• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

FORMULASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA

B. Instrumen Nasional Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga

5. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban

Kekerasan seksual merupakan perbuatan berorientasi kepada seksual yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan terhadap anak secara fisik, atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut baik berupa pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang. Sedangkan korban yang berada dibawah ancaman, kekerasan, atau tidak beradaya sehingga tidak dapat menolak apa yang terjadi, tidak mengerti.217 Tindak pidana merupakan perbuatan yang menyakibatkan dampak negatif dalam jangka waktu yang panjang terhadap korban baik dari segi fisik maupun psikologis.218 Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap korban yang mengalami tindak kekerasan seksual melalui Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang merupakan hak dari korban tindak pidana.

Apabila merujuk pada ketentuan yang terdapat di dalam pasal-pasal undang-undang perlindungan saksi dan korban tindak ada satu pasal yang secara tegas mengalamatkan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga dikarenakan dalam ketentuan undang-undang perlindungan saksi dan korban ini memberikan perlindungan

217Marcheyla Sumera, “Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan, Lex et Societatis” Vol 1, No. 2, 2013, hlm. 46

218Pramudya A. Oktavinanda, “Pendekatan Hukum dan Ekonomi Terhadap Kejahatan Pemerkosaan: Suatu Pengantar”, Jurnal Jentera, Vol. 22, 2012, hlm. 27

kepada semua orang yang menjadi korban tindak pidana baik seorang anak maupun orang dewasa, disamping itu juga yang korban tindak pidana dalam semua lingkungan baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lain sebagainya. Sehingga perlindungan hukum diberikan kepada siapa saja yang menjadi korban atas suatau tindak pidana.

Korban tindak pidana kekerasan seksual memiliki hak-hak yang harus diberikan kepadanya dikarena akibat derita yang dialami oleh korban baik berupa rasa sakit, penderitaan, ketakutan, serta rasa traumatik yang sangat dalam pasca tindak pidana kekerasan seksual tersebut, serta hal ini haruslah mendapat perhatian yang sangat serius. Korban jangan sampai diabaikan dalam memperjuangkan hak-hak yang dimilikinya dan harus dijembatani oleh penegak hukum dalam memperjuangkan nasibnya.219 Hak-hak yang diperoleh korban tindak pidana diatur di dalam pada Pasal 5, yang berbunyi:

Pasal 5 UU Nomor 31 tahun 2014 (1) Saksi dan Korban berhak:

a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c) memberikan keterangan tanpa tekanan;

d) mendapat penerjemah;

e) bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f) mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

g) mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

h) mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

i) dirahasiakan identitasnya;

j) mendapat identitas baru;

219Abdul Wahid, dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung, PT Refika Aditama, 2001) hlm. 96

k) mendapat tempat kediaman sementara;

l) mendapat tempat kediaman baru;

m) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

n) mendapat nasihat hukum;

o) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau

p) mendapat pendampingan.

a). Hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

Secara harfian perlindungan berasal dari kata lindung yang berarti menempatkan dirinya di bawah (di balik, di belakang) sesuatu supaya tidak terlihat atau tidak kena. Sedangkan perlindungan merupakan tempat berlindungan atau sesuatu hal yang berkaitan dengan memperlindungi. Bila ditelaah perlindungan adalah suatu upanya untuk menjaga atau melindungi serta menjamin tercapainya kepentingan dan hak yang dalam hal ini kepentingan dan hak anak korban tindak pidana. Apabila dikaji ketentuan dalam undang-undang ini memberikan perlindungan, berupa:

Pasal 1 angka 8 Nomor 31 tahun 2014:

“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini”.

Perlindungan adalah suatu usaha yang dilakukan guna menciptakan siatuasi dimana korban bisa melakukan kewajibannya serta dapat memanfaatkan yang menjadi haknya. Perlindungan merupakan suatu perwujudan dari ditegakkanya keadilan ditengah-tengah masyarakat, dengan demikian

perlindungan diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perlindungan hukum bertujuan untuk memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun,220 oleh sebab itu perlindungan ini sangat dibutuhkan.

