dan spesifisitas 82,6%.
Kesimpulan : Sudut gelombang QRS – T bidang frontal merupakan penentu independen untuk defek perfusi miokard pada pasien dengan riwayat IMA-EST.
Kata Kunci : IMA-EST, Sudut Gelombang QRS – T bidang frontal, Defek Perfusi Miokard
Abstract
Background: The frontal QRS-T angle is the angle between ventricular depolarization and repolarization. The QRS-T angle abnormalities will mirror the electrical instability, placing the patient in high risk of cardiac arrhythmia and sudden cardiac death. This study was conducted to analyzed as if the QRS-T angle will predict the myocardial perfusion defect in acute ST elevation myocardial infarction (STEMI).
Methods: This is a cross sectional study which conducted in patients with previous history of STEMI in H. Adam Malik General Hospital Medan from June 2018 until March 2020. The patients will then be undergoing electrocardiography (ECG) and myocardial perfusion scintigraphy (SPECT) to acquire the frontal QRS-T angle and myocardial perfusion defect score.
Results: Over 40 patients with prior STEMI we found the frontal QRS-T angle has a positive moderate correlation (r = 0,543; p < 0,001) with myocardial perfusion defect. The best cut-off value for frontal QRS-T angle to predict myocardial perfusion defect ia > 70o with sensitivity and specificity of 70.6% and 82.6%, respectively.
Conclusions: The frontal QRS-T angle is an independent predictor for myocardial perfusion defect in patient with previous history of STEMI.
Keywords: STEMI, frontal QRS-T angle, myocardial perfusion defect.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
Abstrak ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ...xv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ... 2
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 3
1.4.1 Tujuan Umum ... 3
1.4.2 Tujuan Khusus ... 3
1.5 Manfaat Penelitian ... 3
1.5.1 Kepentingan Akademik ... 3
1.5.2 Kepentingan Masyarakat ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1 Penyakit Jantung Koroner (PJK)... 4
2.2 Klasifikasi Penyakit Jantung Koroner ... 5
2.3 Elektrokardiografi pada Penyakit Jantung Koroner ... 6
1.3.1 Heterogenitas Repolarisasi ...10
1.3.2 Sudut Gelombang QRS-T ...11
2.4 Sidik Perfusi Miokard (SPM) ...14
2.5 Single-Photon Emission-Computed Tomography (SPECT) ...16
2.5.1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan SPECT...20
2.5.2 Persentase pengukuran perfusi ventrikel kiri (SS%, SR%, dan
SD%) ...23
2.6 Kerangka Teori ...25
2.7 Kerangka Konsep ...26
BAB 3 METODE PENELITIAN ...27
3.1 Desain Penelitian ...27
3.2 Tempat dan Waktu ...27
3.3 Populasi dan Sampel ...27
3.4 Besar Sampel ...27
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...28
3.5.1 Kriteria Inklusi ...28
3.5.2 Kriteria Eksklusi ...28
3.6 Defenisi Operasional ...28
3.7 Identifikasi Variabel ...30
3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian ...30
3.9 Pengelolaan dan Analisis Data...32
3.10 Etika Penelitian ...33
3.11 Perkiraan Biaya Penelitian ...33
BAB 4 HASIL PENELITIAN ...34
4.1 Karakteristik Penelitian ...34
4.2 Karakteristik Subjek Penelitian...34
4.3 Korelasi sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) dengan Myocardial Perfusion Defect (MPD) ...35
4.4 Titik Potong sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) untuk menilai Myocardial Perfusion Defect (MPD) ...36
4.5 Uji Kesesuaian Intraobserver dan Interobserver pada nilai sudut QRS- T bidang frontal (FQRST). ...37
4.6 Hubungan sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) berdasarkan Fraksi Ejeksi. ...38
4.7 Hubungan sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) berdasarkan lokasi
infark. ...38
4.8 Hubungan sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) berdasarkan revaskularisasi. ...38
BAB 5 PEMBAHASAN ...40
BAB 6 PENUTUP ...44
6.1 Kesimpulan ...44
6.2 Saran ...44
6.3 Keterbatasan Penelitian ...44
DAFTAR PUSTAKA ...45
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1 EKG normal ... 6
2.2 Vektor listrik jantung ... 8
2.3 Proyeksi 12 Sadapan Elektrokardiogram ...10
2.4 Skema Aksis Gelombang QRS dan T spasial. ...13
2.5 Skema Aksis Gelombang QRS dan T pada Bidang Frontal (FQRST) ...14
2.6 Modalitas pencitraan Sidik perfusi miokard ...17
2.7 Pembagian peta polar berdasarkan software Cedars-Sinai Medical Center ..18
2.8 Hasil normal dari sidik perfusi miokard ...19
2.9 Menunjukkan tingkat defisit perfusi pada saat stres ...20
2.10 Contoh skor perfusi miokard ...24
3.1 Skema Alur Penelitian ...32
4.1 Grafik Scatter Plot FQRST dengan %RS (MPD)...36
4.2 Kurva ROC FQRST dengan MPD ...36
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
2.1 Pengukuran Heterogenitas Repolarisasi Melalui EKG ...12
2.2 Perbandingan modalitas pencitraan untuk penilaian ventrikel kiri dan ukuran infark...16
2.3 Penilaian skala lima untuk menilai perfusi miokard...22
2.4 Skor perfusi ventrikel kiri ...23
4.1 Data Karakteristik Subjek Penelitian ...35
4.2 Area Under The Curve FQRST ...37
4.3 Uji Variabilitas Intra-observer nilai sudut gelombang QRS-T bidang frontal (FQRST) ...37
4.4 Uji variabilitas inter-observer nilai sudut gelombang QRS-T bidang frontal (FQRST) ...37
4.5 Hubungan sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) berdasarkan fraksi ejeksi (EF) ...38
4.6 Hubungan sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) berdasarkan lokasi infark Miokard ...38
4.7 Hubungan sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) berdasarkan revaskularisasi. ...39
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
SINGKATAN NAMA
201Tl Thallium-201
ACC American College of Cardiology AHA American Heart Association APTS Angina Pectoris Tidak Stabil BBB Bundle Branch Block
CABG Coronary Artery Bypass Graft CAD Coronary Artery Disease
CT Computed Tomography
Cx Circumflex branch
CMR Cardiac Magnetic Resonance ESC European Society of Cardiology EKG Elektrokardiografi
FQRST Frontal QRS-T Angle / sudut QRS-T bidang frontal CCU Coronary Care Unit
IMAEST Infark Miokard Akut Elevasi Segmen ST IMANEST Infark Miokard Akut Non-Elevasi Segmen ST LAD Left Anterior Descending
LV Left Ventricle MI Miokard Infark
MRI Magnetic Resonance Imaging PJK Penyakit Jantung Koroner PET Positron Emission Tomography QPS Quantified Perfusion Spect RCA Right Coronary Artery
RSHAM Rumah Sakit Haji Adam Malik SKA Sindroma Koroner Akut SPM Sidik Perfusi Miokard
SPECT Single-Photon Emission-Computed Tomography
SSS Summed Stress Score SRS Summed Rest Score SDS Summed Difference Score Tc-99m Technetium Tc-99m UAP Unstable Angina Pectoris WHO World Health Organization
LAMBANG
N Jumlah subjek.
Zα Nilai standar alpha 5 % hipotesis satu arah, yaitu 1.96 Zβ Nilai standar beta 20 %, 0.84
R Nilai korelasi minimal yang dianggap bermakna (0,5)
BAB 1 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung koroner (PJK) berkontribusi besar terhadap kematian pada individu di seluruh dunia. Di Cina, kejadian dan kematian PJK meningkat setiap tahun. Sindroma koroner akut (SKA) adalah jenis PJK berat yang perlu didiagnosis, pemberian anti-platelet, dan revaskularisasi sesegera mungkin. Baru-baru ini, pedoman ACC / AHA dan ESC telah menekankan pentingnya penegakan diagnosis dini dan revaskularisasi karena manfaat yang jelas dari perawatan klinis secara dini.
