Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT-109140.36/2011/PP/MIIA Tahun 2018
Jenis Pajak : PPH Pasal 26 Ayat 4
Tahun Pajak : 2011
Pokok Sengketa : Koreksi PPh terutang karena Wajib Pajak/ Pemohon Banding menggunakan Tarif PPh Pasal 26 Ayat (4)/ Pajak Bunga Deviden Royalti (PBDR) / Branch Profit Tax (BPT) sebesar 10% berdasarkan Tax Treaty Indonesia_Inggris, sedangkan menurut Fiskus/Terbanding tarif yang digunakan seharusnya adalah sebesar 20% sesuai ketentuan UU PPh dan aturan pelaksanaannya dan Kontrak Bagi Hasil Produksi (PSC/Production Sharing Contract)
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022
Menurut Terbanding : Bahwa Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah Diubah Terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 mengatur bahwa: Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen);
bahwa Pasal 33 A ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan bahwa Wajib Pajak menjalankan usaha dibidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undangundang Pajak ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud;
bahwa Pasal 2 KMK-267/KMK.012/1978 dinyatakan bahwa pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalty yang terutang adalah sebesar 20% dari Laba Kena Pajak setelah dikurangi Pajak Perseroan;
bahwa sesuai dengan S-443a/MK-012/1982 tanggal 6 Mei 1982 yang antara lain menyatakan, "...untuk mempertahankan berlakunya prinsip pembagian hasil dengan perbandingan tertentu (Pertamina 85% dan Kontraktor Minyak Asing 15%) berdasarkan after tax basis, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap perbandingan hasil sebelum pajak, sehingga setelah diperhitungkan pajak maka kontraktor tetap menerima 15%;
bahwa Pasal 4 KMK-458/KMK.012/1984 tanggal 21 Mei 1984 menyebutkan bahwa kontraktor wajib memotong PPh sebesar 20% dari keuntungan setelah dikurangi pajak penghasilan dimaksud pasal 3 ketentuan menteri keuangan ini;
bahwa berdasarkan PP 37 nomor 79 tahun 2010, dalam hal terjadi perubahan bentuk hukum dan/atau perubahan status domisili dan/atau pengalihan participating interest atau kepemilikan saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang mengakibatkan perubahan perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara harus tetap;
bahwa selengkapnya section VI poin 6.3 berbunyi:
For Crude Oil Production of the contract area other than those under paragraphs (i), and (ii) and (iii) herein above, each year Pertamina shall be entitled to take and receive 71,1538% and contractor shall be entitled to take and receive 28.8462%;
bahwa selengkapnya section VI clause 6.2.2. berbunyi:
remaining after duduction operating cost associated with the natural gas operation as stipulated in Exihibit C and the parties shall be entitled to take and receive each year as follow : PERTAMINA thirty seven point five zero zero zero percent (35,0000%) and Contractor sixty two point five zero zero zero percent (65.000%);
bahwa sesuai ketentuan dalam section V article 5.1.2 huruf (r ) Production sharing contract kontraktor harus membayara PPs/PPh dan PBDR/BPT. Tarif nya masing- masing adalah sebesar 35% dan 20%;
bahwa dalam kontrak PSC yang di tandatangani tanggal 27 Februari 1993 nama kontaktor yang tercantum adalah QWE Company yaitu perusahaan yang berkedudukan di USA dan RTY Ltd Perusahaan yang berasal dari bahamas. Dalam P3B Indonesia-USA tarif P3B dikecualikan untuk penghasilan yang diterima kegiatan pertambangan yang diterima dari kegiatan pertambangan Migas, sedangkan antara Pemerintah Indonesia dengan Bahamas belum ada P3B nya.