Sebagaimana dalam Penjelas Pasal 5 ini mengebutkan:

Penjelasan pasal 5 Ayat (1) Huruf a UU Nomor 31 tahun 2014:

“Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan Saksi dan Korban. Apabila perlu, Saksi dan Korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman”.

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.

Kebijakan terhadap perlindungan kepentingan masyarakat merupakan bagian yang integral dari usaha meningkatkan kesejahteraan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,221 atau dengan kata lain bahwa kebijakan

220Satjipto Rahardjo, 2006, Op Cit. hlm. 74

221Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-empat yaitu: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang

terhadap perlindungan hukum pada hakikatnya merupakan bagian yang integral dari kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan, yaitu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial.

Berkaitan dengan bebas dari ancaman dan tekanan yang berkaitan dengan kesaksian, dalam undang-undang ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut.

Apabila melihat dalam penjelasan pasal ini hanya mencantumkan “cukup jelas”, sehingga apabila melihat pada ketentuan peraturan perundang-undangan lain, maka dalam memberikan keterangannya baik ditingkat penyidikan maupun persidangan, saksi atau korban bebas dari tekanan dalam bentuk apapun dan dari siapapun baik secara fisik maupun verbal. Hal ini dijamin dalam KUHAP sebagai berikut:

Pasal 117 ayat (1) KUHAP:

“Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun”.

Apabila dalam prektek saksi atau korban mendapatkan ancaman atau tekanan, maka tindaka ini jelas bertentangan dengan hukum serta ancaman tersebut merupakan suatu tindak pidana yang diatur dan diancam berdasarkan KUHP sebagai berikut:

Pasal 335 ayat (1) KUHP:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: (1) barang siapa secara melawan

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.

b). Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

Ketentuan proses pemilihan dan menentukan bentuk perlindungan yang ingin diberikan kepada anak korban tidak terdapat dalam ketentuan lanjutan, disamping itu juga dalam penjelasan pasal ini tidak ada penjelsa lebih lanjut melainkan hanya menyebutkan “cukup jelas”. Sehinggga dalam amat ketentuan ini, bisa disimpulkan bahwa seorang anak korban tindak kekersan seksual dalam rumah tangga mempunyai kesempatan untuk memilik dan menentukan bagaimana bentuk dan cara perlindungan yang ia dibutuhkan.

c). Memberikan keterangan tanpa tekanan;

Anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga mempunyai kebebasan dalam memberikan keterangan tanpa ada tekanan.

Berkaitan dengan bebas dari ancaman dan tekanan yang berkaitan dengan kesaksian, dalam undang-undang ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut.

Apabila melihat dalam penjelasan pasal ini hanya mencantumkan “cukup jelas”, sehingga apabila melihat pada ketentuan peraturan perundang-undangan lain, maka dalam memberikan keterangannya baik ditingkat penyidikan maupun persidangan, saksi atau korban bebas dari tekanan dalam bentuk apapun dan dari siapapun baik secara fisik maupun verbal. Hal ini dijamin dalam KUHAP sebagai berikut:

Pasal 117 ayat (1) KUHAP:

“Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun”.

Pasal 153 ayat (2) KUHAP:

a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi;

b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.

Menurut Yahya Harahap, pemeriksaan terhadap saksi dilakukan dengan bebas. Terhadap saksi tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawab secara tidak bebas. Saksi tidak boleh dilakukan penekanan atau ancaman yang bisa menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan.222Apabila dalam prektek saksi atau korban mendapatkan ancaman atau tekanan, maka tindaka ini jelas bertentangan dengan hukum serta ancaman tersebut merupakan suatu tindak pidana yang diatur dan diancam berdasarkan KUHP sebagai berikut:

Pasal 335 ayat (1) KUHP:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

(1) barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.

d). Mendapat penerjemah;

Korban tindak pidana tidak menutup kemungkinan susah dalam berkomunikasi, Sehingga apabila merujuk pada ketentuan undang-undang ini,

222M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 114

maka korban tindak pidana tersebut berhak mendapatkan penerjemah. Akan tetapi dalam ketentuan undang-undang ini tidak dijelaskan lebih jauh bagaimana mekanismen dalam pemberian penerjamah tersebut. Sehinggga dalam amat ketentuan ini, anak korban tindak kekersan seksual dalam rumah tangga mempunyai kesempatan untuk mendapatkan penerjemah apabila mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.

e). Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

Ketentuan undang-undang ini tidak dijumpai penjelasan lebih lanjut mengenai bebas dari pertanyaan yang menjerat. Akan tetapi dalam dalam hukum acara pidana (kuhap) mengamanatkan bahwa pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 166 KUHAP.