Mematuhi pedoman PJK secara ketat dapat menurunkan angka mortalitas pasien PJK. Sejumlah rumah sakit dan pusat klinis telah membentuk Coronary Care Unit (CCU) untuk menyembuhkan PJK parah yang diperkirakan memiliki kemungkinan kematian yang lebih tinggi, terutama infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) dan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (IMANEST) (Fu C, dkk, 2015) Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang (InfoDATIN, 2014).
Disfungsi ventrikel kiri tetap menjadi salah satu penentu prognostik terbaik untuk harapan hidup pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Pada awalnya diketahui kerusakan miokardium yang terjadi setelah infark bersifat permanen.
Namun, kemudian diketahui bahwa beberapa jaringan yang terlibat tetap aktif dan kontraktilitas dapat dipulihkan dengan revaskularisasi. Mengingat bahwa fungsi sistolik ventrikel kiri yang memburuk akibat iskemia telah terbukti berhubungan dengan outcome yang lebih buruk, tetapi tidak semua miokardium membaik dengan revaskularisasi, viability study telah dipelajari dan digunakan dengan baik (Loffler A.I dan Kramer C.M, 2018).
Single-Photon Emission CT (SPECT) menggunakan tracer berlabel radionuklir untuk mengukur konsentrasi tracer regional dalam miokardium dan dapat mengukur viabilitas dengan menentukan persentase serapan puncak tracer.
Hal ini dapat diintepretasikan pada saat pengambilan gambar istirahat saja ataupun dengan protokol latihan/istirahat. Tracer yang paling umum digunakan dalam pemeriksaan ini adalah 99mTc-sestamibi atau 201TI. Kedua tracer ini telah terbukti memiliki hasil yang sebanding dalam memprediksi pemulihan infark istirahat.
Radiotracers masuk dalam miosit dengan membran sel tetap utuh. Nilai prognostik dari single-photon emission computed tomography myocardial perfusion imaging (SPECT MPI) telah digunakan dengan baik dalam banyak subkelompok pasien dengan dugaan atau yang diketahui menderita penyakit arteri koroner stabil (CAD) serta setelah infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) pada pasien yang diobati dengan trombolisis (Smit J.M dkk, 2018).
Sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) didefinisikan sebagai nilai absolut dari perbedaan antara sumbu gelombang QRS dan sumbu gelombang T pada elektrokardiogram 12-lead adalah salah satu penanda repolarisasi ventrikel.
Kelainan pada sudut QRS-T dapat mencerminkan ketidakstabilan listrik, menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak. Meskipun infark miokard (MI) adalah penyakit jantung struktural utama yang mengubah repolarisasi ventrikel, hubungan antara tingkat defek perfusi miokard dan sudut QRS-T masih harus diselidiki. Perfusi miokard dengan SPECT berdasarkan EKG adalah modalitas unik yang memungkinkan kita untuk mengevaluasi perfusi miokard dan fungsi ventrikel kiri secara simultan.
Dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk menilai efek cacat perfusi miokard pada sudut QRS-T bidang frontal pada pasien dengan penyakit jantung koroner sebelumnya menggunakan perfusi miokard SPECT (Kurisu S dkk, 2018).
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini diperlukan untuk mengetahui:
Apakah sudut gelombang QRS-T bidang frontal dari pemeriksaan EKG dapat menjadi parameter untuk menilai luas infark melalui pemeriksaan sidik perfusi miokard.
1.3 Hipotesis
Hipotesis Penelitian ini adalah: sudut gelombang QRS-T bidang frontal dari pemeriksaan EKG dapat menjadi parameter untuk menilai luas Infark melalui pemeriksaan sidik perfusi miokard.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Untuk melihat apakah nilai sudut gelombang QRS-T bidang frontal dapat menjadi parameter baru dalam menentukan luas infark pada pasien penyakit jantung koroner.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk melihat hubungan antara sudut gelombang QRS-T bidang frontal dengan luas infak pada pasien penyakit jantung koroner.
2. Untuk mendapatkan nilai cut of point sudut gelombang QRS-T bidang frontal yang bermakna dalam menilai luas infark pada pasien penyakit jantung koroner.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Kepentingan Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah dalam menentukan luas infark, dengan parameter yang lebih mudah dan praktis sehingga dapat diaplikasikan sehari-hari pada pemeriksaan pasien dengan penyakit jantung koroner.
1.5.2 Kepentingan Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat mengenai pentingnya pengetahuan tentang penyakit jantung koroner serta kemungkinan komplikasi yang dapat menyertai penyakit tersebut.
BAB 2
2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit yang disebabkan adanya plak yang menumpuk di dalam arteri koroner yang mensuplai oksigen ke otot jantung.
Penyakit ini termasuk bagian dari penyakit kardiovaskuler yang paling umum terjadi. Penyakit kardiovaskuler merupakan gangguan dari jantung dan pembuluh darah termasuk stroke, penyakit jantung rematik dan kondisi lainnya (WHO, 2013).
Penyakit jantung koroner (PJK) saat ini menjadi salah satu penyebab utama kematian di negara maju dan berkembang. Menurut WHO pada tahun 2004, di negara berkembang PJK menempati peringkat ke-2 penyebab kematian setelah stroke atau penyakit serebrovaskular lainnya. Sekitar 17,3 juta penduduk dunia pada tahun 2008 meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Jumlah ini diperhitungkan sekitar 30% dari seluruh kematian di dunia. Menurut statistik, sebanyak 7,3 juta orang yang meninggal akibat penyakit kardiovaskular disebabkan penyakit jantung koroner (WHO, 2013).
Penyakit jantung koroner terutama diawali disfungsi endotel yang menyebabkan arteri mengalami aterosklerosis dan kehilangan kelenturannya. Dan kemudian karena proses pembentukan atheroma terus berlanjut, maka arteri akan menyempit dan lama kelamaan ateroma membentuk gumpalan endapan kalsium, sehingga menjadi suatu plak rapuh dan dapat rupture sewaktu-waktu. Darah dapat masuk ke dalam plak ateroma yang ruptur, sehingga ateroma menjadi lebih besar dan semakin mempersempit arteri. Ateroma yang pecah akan memicu pembentukan bekuan darah (trombus). Selanjutnya trombus ini akan semakin mempersempit hingga menyumbat arteri secara total (Falk, 2006; Strom dkk, 2011).
Proses rupturnya plak, oklusi total ataupun parsial arteri koroner serta nekrosis sel-sel otot jantung disebut Sindroma Koroner Akut (SKA). SKA dibagi menjadi infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST), infark miokard akut dengan non elevasi segmen ST (IMA-NEST), dan angina pektoris tidak stabil (APTS).
2.2 Klasifikasi Penyakit Jantung Koroner Menurut (Putra S, dkk, 2013) Klasifikasi PJK :
1. Angina Pektoris Stabil / Stable Angina Pectoris
Penyakit Iskemik disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokard. Di tandai oleh rasa nyeri yang terjadi jika kebutuhan oksigen miokardium melebihi suplainya. Iskemia Miokard dapat bersifat asimtomatis (Iskemia Sunyi/Silent Ischemia), terutama pada pasien diabetes. Laki-laki merupakan 70% dari pasien dengan Angina Pektoris.
2. Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) / Unstable Angina Pectoris (UAP) Sindroma klinis nyeri dada yang sebagian besar disebabkan oleh disrupsi plak ateroskelrotik dan diikuti kaskade proses patologis yang menurunkan aliran darah koroner, ditandai dengan peningkatan frekuensi, intensitas atau lama nyeri, Angina timbul pada saat melakukan aktivitas ringan atau istirahat, tanpa terbukti adanya nekrosis Miokard.
a. Terjadi saat istirahat (dengan tenaga minimal) biasanya berlangsung> 10 menit.
b. Sudah parah dan onset baru (dalam 4-6 minggu sebelumnya), dan
c. Terjadi dengan pola crescendo (jelas lebih berat, berkepanjangan, atau sering dari sebelumnya).
3. Angina Varian Prinzmetal
Arteri koroner bisa menjadi kejang (Spasme), yang mengganggu aliran darah ke otot jantung (Iskemia). Ini terjadi pada orang tanpa penyakit arteri koroner yang signifikan, Namun dua pertiga dari orang dengan Angina Varian mempunyai penyakit parah dalam paling sedikit satu pembuluh, dan kekejangan terjadi pada tempat penyumbatan. Tipe Angina ini tidak umum dan hampir selalu terjadi bila seorang beristirahat - sewaktu tidur. Anda mempunyai risiko meningkat untuk kejang koroner jika anda mempunyai : penyakit arteri koroner yang mendasari, merokok, atau menggunakan obat perangsang atau obat terlarang (seperti kokain). Jika kejang arteri menjadi parah dan terjadi untuk jangka waktu panjang, serangan jantung bisa terjadi.
4. Infark Miokard Akut / Acute Myocardial Infarction
Nekrosis Miokard Akut akibat gangguan aliran darah arteri koronaria yang bermakna, sebagai akibat oklusi arteri koronaria karena trombus atau spasme hebat yang berlangsung lama. Infark Miokard terbagi 2 :
1. Infark Miokard Akut Non Elevasi Segmen ST (IMANEST) 2. Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST (IMAEST)
2.3 Elektrokardiografi pada Penyakit Jantung Koroner
Kompleks QRS adalah nama untuk kombinasi tiga defleksi grafis yang terlihat pada elektrokardiogram (EKG) yang menggambarkan depolarisasi ventrikel. Biasanya bagian tengah dan yang paling terlihat jelas dari penelusuran;
dengan kata lain, ini adalah lonjakan utama yang terlihat pada garis EKG. Ini sesuai dengan depolarisasi ventrikel kanan dan kiri jantung manusia dan kontraksi otot- otot ventrikel besar (Yanowitz, 2010).
Pada orang dewasa, kompleks QRS biasanya berlangsung 0,06-0,12 detik;
pada anak-anak dan selama aktivitas fisik, itu mungkin lebih pendek. Gelombang Q, R, dan S terjadi secara berurutan, tidak semuanya muncul di semua arahan, dan mencerminkan satu kejadian dan oleh karenanya biasanya dianggap bersama.
Gelombang Q adalah defleksi ke bawah segera setelah gelombang P. Gelombang R mengikuti sebagai lendutan ke atas, dan gelombang S adalah setiap defleksi ke bawah setelah gelombang R. Gelombang T mengikuti gelombang S, dan dalam beberapa kasus, gelombang U tambahan mengikuti gelombang T.
Gambar 2.1 EKG normal. (MacFarlane, 2010)
Vektor pertama: Depolariasasi Atrium yang menggambarkan impuls dari Sinoatrial Node dihantarkan ke atrium kanan yang digambarkan dengan setengah gelombang P pertama, dan diteruskan ke atrium kiri yang digambarkan dengan setengah gelombang P terakhir.
Depolarisasi ventrikel menghasilkan tiga vektor besar, yang menjelaskan mengapa kompleks QRS terdiri dari tiga gelombang. Sangat penting untuk memahami asal-usul gelombang ini.
Vektor kedua: septum ventrikel (interventrikular). Septum ventrikel menerima konduksi serabut Purkinje dari cabang berkas kiri dan oleh karena itu depolarisasi berlangsung dari sisi kiri ke arah sisi kanannya. Vektor diarahkan ke depan dan ke kanan. Septum ventrikel relatif kecil, itulah sebabnya mengapa V1 menampilkan gelombang positif kecil (r-wave) dan V5 menampilkan gelombang negatif kecil (gelombang-q). Dengan demikian, itu adalah vektor listrik yang sama yang menghasilkan gelombang-r di V1 dan gelombang-q di V5.
Vektor ketiga: dinding bebas ventrikel. Vektor yang dihasilkan dari aktivasi dinding bebas ventrikel diarahkan ke kiri dan ke bawah. Penjelasan untuk ini adalah sebagai berikut: Vektor yang dihasilkan dari aktivasi ventrikel kanan tidak datang ke ekspresi, karena ditenggelamkan oleh banyak vektor lebih besar yang dihasilkan oleh ventrikel kiri. Dengan demikian, vektor selama aktivasi dinding bebas ventrikel sebenarnya adalah vektor yang dihasilkan oleh ventrikel kiri. Aktivasi dinding bebas ventrikular berlangsung dari endokadrium ke epikardium. Ini karena serat Purkinje berjalan melalui endocardium, di mana mereka memberikan potensial aksi untuk berkontraksi sel. Penyebaran selanjutnya dari potensial aksi terjadi dari satu sel kontraktil ke sel yang lain, mulai dari endokardium dan menuju ke epikardium.
Gambar 2.2 Vektor listrik jantung (MacFarlane, 2010)
Vektor keempat: bagian basal ventrikel. Vektor akhir berasal dari aktivasi bagian basal ventrikel. Vektor diarahkan ke belakang dan ke atas. Ini menjauh dari V5 yang merekam gelombang negatif (gelombang-s). Lead V1 tidak mendeteksi vektor ini.
Mekanisme Potensial. Elektrokardiogram 12-lead (EKG) adalah tes noninvasif yang paling mudah tersedia untuk mendeteksi penyakit jantung.
Sebelum revolusi teknologi pada jantung tahun 1970-an dan 1980-an, EKG dan rontgen dada dilakukan untuk diagnosis jantung. Hari ini kegunaan EKG telah dilampaui oleh kemampuan ekokardiografi dan kardiologi nuklir untuk mengevaluasi kemungkinan disfungsi jantung.
Pada penelitian Rachel, dkk (1998), perpanjangan dari durasi QRS (0.10 s) pada EKG 12-lead standar dikaitkan dengan fraksi ejeksi yang lebih rendah dan volume end-systolic dan end diastolic yang lebih besar, sebagaimana ditentukan oleh pencitraan radionuklida. EKG 12 lead terbukti secara luas berguna untuk semua pasien dengan penyakit jantung yang dicurigai atau terdiagnosa. Meskipun informasi berharga untuk mendiagnosis ritme dan kehadiran atau ada tidaknya infark miokard akut atau hipertrofi ventrikel terkandung dalam EKG saat istirahat,
akan tetapi kegunaan durasi QRS sebagai penanda fungsi sistolik ventrikel kiri telah diabaikan. Studi sebelumnya mengindikasikan bahwa EKG normal saat istirahat dikaitkan dengan fungsi ventrikel kiri normal pada 92% hingga 95% kasus.
Sebelumnya, fraksi ejeksi ventrikel kiri dikatakan tidak berhubungan langsung dengan pemanjangan durasi QRS yang berkonduksi secara normal melalui sistem His-Purkinje. Setelah dilakukan penelitian, pada penderita gangguan miokard, ternyata dilatasi dari sistem intraseluler tubulus T dan adanya material yang bergetar dalam lumen tubulus T mungkin berhubungan dengan konduksi impuls dari permukaan sel ke dalam melalui tubulus T.
