9 BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Program Masa Persiapan Pensiun
Persiapan pensiun merupakan bagian penting yang seharusnya diperisiapkan bukan saja oleh individu sejak awal namun juga oleh pemberi kerja (dalam hal ini perusahaan/organisasi). Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mempersiapkan program pensiun yang berisi seminar dan pelatihan, seperti pelatihan keuangan, kewirausahaan, pengembangan mental, dan sebagianya (Ross & Wills, 2009). Tujuan program persiapan pensiun, jika dilihat dari sisi perusahaan adalah merupakan sebuah kewajiban moral untuk memberikan rasa aman kepada karyawan saat mencapai usia pensiun, kemudian merupakan bentuk penghargaan dan kepedulian perusahaan / instansi terhadap para pegawainya yang akan memasuki pensiun dan juga meningkatkan citra positif, loyalitas, dan kebanggaan pegawai terhadap perusahaan / instansi, hal ini mempengaruhi kesejahteraan karyawan meskipun mereka sudah tidak lagi bekerja di perusahaan. Sedangkan dari sisi karyawan akan merasa aman tarhadap masa depan mereka setelah pensiun dikarenakan dengan adanya kegiatan-kegiatan atau program yang disediakan pihak perusahaan kepada karyawan pra purnakarya dan karyawan pensiunan sehingga karyawan lebih siap dalam menghadapi masa pensiun, dan bagi karyawan yang telah pensiun juga memiliki kegiatan pengganti yang produktif meskipun mereka tidak lagi bekerja di perusahaan.
2.2. Bentuk-bentuk Program Persiapan Pensiun
Secara umum bentuk-bentuk program persiapan pensiun yang dilaksanakan yaitu pelatihan-pelatihan masa persiapan pensiun (MPP) seperti
10
pelatihan kewirausahaan bertujuan untuk karyawan agar dapat memiliki penghasilan setelah pensiun. kemudian persiapan mental dan spiritual karyawan dalam menghadapi masa pensiun. Persiapan kegiatan pengganti juga merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk dilakukan karena dengan adanya kegiatan pengganti tersebut maka ada kemungkinan dapat memperoleh penghasilan ataupun dapat mengisi waktu luang seseorang setelah pensiun nanti (Latif & Alkateeb 2012).
Beberapa contoh erusahaan menyediakan pembentukan kegiatan pengganti setelah pensiun yaitu menyediakan koperasi yang dikelola sendiri oleh karyawan pensiunan dari perusahaan atau organisasi tersebut, juga menyediakan kegiatan-kegiatan seminar sebelum dan sesudah pensiun guna memberikan wawasan yang luas tentang bagaimana mengisi masa pensiun dengan lebih sehat, lebih aktif, lebih sukses dan tentu saja untuk menuju lebih bahagia. Hal ini memiliki manfaat untuk membekali karyawan dengan kesadaran dan sikap positif terhadap masa pensiun serta menumbuhkan motivasi untuk mengubah diri dari konsep ketergantungan menuju kemandirian sehingga karyawan lebih siap dalam menghadapi masa pensiun.
2.3. Retirement syndrome
Sindrom pascapensiun atau sindrom masa purnabakti merupakan gejala atau tanda-tanda yang memperlihatkan kondisi seseorang mengalami ketidaksiapan mental dalam menghadapi kenyataan yang tengah, dan bakal ia hadapi. Pada umumnya, situasi dan kondisi tersebut terjadi atau menimpa orang-orang yang sebelumnya masih aktif dalam satu institusi sipil maupun militer, dengan segala bentuk fasilitas dan kemampanannya. Kemudian, secara tiba-tiba saja dan seolah-olah "dipaksakan", ia harus "rela"
11
melepaskan kemapanan yang selama ini senantiasa melekat dan menjadi kebanggaan pada dirinya.
Sindrom ini membuat seseorang mengalami perasaan telah mencapai semua hal yang mungkin dicapai dan merasa tidak bisa mencapai yang lebih ting-gi lagi, kreativitasnya menurun, dan kurangnya minat pada pekerjaannya sekarang (Vries, 2011).