Pasal 166 KUHAP:

“Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi”.

Lebih jauh dalam Penjelasan Pasal 166 KUHAP dijabarkan bahwa:

Jika dalam salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka pertanyaan yang sedemikian itu dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat. Pasal ini penting karena pertanyaan yang bersifat menjerat itu tidak hanya tidak boleh diajukan kepada terdakwa, akan tetapi juga tidak boleh diajukan kepada saksi. Ini sesuai dengan prinsip bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas di semua tingkat pemeriksaan. Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh mengadakan tekanan yang bagaimanapun caranya, lebih-lebih di dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Tekanan. itu, misalnya ancaman dan sebagainya yang menyebabkan terdakwa atau saksi menerangkan hal

yang berlainan daripada hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan pikirannya yang bebas.

Berdasarkan Pasal 166 KUHAP beserta penjelasannya tersebut, dilarang mengajukan pertanyaan menjerat baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, sebagaimana sejalan dalam penegakan prinsip pemeriksaan persidangan secara bebas.

f). Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

Informasi mengenai perkembangan perkara atau kasus merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh korban tindak pidana termasuk anak yang menjadi korban tindak pidan kekerasan seksual. Apabila dilihat dalam ketentuan undang-undang ini tidak dijelaskan lebih lantuk mengenai mendapatkan informasi perkembangan perkara, akan tetapi jika merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Penyidikan menyebutkan informasi adalah:

Pasal 1 angka 2 Perkap Kapolri No. 21 tahun 2011:

“Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik”.

Disamping itu juga, Peraturan Kapolri ini juga mengatur tentang pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan. Penyampaian informasi penyidikan yang dilakukan melalui surat, diberikan dalam bentuk Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada pelapor atau pengadu atau keluarga. yang berbunyi:

Pasal 1 angka 6 Perkap Kapolri No. 21 tahun 2011:

”Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan yang selanjutnya disingkat SP2HP adalah surat yang diberikan kepada pelapor/pengadu tentang perkembangan hasil penyidikan yang ditanda tangani oleh atasan penyidik”.

Bahkan pada setiap perkembangan penanganan perkara pada kegiatan penyidikan tindak pidana harus diterbitkan SP2HP. SP2HP sekurang-kurangnya memuat pokok perkara, tindakan yang telah dilaksanakan penyidik dan hasilnya, dan permasalahan/kendala yang dihadapi dalam penyidikan.223 Lebih lanjut,waktu pemberian Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan pada tingkat penyidikan untuk masing-masing kategori kasus adalah:224

i. Kasus ringan, SP2HP diberikan pada hari 10, hari 20, dan hari ke-30;

ii. Kasus sedang, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45, dan hari ke-60;

iii. Kasus sulit, SP2HP diberikan pada hari ke-15, hari ke-30, hari ke-45, hari ke-60, hari ke-75, dan hari ke 90;

iv. Kasus sangat sulit, SP2HP diberikan pada hari 20, hari 40, hari ke-60, hari ke-80, hari ke-100, dan hari ke-120;

g). Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

Informasi mengenai putusan pengadilan salah satu hak yang dimiliki oleh korban tindak pidana termasuk anak yang menjadi korban tindak pidan kekerasan seksual dalam rumah tangga. Apabila dilihat dalam ketentuan undang-undang ini tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara dan mekanisme mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan, akan tetapi jika merujuk pada undang-undang keterbukaan informasi maka korban tindak pidana, termasuk anak korban

223Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Penyidikan, Pasal 11 ayat 2

224Diakses melalui website resmi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) polri.go.id pada 19 Juli 2020

tindak pidana kekerasan seksual berhak memperoleh informasi dari pengadilan atau lingkungan Mahkamah Agung.

Informasi mengenai putusan pengadilan, dapat dikategorikan sebagai informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan atau penyelenggaraan badan publik sebagimana yang diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, yang berbunyi:

Pasal 1 angka 3 UU No. 14 Tahun 2008 :

“Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri”.

Untuk meminta informasi perkara secara langsung di lingkungan Mahkamah Agung, orang dapat mengajukan permohonan kepada panitera selaku atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi berupa informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh pengadilan atau Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, yang berbunyi:

Pasal 1 angka 2 UU No. 14 Tahun 2008:

“Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik”.

Selain ketentuan yang ada dalam undang-undang keterbukaan informasi, pihak-pihak yang berperkara di pengadilan termasuk anak korban tindak pidana

kekerasan seksual dalam rumah tangga juga dapat memperoleh informasi tentang putusan pengadilan yang merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berperkara di pengadilan termasuk anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga dengan dasar Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1-144/KMA/SK/l/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan.

h). Hak mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

Informasi mengenai terpidana dibebaskan, dalam dalam ketentuan undang-undang ini tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara dan mekanisme mendapatkan informasi mengenai terpidana dibebaskan. Disamping itu juga jika merujuk pada beberapa ketentuan peraturan yang ada, ternyata masih terpokus kepada pemenuhan hak-hak pelaku tindak pidana, seperti pada:

i. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;

ii. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;

iii. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-172.PL.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengadaan Bahan Makanan Bagi Narapidana, Tahanan, Dan Anak Didik Pemasyarakatan Pada Lembaga Pemasyarakatan Dan Rumah Tahanan Negara Di Lingkungan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia;

iv. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

i). Hak dirahasiakan identitasnya;

Undang-undang ini tidak memberikan penjelasan secara spesifik mengenai dirahasiakan identitasnya, akan tetapi apabila melihat pada ketentuan hukum pada undang lain, seperti undang perlindungan anak dan

undang-undang sistem peradilan pidana anak, mengatakan bahwa Anak korban tindak pidana kekerasan seksual mempunyai hak untuk dirahasiakan identitas yang dapat mengungkap jatidinya, sebagaimana yang ditur dalam:

Pasal 17 ayat 2 UU 35 tahun 2014:

“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.

Pasal 19 UU No. 11 tahun 2012:

1) “Identitas anak, anak korban dan atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan dimedia cetak ataupun elektronik”.

2) identitas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan atau anak saksi.

j). Hak mendapat identitas baru;

Lebelisasi terhadap anak korban tindak pidana khusunya korban tindak pidana kekerasan seksual tidak menutup kemungkinan akan melekat disepanjang usia anak, tidak jarang anak selalu malu, menyendiri bahkan menjadikan anak apatis. Sehingga salah satu hak yang dimiliki oleh anak korban kekerasan seksual mendapatkan identitas baru. Apabila melihat dalam ketentuan peaturan perundang-undangan ini tidak dijumpai ketentuan lebih lanjut yang menjelaskan mengenai makanisme pemberian identitas baru ini. Akan pemenuhan penggantian identitas baru oleh korban tindak pidana merupakan wewenang dari Lembaga Perlindungan saksi dan korban, sebagimana di atur dalam pasal 12 undang-undang ini, yang berbunyi:

Pasal 12A UU No. 31 tahun 2014:

(1) Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, LPSK berwenang:

a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan;

b. menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan;

c. meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;

e. mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

f. mengelola rumah aman;

g. memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman;

h. melakukan pengamanan dan pengawalan;

i. melakukan pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan; dan

“Hak sebagaimana tersebut di atas (pasal 5 ayat 1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban”.

k). Hak mendapat tempat kediaman sementara;

Korban tindak pidana termasuk anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga, dalam proses pemeriksaan perkasa yang menimpanya tidak jarang anak mengalamim ketakutan akan tindakan-tindakan yang tidak mengininkan anak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada aparat penegak hukum. Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga Pasal 1 angka 4, menyebutkan:

Pasal 1 angka 4 UU PKDRT:

“Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa

“Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa