DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Dibawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si
Oleh:
SYAIFUL ASMI HASIBUAN 168101009/S3-HK
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Dibawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si
Oleh:
SYAIFUL ASMI HASIBUAN 168101009/S3-HK
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Kasus di Sumatera Utara) ABSTRAK
Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu tindak pidana sering kali terabaikan bahkan tidak mendapat perhatian, terlebih lagi dengan meningkatnya perhatian terhadap pembinaan narapidana yang sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban, maka tidak mengherankan jika perhatian kepada korban semakin jauh dari kata perlindungan. Apalagi jika mengkaji lebih jauh tentang undang-undang pengkapusan kekerasan dalam rumah tangga, apabila pelaku terbukti telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak kemudian pelaku (orang tua) dijatuhi hukuman penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka siapa lagi yang akan memberikan nafkah kepada korban (anak)? Dijakau pelaku dikenakan sanksi denda, maka negaralah yang akan mengambil pembayaran atas denda tersebut, disamping itu juga tidak menutup kemungkinan uang pembayaran saksi denda yang digunakan pelaku pada dasarnya merupakan biaya yang akan dimanfaatkan oleh korban (anak) disaat anak (korban) tidak mendapatkan nafkah dari pelaku.
Pembahasan utama dalam penelitian ini mengenai formulasi perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga, hambatan hukum yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga, kebijakan perlindungan hukum pidana terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga di masa yang akan datang.
Penggunaan penelitian hukum normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti data pustaka (library research) yang mempergunakan sumber data sekunder, baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Serta penelitan ini bersifat preskriptif analisis, yang artinya penelitian ini tidak hanya menggambarkan dengan menganalisis suatu keadaan atau gejala, baik pada dataran hukum positif maupun empiris tetapi juga penelitian ini memberikan pengaturan yang seharusnya dan memecahkan permasalahan hukum. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif yang dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan anatara beragai jenis data kemudian dianalisis secara deskritif sehingga dapat ditarik kesimpulan dalam penelitian ini.
Penelitian ini, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga masih bersifat parsial yang keberadaannya masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan disamping itu juga perlindungan yang diberikan masih berisifat tidak langsung sehingga manfaat perlindungan hukum belum dapat dirasakan oleh anak secara maksimal. Hambatan dalam penerapan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga antara lain dari segi subtansi hukum, budaya hukum dan struktur hukum. Kebijakan hukum pidana yang masih memakai beberapa ketentuan hukum dari peninggalan pemerintah Kolonial Belanda yang tidak bisa sepenuhnya dikatakan sebagai kebijakan yang tidak sesuai dengan kesejahteraan masyarakat akan tetapi sudah sepatutnya serta mendesak untuk dilakukannya perumusan kebijakan hukum pidana yang lebih mengedepankan nilai-nilai yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat Indonesia, dengan mengutamakan pencegahan berupa penguatan kesehatan jiwa melalui pendidikan moral, agama, dan peningkatan usaha-usaha kesejahteraan masyarakat, serta yang tidak kalah pentingnya menekankan pada pemberian jaminan akan masa depan anak korban dari segi jaminan sosial berupa jaminan kesehatan, jaminan pendidikan serta pemberdayaan ekonomi guna menjamin masa depan anak korban yang lebih baik. Hilangnya arah, kepercayaan diri, dan banyaknya rintangan anak korban dalam menggapai cita-cita akan masa depannya sehinnga inilah yang menjadi momok yang harus dihilangkan, pemberdayaan ekonomi yang dilakukan sehingga dapat menopang anak dalam menata masa depannya serta terlindunginya hak asasi anak dan secara tidak langsung akan berdampak fositif pada keberlangsungan penerus cita-cita bangsa dan negara.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Anak, Korban Tindak Pidana, Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga.
i
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Syaiful Asmi Hasibuan NIM : 168101009
Program Stidi : Doktor Ilmu Hukum
Judul Disertasi : Perlindungan Huku, Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Sumatera Utara)
Dengan ini menyatakan bahwa Disertasi yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan plagiat. Apabila dikemuadia hari dikatahui Disertasi saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberikan sanksi oleh Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU dan saya tidak adakn menuntut pihak manapun atas kesalahan saya tersebut.
Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya dan dalam keadaansehat.
Medan, Maret 2021 Yang Menyatakan
Syaiful Asmi Hasibuan
KATA PENGANTAR
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kerisauan akademik mengenai konsepsi perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan sesksual oleh orang tua kandungnya sendiri. Anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual oleh orang tuanya sendiri atau yang terjadi dalam rumah tangga sebagai pihak yang sangat dirugikan. Apalagi jika mengkaji lebih jauh, jika pelaku terbukti telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak kemudian pelaku (orang tua) dijatuhi hukuman penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka siapa lagi yang akan memberikan nafkah kepada korban (anak), jikalau pelaku dikenakan sanksi denda atau restitusi atau ganti kerugian, maka tidak menutup kemungkinan uang pembayaran yang digunakan pelaku pada dasarnya merupakan biaya yang akan dimanfaatkan oleh korban (anak) yang merupakan kewajiban dari pelaku (ayah) untuk menafkasi korban (anaknya sendiri). Disamping itu juga dengan meningkatnya perhatian hukum terhadap pemenuhan hak azasi pelaku tindak pidana yang sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan hukum korban, maka tidak mengherankan jika perhatian kepada korban tindak pidana semakin jauh dari perlindungan hukum.
Berdasarkan pemikiran tersebut, penulis, setelah melakukan penelitian, berkesimpulan perlu dilakukan pembaharuan hukum yang lebih berorientasi pada perlindungan hukum terhadap korban terutama anak korban kekerasan seksual dalam rumah tangga sehingga muncul harapan akan kepastian hukum yang berkemanfaatan yang didasari oleh rasa keadilan. Disamping itu juga dengan
iii
pemenuhan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan seksual dalam rumah tangga merupakan tindakan realisasi dari pemenuhan amanat hak azasi insan manusia dan juga guna melindungi generasi penerus cita-cita bangsa dan negara, sebagaimana yang akan diuraikan dalam bab-bab penelitian ini.