Efek dari pensiun ini secara psikologis menyebabkan :
the loss of work , hilangnya pekerjaan utama
the loss of health and vitality , menurunnya kesehatan dan vitalitas
the loss of public exposure and public contact, kurangnya pertemuan dengan orang lain dan perjumpaan dengan banyak orang
loss of influence, power, attention, and admiration, hilangnya pengaruh, kekuatan, perhatian dan kekaguman dari orang-orang
loss of financial stability , hilangnya kestabilan keuangan
Sindrom ini juga tidak hanya berlaku pada mereka yang berpangkat tinggi saja, terhadap orang-orang yang berpangkat, atau golongan, atau jabatan yang paling rendahpun sekalipun dapat terjadi hal demikian, terlebih lagi mengingat pada jabatan dan posisinya yang disandang sebelumnya. Hal ini, menurut Hery Santoso, -seorang penulis, peneliti dan psikoterapis- secara empiris menyebutkan bahwa semakin tinggi dan "enak" pangkat maupun jabatan yang di sandangnya akan memberikan kontribusi besar dalam menjadikan orang tersebut terjebak dalam sindrom ini. Mereka yang tidak siap pada kondisi ini akan mengalami tanda-tanda emosional, yang bilamana tidak dapat terkendalikan bisa menggiringnya ke arah fobia -->
depresi --> stress --> manusia gagal.
12 2.4. Kesiapan Pensiun
Menurut Hasibuan (2005) pemberhentian karyawan dari perusahaan atau organisasi disebabkan oleh beberapa hal, yakni berdasarkan undang- undang, keinginan perusahaan, keinginan karyawan, pensiun, kontrak kerja yang berakhir, kesehatan karyawan, meninggal dunia, perusahaan dilikuidasi, dan sebagainya. Pensiun merupakan salah satu bentuk pemberhentian karyawan, menurut Agustina (2008) pensiun merupakan masa transisi ke pola hidup yang baru ataupun merupakan akhir pola hidup karena usia yang sudah lanjut dan harus diberhentikan. Raz(2009) kemudian memperjelas bahwa pensiun adalah proses pemisahan individu dari pekerjaannya, terjadinya sebuah perubahan, adanya masa transisi dari bekerja dan masuk pada masa pensiun, Warr & Moorthy;2012 menyatakan bahwa pensiun merupakan hal yang kurang menyenangkan, bahkan juga tidak menyenangkan, disebabkan pensiun akan memutuskan hubungan karyawan dari aktivitas rutin yang selama ini telah dilakukan, selain itu ketika masuk pada masa pensiun maka rantai yang sudah terbina perlahan- lahan akan putus disebabkan oleh berkurangnya intensitas dalam bertemu dengan orang lain seperti rekan kerja. Turner dan Helms (1991) menjelaskan bahwa pensiun sebagai akhir dari tugas suatu pekerjaan formal dan awal dari suatu peran baru dalam kehidupan, diantaranya berupa harapan perilaku selanjutnya dan bagaimana mendefenisi ulang atas diri sendiri, atau pensiun merupakan suatu akhir dari tugas yang sifatya formal untuk kemudian menghadapi tugas berikutnya.
Menurut Brotoharjo (2007) masa pensiun atau berhenti dari pekerjaan adalah suatu tantangan sekaligus kesempatan atau peluang untuk melakukan hal-hal yang baru, hal ini disebabkan oleh banyaknya waktu luang yang dimiliki. Tetapi, setiap individu memiliki pensiun tersendiri untuk
13
menghadapi masa pensiun. Setelah masuk pada masa pensiun maka akan terlihat dampak atau efek yang ditunjukan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eyde (1983) memberikan bukti ketika memasuki masa pensiun, seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, prestise, kekuasaan, kontak pensiun bahkan harga diri akan berubah dikarenakan kehilangan peran dalam lingkungan kerja, Santrock (2005) mengemukakan bahwa dukungan dan peran sosial merupakan informasi dan umpan balik (feedback) dari orang lain bahwa individu itu dicintai, diperhatikan, dihargai dalam hubungan komunikasi yang lebih dekat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bosse, Spiro, & Kressin(1996) menjelaskan bahwa sekitar 30% orang yang ada dalam masa transisi dari bekerja dan masuk pada masa pensiun mengalami stress, salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi tingkat stress yang dialami adalah dengan mempersiapkan masa pensiun, secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa orang yang telah mempersiapkan kegiatan masa pensiun memiliki kecemasan yang lebih rendah dan memiliki kemampuan dalam beradaptasi lebih baik (Moen,1996:Glass & Flynn,2000).