Perubahan mikroanatomi terkait iskemik atau miopati juga dapat menyebabkan gangguan natrium, dan dengan demikian mengurangi kecepatan konduksi, menghasilkan konduksi intraventrikular yang berubah atau memanjang.
Belum diketahui apakah hasil ini disebabkan oleh gangguan ventrikel kiri jangka panjang atau pemicu lain yang tidak diketahui.
Akumulasi kolagen interstitial juga dapat mempengaruhi komunikasi sel ke sel oleh desmosom dan mengarah pada durasi QRS yang lama. Meski orientasi gerakan miokard relatif tidak berubah pada kardiomiopati, kemungkinan kondisi yang mengatur konduksi anisotropik berubah sedemikian rupa sehingga konduksi longitudinal mendominasi, tetapi konduksi transversal yang relatif lebih lambat dari endokardial untuk permukaan epikardial mungkin masih menjadi lebih besar karena kesinambungan listrik terganggu secara difus antara bundel miokard yang berdekatan. Selanjutnya, impuls lebih lama berjalan di jantung yang melebar karena dengan peningkatan massa LV akan menghasilkan aktivasi ventrikel total yang lebih lama waktunya dan QRS yang lebih lebar.
Gambar 2.3 Proyeksi 12 Sadapan Elektrokardiogram 2.3.1 Heterogenitas Repolarisasi
Akibat mekanisme molekuler yang berbeda dan spesifik yang mendasari fenomena ini, proses patologis biasanya memiliki efek diferensial pada mereka. Ini termasuk fibrosis, tekanan dan volume yang berlebihan dan, relevan dengan ulasan ini, iskemia (Lederer 2003). Lebih khusus lagi, repolarisasi sangat memakan energi dan iskemia, melalui banyak mekanisme, telah terbukti memiliki efek yang tidak terduga. Akibatnya, gangguan pada repolarisasi dan hubungannya dengan depolarisasi dapat berguna dalam mendeteksi perubahan iskemik pada miokardium, sebelum menjadi jelas secara klinis. (Rodriguez dkk, 2006) (Kleber dkk, 1978)
Repolarisasi memiliki arah subepicardial ke subendocardial, berlawanan dengan depolarisasi, dan ini, dikombinasikan dengan perubahan polaritas yang berlawanan dalam jaringan, mengarah ke defleksi positif. Ini telah lama dikaitkan dengan efek diferensial tekanan transmural dan peningkatan regangan lapisan subendocardial, berpotensi menyebabkan iskemia ringan relatif dan aktivasi saluran ion peregangan, sehingga memperpanjang durasi potensial aksi dan menunda repolarisasi. Efek tekanan transmural ini tidak seragam di semua area ruang ventrikel, sehingga inversi positif gelombang T tidak akan lengkap. (Hurst 2005). Penilaian
Heterogenitas Repolarisasi dapat dilakukan dengan berbagai pengukuran yang didapat melalui elektrokardiogram.
2.3.2 Sudut Gelombang QRS-T
Sudut gelombang QRS-T didefinisikan sebagai sudut antara arah depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Sudut gelombang QRS-T yang lebar menunjukkan adanya abnormalitas struktural yang mengakibatkan depolarisasi atau perubahan patofisiologi regional dari kanal ion yang merubah repolarisasi.
Abnormalitas pada depolarisasi dan perubahan selama fase repolarisasi yang masih rentan dapat memprediksi mortalitas akibat kardiovaskular.
Pemeriksaan sudut gelombang QRS-T spasial ini tidak familiar dan tidak rutin digunakan oleh klinisi karena memerlukan perangkat lunak khusus dengan analisis elektrokardiografi terkomputerisasi. (Okin 2006).
Pengukuran EKG 12 sadapan dilakukan dengan pasien berada pada posisi berbaring menggunakan kecepatan kertas 25 dan 50 mm/s dan kalibrasi 10 mm/mV. Aksis gelombang QRS dan gelombang T diukur secara manual.
Aksis gelombang QRS diukur dengan menilai area defleksi positif dan negatif menggunakan sistem referensi hexaksial. Aksis gelombang T ditentukan dengan menganalisis sadapan frontal mana yang memiliki gelombang T tertinggi. Sudut gelombang QRS-T frontal dihitung menghitung perbedaan antara aksis gelombang QRS dan gelombang T dalam 180º, dengan kategori
<90º dikatakan normal, dan >100º dikatakan abnormal. (Aro 2012). Pada wanita, peningkatan risiko penyakit kardiovaskular ditunjukkan pada sudut gelombang QRS – T >60 º dengan peningkatan risiko yang signifikan pada sudut >90º, dan efek mulai mendatar setelah sudut ini. Pada pria, peningkatan risiko terlihat pada sudut >120, dengan peningkatan risiko signifikan pada sudut >150º. (Gotsman dkk, 2013).
Tabel 2.1 Pengukuran Heterogenitas Repolarisasi Melalui EKG (Prenner 2016) Sudut QRS-T yang melebar umumnya dikaitkan dengan hipertrofi ventrikel kiri, blok cabang-bundel, irama pacu / pacing, dan iskemia, yang merupakan kondisi yang diketahui terkait dengan aktivasi listrik abnormal.
Perubahan sudut QRS-T berkorelasi dengan perubahan LVEF, durasi QRS, dan kelas NYHA, menyesuaikan pengukuran novel ini ke dalam konteks faktor risiko kardiovaskular yang telah diketahui sebelumnya. (Pavri dkk, 2008)
Gambar 2.4 Skema Aksis Gelombang QRS dan T spasial (Skampardoni dkk, 2019).
Dalam subjek yang sehat, repolarisasi di dinding lateral cenderung bergerak berlawanan arah dengan depolarisasi. Di septum dan daerah miokard lainnya, hubungan ini bervariasi. Secara keseluruhan, arah rata-rata repolarisasi (T) lebih dekat ke tegak lurus dibandingkan arah yang benar- benar terbalik dengan depolarisasi (QRS). (Scherptong dkk, 2008)
Abnormalitas pada sudut QRS-T frontal dapat menandakan ketidakstabilan listrik, menempatkan pasien pada risiko lebih tinggi untuk aritmia ventrikel maligna dan kematian jantung mendadak. Selain itu, pada pasien dengan diabetes yang bebas dari penyakit kardiovaskular, peningkatan sudut QRS-T ditemukan secara independen terkait dengan indeks kinerja miokard ventrikel kiri yang lebih buruk. (Voulgari dkk, 2006)
Gambar 2.5 Skema Aksis Gelombang QRS dan T pada Bidang Frontal (FQRST) (Scherptong dkk, 2008)
Studi sebelumnya telah melibatkan skar ventrikel dan iskemia sebagai faktor yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan regulasi aktivasi listrik dan pemulihan ventrikel. (Selvaraj dkk, 2014)
2.4 Sidik Perfusi Miokard (SPM)
Sidik perfusi miokard adalah pemeriksaan non-invasif yang dapat mengevaluasi PJK dengan menilai defek pada miokard akibat terbatasnya aliran darah yang disebabkan stenosis arteri koroner dan sebagai modalitas untuk stratifikasi resiko. Sangat penting untuk setiap klinisi yang melakukan pemeriksaan nuklir agar memiliki pengetahuan dan pengertian yang baik dalam memahami tentang prosedur sidik perfusi miokard dan untuk menginterpretasikannya (Ben- Haim dkk, 2013; Slomkaa dkk, 2012).