Kelengkapan penulisan dalam penelitian ini tidak terlepas dari semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dukungan serta perhatian.
Sehingga dalam kesempatan ini izinkan saya sebagai penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dukungan sehingga penulisan penelitian ini dapat diselesaikan.
Rasa terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi- tingginya dari lubuk hati yang paling dalam, penulis sampaikan kepada seorang Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Ediwarman S.H., M.Hum. atas kesediaan beliau menjadi Promotor adalah suatu berkah bagi diri penulis. Kemahiran dan keahlian beliau dalam menjalaskan dan mengurai ilmu hukum pidana sehingga menambah kekaguman dan ketakjuban penulis terhadap beliau. Semoga kearifan dan segala ilmu yang beliau ajarkan menjadi teladan dan panutan bagi penulis dalam mengabdi melalui ilmu pengetahuan dibidang hukum.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Co-Promotor penulis seorang Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr.
Madiasa Ablisar, S.H., M.S., dan kapada Ibu Dr. Marlina S.H., M.Hum., atas kesediaannya menjadi Co-Promotor, serta ucapan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam atas tiada bosan-bosannya membimbing, menasehati
dan memberikan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan penelitian ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si serta kepada Rektor terdahulu Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan saat menjadi mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum., atas pelayanan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih kepada Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. M. Ekaputra S.H., M.Hum., sekalu Sekertaris Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan dalam hal ini juga selaku dosen penguji dalam penulisan penelitian ini atas kesediaan beliau menjadi dosen penguji serta bantuan dan nasihatnya selama ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Elwi Danil, S.H., M.H., selaku dosen penguji yang telah rela dan menyempatkan datang jauh- jauh dari kota Padang setiap kali penulis melakukan ujian, serta kepada Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS dan juga kepada Bapak Alm. Dr. M. Hamdan
S.H., M.H., selaku dosen penguji atas nasehat, arahan serta saran beliaulah yang selalu menjadi penuntun dalam kesempurnaan penulisan ini.
Ucapan terima kasih Kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TPA) pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara atas bantuan dalam penelitian lapangan. Terima kasih kepada teman-teman pada Lembaga Perlindungan Anak Sumatera Utara dan kepada teman-teman pada Pusat Kajian dan perlindungan Anak atas bantuan dalam kelancaran penelitian lapangan. Serta terima kasih atas dukungannya kepada teman-teman di LKBH Tunas Keadilan, dan teman-teman seperjuangan dalam menimbah ilmu pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum khusunya angkatan 2016.
Akhirnya semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan moral atau materi dalam penulisan ini, penulis mengucapkan terimaksi yang setinggi-tingginya semoga Allah SWT membalas kebaikan amal mereka. Mudah-mudahan Disertasi ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi pengembangan dan kemajuan pemikiran tentang hukum pidana di Indonesia.
Medan, Maret 2021
Syaiful Asmi Hasibuan
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTRA SKEMA ... xiv
DAFTAR SINGKATAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penulisan ... 9
F. Kerangka Teori dan Ladasan Konsepsional ... 12
1. Kerangka Teori ... 12
a) Teori Sistem Hukum ... 14
b) Teori Penegakan Hukum ... 21
c) Teori Perlindungan Hukum ... 26
2. Landasan Konsepsional ... 30
G. Metode Penelitian ... 34
1. Spesifikasi Penelitian ... 35
2. Metode Pendekatan ... 36
3. Alat Pengumpulan Data ... 36
4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 37
5. Analisis Data ... 37
BAB II FORMULASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA ... 39
vii
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban
Kekerasan Seksual ... 39
1. Konsep Anak ... 39
2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 44
3. Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak ... 45
4. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana... 47
B. Instrumen Nasional Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga ... 50
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... 51
a) Hak untuk mengajukan keberatan atas tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan. ... 51
b) Hak ganti kerugian ... 52
2. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia ... 54
a) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari pelecehan seksual selama dalam pengasuhan ... 54
b) Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. ... 55
c) Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual. ... 55
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 56
a) Hak Perlindungan Dari Semua Pihak ... 56
b) Hak Pelayanan kesehatan ... 58
c) Hak Penanganan secara khusus ... 59
d) Hak Pendampingan Pada Setiap Tingkat Proses Pemeriksaan... 60
e) Hak Pelayanan bimbingan rohani ... 61
4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak ... 61
a) Hak atas upaya rehabilitasi medis dan sosial, Hak Jaminan Keselamatan dan Hak informasi Perkembangan Perkara ... 62
5. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubanhan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 62
a) Hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya ... 63
b) Hak ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan ... 63
c) Hak memberikan keterangan tanpa tekanan ... 63
d) Hak mendapat penerjemah ... 63
e) Hak bebas dari pertanyaan yang menjerat ... 63
f) Hak mendapat informasi mengenai perkembangan kasus... 63
g) Hak mendapat informasi mengenai putusan pengadilan ... 64
h) Hak mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan ... 64
i) Hak dirahasiakan identitasnya ... 64
j) Hak mendapat identitas baru ... 64
k) Hak mendapat tempat kediaman sementara ... 64
l) Hak mendapat tempat kediaman baru ... 64
m) Hak memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan ... 64
n) Hak mendapat nasihat hukum ... 64
o) Hak memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir ... 64
p) Hak mendapat pendampingan. ... 64
6. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ... 65
a) Hak pengasuhan yang terlindungi dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan ... 65
b) Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan dan penyiksaan ... 66
c) Hak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya ... 66
7. PP No. 24 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban ... 67
a) Kompensasi ... 68
b) Restitusi ... 68
c) Bantuan ... 69
8. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 tahun 2019 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan ... 71
C. Instrumen Internasional Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga ... 73
