• Tidak ada hasil yang ditemukan

Convention on the Rights of the Child/CRC (Konvensi tentang Hak- Hak-Hak Anak/KHA) Hak-Hak Anak/KHA)

FORMULASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA

C. Instrumen Internasional Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga

1. Convention on the Rights of the Child/CRC (Konvensi tentang Hak- Hak-Hak Anak/KHA) Hak-Hak Anak/KHA)

Liga Bangsa-Bangsa yang merupakan cikal bakal lahirnya Perserikaran Bangsa-Bangsa pada tahun 1924 mendukurng dilakukannya deklarasi hak-hak anak, dan ini merupakan terobosan yang pertama guna menempatkan hak-hak terhadap anak kedalam piagam PBB.247 Tidak sampai disitu ide dasar selanjutnya datang pada saat dilakukannya deklarasi umum hak azasi manusia (universal declaration of human rights) dalam ketentuan yang terdapat pada deklarasi tersebut mencatatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak terhadap anak didalam isi deklarasi tersebut dan selanjutnya diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1948.

Dalam ketentuan yang terdapat pada deklarasi umum tersebut menyatakan bahwa “Semua manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam keluhuran dan hak”

247Pendahuluan Konvensi Hak Anak menyebutkan tentang pengasuhan khusus terhadap anak. kebutuhan itu disampaikan pada tahun 1924 dalam Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak.

dan juga menekankan bahwa “ Ibu dan Anak berhak atas perlakuan perlindungan khusus” serta harus merujuk kepada “keluarga sebagai kelompok yang fundamental dalam masyarakat”.248 Selanjutnya pada tahun 1962 konsep hukum internasional mengeni hak-hak anak mendapatkan dukungan melalui adopsi dua kovenan internasional, yang pertama Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan yang kedua tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.249

1. Civil and Political Rights, meliputi:

a. Hak hidup, kemerdekaan, dan keamanan.

b. Bebas dari perbudakan dan kerja paksa.

c. Bebas dari penganiayaan dan tindakan/perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak berperikemanusiaan atau bersifat merendahkan/menghina.

d. Hak atas pengakuan sebagai manusia pribadi dihadapan hukum.

e. Semua orang sama dihadapan hukum dan berhak mendapat perlindungan hukum yang sama.

f. Hak atas pengadilan yang efektif terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar hak-hak asasi/fundamental yang diberikan kepadanya oleh UUD atau UU.

g. Bebas dari penahanan atau pembuangan/pengasingan yang sewenang-wenang.

h. Berhak mendapat pemeriksaan yang adil dan terbuka (untuk umum) oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak.

i. Hak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya.

j. Hak untuk tidak dipersalahkan atas perbuatan yang tidak merupakan tindak pidana menurut hukum yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan.

k. Bebas dari gangguan/campur tangan yang sewenang-wenang dalam urusan pribadi, keluarganya, rumah tangganya, atau urusan surat menyurat.

l. Bebas bergerak/berpindah dan menetap, termasuk hak meninggalkan dan memasuki kembali suatu negeri.

m. Hak untuk mendapat tempat pelarian.

n. Hak atas kewarganegaraan.

o. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga.

p. Hak untuk memiliki sendiri atau bersama orang lain.

q. Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

248Pada bagian Menimbang juga menyebutkan bahwa dalam prinsip non diskriminasi dalam konsep hak azasi manusi, anak diakui sebagai pemegang hak (rights holder). “…everyone is entitled to all right and freedoms, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status,” kata birth yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai kelahiran menjelaskan bahwa anak bukanlah pengecualian untuk dipenuhi haknya dalam konsep HAM.

249Edy Ikhsan, Bebarapa Catatan Tentang Konvensi Hak Anak, (Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2002) hlm. 1

r. Kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.

s. Kebebasan melakukan pertemuan dan membentuk perkumpulan.

t. Hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan dinegerinya sendiri.

u. Hak atas kesempatan yang sama dalam jabatan pemerintahan negerinya.

2. Economic, Sosial, and Culture Rights, meliputi:

a. Hak atas jaminan sosial.

b. Hak atas pekerjaan dan bebas memilih pekerjaan.

c. Hak mendapatkan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.

d. Hak atas pengupahan yang adil dan baik untuk menjamin kehidupan yang layak susai dengan martabat manusia.

e. Hak mendirikan dan memasuki serikat kerja.

f. Hak untuk istirahat dan liburan.

g. Hak atas standar hidup yang sesuai untuk kesehatan dan kesejahteraan.

h. Hak atas jaminan kesejahteraan dalam keadaan penggangguran, sakit, cacat, janda/duda, usia lanjut, atau kekurangan nafkah lainnya karena keadaan diluar kekuasaannya.

i. Hak memperoleh perawatan dan bantuan khusus bagi ibu dan anak-anak.

j. Hak tiap orang untuk mendapat pendidikan, dan orang tua punya hak utama untuk memilih jenis pendidikan bagi anak-anaknya.

k. Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyarakat.

l. Hak mendapat perlindungan kepentingan moral dan material dari hasil produksinya di bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan karya seni.

