5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Detergen
Detergen berasal dari bahasa latin yaitu detergere yang berarti membersihkan.
Detergen merupakan penyempurnaan dari produk sabun. Detergen sering disebut dengan istilah deterjen sintetis yang mana detergen berasal dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Masalah sabun dapat dikurangi dengan menciptakan detergen yang lebih efektif yaitu detergen sintetik. Detergen sintetik ini harus mempunyai beberapa sifat, termasuk rantai hipofilik yang panjang dan ujung ionik polar juga ujung yang polar tidak membentuk garam yang mengendap dengan ion- ion dalam air sadah sehingga tidak memengaruhi keasaman air (Hart, 1998).
Detergen adalah campuran berbagai bahan yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibandingkan dengan sabun, detergen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air.
2.1.1 Komponen Penyusun Detergen
Fungsi detergen adalah untuk menurunkan tegangan permukaan, melepaskan kotoran, serta menguraikan kotoran (Parasuram, KS., 2002). Kandungan dalam detergen yaitu, zat pembangun aktif tinggi, enzim dan atau pemutih juga bahan pengisi tambahan lainnya. Bahan-bahan penyusun detergen adalah sebagai berikut:
a. Surfaktan (surface active agents) berfungsi sebagai daya pembasahan air sehingga kotoran yang berlemak dapat dibasahi, mengendorkan dan mengangkat kotoran pada kain serta mensuspensikan kotoran yang telah
6 terangkat. Surfaktan adalah komponen penghasil busa dan menurunkan tegangan permukaan air. Surfaktan dalam air akan mengalami ionisasi pada dua ujung gugus aktifnya dan membentuk komponen bipolar aktif. Surfaktan terdiri dari dua bagian sifat yang berbeda. Bagian yang satu bersifat hidrofobik dan bagian yang lainnya bersifat hidrofilik.
Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan kelompok surfaktan anionik (Matheson, 1996). MES dapat diperoleh melalui reaksi sulfonasi metil ester. Metil ester diperoleh dengan melakukan reaksi esterifikasi terhadap asam lemak atau transesterifikasi langsung terhadap minyak/lemak nabati dengan alkohol (Gervasio, 1996).
b. Penguat (builders) merupakan komponen penting kedua dalam formula detergen karena berfungsi meningkatkan efisiensi kinerja surfaktan. Fosfat merupakan salah satu builders dalam formulasi detergen. Sodium tripolifospat (STPP) merupakan salah satu contoh dari fosfat yang paling penting dalam pembuatan detergen bubuk. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya mencegah kain putih menjadi keabu-abuan dan memiliki karakteristik yang memperkuat detergen dalam mencuci ketika komponen organik detergen tidak ada. Secara umum, fungsi sodium tripolifospat adalah meningkatkan kekuatan, menghilangkan, dan mengendapkan kotoran dan membantu detergen memiliki struktur yang baik (Sasser, 2001 dalam Fauziah, 2010).
c. Pengisi (filler) berfungsi untuk pengisi bahan campuran utama atau bahan baku berguna untuk memperbanyak atau memperbesar volume sehingga kemasannya lebih ekonomis. Bahan pengisi yang dimaksud adalah natrium sulfat dalam
7 detergen bubuk, air dan pelarut dalam detergen cair. Selain itu, dekstrin termasuk ke dalam bahan pengisi yang dapat menstabilkan, memekatkan, atau mengentalkan suatu larutan untuk membentuk suatu kekentalan tertentu.
Dekstrin adalah produk yang dihasilkan dari hidrolisis pati dengan enzim tertentu atau dengan hidrolisis pati secara basa yang dikatalis dengan asam (Satterthwaite dan Iwinski, 1973 dalam Fauziah, 2010). Menurut Lewis (1989), dekstrin merupakan bahan yang aman (generally recognize as safe), tidak beracun dan tidak berbahaya bagi manusia.
d. Aditif adalah bahan tambahan agar produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung dengan daya cuci detergen. Aditif ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi. Contoh: enzim, parfum, boraks, sodium klorida, carboxy methyl cellulose (CMC).
- Enzim, ada beberapa enzim yang biasanya ditambahkan dalam detergen khususnya yaitu, enzim protease, lipase dan amilase. Enzim-enzim tersebut merupakan katalisator penghancur beberapa jenis kotoran sehingga memudahkan dalam mencuci.