SPM adalah pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk evaluasi perioperatif kardiovaskular dan nyeri dada. SPM memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi untuk infark miokard paska operasi dan kematian akibat jantung (Harafuji dkk, 2005). Suatu meta-analisis menunjukkan adanya suatu defek yang sedang hingga luas pada pemeriksaan SPM dapat menjadi suatu prediktor positif untuk kejadian infark miokard paska operasi dan kematian akibat jantung. Menurut The 2014 American College of Cardiology (ACC)/American Heart Association
(AHA) guidelines for perioperative cardiovascular evaluation and management of patients undergoing noncardiac surgery, pemeriksaan SPM menggunakan fase latihan diindikasikan untuk pasien preoperatif dengan peningkatan resiko dan kapasitas fungsional yang buruk dari hasil pemeriksaan non invasif menggunakan beban farmakologis, apabila hasilnya dapat mengubah strategi tatalaksana.
SPM juga diindikasikan untuk penyakit katup jantung, karena penyakit ini juga akan meningkatkan resiko kardiovaskular yang berhubungan dengan prosedur- prosedur bedah non kardiovaskular. Adanya defek reversibel pada SPM menjadi suatu prediktor komplikasi kardiovaskular perioperatif dan defek yang ireversibel menjadi prediktor kematian kardiovaskular jangka panjang (Fleisher dkk, 2014).
SPM umumnya juga diindikasikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi yang memiliki prognosis jangka panjang yang buruk dibandingkan pasien lainnya misalnya pada pasien diabetes yang sering mengalami silent ischemia setelah intervensi koroner, pasien gagal jantung yang sering mengalami kejadian kardiovaskular mayor dan pasien paska bedah pintas arteri koroner menggunakan saphenous vein graft. Kejadian iskemia pada SPM pasien-pasien diabetes yang tak bergejala memiliki resiko tinggi untuk prosedur intervensi ulangan meskipun tidak ada perbedaan kejadian kardiovaskular mayor yang signifikan apabila dibandingkan dengan pasien diabetes yang memiliki gejala (Anderson dkk, 1998;
Keeley dkk, 2001; L’Huillier dkk, 2003).
Dalam pemeriksaan SPM, modalitas non-nuklir yang dapat digunakan yaitu Ekokardiografi, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography (CT). Modalitas teknik nuklir yang telah diketahui hingga saat ini yaitu Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT) (Matsunari dkk, 2003).
Modalitas untuk pemeriksaan SPM juga dikelompokkan berdasarkan fungsi penilaian viabilitas miokardium yang terdiri dari pencitraan secara anatomis, fungsional dan biologis. Pencitraan anatomis menyediakan visualisasi langsung jaringan jantung seperti pada MRI dengan kontras, ekokardiografi, CT scan. MRI dengan kontras dapat memvisualisasikan jaringan parut dan membedakan infark transmural dan subendokardial. Penilaian fungsi ventrikel kiri juga dapat diperiksa
dengan menggunakan ekokardiografi, MRI dan CT scan, teknik ini dapat menilai fungsi kontraktilitasdan mengetahui adanya akinesia atau diskinesia yang dinilai sebagai jaringan parut transmural atau hipokinesia ringan sebagai miokard yang viabel. Pencitraan biologis dapat dilakukan menggunakan PET dan SPECT yang menilai metabolisme dan perfusi sel yang berkaitan dengan integritas sel membran dan keutuhan mitokondria (Patel dkk, 2015; Bax dan Delgado, 2015).
Tabel 2.2 Perbandingan modalitas pencitraan untuk penilaian ventrikel kiri dan ukuran infark (Anavekar dkk, 2016)
2.5 Single-Photon Emission-Computed Tomography (SPECT)
Modalitas pencitraan nuklir non invasif utama untuk melakukan sidik perfusi miokard adalah menggunakan Single-Photon Emission-Computed Tomography (SPECT). SPECT digunakan secara tipikal menggunakan sistem kamera gamma multidetektor (Bengel dkk, 2015). Teknik utamanya mencakup administrasi tracer radioaktif seperti Thallium-201 (201Tl) atau Technetium Tc-99m, dengan Tc-99m sestamibi sebagai tracer yang paling sering digunakan dalam praktik klinis.
Pemeriksaan SPECT ini mampu (i) menentukan lokasi regio iskemia untuk menentukan rencana revaskularisasi yang tepat dan (ii) menilai perluasan dan tingkat keparahan infark bagian jantung (Daly dkk, 2011).
Pemeriksaan SPM dengan SPECT jantung yang paling sering digunakan saat ini adalah menggunakan Technetium Tc-99m (Tc-99m). Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 83 % dan spesifisitas 65%. Radiofarmaka ini bersifat lipofilik sehingga mampu masuk ke dalam miokard melalui difusi pasif seiring dengan aliran darah.
Pemeriksaan ini menilai integritas membran mitokondria miokard, sehingga apabila terjadi kerusakan pada miosit maka akan menyebabkan penurunan akumulasi radiofarmaka ini di jaringan (Husain dkk, 2007).
Gambar 2.6 Modalitas pencitraan Sidik perfusi miokard (Anavekar dkk, 2016) Pemeriksaan SPM dengan SPECT diinterpretasikan melalui analisa kualitatif, kuantitatif dan evaluasi dari fungsi dan pergerakan dinding miokard. Analisa kuantitatif menggunakan suatu program yang sudah dibuat sedemikian rupa untuk membantu interpretasi hasil SPM.
Program ini menggunakan penilaian yang meliputi summed stress score (SSS), summed rest score (SRS) dan summed difference score (SDS). Sistem penilaian ini juga dapat menentukan keadaan perfusi dari miokard dan melihat reversibilitas dari defek miokard. Selain itu juga dilakukan penilaian pergerakan dinding miokard, fraksi ejeksi dan volume ventrikel kiri saat fase sistolik dan diastolik serta penilaian luas dan derajat kerusakan miokard (Shaw dkk, 2012).
Dengan menggunakan beban farmakologis berupa Dobutamine dosis rendah, maka SPECT dapat digunakan untuk menilai miokardium yang viabel dengan menilai contractile reserve dari segmen-segmen miokard yang mengalami disfungsi (Leoncini dkk, 2002).
Gambar 2.7 Pembagian peta polar berdasarkan software Cedars-Sinai Medical Center. Atas kiri : pembagian peta polar berdasarkan arteri; Atas kanan : pembagian berdasarkan kelompok arteri koroner. Pada pembagian peta polar berdasarkan arteri area-area yang tidak dapat secara tegas dihubungkan ke area suplai pembuluh koroner tertentu karena variabel vaskularisasi dihitamkan. LAD – left anterior descending branch, Cx – circumflex branch, RCA – right coronary artery. Bawah kiri : peta polar ventrikel kiri dibagi kedalam 17 segmen berdasarkan American Heart Association (AHA). Urutan di mana segmen diberi nomor dilakukan dengan berlawanan arah jarum jam. Segmen dasar diberi nomor 1–6, segmen tengah: 7–12, dan segmen paraapikal: 13–16. Gambar tersebut juga memberikan segmen ke kelompok arteri koroner tertentu. Area yang ditugaskan ke arteri desendens anterior
kiri dan cabang-cabangnya ditandai dengan biru; kelompok segmen yang ditugaskan untuk arteri sirkumfleksa dan cabang-cabangnya ditandai dengan kuning, dan kelompok arteri koroner kanan ditandai dengan merah Perlu dicatat bahwa penugasan segmen peta kutub untuk arteri koroner spesifik adalah perkiraan dan skematis; mungkin bervariasi tergantung pada jenis vaskularisasi ventrikel kiri.