1. Convention on the Rights of the Child/CRC (Konvensi tentang Hak-Hak Anak/KHA) ... 74 2. Convention on Protection of Children Against
Sexseal Exploitation and Sexual Abuse (Deklarasi
perlindungan Anak dari Eksploitasi dan Kekerasan
Seksual) ... 77 3. The Convention on the Elimination of Violence
Against Women an Againts Children (Deklarasi Penghapusan Selaga Bentuk Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Anak) ... 81
BAB III HAMBATAN HUKUM DALAM PENERAPAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL
DALAM RUMAH TANGGA ... 85 A. Hambatan Hukum Yang Terjadi Dalam Penerapan
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak
Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga ... 85 1. Substansi Hukum ... 85
a) Kewajiban Pemenuhan Minimal 2 (dua) Alat
Bukti ... 85 b) Kewajiban Yang Tidak Sebanding Dengan Hak
Yang Dimiliki Oleh Saksi Korban ... 86 c) Perspektif Tujuan Penegakan Hukum ... 88 d) Hak Ganti Kerugian Kepada Korban Masih
Menitik Beratkan Kepada Kerugian Materil ... 90 e) Perlindungan Hukum Belum Mencakup Kepada
Korban Kekerasan Seksual Dalam Rumah
Tangga ... 91 2. Budaya Hukum ... 92
a) Mediasi dan Negosiasi Yang Menyenyampingkan Pertanggungjawaban
Pidana Oleh Pelaku ... 92 b) Viktimisasi Berulang (Reviktimisasi) Ataupun
Double Victimization Kepada Korban ... 93
c) Menyalahkan Korban Atas Tindak Pidana Yang
Menimpanya ... 95
d) Hak Istimewa (Privilege) Yang Ada Dalam Struktur Kekerabatan Pada Masyarakat ... 96
e) Adanya Pemahaman Masyarakat Jika Masalah Rumah Tangga Adalah Masalah Pribadi ... 97
3. Struktur Hukum ... 98
a) Ruang Lingkup Kerja Aparat Hukum Dalam Memberikan Hak-Hak Korban ... 99
b) Masih Kurang Jelas Antara Tugas dan Kewewenang Aparat Hukum Dalam Pemberian Perlindungan Terhadap Korban ... 100
c) Kurangnya Pemahaman Aparat Hukum Akan Perspektif Perlindungan Korban ... 102
B. Penerapan Perlindungan Hukum Yang Telah Diberikan Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga ... 103
1. Gambaran Umum Kasus-Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga Di Sumatera Utara ... 103
2. Bentuk Perlindungan Hukum Yang Telah Diberikan Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga (Studi di Provinsi Sumatera Utara) ... 111
a) Uapaya perlindungan pada saat proses penangan perkara ... 111
i. Pendampingan Bantuan Hukum ... 112
ii. Pendampingan Kesehatan... 113
iii. Rumah Aman ... 113
b) Uapaya perlindungan pada saat pasca putusan
perkara ... 114
i. Pementauan Pasca Putusan ... 114
3. Evaluasi Penerapan Perlindungan Hukum Yang Telah Diberikan Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga (Studi di Provinsi Sumatera Utara) ... 116
a) Uapaya perlindungan pada saat proses penangan perkara ... 119
i. Pendampingan Bantuan Hukum ... 119
ii. Pendampingan Kesehatan... 120
iii. Rumah Aman ... 121
b) Uapaya perlindungan pada saat pasca putusan perkara ... 122
i. Pementauan Pasca Putusan ... 122
BAB IV KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA DI MASA YANG AKAN DATANG ... 124
A. Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga ... 124
1. Kebijakan Komponen Subtansial ... 126
2. Kebijakan Komponen Struktural ... 131
3. Kebijakan Komponen Kultural ... 133
B. Kebijakan Hukum Pidana Yang Seharusnya (Das Sollen) Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Di Masa Yang Akan Datang ... 137
1. Kebijakan Penal Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan
Seksual Dalam Rumah Tangga ... 138
2. Kebijakan Non Penal Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga ... 148
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 153
A. Kesimpulan ... 153
B. Saran ... 155
DAFTAR PUSTAKA ... 156
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 171
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Alur Pikir Kerangka Teori Yang Digunakan Dalam Penelitian Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga
(Studi Kasus di Sumatera Utara). ... 27
Skema 2. Alur Pikir Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak
Pidana. ... 45
xv
DAFTAR SINGKATAN
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
BW : Burgerlijk Wetboek
CRC : Convention on the Rights of the Child DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
EVRM : Europees Verdrag tot Bescherming van de Rechten van de Mens en de Fundamentele Vrijheden
HAM : Hak Azasi Manusia
HLM : Halaman
ICCPR : Internasional Convenant on Civil and Political Rights
IBID : Ibid
JO. : Junto
KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KHA : Konvensi Hak Anak
KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUH PERDATA : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata LOC. CIT : Locere Citato
LPA : Lembaga Perlindungan Anak
LPSK : Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MA : Mahkamah Agung
MvT : Memory van Toelichting
NKRI : Negara Kesatua Republik Indonesia
NO : Nomor
OP.CIT : Opere Citato
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PERDA : Peraturan Daerah
PERKAP KAPOLRI : Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia PERMEN : Peraturan Mentri
PERPRES : Peraturan Presiden PID. SUS : Pidana Khusus
PKPA : Pusat Konsultasi dan Perlindungan Anak
PN : Pengadilan Negeri
PN SBG : Pengadilan Negeri Sibolga
PN MDL : Pengadilan Negeri Mandailing Natal PMH : Perbuatan Melawan hukum
PP : Peraturan Pemerintah
PT : Pengadilan Tinggi
PUSPA : Pusat layanan Informasi dan Pengaduan Anak
P2TPA : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
REG : Registrasi
RI : Republik Indonesia
xvi
RKUHP : Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
RUU : Rancangan Undang-Undang
SD : Sekolah Dasar
SDM : Sumber Daya Manusia
SM : Sebelum Masehi
SMP : Sekolah Menengah Pertama SPPA : Sistem Peradila Pidana Anak
SP2HP : Surat Pemberitahuan perkembangan Hasil Penyidikan
SUMUT : Sumatera Utara
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
USU : Universitas Sumatera Utara
VOL : Volume
WvSNI : Wetboek van Strafrecht voor Nedelandsch Indie
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan suatu negara yang sangat menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak azasi manusia. Dalam konstitusi negara Indonesia sangat jelas ditentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.1 sehingga sudah selayaknya setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan keamanan dalam segala aspek kehidupan.2 Hukum mempunyai posisi yang sangat strategis dan dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keberadaan aturan baik yang bersifat formal maupun non formal yang berlaku di masyarakat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar, melalui tingkat yang paling sederhana sampai tingkat yang kompleks serta mempunyai hubungan erat dengan keadaan masyarakat.3 Hukum tidak saja memberikan suatu ganjaran bagi seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi hukum juga harus mampu berperan dalam melindungi seseorang yang menjadi korban dari tindak pidana yang terjadi.