- Pemutih (bleaching), pemutih adalah bahan tambahan yang digunakan untuk memutihkan pakaian yang dicuci. Salah satu bahan pemutih yang dapat digunakan dalam formulasi detergen adalah Hidrogen peroksida (H2O2).
- Parfum merupakan campuran aromatik yang dapat berupa minyak yang berbahan alami, campuran minyak wangi yang berbahan alami dan minyak
8 wangi berbahan sintetis. Pemberian parfum ke dalam detergen dimaksudkan untuk memberikan aroma yang menyenangkan dan menutupi bau yang timbul pada saat pencucian (Jakobi & Löhr, 1987 dalam Fauziah, 2010).
2.1.2 Jenis-Jenis Detergen
Detergen terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu bentuk cair, pasta dan padat atau serbuk.
- Detergen batangan yaitu, detergen berbentuk padat dan memiliki tingkat alkali yang tinggi.
- Detergen bubuk yaitu, salah satu jenis detergen yang paling umum digunakan, mudah disimpan dan dikemas serta mudah diukur.
- Detergen colek yaitu, detergen cuci pasta yang punya banyak filler serta air.
Daya cuci lebih rendah daripada daya cuci detergen lain.
- Detergen cair yaitu, detergen yang masih banyak digunakan untuk laundry.
Tidak ada filler sehingga daya cuci cukup tinggi, kadar airnya tinggi sehingga tidak seefektif detergen berbentuk serbuk.
Di dalam SNI (06-0475-1996), detergen cair dikategorikan sebagai pembersih berbentuk cair yang dibuat dari bahan dasar detergen dengan penambahan bahan lain yang disesuaikan, diizinkan, dan digunakan untuk mencuci pakaian serta kebutuhan rumah tangga lainnya.
2.1.3 Syarat Mutu Detergen Cuci Cair
Syarat mutu detergen cuci cair menurut SNI 06-0475-1996 dapat dilihat pada tabel 2.1.
9 Tabel 2.1 Syarat Mutu Detergen Cuci Cair
No. Kriteria Satuan Persyaratan
1 Keadaan
a. Bentuk - Cairan homogen
b. Bau - Khas
c. Warna - Khas
2 pH, 250C - 10-12
3. Bahan aktif % Min. 15
4. Bobot jenis g/ml 1,0-1,3
5. Total koloni Koloni/g Maks 1 x 105
Sumber: SNI 06-0475-1996
2.2 Biodetergen
Penggunaan detergen akan terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan penggunaan detergen akan berdampak terhadap jumlah limbah yang dibuang ke badan air. Limbah detergen yang dibuang ke badan air akan menimbulkan masalah pendangkalan perairan dan terhambatnya transfer oksigen sehingga proses penguraian secara aerobik terganggu akibatnya terjadi kematian organisme akuatik serta menurunnya estetika lingkungan yang disebabkan timbulnya bau dan busa. Antisipasi dari semua pihak perlu dilakukan untuk meminimalisir dampak lingkungan karena surfaktan bersifat karsinogenik (Sopiah, 2004).
Penyelesaian terhadap masalah tersebut dapat diatasi menggunakan surfaktan yang berbahan alami menjadi biodetergen yang ramah lingkungan. Detergen ramah lingkungan merupakan suatu pembersih noda yang terdiri atas komponen- komponen bahan alami yang mudah terdegradasi oleh lingkungan. Detergen ramah
10 lingkungan adalah detergen yang terdiri dari bahan-bahan alami yang tidak berdampak negatif terhadap makhluk hidup dan lingkungan serta alternatif pengganti detergen sintetik (Arifin, 2008).
2.3 Tanaman Bidara (Ziziphus mauritiana)
Tanaman bidara memiliki tiga kandungan kimia yaitu, polifenol, saponin dan tanin (Chang et al., 2002). Tanaman ini berasal dari Timur Tengah dan telah menyebar di wilayah Tropik dan sub tropik, termasuk Asia Tenggara. Tanaman ini dapat beradaptasi dengan 9 berbagai kondisi, tetapi tumbuhan ini lebih menyukai udara yang panas dengan curah hujan berkisar antara 125 mm dan di atas 2000 mm.