(Czaja dkk,2017)
Gambar 2.8 Hasil normal dari sidik perfusi miokard.Tengah : Peta polar normal dari perfusi ventrikel kiri dengan aktivitas radiotracer yang rendah pada segmen basal sirkumferensial dan lebih ringan pada apex. Atas kanan : skor perfusi pada saat stress dan rest (pada kasus ini total skor 0). Bawah kanan : peta polar dibagi dalam 17 segmen. Pemeriksaan dilakukan di Laboratory of Nuclear Medicine of the Silesian Center for Heart Diseases in Zabrze (Cedars-Sinai Medical Center software; QPS – Quantified Perfusion Spect). (Czaja dkk, 2017)
Gambar 2.9 Menunjukkan tingkat defisit perfusi pada saat stres. Semua area pada peta polar dengan nilai-nilai di bawah normal dihitamkan (blackout polar map).
Defisit perfusi melibatkan dinding inferolateral, memperpanjang lebih dari 18 cm2., 22% dari permukaan ventrikel kiri Area iskemik mungkin berhubungan dengan arteri koroner kanan atau cabang sirkumfleksa. Pemeriksaan dilakukan di Laboratory of Nuclear Medicine of the Silesian Center for Heart Diseases in Zabrze (Cedars-Sinai Medical Center software; QPS – Quantified Perfusion Spect) (Czaja dkk, 2017)
2.5.1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan SPECT
Untuk menilai hasil pemeriksaan SPECT secara kualitatif ataupun visual, kunci utamanya adalah pelaporan mengenai ada atau tidaknya lokasi defek perfusi dan apakah gambaran defek pada stress masih reversible dibandingkan dengan saat rest atau istirahat (stress-induced ischemia) atau apakah defek perfusi saat stress irreversible/fixed yang menunjukan sudah terjadinya infark. Bahkan beberapa literature mengatakan perluasan dan keparahan abnormalitas perfusi berhubungan secara independent dengan
kejadian klinis kardiovaskular sehingga berkontribusi penting untuk memberikan informasi stratifikasi resiko (Hachamovitch dkk, 2011).
Perluasan abnormalitas perfusi adalah jumlah daerah atau territorial miokardium atau vaskular yang abnormal dan keparahan menunjukan jumlah penurunan ambilan tracer di zona abnormal dibandingkan dengan zona yang normal. Untuk meminimalkan subjektivitas interpretasi analisa semikuantitatif visual atau analisa kuantitatif penuh dengan computer dapat diterapkan. Model segmentasi telah distandarisasi untuk itu dengan membagi miokardium menjadi 17 segmen dengan dasar tiga potongan aksis pendek dan representasi potongan aksis panjang untuk menggambarkan apeks (Hachamovitch dkk, 2011).
Perfusi dibagi antara tiap segmen dengan diberi skala 0 hingga 4, dimana nilai nol menggambarkan perfusi yang normal dan nilai 4 menunjukan defek perfusi yang sangat parah. Jumlah nilai semua 17 segmen ditotalkan untuk mendapatkan nilai “summed score”. Jumlah nilai semua segmen yang diambil saat stress dinamakan summed stress score (SSS) menggambarkan perluasan dan keparahan abnormalitas perfusi yang diakibatkan oleh proses iskemia dan infark. Jumlah nilai yang diambil saat rest/ istirahat dinamakan summed rest score (SRS) menggambarkan perluasan dari infark. Pembagian derajat keparahan infarct berdasarkan Summed Redistribution Score (SRS) antara lain : Mild Infarct 0 – 5, Moderate Infarct 6 – 16, Severe Infarct > 4. (Smit J.M, dkk 2017).
Nilai summed difference score (SDS) yang merupakan hasil pengurangan SSS-SRS menggambarkan perluasan dan keparahan iskemia yang diinduksi oleh stress. Nilai ini digunakan untuk menggambarkan sejauh mana defisit / iskemia yang bersifat reversible. Skor SDS 0-1 menunjukkan tidak ada iskemia; 2–4 poin menunjukkan iskemia ringan; 5–6 poin mengindikasikan iskemia sedang; sementara 7 poin atau lebih mengindikasikan iskemia berat atau defisit perfusi stres yang signifikan. Skor segmental dapat dinilai baik secara subjektif melalui pengamatan visual
ataupun secara otomatis dengan software computer yang lebih sering digunakan secara luas. (Czaja dkk,2017)
Tabel 2.3 Penilaian skala lima untuk menilai perfusi miokard
Contoh penilaian perfusi menggunakan peta 17-segmen ventrikel kiri disajikan pada Gambar 3.1. Diperkirakan bahwa defisit perfusi ventrikel kiri dengan skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa aktivitas isotop di segmen ini sekitar 60% dibandingkan dengan area akumulasi radiotracer yang ditentukan sebagai 100%. Tiga poin menunjukkan aktivitas radiotracer antara 40% dan 60%, sementara 4 poin menunjukkan aktivitas radiotracer di bawah 40%
sehubungan dengan area dengan aktivitas 100%. Penilaian gangguan perfusi pada saat istirahat juga berguna untuk mengevaluasi vitalitas miokard. Bila SSS berjumlah kurang dari 4, perfusi dianggap normal atau minimal abnormal (tidak ada gangguan perfusi yang signifikan); hasil 4-8 poin menunjukkan perfusi mildly abnormal; 9-13 - perfusi moderately abnormal;
dan 13 atau lebih - adanya iskemia luas yang signifikan (Tabel 2.3).
Berkenaan dengan jumlah segmen dengan perfusi abnormal, area iskemik digambarkan kecil jika melibatkan 1 atau 2 segmen, moderate ketika melibatkan 3 atau 4 segmen, atau besar ketika melibatkan 5 atau lebih segmen (Czaja dkk, 2017)
Tabel 2.4 Skor perfusi ventrikel kiri
2.5.2 Persentase pengukuran perfusi ventrikel kiri (SS%, SR%, dan SD%)
Fakta bahwa peta polar dulu dibagi menjadi 20 segmen, sedangkan pembagian yang saat ini direkomendasikan meliputi 17 segmen, mengharuskan pengenalan pengukuran SSS, SRS, dan SDS yang dinormalisasi, yaitu masing-masing, SS%, SR%, dan SD%. SS% dihitung dengan membagi SSS dengan angka yang sesuai dengan nilai SSS yang menunjukkan defisit 4 di setiap segmen (80 poin untuk 20 segmen atau 68 poin untuk 17 segmen) dan kemudian mengalikan hasilnya dengan 100%.
Misalnya, saat menggunakan pembagian 17-segmen, SS% untuk SSS 13 berjumlah 19% (13: 68 × 100%). Nilai SS% hingga 4% menunjukkan perfusi normal; 5-9% - kelainan ringan; 10–14% - kelainan sedang; 14% atau lebih - kelainan signifikan. Nilai SR% dan SD% dihitung dengan cara yang sama.
Pasien dengan SD% melebihi 10% diyakini mendapat manfaat dari revaskularisasi terlepas dari fraksi ejeksi ventrikel kiri mereka. Sebailknya, terapi farmakologis yang optimal disertai dengan perubahan gaya hidup lebih dipilih pada pasien dengan SD% lebih kecil dari 10%. (Czaja dkk, 2017).