sehingga sehuai Pasal 26 ayat (4) UU No.7 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan UU No.36 tahun 2008 seharusnya PP oil dan gas (ASD) Ltd menerapkan tarif 20% dalam Perhitungan PBDR/BPT/Pajak atas Dividen nya;
Menurut Peneliti Keberatan
bahwa Pemeriksa / Terbanding mengenakan tarif PPh Pasal 26 ayat (4) / PBDR / (pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti) atau Branch Profit Tax (BPT) sebesar 20%, dengan alasan sebagai berikut:
bahwa Kontrak Kerja Sama atau Production Sharing Contract (PSC) ditandatangani tanggal 27 Februari 1993 dan berlaku untuk 30 tahun sejak 27 Februari 1993 s/d 27 Februari 2023 antara Pertamina (Pemerintah) dengan RTY LTD (Bahamas) dan QWE Company (USA);
bahwa koreksi keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak perihal penerapan tarif Branch Profit Tax/PBDR;
bahwa mengingat P3B Indonesia-Inggris baru ditandatangani 5 April 1993 dan efektif 1 Januari 1995 sedangkan PSC ditandatangani 27 Februari 1993, maka sangat beralasan apabila ketentuan yang diatur dalam P#B tersebut tidak menjadi dasar perumusan isi PSC 1993;
bahwa sesuai dengan ketentuan dalam section V article 5.2. huruf (r) PSC, Kontraktor harus membayar PPs / PPh dan PBDR/BPT kepada Pemerintah RI atas bagi hasil yang (share) sebesar PPs sebesar 35% dan PBDR/BPT sebesar 20%;
bahwa berdasarkan PSC Section VI article 6.1.3 (iv), Pemerintah RI menerima 71.1538%dan dan Kontraktor menerima 28.8462%. Dengan demikian apabila Kontraktor menerapkan tarif di bawah 20% dalam penghitungan PBDR/BPT nya maka bagian Pemerintah tidak akan mencapai 85%;
bahwa timbulnya angka perbandingan 85% : 15% tidak terlepas dari perkembangan sejarah Production Sharing Contract (PSC)/KBHP di Indonesia;
bahwa dalam penghitungan bagi hasil produksi minyak mentah sebagaimana tercantum dalam KBHP 1993, semata-mata ditujukan untuk memenuhi proporsi 85%: 15%, yang menggambarkan perbandingan penerimaan neto yang harus diperoleh Pemerintah Indonesia (government take) dan Kontraktor (contractor take). (Lihat skema bagi hasil KBHP 1993 dalam Lampiran I penjelasan tertulis ini);
bahwa dengan kata lain, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang tertulis dalam KBHP 1993, maka hanya rasio 85%:15% dan tarif PPh Badan 35% serta tarif BPT 20%
yang akan menghasilkan perhitungan bagi hasil produksi sebelum pajak antara Pertamina dan Kontraktor sebesar 71,1538% dan 28,8462% untuk minyak mentah, yang berarti tidak ada proporsi lain yang mendasari perhitungan bagi hasil produksi dalam kontrak termasuk juga kesepakatan penerapan tarif PPh Badan dan tarif BPT 20%, selain proporsi 85:15 tersebut;
bahwa berdasarkan perbandingan perhitungan tarif BPT tersebut di atas, diketahui bahwa jika Wajib Pajak mengenakan tarif BPT sesuai P3B sebesar 10%, maka bagian Pemerintah secara total hanya 83,1250% dimana Wajib Pajak memperoleh bagian 16,8750%;
bahwa dengan kata lain penerapan tarif BPT sebesar 10% secara sepihak oleh Wajib Pajak telah menyalahi ketentuan khusus yang diatur dalam Kontrak Bagi Hasil dan menimbulkan berkurangnya porsi penerimaan negara sebesar 1,875%
yang hingga saat ini tidak ada cars yang dapat ditempuh untuk mengembalikan kerugian negara tersebut selain lewat mekanisme penagihan kekurangan pembayaran pajak oleh fiskus;
bahwa mengacu pada Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern Kementerian Keuangan Tahun 2011 Nomor 15b/LHP/XV/05/2012 tanggal 21 Mei 2012 (Badan Pemeriksa Keuangan), pada halaman 19 laporan tersebut dinyatakan bahwa: "BPK telah mengungkapkan adanya praktik penggunaan tarif pajak secara tidak konsisten dalam perhitungan bagi hasil migas dan penyetoran pajaknya dalam LHP LKPP Tahun 2010 (Hasil Audit BPKP tertanggal 25 Maret 2010).
Inkonsistensi penerapan tarif PPh ini disebabkan karena penggunaan tarif tax treaty dalam pembayaran jenis pajak Branch Profit Tax oleh KKKS";
bahwa Kontrak Bagi Hasil atas PSC disusun berdasarkan Pokok-Pokok Kontrak Kerja Sama (fiscal term) yang ditetapkan oleh Menteri ESDM. Di dalam Pokok- Pokok Kontrak Kerja Sama tersebut telah ditetapkan nilai presentase bagi hasil migas antara Pemerintah dan KKKS balk dalam bentuk netto maupun gross serta tarif PPh yang digunakan;
bahwa selanjutnya dalam halaman 23 huruf c Laporan tersebut, dinyatakan: "BPK merekomendasikan agar Menteri Keuangan: Memerintahkan kepada DJP dan DJA agar berkoordinasi dengan BP MIGAS untuk melakukan verifikasi atas selisih antara pembayaran dengan kewajiban, keterlambatan pembayaran PPh Migas serta menagih kekurangan dan mengenakan sanksi administrasi sesuai ketentuan berlaku";
bahwa mengacu pada Surat Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Nomor : 1389/BPC1000/2012/S4 tanggal 03 Agustus 2012 yang ditujukan kepada Terbanding perihal Tanggapan atas Usulan Amandemen PSC Bagi KKKS yang Menggunakan Tax Treaty, dinyatakan bahwa dari hasil pertemuan tersebut, KKKS (Kontraktor) pada dasarnya setuju untuk melakukan amandemen PSC dengan syarat berlaku ke depan dan terhadap penggunaan tax treaty yang telah terlanjut digunakan (termasuk SKPKB yang telah diterbitkan), agar diputihkan;
bahwa dalam hal ini Tim Peneliti berpendapat bahwa Wajib Pajak telah dengan sadar mengakui bahwa penggunaan tax treaty adalah tindakan sepihak yang melanggar kontrak, sehingga selisih bagian pemerintah memang sudah seharusnya menjadi kewajiban Wajib Pajak untuk menyetorkannya kepada Negara;
bahwa sebagai bahan pertimbangan, bahwa terdapat beberapa Putusan Pengadilan Pajak yang serupa dengan sengketa ini, yang salah satunya yaitu Put. 64619/PP/M.