Akan tetapi deklarasi yang telah dilakukan belum sepenuhnya mengikat bagi tiap negara untuk menjalankannya. Sehingga pada tahun 1978, adanya terobosan yang lebih serius datang dari negara Polandia ketika mengajukan sebuah rancangan tekst konvensi hak-hak anak pada sebuah acara memperingati tahun anak, yang disponsori oleh PBB. Setahun kemudian Komisi Hak Azasi Manusia PBB membentuk sebuah kelompok kerja untuk merancang secara serius Konvensi Hak-Hak Anak. Pada tanggal 20 November 1989, akhirnya, Konvensi Hak Anak dengan 54 buah pasal yang kita kenal sekarang, diadopsi oleh PBB dan dinyatakan berlaku sejak September 1990. Sejak saat itu, KHA mempunyai ikatan hukum bagi tiap negara yang meratifikasinya. Republik Indonesia termasuk

negara yang awal melakukan penandatangan dan ratifikasi konvensi ini melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.36 tahun 1990 KHA.

Secara hukum dilakukannnya penandatanganan konvensi bermakna bahwa negara tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan penguatan dalam negaranya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam dalam konvensi dan memulai melakukan identifikasi hukum nasional dan praktek-praktek yang dibutuhkan untuk menyesuaikannya dengan standart yang ada dalam KHA.

Ratifikasi adalah langkah selanjutnya secara formal mengikat negara atas nama rakyat untuk memenuhi kewajiban dan tanggungjawab yang digariskan dalam KHA.

Negara peserta mengambil langkah-langkah legeslatif dan administratif, dan langkah-langkah lain untuk pelaksaan hak anak yang diakui dalam konvensi ini termasuk anak korban kekerasan seksual. Sebagimana diatur dalam pasal 4, yang menyebutkan:

Pasal 4 KHA:

“Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah legislatif dan administratif, dan langkah-langkah lain untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam konvensi ini. Sepanjang yang menyangkut hak ekonomi, sosial dan budaya. Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah seperti itu secara maksimal dari sumber-sumber yang tersedia, bila diperlukan, dalam kerangka kerjasama internasional”.

Selain kewajiban untuk mengimplementasikan hak-hak anak sebagaimana dimaksud dalam KHA, maka Indonesia, sebagai negara peratifikasi juga berkewajiban mengusahakan prosedur pelaporan dan pembentukan lembaga yang mendukung hak-hak anak dalam konvensi ini. Munculnya istilah sexual abuse (kekerasan seksual) dalam KHA sebagai bentuk kekerasan terhadap anak sehingga

menempatkankan anak pada cluster perlindungan khusus bagai anak. Sehingga negara dikewajibkan melakukan langkah-langkah yang layak berupa melakukan hubungan bilateral, meultilateral guna mencegah perbuatan yang mendorong anak melakukan aktivitas seksual, dan mengeksploitasi anak secara seksual, serta memanfaatkan anak dalam pertunjukan dan materi pernorgafi, sebagaimana amanat dala pasal 34 konvensi ini, dengan bunyi:

Pasal 34 KHA:

“Negara-negara peserta berusahan untuk melindungan anak dari segala bentuk eksploitasi seks dan penyalahgunaan seksual. Untuk itu negara-negara peserta khususnya mengambil langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat untuk mencegah:

a. Bujuk atau pemaksaan anak untuk melakukan semua bentuk kegiatan seksual yang tidak sah;

b. Penggunaan anak-anak secara eksploitasi dalam pelacuran atau praktek seksual lainnya yang tidak sah;

c. Penggunaan anak-anak secara eksploitasi dalam pertunjukan-pertunjukan dan bahan-bahan pornografi”.

Hak-hak anak yang terdapat dalam KHA bisa dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kategori prinsif hak-hak anak, yaitu:

1. Prinsip non-discrimination, merupakan hak untuk mendapatkan perlindungan, yang meliputi perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak-anak yang tidak mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 KHA, yang menyebutkan:

Pasal 2 KHA:

(1)“Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat

atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah”, dan

(2) “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarga”.

2. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child), yang meliputi segala hak untuk mendapatkam pendidikan, dn untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi perkembangan fiski, mental, spritual, moral dan sosial anak. Sebagaimana diatur pada pasal 3 ayat 1, dengan bunyi:

Pasal 3 ayat 1 KHA:

“Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif. Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”.

3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival and development, yaitu hak-hak anak untuk mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan dan perawatan sebaik-baiknya. Sebagaimana amanat dari pasal 6 ayat 1 konvensi ini:

Pasal 6 ayat 1 KHA:

“Bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan”. Dan ayat 2 “negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak”.

4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child), hak untuk berpartisipasi, meliputi hak-hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Sebagaimana amanat dari pasal 12 ayat 1 konvensi ini:

Pasal 12 ayat 1 KHA:

“Negara-negara peserta akan menjamin agar anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandanganpandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak”.

Indonesia telah melakukan ratifikasi konvensi ini dengan deterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Akan tetapi Indonesia tidak mengadopsi semua pasal-pasal yang ada di dalam konvensi tersebut, hanya tujuh pasal yang di adopsi oleh Indonesia, yaitu: Pasal 1 (Definisi), Pasal 14 (hak anak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama), Pasal 16 (hak privasi), Pasal 17 (hak anak mendapatkan informasi layak anak), Pasal 21 (Adopsi), Pasal 22 (Pengungsi Anak), dan Pasal 29 (tujuan pendidikan).

2. Convention on Protection of Children Against Sexseal Exploitation and