Gambar 2.10 Contoh skor perfusi miokard. Dalam hal ini, skor total defisit perfusi berjumlah 12 selama stres (SSS) dan 0 saat istirahat (SRS). Karena itu, selisih (SDS) berjumlah 12 poin. Defisit perfusi terletak di pada dinding anterior, septum, dan apeks (area LAD). Karena jumlah segmen yang dipengaruhi oleh defisit perfusi stres, hasil pemeriksaan secara signifikan positif. (Czaja, dkk 2017)
2.6 Kerangka Teori
Penyakit Jantung Koroner – (IMA-EST)
Infark dan iskemia miokard Summed Redistribution Score (SRS)
Persentase luas Infark Skar Ventrikel dan iskemia
Ketidak seimbangan regulasi aktivitas listrik jantung
Perubahan Repolarisasi
Deviasi Gelombang T Terhadap QRS
2.7 Kerangka Konsep
Pasien dengan riwayat Penyakit Jantung Koroner – (IMA-EST)
Kriteria Eksklusi
Pemeriksaan EKG Pemeriksaan SPECT
Sudut Gelombang QRS – T bidang Frontal
Summed Redistribution Score (SRS) - %SRS
Luas Infark
BAB 3
3METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang menguji sudut gelombang QRS-T bidang frontal (FQRST) dari pemeriksaan elektrokardiografi sebagai parameter diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai luas infarct yang dinilai dengan pemeriksaan sidik perfusi miokard menggunakan SPECT pada pasien dengan penyakit jantung koroner khususnya IMA-EST.
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan mulai Juni 2018 sampai Maret 2020
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi target adalah pasien yang sudah terdokumentasi sebagai penderita penyakit jantung koroner. Populasi terjangkau adalah pasien yang sudah terdokumentasi sebagai penderita penyakit jantung koroner yang akan menjalani pemeriksaan Sidik Perfusi Miokard menggunakan SPECT. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.4 Besar Sampel
Perkiraan besar sampel dihitung menggunakan rumus analitis korelatif:
𝑁 = # (𝑍𝛼 + 𝑍𝛽)
0,5𝑙𝑛[(1 + 𝑟)/(1 − 𝑟)]5
!
+ 3
Keterangan :
N = Jumlah subjek.
Zα = Nilai standar alpha 5 % hipotesis satu arah, yaitu 1.96 Zβ = Nilai standar beta 20 %, 0.84
r = Nilai korelasi minimal yang dianggap bermakna (0,5)
Dari perhitungan di atas, besar sampel minimal dalam penelitian ini adalah 28 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik consecutive sampling.
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien yang sudah terdokumentasi sebagai penderita penyakit jantung koroner (adanya lesi stenosis > 50% diameter arteri koroner yang dibuktikan dengan angiografi koroner setidaknya pada 2 dari 3 arteri koroner epikardial mayor ataupun cabang besarnya).
2. Pasien dengan riwayat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dalam waktu paling tidak 12 bulan setelah onset dan dilakukan pemeriksaan SPECT.
3. Tidak dengan irama EKG bundle branch block (BBB).
4. Tidak dengan gangguan katup berat.
5. Tidak dengan riwayat operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) 6. Tidak dengan perburukan gejala gagal jantung pada saat pemeriksaan
SPECT.
3.5.2 Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang tidak bersedia menandatangani formulir informed concent.
3.6 Defenisi Operasional
1. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan keadaan dimana terjadi penimbunan plak atau kelainan di pembuluh darah koroner. Hal ini menyebabkan lumen arteri koroner menyempit atau tersumbat sehingga dapat mengurangi sampai menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri (Rhee dkk, 2011). Dalam penelitian ini populasi PJK yang diambil adalah pasien dengan riwayat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) paling tidak 12 bulan setelah onset.
2. Sidik Perfusi Miokard (SPM) adalah suatu pemeriksaan nuklir non invasif yang mampu menilai kemampuan fungsional ventrikel kiri dan keadaan perfusinya baik di fase istirahat maupun dengan beban, sehingga dapat digunakan untuk deteksi primer PJK maupun menilai viabilitas miokard pada penderita PJK (Matsuo dkk, 2004 dan 2008).
3. SPECT (Single-Photon Emission-Computed Tomography) merupakan suatu modalitas pencitraan nuklir non invasif untuk melakukan sidik perfusi miokard yang menggunakan sistem kamera gamma multidetektor serta tracer radioaktif seperti Thallium-201 (201Tl) atau Technetium Tc- 99m, dengan Tc-99m sestamibi sebagai tracer yang paling sering digunakan dalam praktik klinis (Bengel dkk, 2015).
4. Summed Redistribution Score (SRS) adalah skor yang digunakan untuk menilai persentase myocardial perfusion defect (MPD) disebut juga dengan luas infark dengan menggunakan rumus; MPD (%) = SRS x 100 / 68 (Monica dkk,2017)
5. Interval PR pada elektrokardiografi adalah waktu yang dihitung pada awal gelombang P hingga awal kompleks QRS.
6. Durasi QRS pada elektrokardiografi adalah jarak antara awal gelombang Q dengan akhir gelombang S pada gambaran QRS kompleks elektrokardiografi.
7. Sudut QRS-T dari elektrokardiografi bidang frontal didefinisikan sebagai sudut antara arah depolarisasi dan repolarisasi ventrikel, yang diukur dari selisih aksis gelombang QRS dan gelombang T dalam bidang frontal dengan rentang 180º.
8. Merokok didefinisikan sebagai riwayat merokok aktif (sampai dengan dilakukannya angiografi koroner) atau subjek baru berhenti merokok dalam 6 bulan terakhir (ACSM coronary artery disease risk factor thresholds, 2008)
9. Riwayat hipertensi didefinisikan apabila memenuhi minimal salah satu kriteria berikut ini (Karlsberg dkk, 2011);
- Riwayat pernah didiagnosis oleh dokter menderita hipertensi dan telah diberikan obat anti hipertensi atau advis diet dan olah raga.
- Pada anamnesis dijumpai riwayat pemakaian obat anti hipertensi.
10. Diabetes didefinisikan sebagai berikut; Subjek selama ini telah atau pernah menggunakan obat hipoglikemik oral atau insulin, atau hasil pemeriksaan kadar gula darah selama perawatan di rumah sakit memenuhi salah satu dari kriteria; kadar HbA1C ≥ 6,5%, kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl, atau kadar gula darah post prandial ≥ 200 mg/dl (Karlsberg dkk, 2011).
3.7 Identifikasi Variabel
§ Variabel Bebas (independen) Skala
Sudut QRS-T bidang frontal Numerik
§ Variabel Terikat (dependen) Skala
Luas Infarct (% RS) Numerik
Summed Rest Score Numerik
Summed Stress Score Numerik
Summed Difference Score Numerik
3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian
Semua sampel penelitian adalah pasien yang sudah terdokumentasi dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) paling tidak 12 bulan setelah onset yang dilakukan pemeriksaan SPECT jantung di RSHAM Medan sejak bulan Juni 2018 hingga Maret 2020. Peneliti melakukan pengumpulan data melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, ekokardiografi, EKG, dan sidik perfusi miokard.
Sebelum dilakukan pemeriksaan SPECT jantung, dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi dengan kecepatan kertas 25 dan 50 mm/s dan kalibrasi 10 mm/mV pada posisi berbaring. Sudut gelombang QRS – T diambil dengan mengukur selisih derajat aksis gelombang QRS dan aksis gelombang T pada sadapan I dan aVF. Besar sudut dihitung dengan mengunakan rumus tangensial dan dapat pula diperoleh dari perhitungan mesin EKG menggunakan Elektrokardiografi
Bionet Cardiotouch 3000. Hasil elektrokardiogram akan divalidasi oleh 2 orang konsultan kardiologi.
Sampel pasien kemudian akan dilakukan pemeriksaan SPECT jantung menggunakan radiofarmaka Tc-99m Sestamibi protokol 1 hari dengan beban farmakologis berupa Dobutamine. Pemeriksaan SPECT menggunakan ECG-gated rotating 90º fixed dual-head gamma camera (Philips Medical System, Cleveland).