Salah satu tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.4 Tujuan ini harus dimaknai sebagai
1Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat 3 “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
2Titik Triwulan Tuti, Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana 2010) hlm. 28
3Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsi dari Perspektif Hukum (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005) hlm. 11
4Landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-empat yaitu: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
1
perlindungan yang komprehensif bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Tujuan yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal yang ada didalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dikenal sebagai hak konstitusional, diantaranya: hak atas keadilan, hak atas perlindungan serta hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan.
Sehingga untuk mengimplementasikan tujuan tersebut, negara wajib memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara Indonesia terutama anak- anak dan kelompok yang rentan atau korban akibat suatu tindak pidana.
Perlindungan terhadap korban suatu tindak pidana apabila dicermati hanya memberikan perlindungan bersifat abstrak atau perlindungan tidak langsung yang dirumuskan kedalam kebijakan formulatif.5
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
5Dilihat dari keseluruhan tahap kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, tahap kebijakan formulasi merupakan tahap yang paling strategis dari keseluruhan proses oparasional atau fungsionalsasi dan konkritisasi hukum pidana. Pada tahap kebijakan formulasi inilah disusun semua “perencanaan” (planning) penanggulangan kejahatan dengan sistem hukum pidana. Keseluruhan sistem hukum pidana yang dirancang itu, pada intinya mencakup 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah perumusan tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan. Kalau menggunakan istilah Nils Jareborg, yang dirancang itu meliputi keseluruhan struktur sistem hukum pidana (the structure of the penal system) yang mencakup masalah “kriminalisasi dan pidana yang diancamkan”
(criminalization and threatened punishment), masalah “pemidanaan (adjudication of punishment (setencing), dan masalah “pelaksanaan pidana” (execution of punishment) Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakart, Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm. 223.
Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu tindak pidana sering kali terabaikan bahkan tidak mendapat perhatian, terlebih lagi dengan meningkatnya perhatian terhadap pembinaan narapidana yang sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban, maka tidak mengherankan jika perhatian kepada korban semakin jauh dari kata perlindungan.
Korban yang pada dasarnya pihak yang paling menderita atau mengalami kerugian akibat dari suatu perbuatan pelaku tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh peraturan perundang- undangan kepada pelaku Tindak Pidana.
Perlindungan terhadap korban suatu tindak pidana sangat penting diperhatikan dan diprioritaskan untuk mendapatkan perlindungan oleh karena penderitaan korban akibat suatu tindak pidana belumlah dapat dikatakan selesai atau berakhir dengan diganjarnya hukuman kepada pelaku tindak pidana atau telah usainya pelaku tindak pidana menjalani hukuman yang diberikan kepadanya sebagai ganjaran dari perbuatan yang dilakukannya.
Penegakan keadilan serta penghormatan terhadap hak azasi manusia tidak hanyak berlaku bagi pelaku saja melainkan juga kepada korban, seperti yang dikemukakan oleh Gies yang dikutip kembali oleh Elfina L. Sahetapy mengatakah bahwa “Too much attention has been paid to offenders and rights, to neglect of the victim”.6 Disamping itu juga hukum pidana hendaknya menyesuaikan kualitas
6Elfina L. Sahetapy, Persfektif Viktimologi Terhadap Korban Kejahatan Seksual, yang disampaikan pada Simposium Revitalisasi Hukum Nasional dan Penelitian Hukum Pidana dan Kriminologi ke-IV, kerjasama MAHUPIKI dan Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang NTT 24-28 April 2017; Terlalu banyak perhatian telah diberikan kepada pelanggar untuk hak-haknya dan mengabaikan korban. Serta lihat juga dalam Ni Putu Rai Yuliantini, Kedudukan
dan kuantitas penderitaan serta kerugian yang dialami oleh korban akibat suatu tindak pidana.7
Tindak pidana kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai tindak pidana terhadap kesusilaan semata. Padahal dalam beberapa pemberitaan yang ada baik dalam media elektronik maupun media cetak menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius, berupa traumatik yang mungkin berlangsung seumur hidupnya, bahkan dalam beberapa kasus, kekerasan seksual dapat mendorong korban melakukan bunuh diri.8 Pandangan bahwa kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, kekerasan seksual dianggap sebagai kejahatan serta pelanggaran terhadap norma kesusilaan.9
Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat tindak pidana yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah
Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Berdasarkan Kuhap, Jurnal Komunikasi Hukum, Vo. 1 No. 1 Pebuari 2015: 83-94.
7Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, (Jakarta:
PT Djambatan, 2007) hlm. 122
8KOMPAS.com "Tragis, Ibu Muda 21 Tahun Bunuh Diri karena Malu Diperkosa 7 Pemuda", Ibu muda berusia 21 tahun warga Desa Bandang Laok, Kecamatan Kokop, Kabupaten Bangkalan, Madura ditemukan tewas di dapur rumahnya pada Rabu (1/7/2020) malam. Ia tewas bunuh diri dengan menenggak cairan pembersih lantai karena malu telah diperkosa tujuh pemuda beberapa hari yang lalu. Pemerkosaan terjadi pada Kamis (26/6/2020) dini hari di sebuah hutan di Desa Bungkek, Kecamatan Tanjung Bumi yang berjarak 600 meter dari rumahnya. Peristiwa tragis tersebut berawal saat korban dijemput dua pemuda pada Kamis (25/6/2020) malam untuk berbelanja di mini market. Usai berbelanja, mereka bertiga dihadang tujuh pemuda yang mengaku sebagai keluarga perempuan berusia 21 tahun tersebut. Tujuh pemuda tersebut mengaku korban sudah beberapa hari hilang. Karena percaya dua penjemput tersebut menyerahkan perempuan 21 tahun tersebut ke tujuh pelaku. Ternyata perempuan muda tersebut dibawa ke hutan dan diperkosa secara bergantian oleh tujuh pemuda tersebut.
