FORMULASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA
B. Instrumen Nasional Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
Sebelum berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara, hukum acara pidana yang dipergunakan sebagai pedoman dalam pemeriksaan di peradilan mengacu pada Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Stb. Tahun 1941 No. 44 yang merupakan produk hukum pemerintahan kolonial Belanda, sehingga tentunya falsafah yang terkandung dalam ketentuan HIR dapat dipastikan lebih didominasi oleh falsafah kaum penjajah dibandingkan falsafah bangsa Indonesia. Sebagaimana tampak dari salah satu poin menimbang pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 yang menyatakan,196 bahwa hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement stb. Tahun 1941 No. 44 perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional.
Adanya keinginan agar KUHAP lebih banyak dipengaruhi oleh falsafah dan kepribadian bangsa Indonesia yang seharusnya di dalam ketentuan materi
196Menimbang: d. bahwa hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional;
pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia.197 Walau KUHAP disebut-sebut sebagai karya agung dan merupakan salah satu pencapaian tertinggi bangsa Indonesia di bidang hukum, mengingat KUHAP sangat memperhatikan hak asasi seseorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyidikan, pemeriksaan di pengadilan, penjatuhan hukuman sampai pelaksanaan putusan. Namun, dibalik itu semua, tersimpan satu persoalan yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak terkait, yang mana didalam KUHAP belum memberikan pengaturan yang memadai mengenai perlindungan korban tindak pidana.
Aturan yang ada di dalam KUHAP lebih banyak mengatur mengenai perlindungan pelaku tindak pidana dibandingkan dengan perlindungan terhadap korban tindak pidana. Akibatnya, hak-hak korban tindak pidana kurang mendapat perhatian. Sekalipun pada dasarnya dengan diperiksa dan diadilinya pelaku tindak pidana secara tidak langsung telah melindungi korban tindak pidana, karena pelaku tidak lagi mengganggu korban. Akan tetapi perlindungan demikian belumlah cukup hanya bertanggung jawab secara pidana (dihukum) melainkan harus mampu bertanggung jawab untuk memulihkan keadaan seperti sediakala sehingga dengan demikian dapat memberikan dampak perlindungan secara langsung kepada korban.
197Penjelasan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana poin ke-3 “…undang-undang ini yang mengatur tentang hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara seperti telah diuraikan di muka, maupun asas yang akan disebutkan selanjutnya. Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia…”
Menyangkut tentang perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana khusunya tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga tidak ada diatur secara tegas didalam KUHAP. Disamping itu juga, apabila dikaji lebih mendalam terhadap KUHAP hanya ada beberapa hak hukum yang dimungkinkan korban akibat suatu tindak pidana bisa mendapatkannya, seperti:
a). Hak untuk mengajukan keberatan atas tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.
Penyidik mempunyai kewenangan untuk menghentikan penyidikan ketika belum masuk ke tahap prapenuntutan, hal ini bisa dilihat dari:
Pasal 109 ayat 2 KUHAP
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.
Penghentikan penyidikan dengan hanya dapat dilakukan sebelum pemeriksaan masuk dalam tahap Prapenuntutan. Sehingga apabila penyidik menghentikan penyidikan maka penghentikan penyidikan merupakan inisiatif dari penyidik. Secara faktual proses penyidikan sebelum masuk ke prapenuntutan merupakan kewenangan murni dari penyidik karena belum ada koordinasi konkrit antara penyidik dengan penuntut umum dalam menilai substansi perkara melainkan hanya koordinasi yang bersifat administratif, sebagaimana dalam:
Pasal 109 ayat 1 KUHAP
“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”.
Kordinasi antara penyidik dan penuntut umum untuk menilai substansi suatu perkara pidana dimulai pada tahap Prapenuntutan.198 Prapenuntutan berupa tindakan penuntut umum untuk memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa dalam prapenuntutan ada koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam menilai suatu substansi perkara yang tergambar dalam berkas perkara, apakah berkas perkara sudah layak (lengkap) maka akan dilanjutkan ke tahap penuntutan, akan tetapi apabila penuntut umum mengatakan bahwa berkas perkara belum lengkap untuk dilakukan penuntutan, maka penuntut umum memberikan petunjuk kekurangan kepada penyidik agar melengkapinya sehingga berkas perkara lengkap (layak) untuk dilanjutkan penuntukan dengan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan.
