Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan suatu negara yang sangat menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak azasi manusia. Dalam konstitusi negara Indonesia sangat jelas ditentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.1 sehingga sudah selayaknya setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan keamanan dalam segala aspek kehidupan.2 Hukum mempunyai posisi yang sangat strategis dan dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keberadaan aturan baik yang bersifat formal maupun non formal yang berlaku di masyarakat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar, melalui tingkat yang paling sederhana sampai tingkat yang kompleks serta mempunyai hubungan erat dengan keadaan masyarakat.3 Hukum tidak saja memberikan suatu ganjaran bagi seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi hukum juga harus mampu berperan dalam melindungi seseorang yang menjadi korban dari tindak pidana yang terjadi.
Salah satu tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.4 Tujuan ini harus dimaknai sebagai
1Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat 3 “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
2Titik Triwulan Tuti, Konstitusi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana 2010) hlm. 28
3Marwan Effendy, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsi dari Perspektif Hukum (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005) hlm. 11
4Landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-empat yaitu: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
1
perlindungan yang komprehensif bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Tujuan yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal yang ada didalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dikenal sebagai hak konstitusional, diantaranya: hak atas keadilan, hak atas perlindungan serta hak bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan.
Sehingga untuk mengimplementasikan tujuan tersebut, negara wajib memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara Indonesia terutama anak-anak dan kelompok yang rentan atau korban akibat suatu tindak pidana.
Perlindungan terhadap korban suatu tindak pidana apabila dicermati hanya memberikan perlindungan bersifat abstrak atau perlindungan tidak langsung yang dirumuskan kedalam kebijakan formulatif.5
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
5Dilihat dari keseluruhan tahap kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, tahap kebijakan formulasi merupakan tahap yang paling strategis dari keseluruhan proses oparasional atau fungsionalsasi dan konkritisasi hukum pidana. Pada tahap kebijakan formulasi inilah disusun semua “perencanaan” (planning) penanggulangan kejahatan dengan sistem hukum pidana. Keseluruhan sistem hukum pidana yang dirancang itu, pada intinya mencakup 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah perumusan tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan. Kalau menggunakan istilah Nils Jareborg, yang dirancang itu meliputi keseluruhan struktur sistem hukum pidana (the structure of the penal system) yang mencakup masalah “kriminalisasi dan pidana yang diancamkan”
(criminalization and threatened punishment), masalah “pemidanaan (adjudication of punishment (setencing), dan masalah “pelaksanaan pidana” (execution of punishment) Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakart, Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm. 223.
Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu tindak pidana sering kali terabaikan bahkan tidak mendapat perhatian, terlebih lagi dengan meningkatnya perhatian terhadap pembinaan narapidana yang sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban, maka tidak mengherankan jika perhatian kepada korban semakin jauh dari kata perlindungan.
Korban yang pada dasarnya pihak yang paling menderita atau mengalami kerugian akibat dari suatu perbuatan pelaku tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada pelaku Tindak Pidana.
Perlindungan terhadap korban suatu tindak pidana sangat penting diperhatikan dan diprioritaskan untuk mendapatkan perlindungan oleh karena penderitaan korban akibat suatu tindak pidana belumlah dapat dikatakan selesai atau berakhir dengan diganjarnya hukuman kepada pelaku tindak pidana atau telah usainya pelaku tindak pidana menjalani hukuman yang diberikan kepadanya sebagai ganjaran dari perbuatan yang dilakukannya.