11IA/13/2015 atas nama BUT PP Oil & Gas (ASD) Ltd., dimana di dalam putusan tersebut Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pembagian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon Banding termasuk perpajakannya sudah diatur secara rinci dalam perjanjian Kontrak Production Sharing (85% : 15% setelah pajak), bahwa koreksi sudah sesuai dengan perjanjian Kontrak Production Sharing sehingga koreksi Terbanding dipertahankan;
bahwa sebagai bahan pertimbangan bahwa asas atau prinsip PSC adalah:
a. Good faith, yaitu bahwa pelaksanaan kontrak haruslah berdasarkan itikad baik para pihak untuk menjalankan apa yang telah disepakati. Itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak;
b. Nail down, dalam artian peraturan atau ketentuan terkait dengan pelaksanaan kontrak adalah berdasarkan peraturan dan ketentuan pada saat kontrak ditandatangani. Hal ini terkait dengan jangka waktu kontrak yang merupakan kontrak jangka panjang yaitu selama 30 tahun. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi ke-ekonomian dari kedua belah pihak akan perubahan peraturan yang terjadi setelah kontrak ditanda tangani.
Prinsip ini sejalan dengan Pasal 33A ayat (4) UU No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan beserta penjelasannya;
c. Sanctity of contract, yaitu bahwa para pihak yang telah mengikat diri pada suatu kontrak harus menghormati kesepakatan mengenai kewajiban- kewajibannya dalm kontrak tersebut;
b sesuai dengan asa diatas, dan mengingat origin Plan Of development yang disampaikan kontraktor dalam angka 12.2 tentang Project Economics dinyatakan bahwa Kontraktor siap membayar pajak berkaitan dengan PPs/PPh Badan dan PBDR/BPT Migas sebesar 48%, sudah seharusnya Wajib Pajak juga mengikuti hal tersebut dengan menggunakan tariff PBDR/B{T Migas sebesar 20% untuk menghormati kontrak yang telah dibuat
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT-109140.36/2011/PP/MIIA Tahun 2018
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022
Menurut Pemohon Banding : Bahwa Pemohon Banding tidak sependapat dengan dasar koreksi Terbanding dalam kaitannya dengan penerapan tarif PBDR/PPh Pasal 26 ayat (4) sebesar 20%
berdasarkan Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Berikut adalah alasan Pemohon Banding:
a. bahwa penjelasan Pasal 33A ayat (4) Ketentuan Peralihan Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 10 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 36 Tahun 2008 (”UU PPh”), antara lain menyatakan: “Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-Undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud;
Dengan demikian, ketentuan Undang-Undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditandatangani setelah berlakunya Undang-Undang ini”;
b. bahwa berdasarkan Ketentuan Penutup Pasal III Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 10 Tahun 1994, Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995;
c. bahwa ketentuan Section V Rights and Obligations of The Parties pada angka 5.2.(r) PSC Jabung tertanggal 27 Februari 1993 yang dijadikan dasar untuk penghitungan kewajiban perpajakan untuk tahun 2011, menyebutkan sebagai berikut: “CONTRACTOR shall:
(r). severally pay to the Government of the Republic of Indonesia the income tax including the final tax on profits after tax deduction imposed on it pursuant to the Indonesia Income Tax Law and its implementing Regulations. CONTRACTOR shall comply with the requirements of the Tax Law in particular with respect to filing of returns, assessment of tax and keeping and showing of books and records.”
d. bahwa dengan melihat ketentuan-ketentuan perpajakan di atas dan Kontrak Bagi Hasil (KBH) Blok Jabung yang berlaku efektif tanggal 27 Februari 1993 dimana Pemohon Banding sebagai salah satu kontraktor pada wilayah tersebut maka peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku dalam hal ini adalah Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 36 Tahun 2008 bukan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 10 Tahun 1994 sebagaimana pernyataan Terbanding.