9Ketentuan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dapat dikelompokkan menjadi: 1.
Tindak Pidana kesusilaan yang berkaitan dengan seks, diantaranya: a. Bentuk Kejahatan diatur dalam pasal 281-294; b. Bentuk Pelanggaran diatur dalam pasal 532-535; 2. Tindak Pidana Kesopanan, diantanya: a. bentuk kejahatan diatur dalam pasal 300-303; b. Bentuk pelanggarangan diatur dalam pasal 536-547 KUHP.
persoalan moralitas semata. Pengaitan kekerasan seksual dengan persoalan moralitas menyebabkan korban bungkam dan terkadang korban justru dipersalahkan atas kekerasan yang dialaminya. Disamping itu atas apa yang dialami korban dianggap sebagai aib, tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga bahkan lingkungannya. Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik keluarga ataupun masyarakat.
Pengucilan dan stigmatisasi atau pelebelan diri korban tindak pidana kekerasan seksual itu bahkan dapat berlangsung sekalipun pelaku diputus bersalah oleh pengadilan. Sangat ironi melihat realita ini, sedangkan negara, pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelenggaraan perlindungan terhadap anak,10 jikalau korban tindak pidana kekerasan seksual itu adalah seorang anak. Korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan integritas seluruh hidup korban yang menyebabkan korban merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Harus disadari, kekerasan seksual sesungguhnya mengancam keberlangsungan bangsa dan kualitas generasi yang akan datang.
Anak dengan segala keterbatasan yang dimilikinya mengakibatkan rentan untuk dijadikan korban tindak pidana, anak yang mengalami tindak pidana mengakibatkan anak menjadi tertutup dengan lingkungan sekitarnya, peribadi yang rapuh dan apatis. Walaupun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah menekankan hak perlindungan dan hak bebas dari
10Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak, Pasal 20 “Negara, pemerintan, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan anak”.
kekerasan sebagai salah satu hak konstitusional untuk seluruh warga negara Indonesia, akan tetapi anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga masih banyak terjadi.
Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi dalam rumah tangga, tidak bisa dihitung jumlahnya secara pasti, baik dalam skala nasional maupun dalam lingkup Provinsi Sumatera Utara. Banyak faktor yang menyebabkan tidak diketahui jumlah pasti anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga, diantaranya: database yang dimiliki Badan Pusat Statistik menggabungkan tindak pidana kekerasan seksual secara umum misalnya pemerkosaan, perzinahan, pencabulan disamping itu pelaku tindak pidana juga didabungkan baik itu ayah, paman, saudara kandung, kakek dan lain sebagainya.
Serta pada beberapa Pengadilan menggabungkan kualifikasi tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap anak kedalam kasus perlindungan anak dan kasus kesusilaan, yang sudah barang tentu kasus perlindungan anak bukan kasus kesusilaan saja serta kasus kesusilaan bukan hanya lingkup keluarga saja. Disamping itu juga adanya budaya masyarakat yang tidak memiliki keberanian untuk melaporkan kejadian tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga yang terjadi atau menimpanya.
Berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap anak yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, dapat dilihat dari beberapa kasus, diantanya: pertama, perkara nomor 30/Pid.Sus/2020/PN Sbg seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 jo. Pasal 76 D UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 10 (sepuluh) tahun; kedua, perkara nomor 113/Pid.Sus/2020/PN Sbg seorang ayah yang mencabuli anaknya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 jo. Pasal 76 D UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 7 (tujuh) tahun.
Ketiga, perkara nomor 137/Pid.Sus/2019/PN Mdl seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 16 (enam belas) tahun; keempat, perkara nomor 31/Pid.Sus/2019/PN Sbg seorang ayah yang mencabuli anaknya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 jo. Pasal 76 D UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 8 (delapan) tahun dan 6 (enam) bulan.
Kelima, perkara nomor 92/Pid.Sus/2017/PN Sbg seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 jo. Pasal 76 D UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 64 KUHP, dengan putusan penjara 14 (empat belas) tahun; keenam, perkara nomor 21/Pid.B/2007/PN Mdl seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 1 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP, dengan putusan penjara 11 (sebelas tahun) tahun; ketujuh, perkara nomor 58/Pid.B/2006/PN Mdl seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 1
UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 10 (sepuluh) tahun.
Tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap anak, ini bagaikan penomena gunung es “dipermukaan kelihatan hanya sedikit akan tetapi didasar sangat banyak”, begitulah tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap anak semakin digali semakin banyak kelihatan jumlahnya. Baik anak, dan ibu tidak mampu bahkan tidak memiliki keberanian dan kemauan untuk melaporkan atas perbuatan yang diderita oleh anak sehingga tidak jarang ibu dan anak seolah-olah berusaha untuk menutupi perbuatann yang menimpanya.
Banyak faktor yang melatar belakangi ibu, anak serta anggota keluarga lain menutupi kasus yang menimpanya, diantanya: kasus yang menimpa anak dianggap sebagai aib bagi kelurga, bahkan yang lebih memperihatikan lagi disaat ibu, anak serta keluarga lainnya mengatakan karena pelaku sebagai tulang punggung kelurga yang menafkahi keluga sehingga apabila pelaku dihukum maka nafkah kepada kelurga akan terhenti. Tidak bisa dipungkiri hukum nasional Indonesia telah mengatur tentang perlindungan korban tindak pidana akan tetapi undang-undang yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana yang selama ini ada masih bersifat parsial yang keberadaannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga hanya berlaku bagi tindak pidana tertentu.
Dari aspek yuridis, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban, yaitu aspek substansi, struktur, dan
budaya hukum.11 Ditingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi akan tetapi sebagaiann jenis kekerasan seksual belum dikenal oleh hukum Indonesia. Sebagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur kekerasan seksual dalam konteks bentuk fisik dan hubungan badan belaka.
Tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap anak, termasuk bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang. Akan tetapi unit dan prosedur dalam lembaga penegakahan hukum saat ini belum tersedia disemua tingkat penyelenggaraan dan belum didukung dengan fasilitas maupun perspektif penanganan korban yang memadai. Tingkat kultur atau budaya hukum, masih terdapat cara pandang masyarakat tentang moralitas atas kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada anak korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban.
Pertanyaan seperti memakai baju apa, berada dimana, jam berapa, bagaimana cara melakukannya merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan ketika terjadi kasus kekerasan seksual.Pertanyaan semacam ini, tidak hanya menunjukkan ketiadaan perspektif korban, tetapi juga merupakan bentuk menghakimi korban dan membuat korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi). Disamping itu juga dalam jurnal Haryanto Dwiatmodjo, Prasel mengatakan bahwa:
11Lawrence M. Friedman, American Law at Introduction, Second Edition, Terjemahan Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2001) hlm. 190
“Victim was a forgetten figur in study of crime, victim of assault, robbery, theft and othe offences were ignored wile police, courts, and academicians concentrated on know violators”.12
Melihat uraian diatas, maka kedudukan korban dalam suatu tindak pidana dapat dikatakan tidak mudah dipecahkan dari sudut hukum. Masalah kepentingan korban tindak pidana sudah sejak lama kurang begitu mendapat perhatian dikarenakan obyek perhatian masih lebih terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana yang hal itu melekat pada theory retributive.13
Teori pemidanaan absolut atau theory retributive berasal dari zaman Hamurabi, dimana dalam hukumnya perhatian lebih terfokus pada masalah aspek penologis, yakni bagaimana supaya pelaku tindak pidana dapat dihukum sesuai dengan perbuatan yang terbukti dilakukannya sehingga mengakibatkan luputnya
12Haryanto Dwiatmodjo, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Banyumas, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 2, Mei 2011, hlm. 202: (Korban adalah sosok yang terlupakan dalam studi tentang kejahatan, korban penyerangan, perampokan, pencurian dan pelanggaran lainnya yang diabaikan di kepolisian, persidangan, dan para akademisi yang memperhatikan tentang kejahatan).
13RA Duff & David Garland, A Reader and Punisment, (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 214; Lihat juga dalam buku Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hlm. 90: Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan; lihat juga dalam buku Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 105: Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan; lihat juga dalam buku Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: Rafika Aditama, 2009) hlm. 24: Pada dasarnya penjatuhan pidana penderitaan kepada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain; disamping itu juga dalam buku yang sama, hlm. 26. 1.Tujuan pidana adalah semata- mata untuk pembalasan; 2.Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; 3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; 4.Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; 5.Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
perhatian mengenai penyelesaian masalah-masalah yang dialami oleh korban.14 Dalam theory retributive ini menekankan suatu kebijakan yang titik perlindungannya adalah pelaku (offender oriented). Disamping itu juga dalam suatu pernyataan dalam Randy E. Barnett dan John Hegel yang manyatakab bahwa:
“Crime is regarded as an offence against the state. The damage to the individual victim is incidental and its redress is no longer regarded as a function of the criminal justice process. The victim is told that if he want to recover his losses he should hire a lawyer and sue in civil court. The Criminal Justice System is not for his benefit but for the community’s. Its purposes are to deter crime, rehabili-tate criminals, punish criminals, and
14Bambang Poernomo, Hukum dan Viktimologi, Bahan Kuliah Magister Ilmu Hukum Pidana, Program pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 2002, hlm. 63. Dalam sumber yang berbeda dijelaskan bahwa salah satu sejarah pemidanaan absolut atau theory retributive berasal dari masa raja Hammurabi. Hammurabi adalah raja keenam dari Dinasti Babilonia pertama (memerintah 1792-1750 SM). ia lebih terkenal karena pada masa pemerintahannya dibuat kode resmi (hukum tertulis) pertama yang tercatat di dunia, yang disebut sebagai Piagam Hammurabi (Codex Hammurabi). Pada tahun 1901, arkeolog Perancis menemukan piagam tersebut ketika melakukan penggalian di bawah reruntuhan bekas kota kuno Susa, Babilonia. Piagam Hammurabi tersebut terukir di atas potongan batu yang telah diratakan dalam huruf paku (cuneiform). Piagam tersebut seluruhnya ada 282 hukum, akan tetapi terdapat 32 hukum diantaranya yang terpecah dan sulit untuk dibaca. Isinya adalah pengaturan atas perbuatan kriminal tertentu dan ganjarannya.
Diakses melalui Internet dari halaman web: https: //id.wikipedia.org/wiki/ Hammurabi, pada bulan Februari 2018; berkaitan dengan Penologi, lihat pada Thomas Sunaryo, Buku Modul Mata Kuliah Penologi, Akademi Ilmu Pemasyarakatan, 2009, hal 1. Yang dikutip dari International Encyclopedia of the Social Sciences, New York, The Macmillan Company & The Free Press, Vol.
11 No. 12, tahun 1972, hal 513 dijelaskan bahwa Francais Lieber (1829-1832) yang dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istilah penology. Menurutnya penologi memiliki pengertian sebagai: Penology that part if the science of criminology which studies the principles of punishment and the management of prisons, reformatories, and other confinement units (Penologi merupakan bidang studi dari kriminologi yang mempelajari prinsip-prinsi dari penghukuman dan manajemen penjara, reformatori (asrama) dan unit-unit pengekang lainnya); serta lihat juga dalam Iqrak Sulhin, Sekilas Perkembangan Teori Penologi, yang disampaikan di dalam Simposiom dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi ke IV, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) dan Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, 26 April 2017. Yang dijelaskan tentang Bahrudin Suryobroto berpendapat tentang penologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah penghukuman/pemidanaan serta sistem atau cara bagaimana memperlakukan orang-orang yang sedang dalam menjalani hukuman (narapidana); disamping itu juga dalam sumber yang sama Dragan Milovanovic dan Stuart Henry, menjelaskan bahwa Penology secara umum dibedakan kedalam enam bentuk kebijakan, yaitu:
penghukuman/pembalasan, inkapasitasi, penjeraan, rehabillitasi, pencegahan, dan restitusi/separasi.
do justice, but not to restore victims to their wholeness or to vindicate them.15
Apalagi jika mengkaji lebih jauh tentang undang-undang pengkapusan kekerasan dalam rumah tangga, apabila pelaku terbukti telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak kemudian pelaku (orang tua) dijatuhi hukuman penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka siapa lagi yang akan memberikan nafkah kepada korban (anak)? Dijakau pelaku dikenakan sanksi denda, maka negaralah yang akan mengambil pembayaran atas denda tersebut. Sedangkan tidak jarang uang yang dipergunakan untuk membayar uang denda adalah uang yang seharusnya dipergunakan korban dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya kelak.