2.5. Kualitas Hidup Setelah Pensiun
Di Amerika Serikat 50% dari nenek yang telah pensiun akan merawat cucu mereka (Guzman;2004), hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Atchley(1976) ketika masuk pada masa pensiun hubungan dengan orang-orang terdekat akan berpengaruh positif karena meningkatnya waktu luang dan interaksi yang menyenangkan dengan keluarga serta teman- teman terdekat. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Gilford (1984) melaporkan bahwa pasangan yang berusia 63-69 yang merupakan pasangan yang telah masuk pada masa pensiun memiliki interaksi positif. Namun
14
penelitian yang dilakukan oleh Johnston (1990) menemukan bahwa pensiun memiliki dampak negative terhadap hubungan keluarga, disebabkan karena pasangan akan lebih sadar terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pasangan mereka. Pada awal atau masa transisi dari bekerja ke pensiun hubungan keluarga akan menjadi rengang disebabkan oleh pengelolaan keuangan yang kurang baik maupun kondisi tubuh atau kesehatan yang mulai menurun atau pun kualitas namun akan kembali menjadi lebih baik beberapa tahun setelah pensiun (Moen, Kim, dan Hofmeister;2001). Selanjutnya penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa pensiun memiliki efek yang sedikit terhadap kualitas hidup seseorang dimasa pensiun (Ekerdt &
Vinck;1991;Miller&Keitner;1998).
2.6. Aktivitas Sosial Setelah Pensiun
Ketika masuk pada masa pensiun maka seharusnya ada persiapan kegiatan pengganti setelah pensiun karena sangat mempengaruhi kesiapan untuk memasuki masa pensiun, hal ini dikarenakan dengan adanya kegiatan pengganti setelah pensiun kemungkinan bisa mendapatkan pendapatan tambahan dan juga yang terpenting adalah untuk mengisi waktu luang yang tersedia setelah ada pada masa pensiun (Latif & Alkhateeb;2012).
Taylor (dalam Santrock, 2005), menjelaskan juga bahwa dukungan sosial membantu individu dalam mengatasi masa pensiun yang dialami.
Dukungan sosial tidak hanya didapatkan pensiunan dari keluarga, tetapi juga dari rekan kerja pensiunan yang juga merupakan orang terdekat setelah keluarga seperti memberikan perhatian, rekreasi atau aktivitas pensiun bersama.
Aktivitas sosial dibagi kedalam dua kelompok yakni kelompok sosial utama dan kelompok sosial sekunder (Coley;2012:Luben & Gironda;2003),
15
menurut hasi penelitian yang dilakukan Luben dan Gironda, ketika orang masuk pada masa pensiun mereka akan melepaskan waktu dengan kelompok sosial sekunder yang terdiri dari teman organisasi, teman bekerja dan lebih memilih untuk mengalokasikan waktu dan pertisipasi yang mereka miliki kedalam kelompok sosial utama yakni kepada pasangan, anak-anak, cucu, dan teman-teman dekat.
Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chirstoforus (2005), ketika masuk pada masa pensiun, seseorang akan menggunakan waktu luang yang dimiliki untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, dan hal ini juga diakibatkan kendala bahwa keluarga yang masuk pada masa pensiun lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang ada dalam usia produktif (e.g. Bolin et al.2003). jadi dapat dikatakan bahwa pengurangan waktu kerja juga berakibat pada bagaimana seseorang memahami dan menjalani kesibukan setelah menjadi karyawan aktif dalam kehidupan kesehariannya.
Selain itu, beberapa penelitian sebelumnya telah mencoba menganalisis efek dari pensiun yang tidak hanya terbatas pada kondisi keuangan yang tercukupi namun juga partisispasi dalam kegiatan sosial khususnya relasi dengan orang lain. Hal tersebut ditandai dengan kepuasan di masa pensiun dengan memiliki berbagai keterlibatan dalam aktivitas sosial, apakah dibayar atau dilakukan secara sukarela (De Vaus &
Wells,2004; Kim & Feldman, 2000), sehingga ketika mengikuti kegiatan- kegiatan atau aktivitas pensiun pada masa pensiun hal tersebut akan mempengaruhi kesehatan mental (Engelhardt et al. 2010; Scarmeas and Stern 2003) dan kesehatan fisik yang lebih baik (e.g. Pynnönen et al. 2012;
Stawski, Hershey, & Jacobs-Lawson, 2007; Ameriks, Caplin, & Leahy, 2002). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa relasi sosial memiliki proses
16
yang dapat tergantung pada kesiapan para individu secara mental untuk memasuki pensiun dengan situasi yang berbeda setelah menjadi pekerja aktif.