Hal yang sama berlaku untuk tahun pajak 2011;
bahwa dalam pemahaman Pemohon Banding, PPh Pasal 26 ayat (4) adalah sama dengan “tax on profit after tax” yang dalam perpajakan Internasional dikenal sebagai “Branch Profit Tax”, dengan penjelasan sebagai berikut:
bahwa ketentuan Section V Rights and Obligations of The Parties pada angka 5.2.(r) PSC Jabung tertanggal 27 Februari 1993 yang dijadikan dasar untuk penghitungan kewajiban perpajakan untuk tahun 2011, menyebutkan sebagai berikut:
“CONTRACTOR shall:
(r). severally pay to the Government of the Republic of Indonesia the income tax including the final tax on profits after tax deduction imposed on it pursuant to the Indonesia Income Tax Law and its implementing Regulations. CONTRACTOR shall comply with the requirements of the Tax Law in particular with respect to filing of returns, assessment of tax and keeping and showing of books and records;”
bahwa berdasarkan ketentuan Section V Rights and Obligations of The Parties pada angka 5.2.(r) PSC Jabung tertanggal 27 Februari 1993 tersebut, Pemohon Banding menyadari bahwa ada kewajiban pembayaran “tax on profits after tax”
yang harus Pemohon Banding patuhi sepenuhnya;
bahwa Pemohon Banding memahami bahwa “tax on profits after tax” ini, yang dalam perpajakan internasional dikenal sebagai “Branch Profit Tax”, dan dalam perpajakan Indonesia yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4);
Pemohon Banding tidak setuju dengan pernyataan Terbanding bahwa tariff PPh Pasal 26 ayat (4) yang berlaku dalam kasus ini adalah sebesar 20%, dengan penjelasan sebagai berikut :
bahwa berkenaan dengan perpajakan internasional dikenal adanya prinsip dasar pemajakan yang menyatakan bahwa apabila antara suatu Negara mengadakan perjanjian perpajakan (Tax Treaty) dengan Negara lainnya, maka bagi penduduk kedua negara tersebut, ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam tax treaty mengenyampingkan (meng-“overrule”) ketentuan-ketentuan perpajakan domestik yang berlaku di masing-masing Negara yang bersetuju (treaty country);
bahwa prinsip dasar pemajakan sebagaimana Pemohon Banding sampaikan pada butir a di atas diakui berlakunya oleh Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 32A UU PPh, yang menyatakan :
“Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hakhak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing- masing negara;”
bahwa antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Inggris berlaku Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) – tax treaty - yang berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1995;
bahwa dengan demikian maka, P3B Indonesia-Inggris merupakan ketentuan khusus (lexspesialis) yang berlaku bagi Wajib Pajak yang berkedudukan di kedua negara sesuai ketentuan Article 2 paragraph (1);
bahwa Pemohon Banding adalah Wajib Pajak dalam negeri Inggris, yang berhak untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dalam tax treaty Indonesia – Inggris, sebagaimana diatur dalam Article 4 paragraph (2) dibuktikan dengan “Certificate of Domicile” (COD) yang diterbitkan oleh pejabat pajak yang berwenang di Inggris;
bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (7) dan ayat (8) dari P3B tahun 1993 antara Indonesia dengan Inggris yang mengatur tentang Branch Profit Tax menyatakan bahwa:
7. Not with standing the other provisions of this Agreement, where a company which is a resident of a Contracting State, having a permanent establishment in the other Contracting State, derives profits through that permanent establishment, such profits may be taxed (in addition to the tax which would be chargeable on those profits if they were the profits of a company which was a resident of that other Contracting State) in accordance with the laws of the other Contracting State but the rate of tax so imposed shall not exceed 10%
of the profits of the permanent establishment after payment of the income tax on those profits;
8. The provisions of paragraph 7 of this Article shall not affect the provisions contained in any production sharing contracts and contracts of work (or any similar contracts) relating to the oil or gas sector or other mining sector entered into by a resident of the United Kingdom with the Government of Indonesia, its instrumentality, its relevant state oil and gas company or any other entity thereof, provided such contracts: were concluded on or before December 31st, 1983; or
(b). were being negotiated at December 31st, 1983 and the Minister of Finance of Indonesia determined before the date of signature of this Agreement that the profits or income arising from such contracts should be taxed in Indonesia in accordance with the laws in force in Indonesia at December 31st, 1983;”