Apabila dalam prapenuntutan, penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara masih kurang lengkap dalam pemenuhan unsur-unsur tindak pidana atau perkara tidak merupakan tindak pidana, penuntut umum harus memberikan petunjuk agar penyidik menghentikan perkara. Apabila penuntut umum tidak berniat memberikan petunjuk agar penyidik menghentikan perkara, penuntut umum harus berani mengambil alih perkara tersebut dengan melakukan pemeriksaan tambahan yang merupakan tugas dan wewenangnya. Sebagaimana dalam ketentuan pasal 30 undang-undang Kejaksaan Repubik Indonesia, mengamanatkan bahwa:
198Kewenangan Penuntut Umum dalam menilai substansi perkara yang dilimpahkan kepadanya oleh penyidik hanya sekedar memberi petunjuk dalam tahap prapenuntutan, karena sesuai dengan prinsisp defferensial fungsional, kuhap telah memisahkan secara tegas organ, tugas maupun fungsi penyidikan dan penuntutan.
Pasal 30 ayat 1 huruf e:
“Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”.
Penuntut umum memiliki waktu empat belas hari untuk memberitahu apakah berkas perkara sudah lengkap atau belum. Apabila lebih dari empat belas hari tidak ada pemberitahuan mengenai berkas perkara yang diperiksa oleh penuntut umum maka berkas perkara itu dianggap sudah lengkap sehingga penyidikan dianggap telah selesai. Dengan demikian penyidik masih memiliki kewenangan dalam menghentikan suatu perkara sebelum masa empat belas hari berakhir dan tidak ada pemberitahuan oleh penuntut umum mengenai berkas perkara yang sudah lengkap. Apabila penuntut umum menyampaikan pemberitahuan menganai berkas perkara yang kurang, dalam penghentian penyidikan hendaknya harus ada koordinasi terlebih dahulu antara penyidik dengan penuntut umum mengenai teknis penghentian penyidikan perkara tersebut.
Penghentian perkara diluar alasan tidak terdapat cukup bukti atau ternyata peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau alasan penghentian perkaranya dihentikan demi hukum. Penghentian perkara dengan alasan dihentikan demi hukum dapat terjadi dikarena tersangka meninggal dunia, perkara tersebut nebis in idem, perkara daluarsa, adanya pencabutan aduan. Legalitas untuk menentukan apakah tindakan dari penyidik dan penuntut umum diukur dari sesuai tidaknya tindakan tersebut dengan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Berkaitan dengan siapakah yang berwenang untuk menghentikan perkara
dalam proses yang sedang berjalan di tahap prapenuntutan inipun harus diukur dengan undang-undang juga.
Apabila penyidik maupun penuntut melakukan penghentian penyidikan atau penghentiaan penuntutan akan tetapi dengan alasan yang tidak sah atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga menimbukan kerugian kepada pihak ketiga yang melakukan pelaporan atau pengadu tersebut berhak untuk mengajukan keberatan melalui lembaga praperadilan. Sekalipun dalam ketentuan pasal tersebut tidak mencantunkan korban tindak pidana secara eksplisit, akan tetapi korban dapat dimasukkan sebagai salah satu pihak ketiga yang berkepentingan dengan alasan secara faktual hak korbanlah yang dilanggar dan yang menderita kerugian karena alasan itu pula korban melakukan pengaduan atau pelaporan kepada penyidik. Sebagaimana amanat di dalam pasal 80 KUHAP, yang menyebutkan:
Pasal 80 KUHAP
“Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”.
b). Hak ganti kerugian
Korban akibat suatu tindak pidana berhak atas ganti kerugian yang dialaminya serta dapat meminta menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana. Sebagaimana dalam ketentuan KUHAP, yang berbunyi:
Pasal 98 ayat 1 KUHAP:
“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang
itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”
Namun secara faktual belum dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga manfaatnya belum dapat dirasakan oleh korban tindak pidana. Disamping itu juga ganti kerugian yang dapat diputuskan oleh Hakim hanyalah biaya yang telah dikeluarkan oleh korban sebagimana dalam pasal 98 ayat 1 KUHAP,199 yang dikuatkan dalam yurisprudensi MARI,200 sedangkan kerugian lainnya terpaksa harus digugat melalui peradilan perdata yang prosesnya memakan waktu yang lama.