Penegakan keadilan serta penghormatan terhadap hak azasi manusia tidak hanyak berlaku bagi pelaku saja melainkan juga kepada korban, seperti yang dikemukakan oleh Gies yang dikutip kembali oleh Elfina L. Sahetapy mengatakah bahwa “Too much attention has been paid to offenders and rights, to neglect of the victim”.6 Disamping itu juga hukum pidana hendaknya menyesuaikan kualitas
6Elfina L. Sahetapy, Persfektif Viktimologi Terhadap Korban Kejahatan Seksual, yang disampaikan pada Simposium Revitalisasi Hukum Nasional dan Penelitian Hukum Pidana dan Kriminologi ke-IV, kerjasama MAHUPIKI dan Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kupang NTT 24-28 April 2017; Terlalu banyak perhatian telah diberikan kepada pelanggar untuk hak-haknya dan mengabaikan korban. Serta lihat juga dalam Ni Putu Rai Yuliantini, Kedudukan
dan kuantitas penderitaan serta kerugian yang dialami oleh korban akibat suatu tindak pidana.7
Tindak pidana kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai tindak pidana terhadap kesusilaan semata. Padahal dalam beberapa pemberitaan yang ada baik dalam media elektronik maupun media cetak menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius, berupa traumatik yang mungkin berlangsung seumur hidupnya, bahkan dalam beberapa kasus, kekerasan seksual dapat mendorong korban melakukan bunuh diri.8 Pandangan bahwa kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, kekerasan seksual dianggap sebagai kejahatan serta pelanggaran terhadap norma kesusilaan.9
Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat tindak pidana yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah
Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Berdasarkan Kuhap, Jurnal Komunikasi Hukum, Vo. 1 No. 1 Pebuari 2015: 83-94.
7Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, (Jakarta:
PT Djambatan, 2007) hlm. 122
8KOMPAS.com "Tragis, Ibu Muda 21 Tahun Bunuh Diri karena Malu Diperkosa 7 Pemuda", Ibu muda berusia 21 tahun warga Desa Bandang Laok, Kecamatan Kokop, Kabupaten Bangkalan, Madura ditemukan tewas di dapur rumahnya pada Rabu (1/7/2020) malam. Ia tewas bunuh diri dengan menenggak cairan pembersih lantai karena malu telah diperkosa tujuh pemuda beberapa hari yang lalu. Pemerkosaan terjadi pada Kamis (26/6/2020) dini hari di sebuah hutan di Desa Bungkek, Kecamatan Tanjung Bumi yang berjarak 600 meter dari rumahnya. Peristiwa tragis tersebut berawal saat korban dijemput dua pemuda pada Kamis (25/6/2020) malam untuk berbelanja di mini market. Usai berbelanja, mereka bertiga dihadang tujuh pemuda yang mengaku sebagai keluarga perempuan berusia 21 tahun tersebut. Tujuh pemuda tersebut mengaku korban sudah beberapa hari hilang. Karena percaya dua penjemput tersebut menyerahkan perempuan 21 tahun tersebut ke tujuh pelaku. Ternyata perempuan muda tersebut dibawa ke hutan dan diperkosa secara bergantian oleh tujuh pemuda tersebut.
9Ketentuan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dapat dikelompokkan menjadi: 1.
Tindak Pidana kesusilaan yang berkaitan dengan seks, diantaranya: a. Bentuk Kejahatan diatur dalam pasal 281-294; b. Bentuk Pelanggaran diatur dalam pasal 532-535; 2. Tindak Pidana Kesopanan, diantanya: a. bentuk kejahatan diatur dalam pasal 300-303; b. Bentuk pelanggarangan diatur dalam pasal 536-547 KUHP.
persoalan moralitas semata. Pengaitan kekerasan seksual dengan persoalan moralitas menyebabkan korban bungkam dan terkadang korban justru dipersalahkan atas kekerasan yang dialaminya. Disamping itu atas apa yang dialami korban dianggap sebagai aib, tidak saja bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga bahkan lingkungannya. Ada pula korban yang diusir dari rumah dan kampungnya karena dianggap tidak mampu menjaga kehormatan dan merusak nama baik keluarga ataupun masyarakat.