g. bahwa ketentuan tersebut di atas secara khusus mengatur mengenai perusahaan Inggris yang melakukan kegiatan Kontrak Bagi Hasil di bidang minyak dan gas bumi di Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) akan dikenakan pajak di Indonesia atas penghasilan setelah pajak (BPT / PPh Pasal 26 ayat (4)) dengan tarif tidak akan melebihi 10%, dengan syarat penandatangan Kontrak Bagi Hasil tersebut dilakukan setelah tanggal 31 Desember 1983;
h. bahwa penandatanganan Kontrak Bagi Hasil di bidang minyak dan gas bumi oleh Pertamina dengan RTY Ltd dan QWE Company Jabung dilakukan pada tanggal 27 Februari 1993, yang pada tanggal 23 Mei 2003, dilakukan perubahan nama menjadi PP Oil & Gas (ASD) Limited;
i. bahwa atas Kontrak Bagi Hasil yang dilakukan setelah 31 Desember 1983, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (7) P3B Indonesia – Inggris, berhak atas tarif 10% tersebut di atas;
j. bahwa dengan demikian, penyesuaian atas penerapan tarif BPT sebesar 20% oleh pihak pemeriksa tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku;
k. bahwa menurut pemahaman Pemohon Banding, penerapan tarif PPh sebesar 20% oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) untuk menghitung besarnya pajak terhutang PPh Pasal 26/PBDR yang diatur dalam PPh Pasal 26 UU PPh dapat dibenarkan selama pemerintah negara dimana WPLN berdomisili tidak memiliki P3B dengan Indonesia atau seperti halnya yang tercantum dalam ketentuan P3B Indonesia-Amerika, Indonesia-Australia dan Indonesia- Singapura yang memang memberikan pengecualian terhadap perusahaan KBH/PSC dimana perusahaan KBH/PSC tidak dapat menerapkan tarif pajak yang lebih rendah;
l. bahwa P3B Indonesia-Inggris memberikan hak kepada penduduk negara perjanjian (dalam kasus Pemohon Banding, BUT. PP Oil &
Gas (ASD) Limited) untuk menerapkan tarif pidend atau BPT lebih rendah dari 20%. Dengan demikian penerapan tarif PPh Pasal 26 sebesar 10% telah sesuai dengan P3B dimaksud;
m. bahwa seperti yang telah Pemohon Banding jelaskan di atas bahwa kewenangan untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka P3B telah diatur didalam Pasal 32 A UU No. 36 Tahun 2008. Sebagaimana telah dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 32 A tersebut, ketentuan-ketentuan yang disetujui dalam P3B merupakan lex specialis, sehingga ketentuan P3B harus diperlakukan secara khusus dengan mengenyampingkan ketentuan domestik;
n. bahwa disamping itu, Pemohon Banding berpendapat bahwa penerapan tarif sesuai P3B telah diakui secara formal oleh Direktorat Jenderal Pajak (“DJP“), sebagaimana terbukti dalam Lampiran Khusus SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP Badan untuk Perhitungan PPh Wajib Pajak KKKS (Kontraktor Kerjasama);
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT-109140.36/2011/PP/MIIA Tahun 2018
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022
Menurut Majelis : Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis, data-data yang ada serta fakta-fakta dalam persidangan, Majelis berpendapat:
bahwa pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah mengenai koreksi besarnya PPh Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 khususnya terkait dengan PPh Pasal 26 atas laba setelah pajak yang dikenal sebagai Branch Profit Tax (BPT) untuk Masa Pajak Januari s.d. Desember 2011;
bahwa menurut Terbanding, yang menjadi pokok sengketa adalah adanya perbedaan pengenaan tarif PPh Pasal 26 ayat (4), di mana Pemohon Banding menggunakan tarif 10% berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Inggris, sedangkan Terbanding menggunakan tarif 20% berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh);
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pernyataan Terbanding, bahwa berkenaan dengan perpajakan internasional dikenal adanya prinsip dasar pemajakan yang menyatakan bahwa apabila antara suatu Negara mengadakan perjanjian perpajakan (Tax Treaty) dengan Negara lainnya, maka bagi penduduk kedua negara tersebut, ketentuanketentuan yang diatur di dalam tax treaty mengenyampingkan (meng-“overrule”) ketentuan-ketentuan perpajakan domestik yang berlaku di masing-masing Negara yang bersetuju (treaty country);
bahwa penandatanganan Kontrak Bagi Hasil di bidang minyak dan gas bumi oleh Pertamina dengan RTY Limited dan QWE Company Jabung dilakukan pada tanggal 27 Februari 1993. Kemudian pada tanggal 23 Mei 2003, Petrochina International Limited bersama dengan Petronas Carigali telah membeli seluruh saham Amerada Hess Holdings Limited sekaligus melakukan perubahan nama menjadi PP Oil & Gas (ASD) Limited;
bahwa dalam kontrak PSC (Production Sharing Contract) yang ditandatangani tanggal 27 Februari 1993 nama kontraktor yang tercantum adalah QWE Company yaitu perusahaan yang berkedudukan di USA dan RTY Limited perusahaan yang berasal dari Bahamas. Dalam P3B Indonesia-USA, tarif P3B dikecualikan untuk penghasilan yang diterima dari kegiatan pertambangan Migas, sedangkan antara Pemerintah Indonesia dengan Bahamas belum ada P3B nya, sehingga sesuai Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 seharusnya PP Oil & Gas (ASD) Ltd.