Ketentuan tentang jenis kerugian ini tidak sejalan dengan semangat yang terkandung dalam pasal 101 KUHAP mengatakan bahwa “ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian”. Pabila merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam hukum perdata tidak membatasi jenis dan jumlah kerugian yang dialami oleh pihak yang dirugikan (penggugat) apabila kerugian bersesuaian dengan sebab akibat (prinsip kausalitas). Sebagai mana dalam pasal 1365 KUHPerdata, berbunyi:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Masalah lain yang perlu disadari yaitu bahwa kerugian yang diderita korban tindak pidana tidak selamanya kerugian yang bersifat materiil, tetapi juga
199Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 99 ayat 1: “Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 98 KUHAP, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut”.
200Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 976.K/Pid/1988, 24 September 1991.
kerugian yang bersifat inmateriil, terutama yang diakibatkan tindak pidana dengan kekerasan seksual yaitu selain penderitaan berupa cacat fisik, luka, kehilangan kegadisan bahkan kematian juga mengalami gangguan psikologis seperti trauma, luka bathin, depresi, hilang kepercayaan terhadap masyarakat, hilang percaya diri dan lain-lain perilaku yang tidak wajar.
Kerugian immateriil ini sama sekali belum diatur secara tegas di dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), sedangkan kerugian seperti ini tidak cukup hanya dengan pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang atau materi, tetapi harus ada usaha-usaha pemulihan dari segi kejiwaan dan rohani.
Korban tindak pidana harus menanggung kerugian akibat peristiwa yang menimpanya, baik secara materiil maupun inmateriil. Sedangkan penderitaan yang dialami oleh korban tindak pidana hanya relevan untuk dijadikan instrumen penjatuhan pidana kepada pelaku, tetapi sebenarnya penderitaan pelaku karena dipidana tidak ada hubungannya dengan penderitaan korban tindak pidana.
Korban suatu tindak pidana, sampai dengan saat ini sering sekali menjadi orang yang terlupakan karena memang pada saat ini baik dalam hukum pidana formil maupun materil sangat minim sekali dalam memperhatikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana. Apabila melihat dalam KUHAP tidak ditemukan aturan yang mewajibkan pelaku tindak pidana untuk mengganti apa yang mereka lakukan dan dampak perbuatannya kepada korban atau untuk mengganti kerugian pada korban. Pelaku tindak pidana hanya dijatuhkan pidana penjara, memang dengan dipenjaranya pelaku tindak pidana maka akan
membatasi kebebasan pelaku, akan tetapi penjatuhan pidana tersebut tidak ada kaitannya dengan kerugian yang dialami oleh korban tindak pidana.
2. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia Hak Asasi Manusia (HAM) dalam tatanan Nasional dan internasional telah mengakui bahwa persamaan derajat laki-laki dan perempuan merupakan tuntutan hukum yang tidak boleh diabaikan, segala bentuk diskriminasi merupakan pelanggaran HAM.201 Pada hakikatnya HAM tidak membedakan hak-hak asasi dari sudut jenis kelamin (perepuan mapun laki-laki). Kedua-duanya adalah manusia yang mempunyai hak asasi yang sama. Undang-undang hak azasi manusia sesungguhnya keseluruhan pasal yang ada di dalamnya merupakan bentuk perlindungan terhadap anak, oleh karena itu anak adalah insan manusia.
Sekalipun demikian undang-undang ini mengatur secara khusus tentang hak-hak anak yang berkaitan dengan korban kekerasan seksaual dalam rumah tangga, yang terdapat dalam:
a). Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari pelecehan seksual selama dalam pengasuhan
Pasal 58UU No. 39 tahun 1999
(1) “Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak tersebut”.
Secara nasional defenisi anak didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi dalam berbagai peraturan
201M. Ali Zaidan, Perempuan dalam Perspektif Hukum Pidana, Jurnal Yuridis Vol. 1 No.
2, 2014, hlm. 218
perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak dapat dijumpai pengaturan yang secara tegas menentukan pengertian anak. Berbeda peraturan perundang-undangan berbeda pula pengertian anak yang ditetapkan. Pengertian anak dalam ketentuan undang-undang ini menyebutkan:
Pasal 1 UU 39 tahun 1999
(5) “Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang msih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah kepentingannya”.