Korban tindak pidana bisa mengalami kedua kalinya sebagai korban, yaitu korban secara pisik serta korban materi akibat proses peradilan pidana. Sedangkan tujuan pemidanaan itu harus memberikan manfaat kepada banyak orang bukannya hanya terhadap sebagaian orang tertentu (pelaku), melainkan hukum itu harus mampu menjamin kebahagiaan yang sejati dari sebahagian besar masyarakat (the greatest happiness of the great number).16
15Randy E. Barnett dan John Hegel III, edts., Assessing The Criminal: Restitution, Retribution, and the Legal Process, (Cambridge: Ballinger Publishing Company, 1977) hlm. 29:
(Kejahatan dianggap sebagai pelanggaran terhadap negara. Kerusakan pada individu korban bersifat insidentil dan ganti rugi tidak lagi dianggap sebagai fungsi dari proses peradilan pidana.
Jika korban ingin memulihkan kerugiannya, dia harus menyewa pengacara dan menggugat di pengadilan perdata. Sistem peradilan pidana bukan untuk kepentingan induvidu tetapi untuk pentingan masyarakat, yang tujuannya untuk mencengah kejahatan, rehabilitasi pelaku kejahatan, penghukuman pelaku kejahatan tetapi tidak untuk mengembalikan atau memulihkan korban kedalam keadaan seperti sediakala).
16Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008) hlm. 133; serta lihat juga Daniel W, & Gebriel Hassen Mohamed, Teaching Material on Jurisprudence, (Ethiopian Justice and Legal Research Institute, 2008) hlm. 51; Benthan is the leading authority in the utilitaria school of thought that teaches the greater happiness for the
Menurut Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum yang sejalan dengan azas equality before the law.17 Azas equality before the law merupakan azas penting dalam negara hukum terhadap penghargaan dan komitmen dasar dari prinsif keseimbangan semua warga negara baik seorang pelaku atau korban suatu tindak pidana.18 Perikemanusiaan dan perikeadilan,19 sebagai sendi nilai falsafah negara (Pancasila) menjiwai seluruh keberadaan hukum di Indonesia mulai dari Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hingga kepada peraturan perundang-undangan kebawahnya.
Sistem peradilan pidana apabila dikaji lebih mendalam, melalui produk peraturan perundang-undangan di Indonesia, belum benar-benar mencantumkan
greater part the society. Utiity, hence requares that law making and legal institutions be designed to promote the greatest happiness of the greatest number oof people. Utility would replace traditional, self-serving or subjectively moral evaluation wiht a rational evaluation of the worth of particural practice, institutions and politices. These would be judged in terms of how far they served the common good, measured in terms of maximization of satisfaction of the actual desires of the greatest possible number of the populatio. (Bentham merupakan tokoh utama dalam pemikiran manfaat yang mengajarkan kebahagiaan besar kepada masyarakat. Dengan manfaat, pembuat undang-undang dan istutusi hukum haruslah dirancang untuk kebahagiaan masyarakat banyak. Manfaat akan menggantikan sendiri evaluasi moral tradisi, subjektif dengan evaluasi rasional menganai nilai praktik, institusi, dan kebijakan tertentu. Hal ini akan dinilai seberapa jauh pelayanan kepentingan bersama, diukur dari segi maksimalisasi kepuasan keinginan sebenarnya jauh dari jumlah masyarakat banyak).
17Salah satu prinsip atau asas penting dari suatu negara hukum ialah asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Asas tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dengan tidak ada pengecualian. Artinya, dalam penegakan hukum semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama. Tidak ada istilah tebang pilih dalam penegakannya atau bahkan kebal terhadap hukum. Sehingga siapapun yang melanggar hukum, baik itu raja maupun rakyat biasa harus dipersamakan penegakannya dalam hukum.
18Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) hlm. 1.
19Perikemanusiaan dan Perikeadilan sebagai sendi nilai falsafah negara yang terdapat dalam Alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Perikemanusiaan menurut Kamus besar bahasa indonesia adalah sifat-sifat yang layak bagi manusia, seperti suka menolong, berimbang rasa dan lain sebagainya. Sedangkan Perikeadilan adalah segala hal mengenai sifat adil, yaitu memperlakukan orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan, menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya, tidak berat sebelah dan tidak pandang bulu.
tentang perlindungan terhadap korban tindak pidana secara khusus. Terhadap pelaksanaan hukum pidana, korban dari suatu tindak pidana dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) posisinya sangatlah kurang diperhatikan. Disamping itu juga Robert Reiff mengatakan, bahwa:
“The victim of a criminal act is only consideret as a supplementary legal subject, not as a legal subject that must be protected in priority but only seen as noting more than evidence”.20
Sehingga mengakibatan partisipasi korban tindak pidana dalam sistem peradilan dipandang sebagai pihak yang tidak begitu penting akan keberadaanya serta tidak adanya upaya pemulihan yang memadai untuk mengembalikan posisi korban seperti semula.21 Tindak pidana merupakan pelanggaran terhadap kepentingan umum yang termasuk kedalam hukum publik dan reaksi terhadap tindak pidana menjadi monopoli negara sebagai representasi publik atau masyarakat. Pandangan tersebut mendominasi dalam praktek hukum pidana yang mengakibatkan orang yang yang menjadi korban dan menderita akibat tindak pidana diabaikan oleh sistem peradilan pidana.