Dosis Dobutamine diberikan melalui infus intravena yang dimulai dari dosis 5-10 mcg/kg/menit yang dinaikkan bertahap dalam interval 3 menit hingga dosis maksimal 40 mcg/kg/menit. Radiofarmaka diinjeksikan pada saat puncak laju jantung (85% dari laju jantung maksimal yang diprediksikan) dan infus Dobutamine tetap dilanjutkan hingga setelah 1 menit injeksi radiofarmaka.
Pemeriksaan akan dihentikan pada pasien-pasien yang mengalami keluhan yang mengganggu (nyeri dada, vertigo, keringat dingin. jantung berdebar atau sesak nafas), perburukan hemodinamik atau perubahan EKG yang maligna selama pemeriksaan, kemudian pasien akan dieksklusikan dari penelitian.
Melalui pemeriksaan SPECT jantung, dilakukan analisa perfusi miokard melalui penilaian visual dan skor semikuantitatif. Hasil SPECT diproses menggunakan software AutoQuant yang dikembangkan oleh Cedars-Sinai Medical Center (Los Angeles, California). Penilaian skor semikuantitatif dengan program ini meliputi Summed Stress Score (SSS), Summed Rest Score (SRS) dan Summed Difference Score (SDS), dimana SDS = SSS - SRS. Summed Redistribution Score (SRS) adalah skor yang digunakan untuk menilai persentase defek perfusi miokard dengan menggunakan rumus; MPD (%) = SRS x100/68, Hasil SPECT jantung akan diinterpretasikan oleh dua orang yaitu Dokter Spesialis Kedokteran Nuklir (Sp.KN) dan dokter Spesialis Jantung. Setelah semua data terkumpul, dilakukan pengolahan data untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.
Alur Penelitian
Gambar 3.1 Skema Alur Penelitian 3.9 Pengelolaan dan Analisis Data
Variabel kategorik dipresentasikan dengan jumlah atau frekuensi (n) dan persentase (%). Variabel numerik dipresentasikan dengan nilai mean (rata-rata) dan standar deviasi. Untuk analisa statistik, pertama kali akan dilakukan uji korelasi Spearman antara nilai sudut QRS-T bidang frontal dengan hasil Summed Redistribution Score (SRS) untuk mencari korelasi dan kekuatan korelasi antara kedua variabel ini. Jika hasil Uji korelasi menunjukan hubungan yang bermakna maka kemudian akan dilakukan pengambilan nilai cut-off dari nilai sudut QRS-T bidang frontal menggunakan analisa kurva ROC (Receiver Operating Characteristic), selanjutnya akan dilakukan analisa nilai diagnostik dari nilai sudut
Pasien dengan riwayat Penyakit Jantung Koroner (PJK) – (IMA-EST) paling tidak
12 bulan sejak onset
Pemeriksaan Elektrokardiogram
Sudut gelombang QRS-T pada bidang frontal
Pemeriksaan Sidik Perfusi Miokard dengan SPECT
Summed Redistribution Score (SRS) - % RS
QRS-T bidang frontal menurut nilai cut-off yang didapat untuk menilai besarnya luas Infarct sesuai hasil SPECT jantung.
Analisa bivariat untuk menguji nilai QRS-T bidang frontal dengan parameter-parameter SPM melalui SPECT akan diuji dengan Chi-square dan Fisher’s Exact. Untuk melihat perbedaan karakteristik yang dinyatakan dengan variabel numerik digunakan uji T Independent untuk data yang berdistribusi normal sedangkan bila tidak berdistribusi normal digunakan uji Mann Whitney. Analisa data statistik menggunakan software statistik, nilai p < 0,05 dikatakan bermakna secara statistik.
3.10 Etika Penelitian
Penelitian ini akan meminta persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan izin penelitian dari Litbang RSUP H. Adam Malik Medan.
3.11 Perkiraan Biaya Penelitian
Pengurusan izin penelitian Rp. 500.000
Pengadaan alat tulis dan fotokopi Rp. 1.500.000
Pengolahan hasil statistic Rp. 1.500.000
Biaya-biaya lain/tak terduga Rp. 2.500.000
Total Rp. 6.000.000
BAB 4
4HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular RS. H. Adam Malik dengan mengambil data pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) mulai Juni 2018 sampai Maret 2020. Didapatkan jumlah sampel sebanyak 40 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sehingga dapat diikutkan dalam penelitian.
Dari seluruh jumlah sampel dilakukan pengumpulan data yang didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik, ekokardiografi, elektrokardiografi, dan sidik perfusi miokard. Dari pemeriksaan EKG akan didapatkan nilai sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) dan di saat bersamaan dilakukan pemeriksaan sidik perfusi miokard terhadap pasien dan akan di dapatkan nilai myocardial perfusion defect (MPD) atau disebut juga dengan %RS. Dilakukan analisis statistik untuk melihat ada tidaknya korelasi FQRST dengan MPD pada pasien IMA-EST dan seberapa kuat korelasi tersebut.
4.2 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 40 orang pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang telah memenuhi kriteria inklusi penelitian.
Dari 40 orang subjek penelitian didapatkan mayoritas berjenis kelamin laki-laki yaitu 38 orang (95%) dengan usia rata-rata 54,6 ± 7,32 tahun. Pasien STEMI Anterior didapatkan berjumlah 26 orang (65%) dan STEMI Inferior berjumlah 14 orang (35%). Dari karakteristik faktor resiko didapatkan Diabetes Melitus berjumlah 18 orang (45%), Hipertensi 26 orang (65%), dan Merokok 36 orang (90%). Pada penelitian ini didapatkan pasien CAD3VD berjumlah 19 orang (47,5%). Dari hasil SPECT Perfusi Miokard didapatkan jumlah rata-rata SSS 19,9
± 10,57 dengan rata-rata %SS 28,9 ± 15,52, rata-rata SRS 15,7 ± 9,86 dengan rata- rata %RS (MPD) 22,9 ± 14,50, dan SDS 3,5 ± 3,21 dengan rata-rata %DS 4,9 ± 4,7. Dari data EKG didapatkan rata-rata sudut QRS-T bidang frontal (FQRST)
adalah 66,8 ± 40,39 dengan fraksi ejeksi rata-rata 44,2 ± 11,79. Jumlah pasien yang dilakukan revaskularisasi pada penelitian ini yaitu 21 orang (52,5%) dengan waktu revask >12 jam berjumlah 16 orang (40%) dan <12 jam berjumlah 5 orang (12,5%).
Data lengkap tersaji pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik N = 40
Umur 54,6 ± 7,32
Jenis kelamin
Laki-laki 38 (95%)
Perempuan 2 (5%)
Diagnosis
STEMI Inferior 14 (35%) STEMI Anterior
Faktor Resiko
26 (65%)
DM 18 (45%)
Hipertensi 26 (65%) Merokok 36 (90%)
CAD3VD 19 (47,5%)
SPECT Perfusi Miokard
SSS 19,9 ± 10,57
%SS 28,9 ± 15,52
SRS 15,7 ± 9,86
%RS (MPD) 22,9 ± 14,50
SDS 3,5 ± 3,21
%DS 4,9 ± 4,7
FQRST 66,8 ± 40,39
EF
>50%
<50%
44,2 ± 11,79 17 (42,5%) 23 (52,5%) Revaskularisasi 21 (52,5%) >12 jam 16 (40%) <12 jam 5 (12,5%)
4.3 Korelasi sudut QRS-T bidang frontal (FQRST) dengan Myocardial Perfusion Defect (MPD)
Untuk menilai hubungan antara sudut FQRST dengan MPD dilakukan Analisa korelasi Pearson dengan hasil ditemukan korelasi positif dan moderate antara FQRST dengan MPD (Gambar 4.1).