Pengertian anak dalam kaitan dengan korban tindak pidana, dilakukan dengan mendasarkan pada tingkat usia, dalam arti tingkat usia berapakah seseorang dikategorikan sebagai anak. Di Indonesia, penentuan batas usia anak dalam kaitan dengan korban tindak pidana, telah diatur secara eksplisit dalam undang-undang sistem perdilan pidana anak, Pasal 1 butir 4 merumuskan:
Passal 1 UU No. 11 tahun 2012
(4) “Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut sebagai anak korban adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana”.
Berkaitan dengan perlindungan hukum ialah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.202
202Satjipto Rahardjo, 2006, Op. Cit. hlm. 74
Berkaitan dengan kekerasan dalam undang-undangn ini tidak terdapat pengertiannya, serta dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada penjelasan khusus tentang kekerasan seksual. Untuk mengetahui lebih jelas makna dari kekerasan seksual terlebih dahulu perlu melihat masing-masing kata yang ada di dalamnya yaitu: “kekerasan” dan “seksual”. Kekerasan dalam istilah bahasa inggris dikenal dengan abuse yang diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut Barker dalam Abu Huraerah mendefenisikan abuse sebagai:
“improper behavior intended to case phsycal, psychological, or financial harm to an individual or group”.203
Istilah kekerasan juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan bisa memiliki dua elemen berupa, ancaman untuk menggunakan kekuatan fisik atau kekerasan itu belum dilakukan serta perbuatan kekerasan yang telah menggunakan kekerasan atau kekerasan itu telah dilakukan atau telah diperguakan. Kedua bentuk kekersan ini mengakibatkan kerusakan terhadap korban baik secara fisik maupun secara psikis. Berkaitan dengan kekerasan anak Barker mendefinisikan berupa:
“the recurrent infliction of physical or emotional injury on a depeden minor, through intentional beatings, uncontrolled corporal punishment, persistent redicule and degradation”.204
Seksual (sexual) memiliki arti: hal-hal yang berkenaan dengan seks atau jenis kelamin, hal yang berkenaan dengan perkara persetubuhan antara pria dan wanita. Sedangkan kekerasan seksual diartikan setiap perbuatan yang berupa
203Abu Huraerah, Op Cit, hlm. 47
204Ibid, hal. 47
pemaksaan hubungan seksual atau pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain dengan komersial dan atau dengan tujuan tertentu.205 Menelaah ketentuan yang ada dalam KUHP ternyata tidak ada suatu ketentuan yang secara ekplisit mengatakan tindak pidana kekerasan seksual. Akan tetapi secara tidak langsung di dalam ketentuan pasal-pasal yang terdapat didalam KUHP telah termaktub tentang perbuatan yang digolongkan kepada kekerasan seksual tepatnya pada pasal 282 sampai pasal 295 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b). Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal 62 UU No. 39 tahun 1999
“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya”.
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum, harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 34 ayat 3 UUD 1945, menyatakan:
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasislitas pelayanan umum yang layak”.
Perlindungan hukum hak-hak atas mendapatkan pelayanan kesehatan juga dimuat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tepanya pada:
Pasal 4 UU No. 36 tahun 2009 Setiap orang berhak atas kesehatan.
205Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terdapat dalam Penjelasan pasal 8.
Pasal 5 UU No. 36 tahun 2009
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
2. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
3. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6 UU No. 36 tahun 2009
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
Hak dan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berlaku bagi setiap orang, dan setiap orang atau masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, perlindungan hukum atas hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat merupakan bagian dari pelaksanakan perlindungan hak-hak asasi manusia.
Pemenuhan hak pelayanan kesehatan yang layak melalui fasilitas rumah sakit dijamin dan dilaksanakan oleh pemerintah.
c). Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual.
Pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan atau terintimidasi. Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan seksual yaitu:206
206https://gajimu.com/pelecehan-seksual/pelecehan-seksual, diakses pada tanggal 13 Juli 2020
1. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.
2. Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual.
3. Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir.
4. Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan pornografi, gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya.
5. Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.
Pelecehan seksual dapat mengakibatkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan. Sehingga seseorang khusunya anak berhak mendapatkan perlindungan dari eksploitasi dan pelecehan seksual, sebagaimana dalam Pasal 65 UU No. 39 tahun 1999, yang mengamanatkan:
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya”.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan