FORMULASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA
B. Instrumen Nasional Terkait Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga
6. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Upaya perlindungan terhadap anak perlu secara terus-menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat anak merupakan salah
satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa dikemudian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa, dikarenakan setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, negara bersama-sama dengan segenap masyarakat saling bekerja sama dalam memberikan perlindungan yang memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan anak-anak sebagai sarana atas perbuatannya, agar anak sebagai generasi pewaris bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam memasuki kehidupan di masa-masa yang akan datang.
Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinnya hak-hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Hak-hak anak dalam kaitan dengan anak korban kekerasan dalam rumah tangga yang terdapat dalam ketentuan undang-undang perlindungan anak meliputi:
a). Hak pengasuhan yang terlindungi dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan.
Pasal 13UU No. 35 tahun 2014:
(1) “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya”.
Secara etimologi pengasuhan berasal dari kata “asuh“ artinya memimpin, mengelola, membimbing. Pengasuh berarti orang yang melaksanakan tugas memimpin, mengelola atau membimbing. Pengertian pengasuhan menurut Gunarsa merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.226
Disamping itu, Wahyuning menyatakan pengasuhan merupakan seluruh cara perlakuan orang tua pada anak, yang merupakan bagian penting dan mendasar dalam menyiapkan anak untuk menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang baik.227 Orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan akan menerapkan pengasuhan yang terbaik bagi anaknya, sehingga anak terhindar dari:228
i. Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
ii. Perlakuan ekploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.
iii. Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.
iv. Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau
226Gunarsa, Op. Cit, hlm. 56
227Wahyuning, Op.Cit, hlm. 34
228Penjelasn pasal 13 Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.
v. Perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak.
vi. Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.
Anak, pada dasarnya berhak atas pengasuan oleh orang tuanya sendiri, akan tetapi pada situasi dan kondisi tertentu pengasuhan anak boleh diberikan kepada pihak lain. Sebagaimana dalam amanat undang-undang perlindungan anak, yang berbunyi:
Pasal 14 UU 35 tahun 2014:
(1) “Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
b. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
c. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
d. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan e. memperoleh Hak Anak lainnya.”
b). Hak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan dan penyiksaan
Pasal 16 UU 35 tahun 2014:
1) “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Menurut Tirtamidjaja penganiayaan adalah sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, akan tetapi suatu perbuatan yang sengaja menyebabkan
sakit atau luka tidak dapat dikatakan penganiayaan apabila perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.229 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Bab XX Pasal 351 Ayat (1) KUHP, yang berbunyi:
Pasal 351 KUHP:
i. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
ii. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
iii. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
iv. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
v. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
R. Soesilo mengatakan berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung, penganiayaan yaitu sengaja yang menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.230 Menurut alinea pasal KUHP ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang. R. Soesilo dalam buku juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan perasaan tidak enak, rasa sakit, luka, dan merusak kesehatan:
i. Perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.
ii. Rasa sakit misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.
iii. Luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.
iv. Merusak kesehatan misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.
Apabila merujuk pada pengertian diatas tersebut maka, mengandung pengertian suatu perbuatan yang dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit, luka
229M.H Tirtamidjaja, Op.cit, hlm. 174
230R. Soesilo, Op. Cit, hlm. 244-248
atau merusak kesehatan orang lain. Adapun unsur-unsur tindak pidana penganiayaan adalah:
i. Adanya kesengajaan;
ii. Adanya perbuatan;
iii. Adanya akibat perbuatan berupa rasa sakit pada tubuh dan atau luka pada tubuh.
Penganiayaan berdasarkan akibat yang ditimbulkannya, maka dapat dibedakan lagi menjadi: Penganiayaan biasa, Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan Penganiayaan yang mengakibatkan mati. Sedangkan Penyiksaan dalam Bahasa Inggris adalah torture yang digunakan untuk merujuk pada penciptaan rasa sakit untuk menghancurkan kekerasan hati korban. Segala tindakan yang menyebabkan penderitaan, baik secara fisik maupun psikologis, yang dengan sengaja dilakukkan terhadap seseorang dengan tujuan intimidasi, balas dendam, hukuman, sadisme, pemaksaan informasi, atau mendapatkan pengakuan palsu untuk propaganda atau tujuan politik dapat disebut sebagai penyiksaan.
c). Hak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Dalam ketentuan undang-undang ini tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai pengertian dan mekanisme pemberian hak bantuan hukum ini. Akan tetapi apabila merujuk pada ketentuan peraturan yang lain, menurut Undang-Undang tentang Advokat, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan kepada klien.
Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 9 memberikan pengertian:
Pasal 1 angka 9 UU No. 18 tahun 2003:
“Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”.
Bantuan hukum adalah jasa memberi bantuan dengan bertindak sebagai pembela dari seseorang yang tersangkut dalam perkara pidana maupun sebagai kuasa dalam perkara perdata atau tata usaha negara di muka pengadilan (litigation) dan atau memberi nasehat di luar pengadilan (non litigation).
Pemberian bantuan diberikan dalam ruang lingkup permasalahan hukum yang dialami oleh orang yang membutuhkan bantuan karena keterlibatannya dalam masalah hukum sedangkan orang tersebut kurang mengerti hukum atau kurang mengetahui hukum.
Seorang anak berhak memperoleh perlindungan hukum dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau kekerasan. Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak korban tindak pidana yang meliputi tindak pidana kekerasan seksual.231 Perlindungan Khusus bagi Anak dilakukan dengan penanganan yang cepat berupa pengobatan, rehabilitasi serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.
Disamping itu juga mendampingi psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan, dan pemberian bantuan sosial, serta memberikan perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.232 Pada dasarnya yang berkewajiban
231Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 59 “Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada: a. Anak dalam situasi darurat; b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS; h. Anak korban penculikan, penjualan dan atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas; m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran n.
Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya”.
232Ibid, Pasal 59A “Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya: a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan
dan bertanggungjawab terhadap perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.233
Adanya kewajiban dan tanggungjawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, yang meliputi kewajiban dan tanggungjawab berupa Menghormati dan menjamin hak asasi anak, Memberikan dukungan sarana dan prasarana perlindungan anak, Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak, Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat.234 Secara nasional, perlindungan anak telah memperoleh dasar pijakan yuridis diantaranya Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional serta undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan; setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,235 sedangkan Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensif tentang perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
lainnya; b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan”.
233Ibid, Pasal 20 “Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak”.
234Ibid, Pasal 21 : Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku.,agama,ras,golongan,jenis kelamin,etnik,budaya dan bahas,status anak urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental; Pasal 22: Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak; Pasal 23: Menjamin perlindungan anak,pemeliharaan,dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua,wali,atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak; Pasal 24: Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
235Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 B ayat (2).
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan lembaga negara lainnya, untuk memberikan perlindungan khusus kepada:236
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang diperdagangkan;
f. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza);
g. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan h. Anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental;
i. Anak yang menyandang cacat; dan
j. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Khusus untuk anak yang menjadi korban tindak pidana, upaya perlindungan khusus dilaksanakan melalui :
a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melald media massa dan untuk menghindari labelisasi:
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Upaya perlindungan hukum terhadap anak perlu secara terus menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa di kemudian hari.
Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat
236Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 59
yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa mengingat setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).
Oleh karena itu, negara bersama-sama dengan segenap anggota masyarakat lainnya, perlu bahu-membahu memberikan perlindungan yang memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, agar anak sebagai generasi pewaris bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam memasuki kehidupan yang semakin keras di masa-masa yang akan datang.
7. PP No. 24 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi Dan