menerapkan tarif 20% dalam perhitungan PBDR/BPT/Pajak atas Dividennya;
bahwa mengingat P3B Indonesia-Inggris baru ditandatangani 5 April 1993 dan berlaku efektif 1 Januari 1995 sedangkan PSC ditandatangani 27 Februari 1993, maka sangat beralasan apabila ketentuan yang diatur dalam P3B tersebut tidak menjadi dasar perumusan isi PSC 1993;
bahwa menurut Pemohon Banding atas kontrak bagi hasil yang dilakukan setelah 31 Desember 1983, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (7) P3B Indonesia- Inggris, berhak atas tarif 10% a quo;
bahwa mengacu pada Production Sharing Contract (PSC) 1993 a quo, dalam Section V.5.2. (r) mengatur bahwa “....final tax on profit after tax deduction imposed on it pursuant to the Indonesian Income Tax Law and its implementing regulations....” dan dengan demikian maka sesuai dengan Undang-Undang PPh yang berlaku maka tarif Branch Profit Tax (BPT) sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh a quo adalah sebesar 20%;
bahwa menurut Terbanding dengan Tax Reform Tahun 2000 dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000 maka sebagai tindak lanjutnya dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak (BPT) dari suatu Bentuk Usaha Tetap (PMK 113) diatur bahwa pemotongan PPh Final atas BUT (BPT) a quo sesuai dengan BPT adalah dengan tarif sebesar 20%;
bahwa dalam ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 458/KMK.012/1984 tanggal 21 Mei 1984 Pasal 4 diatur bahwa Kontraktor yang mengadakan Kontrak Production Sharing wajib memotong PPh sebesar 20% dari keuntungan sesudah dikurangi Pajak Penghasilan;
bahwa Terbanding dalam Keputusan Keberatan Pajak Nomor KEP- 01422/KEB/WPJ.07/2016 tanggal 22 September 2016 menghitung besarnya BPT a quo dengan tarif 20% dengan jumlah pajak sebesar US$32,667,662.00, sedangkan menurut Pemohon Banding tarif yang seharusnya diterapkan adalah 10% sehingga jumlah pajak menjadi sebesar US$16,333,831.00 sehingga koreksi besarnya PPh Pasal 26 ayat (4) a quo adalah sebesar US$16,333,831.00;
bahwa atas kekurangan Pemotongan PPh Pasal 26 ayat (4) a quo dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 sebesar US$7,840,239.00 sehingga jumlah Pajak yang masih harus dibayar menjadi US$24,174,0070.00;
bahwa menurut Majelis pokok sengketa terkait dengan tarif BPT yang sebenarnya BPT adalah pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh induk perusahaan dari kegiatan BUT-nya di Indonesia dan oleh karena itu Majelis akan meneliti hal- hal yang relevan terkait dengan pokok sengketa yaitu:
Peraturan perpajakan yang berlaku;
Latar belakang PSC di Indonesia dan posisi substansiil Pemerintah;
Besaran tarif BPT yang seharusnya diterapkan;
bahwa Undang-Undang PPh berlaku bagi Wajib Pajak (WP) dalam negeri baik yang menerima atau memperoleh penghasilan dari dalam maupun dari luar negeri, dan terkait dengan WP BUT, Undang-Undang PPh mengklasifikasikannya sebagai WP luar negeri namun dengan perlakuan tersendiri yaitu sebagai WP dalam negeri dan sebagaimana yang berlaku secara universal dikenakan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya di Indonesia, sedangkan atas penghasilan induk perusahaan yang berkedudukan di luar negeri dikenakan BPT;
bahwa P3B merupakan perjanjian bilateral antar dua negara dalam perseteruan yang substansi pokoknya adalah pengaturan hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari negara sumber oleh pihak yang berkedudukan di negara domisili dengan tujuan pokok untuk menghindari pengenaan pajak secara absolut oleh masingmasing para pihak dalam persetujuan (pajak berganda) dan untuk mencegah agar atas suatu penghasilan a quo ternyata tidak dikenakan pajak sama sekali oleh para pihak dalam persetujuan (pengelakan pajak);
bahwa karena substansi pokok adalah pengaturan hak pemajakan maka P3B tidak mengatur ketentuan perpajakan tersendiri yang harus diterapkan kecuali atas
“passive income” dalam bentuk ketentuan yang mengatur besarnya tarif pajak (reduced rate) yang disepakati para pihak dalam persetujuan pada P3B yaitu hanya diatur terkait dengan penghasilan dalam bentuk bunga, deviden dan royalty, dan juga tarif terkait dengan BPT, serta di samping itu juga terdapat pengaturan “time period” yang mempengaruhi timbulnya status sebagai BUT di salah satu negara dalam persetujuan yaitu di negara sumber;
bahwa dalam hal salah satu negara dalam persetujuan berhak untuk memajaki suatu penghasilan maka negara yang bersangkutan akan menerapkan ketentuan perpajakan domestiknya yaitu peraturan perpajakan yang berlaku di negara yang bersangkutan;
bahwa dengan demikian, dalam hal misalnya hak pemajakan a quo menjadi hak Indonesia maka ketentuan perpajakan domestik sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia akan diterapkan karena subjek pajak adalah menjadi Wajib Pajak Indonesia;
bahwa dalam persidangan Terbanding menyatakan bahwa penerapan tarif BPT a quo sebesar 20% sesuai dengan Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya terkait dengan kegiatan di bidang minyak dan gas bumi, sedangkan Pemohon Banding menyatakan seharusnya menerapkan tarif BPT sebesar 10% dengan menunjuk pada ketentuan besarnya tarif BPT yang diatur berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-United Kingdom (UK);
bahwa berdasarkan ketentuan Section V Rights and Obligations of The Parties pada angka 5.2. (r) PSC Jabung tertanggal 27 Februari 1993 tersebut, Pemohon Banding menyadari bahwa ada kewajiban pembayaran “tax on profits after tax”
yang harus Pemohon Banding patuhi sepenuhnya;
bahwa Pemohon Banding memahami bahwa “tax on profits after tax” ini, yang dalam perpajakan internasional dikenal sebagai “Branch Profit Tax”, dan dalam perpajakan Indonesia yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4);
bahwa berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK- 458/KMK.012/1984 tanggal 21 Mei 1984 menyebutkan bahwa: “Pajak Penghasilan yang terhutang oleh Kontraktor adalah sebesar 35% (tigapuluh lima perseratus) dari Penghasilan Kena Pajak”;
bahwa berdasarkan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK- 458/KMK.012/1984 tanggal 21 Mei 1984 menyebutkan bahwa: “Kontraktor wajib memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (duapuluh per seratus) dari keuntungan sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dimaksud dalam Pasal 3”;
bahwa berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, menyebutkan bahwa:
Ayat (1)
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar Penerimaan Negara yang berupa Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
Ayat (2)
Penerimaan negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
pajak-pajak;
bea masuk, dan
pungutan lain atas impor dan cukai;
pajak daerah dan retribusi daerah;
Ayat (4)
Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf (a) dilakukan sesuai dengan:
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani, atau ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan yang berlaku;
bahwa sesuai dengan ketentuan dalam section V article 5.2. huruf (r) PSC, Kontraktor harus membayar PPs/PPh dan PBDR/BPT kepada Pemerintah RI atas bagi hasil (share) sebesar PPsd 35% dan PBDR/BPT sebesar 20%;
bahwa berdasarkan PSC section VI article 6.1.3. (iv), Pemerintah RI menerima 71,1538% dan Kontraktor menerima 28,8462%. Dengan demikian apabila Kontraktor menerapkan tarif di bawah 20% dalam perhitungan PBDR/BPT nya, maka bagian Pemerintah tidak akan mencapai 85%;
bahwa timbulnya angka perbandingan 85% : 15% tidak terlepas dari perkembangan sejarah Production Sharing Contract (PSC)/KBHP di Indonesia;
bahwa dalam perhitungan bagi hasil produksi minyak mentah sebagaimana tercantum dalam KBHP 1993, semata-mata ditujukan untuk memenuhi proporsi 85% : 15%, yang menggambarkan perbandingan penerimaan neto yang harus diperoleh Pemerintah Indonesia (government take) dan Kontraktor (contractor take);
bahwa dengan kata lain dan berdasarkan fakta-fakta yang tertulis dalam KBHP 1993, maka hanya rasio 85% : 15% dan tarif PPh Badan 35% serta tarif BPT 20%
yang akan menghasilkan perhitungan bagi hasil produksi sebelum pajak antara Pertamina dan Kontraktor sebesar 71,1538% dan 28,8462% untuk minyak mentah, yang berarti tidak ada proporsi lain yang mendasari perhitungan bagi hasil produksi dalam kontrak termasuk juga kesepakatan penerapan tarif PPh Badan 35% dan dan tarif BPT 20%, selain proporsi 85 :
15 tersebut;
bahwa penerapan tarif BPT sebesar 10% secara sepihak oleh Kontraktor dalam hal ini oleh Wajib Pajak telah mengakibatkan berkurangnya penerimaan Pemerintah dari Pajak, sehingga porsi penerimaan sebesar 85% tidak dapat diwujudkan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada ilustrasi perhitungan di bawah ini:
bahwa berdasarkan perbandingan perhitungan tarif BPT tersebut di atas, diketahui bahwa jika Wajib Pajak mengenakan tarif BPT sesuai P3B sebesar 10%, maka bagian Pemerintah secara total hanya 83,1250% di mana Wajib Pajak memperoleh bagian 16,8750%;
bahwa dengan kata lain penerapan tarif BPT sebesar 10% secara sepihak oleh Wajib Pajak telah menyalahi ketentuan khusus yang diatur dalam Kontrak Bagi Hasil dan menimbulkan berkurangnya porsi penerimaan negara sebesar 1,875%
yang hingga saat ini tidak ada cara yang dapat ditempuh untuk mengembalikan kerugian negara tersebut selain lewat mekanisme penagihan kekurangan pembayaran pajak oleh fiskus;
bahwa Majelis dapat memahami apabila diterapkan tarif BPT conform P3B yang berlaku maka terdapat dua hal yang perlu dipahami, yaitu perlunya penghitungan kembali skema pembagian hasil dengan pokok pikiran bahwa bagian Pemerintah sebesar 85% a quo tetap dapat dipertahankan;
bahwa Majelis juga dapat memahami bahwa dalam hal penghitungan kembali tersebut belum ada maka berdasar skema 85 : 15 a quo tarif BPT tetap pada posisi 20%;
bahwa Majelis juga mengetahui dan memahami bahwa dalam perkembangan kemudian dari P3B yang telah berlaku antara Indonesia dengan beberapa negara dalam persetujuan lainnya, terdapat P3B yang secara tegas telah mengecualikan berlakunya P3B untuk PSC artinya tarif BPT yang lebih rendah dalam P3B a quo tidak berlaku dalam hal BUT melakukan kegiatan usaha di bidang Migas;
bahwa dari uraian di atas, Majelis dapat melihat secara menyeluruh dan secara utuh maka secara substansial maksud dan posisi Pemerintah dalam PSC pada dasarnya adalah dipertahankannya skema (net split) 85 : 15 a quo sehingga bagian Kontraktor tetap terjaga pada posisi bagian sebesar 15%. Oleh karena itu maka posisi tersebut tentunya menjadi hal yang sudah diketahui dan seharusnya telah dipahami oleh Calon Kontraktor PSC sebelum dan dalam proses perundingan/negosiasi PSC di Indonesia sehingga secara substansial Majelis dapat memahami bahwa walaupun skema a quo tidak tercantum secara gramatikal dalam PSC namun skema a quo adalah secara substansial melatarbelakangi setiap kontrak PSC yang disepakati Pemerintah, menjadi niat Pemerintah, dan menjadi posisi/sikap dan niat (standing position) Pemerintah sebagai pihak yang berwenang atas sumber alam migas tersebut;
bahwa Majelis berpendapat bahwa hal tersebut seharusnya menjadi perhatian kontraktor sehingga dapat memahami secara utuh PSC di Indonesia sebagaimana seharusnya dan Majelis juga memahami bahwa dengan skema 85 :15 a quo maka bila dihitung dengan metode gross up maka tarif BPT adalah 20%;
bahwa Majelis tidak sependapat dengan argumentasi Pemohon Banding dalam persidangan yang menyatakan bahwa PSC merupakan ketentuan khusus atas Undang-Undang PPh karena PSC tidak mengatur tersendiri ketentuan-ketentuan materiil seperti halnya Undang-Undang PPh tetapi justru menunjuk pada UU PPh dan peraturan-peraturan pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam Section V article 5.2. huruf (r) PSC;
bahwa Majelis juga tidak sependapat bahwa P3B Indonesia-Inggris merupakan ketentuan khusus (lex spesialis) yang berlaku bagi Wajib Pajak yang berkedudukan di kedua negara sesuai article 2 paragraph (1);
bahwa adagium lex spesialis derogat legi generali diterapkan pada dasarnya adalah pertama dalam hal terdapat aturan yang berstatus sama misalnya sama-sama merupakan UU yang sah, dan kedua mengatur secara materiil dengan perlakuan yang berbeda mengenai hal/hal-hal yang sama, dan keduanya tersebut adalah bersifat kumulatif;
bahwa berdasarkan pemeriksaan dalam persidangan, penjelasan Terbanding dan Pemohon Banding dalam persidangan, bukti-bukti yang dilampirkan serta data yang ada dalam berkas banding, Majelis berkeyakinan bahwa penerapan tarif Branch Profit Tax (BPT) sebesar 20% sudah sesuai;
bahwa menurut Majelis mengingat bahwa pertimbangan mengenai pokok sengketa penerapan tarif BPT telah terjawab dengan tetap pada tarif BPT 20%, maka mengenai dalil Pemohon Banding untuk menerapkan P3B Indonesia-Inggris menjadi tidak relevan lagi;
bahwa berdasarkan pertimbangan dan uraian tersebut di atas, Majelis berkesimpulan untuk tetap mempertahankan koreksi Terbanding atas Tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 Ayat (4) Minyak dan Gas Bumi Tahun Pajak 2011 sebesar 20%;
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT-109140.36/2011/PP/MIIA Tahun 2018
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022
Menimbang : Bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk menolak permohonan banding Pemohon Banding
Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan berkaitan;
Memutuskan : Menyatakan menolak banding Pemohon Banding atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01422/KEB/WPJ.07/2016 tanggal 22 September 2016, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Ayat (4) Minyak dan Gas Bumi Masa Pajak Januari s.d.
Desember 2011 Nomor 00007/246/11/081/15 tanggal 30 Juni 2015, atas nama:
FGH, NPWP 0X.X0X.XX0.X-0XX.000, beralamat di Menara JKL Lt.XX, Jalan ZXC Blok X-X Kav.X, Jakarta Selatan 12940.
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 19 September 2017 oleh Hakim Majelis IIA Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis sebagai berikut:
Drs. ABC, M.A., M.P.A., DEF, S.E., Ak., M.Si., C.A., GHI, S.E.,M.Si.,
sebagai Hakim Ketua, sebagai Hakim Anggota, sebagai Hakim Anggota,