Pengucilan dan stigmatisasi atau pelebelan diri korban tindak pidana kekerasan seksual itu bahkan dapat berlangsung sekalipun pelaku diputus bersalah oleh pengadilan. Sangat ironi melihat realita ini, sedangkan negara, pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelenggaraan perlindungan terhadap anak,10 jikalau korban tindak pidana kekerasan seksual itu adalah seorang anak. Korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan integritas seluruh hidup korban yang menyebabkan korban merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Harus disadari, kekerasan seksual sesungguhnya mengancam keberlangsungan bangsa dan kualitas generasi yang akan datang.
Anak dengan segala keterbatasan yang dimilikinya mengakibatkan rentan untuk dijadikan korban tindak pidana, anak yang mengalami tindak pidana mengakibatkan anak menjadi tertutup dengan lingkungan sekitarnya, peribadi yang rapuh dan apatis. Walaupun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah menekankan hak perlindungan dan hak bebas dari
10Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak, Pasal 20 “Negara, pemerintan, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan anak”.
kekerasan sebagai salah satu hak konstitusional untuk seluruh warga negara Indonesia, akan tetapi anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga masih banyak terjadi.
Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi dalam rumah tangga, tidak bisa dihitung jumlahnya secara pasti, baik dalam skala nasional maupun dalam lingkup Provinsi Sumatera Utara. Banyak faktor yang menyebabkan tidak diketahui jumlah pasti anak korban tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga, diantaranya: database yang dimiliki Badan Pusat Statistik menggabungkan tindak pidana kekerasan seksual secara umum misalnya pemerkosaan, perzinahan, pencabulan disamping itu pelaku tindak pidana juga didabungkan baik itu ayah, paman, saudara kandung, kakek dan lain sebagainya.
Serta pada beberapa Pengadilan menggabungkan kualifikasi tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap anak kedalam kasus perlindungan anak dan kasus kesusilaan, yang sudah barang tentu kasus perlindungan anak bukan kasus kesusilaan saja serta kasus kesusilaan bukan hanya lingkup keluarga saja. Disamping itu juga adanya budaya masyarakat yang tidak memiliki keberanian untuk melaporkan kejadian tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga yang terjadi atau menimpanya.
Berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap anak yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara, dapat dilihat dari beberapa kasus, diantanya: pertama, perkara nomor 30/Pid.Sus/2020/PN Sbg seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 jo. Pasal 76 D UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 10 (sepuluh) tahun; kedua, perkara nomor 113/Pid.Sus/2020/PN Sbg seorang ayah yang mencabuli anaknya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 jo. Pasal 76 D UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 7 (tujuh) tahun.
Ketiga, perkara nomor 137/Pid.Sus/2019/PN Mdl seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 16 (enam belas) tahun; keempat, perkara nomor 31/Pid.Sus/2019/PN Sbg seorang ayah yang mencabuli anaknya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 jo. Pasal 76 D UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 8 (delapan) tahun dan 6 (enam) bulan.
Kelima, perkara nomor 92/Pid.Sus/2017/PN Sbg seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 3 jo. Pasal 76 D UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 64 KUHP, dengan putusan penjara 14 (empat belas) tahun; keenam, perkara nomor 21/Pid.B/2007/PN Mdl seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 1 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP, dengan putusan penjara 11 (sebelas tahun) tahun; ketujuh, perkara nomor 58/Pid.B/2006/PN Mdl seorang ayah yang mencabuli anak kandungnya di dakwa dengan Pasal 81 ayat 1
UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan putusan penjara 10 (sepuluh) tahun.
Tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap anak, ini bagaikan penomena gunung es “dipermukaan kelihatan hanya sedikit akan tetapi didasar sangat banyak”, begitulah tindak pidana kekerasan seksual dalam rumah tangga terhadap anak semakin digali semakin banyak kelihatan jumlahnya. Baik anak, dan ibu tidak mampu bahkan tidak memiliki keberanian dan kemauan untuk melaporkan atas perbuatan yang diderita oleh anak sehingga tidak jarang ibu dan anak seolah-olah berusaha untuk menutupi perbuatann yang menimpanya.
Banyak faktor yang melatar belakangi ibu, anak serta anggota keluarga lain menutupi kasus yang menimpanya, diantanya: kasus yang menimpa anak dianggap sebagai aib bagi kelurga, bahkan yang lebih memperihatikan lagi disaat ibu, anak serta keluarga lainnya mengatakan karena pelaku sebagai tulang punggung kelurga yang menafkahi keluga sehingga apabila pelaku dihukum maka nafkah kepada kelurga akan terhenti. Tidak bisa dipungkiri hukum nasional Indonesia telah mengatur tentang perlindungan korban tindak pidana akan tetapi undang-undang yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana yang selama ini ada masih bersifat parsial yang keberadaannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga hanya berlaku bagi tindak pidana tertentu.
Dari aspek yuridis, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban, yaitu aspek substansi, struktur, dan
budaya hukum.11 Ditingkat substansi, sekalipun ada penegasan pada hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi akan tetapi sebagaiann jenis kekerasan seksual belum dikenal oleh hukum Indonesia. Sebagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur kekerasan seksual dalam konteks bentuk fisik dan hubungan badan belaka.
Tingkat struktur, lembaga penegak hukum mulai membuat unit dan prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap anak, termasuk bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang. Akan tetapi unit dan prosedur dalam lembaga penegakahan hukum saat ini belum tersedia disemua tingkat penyelenggaraan dan belum didukung dengan fasilitas maupun perspektif penanganan korban yang memadai. Tingkat kultur atau budaya hukum, masih terdapat cara pandang masyarakat tentang moralitas atas kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada anak korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban.
Pertanyaan seperti memakai baju apa, berada dimana, jam berapa, bagaimana cara melakukannya merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan ketika terjadi kasus kekerasan seksual.Pertanyaan semacam ini, tidak hanya menunjukkan ketiadaan perspektif korban, tetapi juga merupakan bentuk menghakimi korban dan membuat korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi). Disamping itu juga dalam jurnal Haryanto Dwiatmodjo, Prasel mengatakan bahwa:
11Lawrence M. Friedman, American Law at Introduction, Second Edition, Terjemahan Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2001) hlm. 190
“Victim was a forgetten figur in study of crime, victim of assault, robbery, theft and othe offences were ignored wile police, courts, and academicians concentrated on know violators”.12
Melihat uraian diatas, maka kedudukan korban dalam suatu tindak pidana dapat dikatakan tidak mudah dipecahkan dari sudut hukum. Masalah kepentingan korban tindak pidana sudah sejak lama kurang begitu mendapat perhatian dikarenakan obyek perhatian masih lebih terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana yang hal itu melekat pada theory retributive.13
Teori pemidanaan absolut atau theory retributive berasal dari zaman Hamurabi, dimana dalam hukumnya perhatian lebih terfokus pada masalah aspek penologis, yakni bagaimana supaya pelaku tindak pidana dapat dihukum sesuai dengan perbuatan yang terbukti dilakukannya sehingga mengakibatkan luputnya
12Haryanto Dwiatmodjo, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Banyumas, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11 No. 2, Mei 2011, hlm. 202: (Korban adalah sosok yang terlupakan dalam studi tentang kejahatan, korban penyerangan, perampokan, pencurian dan pelanggaran lainnya yang diabaikan di kepolisian, persidangan, dan para akademisi yang memperhatikan tentang kejahatan).