Sehingga nasib korban tindak pidana bisa diibaratkan seperti orang yang mengalami bencana alam dan sistem peradilan pidana tidak mempedulikan nasib orang yang menderita karena bencana alam.22 Negara (yang dalam hal ini diwakili oleh polisi dan jaksa) memiliki peran yang sangat dominan terhadap hukum
20Robert Reiff, The Invisible Victim, (New York: Basic Books Inc. Publishers, 1979) hlm.
76: (Korban tindak pidana hanya dianggap sebagai subjek hukum pelengkap, bukanlah sebagai subyek hukum yang harus dilindungi secara prioritas melaikan hanya dipandang tidak lebih dari sebagai bukti).
21Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran Ham Berat, Jakarta, 2005, hlm. 1
22Mudzakkir, Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14 No. 1, Maret 2011, hlm. 30
pidana sebagai wakil yang sah dari masyarakat untuk membela kepentingan publik, sesungguhnya telah mengambil alih peran korban sebagai pihak yang menderita karena suatu tindak pidana. Dominannya peran negara tersebut tidak diikuti oleh pengaturan hukum yang jelas mengenai hubungan hukum antara korban tindak pidana dengan negara. Sehingga apapun dan bagaimanapun tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan oleh polisi atau jaksa, dianggap sebagai langkah dan tindakan yang diinginkan oleh korban suatu tindak pidana.
Hubungan antara korban tindak pidana dengan negara yang dalam hal ini diwaliki oleh polisi dan jaksa digambarkan sebagai hubungan tidak langsung (indirect) yang tidak menimbulkan akibat hukum yang nyata. Sangat jauh berbeda apabila dibandingkan dengan hubungan antara tersangka (pelaku) dengan penasehat hukumnya (advokat) dimana dalam hubungan kedua subjek ini dijalin dengan hubungan yang langsung (direct) sehingga dengan demikian akan menghasilkan akibat hukum yang pasti serta terarah.23
Bukti nyata perlindungan hukum yang sangat tidak seimbang apabila dilihat atas perlakuan terhadap pelaku tindak pidana misalnya, sejak awal proses pemerikasaan hak-haknya sudah dilindungi, pelaku tindak pidana berhak memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma dari negara bagi mereka yang disangka melakukan tindak pidana tertentu, memperoleh perlakuan yang baik,
23Soeparman, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, Varia Peradilan, Vol. XXII No. 260 Juli 2007, hlm. 50, dijelaskan bahwa kepentingan korban tindak pidana telah diwakili oleh alat negara yakni polisi dan jaksa sebagai penyelidik, penyidik, penuntut umum, akan tetapi hubungan antara korban tindak pidana di satu pihak dengan polisi dan jaksa di pihak lain adalah bersifat simbolik, sementara itu hubungan antara terdakwa dengan penasehat hukumnya secara prinsip adalah murni dalam hubungan hukum antara pengguna jasa dan pemberi jasa yang di atur dalam hukum perdata. Polisi dan jaksa bertindak untuk melaksanakan tugas negara sebagai wakil korban tindak pidana dan atau masyarakat, sedangkan penasehat hukum bertindak atas kuasa langsung dari terdakwa yang bertindak mewakili terdakwa sendiri.
dijauhkan dari penyiksaan, bahkan hak untuk meminta ganti rugi manakala terjadi kekeliruan dalam proses pemeriksaan perkara pidana, singkatnya segala hak dan atribut yang melekat pada pelaku tindak pidana sebagai manusia dikemas dalam KUHAP.24
Banyaknya bermunculan teori-teori hukum yang membahas tentang perlindungan terhadap pelaku, hak-hak seorang tersangka, terdakwa dan terpidana sehingga membuat semakin terlindunginya pelaku tindak pidana dan sebaliknya mengakibatkan korban semakin terabaikan. Polisi, jaksa dan hakim yang dianggap sebagai perwakilan dari korban tindak pidana yang berhadapan langsung dengan pelaku tindak pidana. Apa yang telah dilakukan oleh jaksa penuntut umum sebagai wakil dari negara dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana dianggap sudah cukup dalam menyelesaikan persoalan tindak pidana.
Pemandangan yang sering dijumpai, bagaimana ketika seorang korban yang sudah diperiksa di pengadilan seolah-olah bukan orang yang dirugikan lagi.
Adanya kecenderungan pembiaran dari negara terhadap korban tindak pidana, sehingga mengakibatkan hal ini sangat ironis mengingat betapa pentingnya
24Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 56 (1), Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancama lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkatan pemeriksaan dalam proses pengadilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka, (2) setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 memberikan bantuan dengan Cuma-Cuma; Pasal 95 (1), tersangka, terdakwa dan terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diadili atau dikenakan tindakan-tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
memberikan penyagoman terhadap hak konstitusi korban yang dirugikan oleh pelaku.25
Uraian diatas menunjukan bahwa sudah selayaknya hukum pidana, harus dikaji ulang dan harus melihat kepentingan yang lebih luas, tidak hanya terfokus pada pembalasan bagi pelaku tindak pidana saja, akan tetapi juga kepentingan korban tindak pidana sudah selayaknya diperhatikan. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, sehingga menarik minat peneliti untuk mengangkat topik penelitian tentang perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga (studi kasus di Sumatera Utara).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan dasar pemikiran tersebut maka timbul beberapa permasalahan yang menjadi bahan penelitian ini, ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana formulasi perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga?
2. Bagaimana hambatan hukum yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga?
3. Bagaimana kebijakan perlindungan hukum pidana terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga di masa yang akan datang?
25Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) hlm. 54: dalam sumber tersebut Satjipto Raharjo mengatakan, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak azasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang teliti di atas, adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji dan menganalisis formulasi hukum dalam memberikan perlindungan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga.
2. Penelitian ini dirumuskan untuk mengkaji dan menganalisis hambatan hukum yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga.
3. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan hukum pidana memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga dimasa yang akan datang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi baik secara teoritas kepada disiplim ilmu hukum maupun secara praktis kepada para praktisi-praktisi hukum;
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan hukum pidana, kshususnya dalam hal perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga. Disamping itu juga sebagai bahan informasi bagi para