13RA Duff & David Garland, A Reader and Punisment, (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 214; Lihat juga dalam buku Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hlm. 90: Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan; lihat juga dalam buku Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 105: Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan; lihat juga dalam buku Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: Rafika Aditama, 2009) hlm. 24: Pada dasarnya penjatuhan pidana penderitaan kepada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain; disamping itu juga dalam buku yang sama, hlm. 26. 1.Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; 2.Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; 3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; 4.Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; 5.Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
perhatian mengenai penyelesaian masalah-masalah yang dialami oleh korban.14 Dalam theory retributive ini menekankan suatu kebijakan yang titik perlindungannya adalah pelaku (offender oriented). Disamping itu juga dalam suatu pernyataan dalam Randy E. Barnett dan John Hegel yang manyatakab bahwa:
“Crime is regarded as an offence against the state. The damage to the individual victim is incidental and its redress is no longer regarded as a function of the criminal justice process. The victim is told that if he want to recover his losses he should hire a lawyer and sue in civil court. The Criminal Justice System is not for his benefit but for the community’s. Its purposes are to deter crime, rehabili-tate criminals, punish criminals, and
14Bambang Poernomo, Hukum dan Viktimologi, Bahan Kuliah Magister Ilmu Hukum Pidana, Program pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 2002, hlm. 63. Dalam sumber yang berbeda dijelaskan bahwa salah satu sejarah pemidanaan absolut atau theory retributive berasal dari masa raja Hammurabi. Hammurabi adalah raja keenam dari Dinasti Babilonia pertama (memerintah 1792-1750 SM). ia lebih terkenal karena pada masa pemerintahannya dibuat kode resmi (hukum tertulis) pertama yang tercatat di dunia, yang disebut sebagai Piagam Hammurabi (Codex Hammurabi). Pada tahun 1901, arkeolog Perancis menemukan piagam tersebut ketika melakukan penggalian di bawah reruntuhan bekas kota kuno Susa, Babilonia. Piagam Hammurabi tersebut terukir di atas potongan batu yang telah diratakan dalam huruf paku (cuneiform). Piagam tersebut seluruhnya ada 282 hukum, akan tetapi terdapat 32 hukum diantaranya yang terpecah dan sulit untuk dibaca. Isinya adalah pengaturan atas perbuatan kriminal tertentu dan ganjarannya.
Diakses melalui Internet dari halaman web: https: //id.wikipedia.org/wiki/ Hammurabi, pada bulan Februari 2018; berkaitan dengan Penologi, lihat pada Thomas Sunaryo, Buku Modul Mata Kuliah Penologi, Akademi Ilmu Pemasyarakatan, 2009, hal 1. Yang dikutip dari International Encyclopedia of the Social Sciences, New York, The Macmillan Company & The Free Press, Vol.
11 No. 12, tahun 1972, hal 513 dijelaskan bahwa Francais Lieber (1829-1832) yang dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istilah penology. Menurutnya penologi memiliki pengertian sebagai: Penology that part if the science of criminology which studies the principles of punishment and the management of prisons, reformatories, and other confinement units (Penologi merupakan bidang studi dari kriminologi yang mempelajari prinsip-prinsi dari penghukuman dan manajemen penjara, reformatori (asrama) dan unit-unit pengekang lainnya); serta lihat juga dalam Iqrak Sulhin, Sekilas Perkembangan Teori Penologi, yang disampaikan di dalam Simposiom dan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi ke IV, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) dan Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, 26 April 2017. Yang dijelaskan tentang Bahrudin Suryobroto berpendapat tentang penologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah penghukuman/pemidanaan serta sistem atau cara bagaimana memperlakukan orang-orang yang sedang dalam menjalani hukuman (narapidana); disamping itu juga dalam sumber yang sama Dragan Milovanovic dan Stuart Henry, menjelaskan bahwa Penology secara umum dibedakan kedalam enam bentuk kebijakan, yaitu:
penghukuman/pembalasan, inkapasitasi, penjeraan, rehabillitasi, pencegahan, dan restitusi/separasi.
do justice, but not to restore victims to their wholeness or to vindicate them.15
Apalagi jika mengkaji lebih jauh tentang undang-undang pengkapusan kekerasan dalam rumah tangga, apabila pelaku terbukti telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak kemudian pelaku (orang tua) dijatuhi
Apalagi jika mengkaji lebih jauh tentang undang-undang pengkapusan kekerasan dalam rumah tangga, apabila pelaku terbukti telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak kemudian pelaku (orang tua) dijatuhi