Suhu maksimum agar dapat tumbuh dengan baik adalah 37-48oC, dengan suhu minimum 7-13oC. tanaman ini umumnya ditemukan pada daerah dengan ketinggian 0-1000 mdpl (Dahiru, 2010).
“Senyawa kimia yang terkandung pada tanaman bidara yang digunakan sebagai pengobatan antara lain: alkaloid, fenol, flavanoid, dan terpenoid” (Adzu et al., 2001 dalam Putri, 2017). Gambar tanaman bidara dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Tanaman Bidara (Ziziphus mauritiana)
11 2.3.1 Taksonomi Tanaman Bidara
Menurut (Gembong, 2010), klasifikasi atau kedudukan tanaman bidara dalam taksonomi tumbuhan dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi Tanaman Bidara Klasifikasi Ilmiah
Kingdom Plantae
Divisi Magnoliophyta
Kelas Magnoliopsida
Ordo Rosales
Famili Rhamnaceae
Genus Ziziphusa
Spesies Ziziphus spina-christi L.
2.3.2 Morfologi Tanaman Bidara 1. Daun
Daun pada tanaman bidara berbentuk bundar atau bulat telur oval, memiliki tiga tulang daun, berwarna hijau muda dan hijau tua, tepi daun tumpul atau membulat dari bawah daun berwarna putih (Goit Sareng, 2018).
2. Batang
Bentuk dari batang pada tanaman bidara yaitu bulat dan berkayu, memiliki warna hijau keabu-abuan dan pada setiap ruas batang tersebut terdapat duri yang tajam berwarna kemerahan.
3. Buah
Buah pada bidara berbentuk bulat meyerupai buah tomat, daging buah berwarna putih serta memiliki rasa yang manis, memiliki biji yang kecil
12 berwarna coklat, kulit buah halus berwarna hijau mengkilat, jika masih muda akan berwarna hijau dan berwarna merah ketika sudah matang.
4. Bunga
Pada tanaman bidara bunga tumbuh di sekitar ketiak daun, berwarna putih kekuningan, bentuk bunga seperti bintang, jenis bunga pada tanaman bidara termasuk bunga tunggal.
2.3.3 Kandungan Kimia Tanaman Bidara 1. Flavonoid (polifenol)
Fungsi flavonoid pada tumbuhan adalah untuk mengatur proses fotosintesis, zat mikroba, antivirus, dan antiinsektisida. Flavonoid dihasilkan oleh jaringan tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian berfungsi menghambat fungi yang menyerangnya. Pereaksi yang biasa digunakan untuk flavonoid adalah HCl pekat yang akan merubah warna sampel menjadi merah atau jingga jika sampel mengandung flavonoid (Kristanti, et. al., 2008).
2. Saponin
Saponin berasal dari bahasa latin sapo yang berarti sabun karena sifatnya sama seperti sabun. “Sampel yang mengandung saponin akan menghasilkan busa yang bertahan selama 10 menit apabila direaksikan dengan asam klorida 1 M” (Hayati, 2010). “Dua jenis saponin yang dikenal yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid. Aglikonya disebut sapogenin, diperoleh dengan hidrolisis dalam asam atau menggunakan enzim” (Robinson, 1995 dalam Putri, 2017).
13 Saponin tergolong senyawa glikosida kompleks yakni metabolit sekunder yang terdiri dari senyawa hasil proses kondensasi suatu gula dengan suatu senyawa hidroksil organik yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon) dan non-gula (aglikon). Senyawa saponin bersifat polar yaitu larut dalam air (hidrofilik). Sifat utama senyawa saponin adalah “sapo” dalam bahasa latin yang artinya sabun. Struktur senyawa saponin menyebabkan saponin bersifat seperti sabun sehingga saponin disebut surfaktan alami (Calabria, 2008). Penggunaan saponin alami sebagai pembusa sabun membuat sabun menjadi lebih ramah lingkungan (Mandal et al., 2005). Saponin juga berfungsi sebagai zat antibakteri, antijamur, antioksidan, dan antiinflamasi (Michel et al., 2011).
3. Tanin
Tanin merupakan salah satu senyawa metabolik sekunder yang terdapat pada tanaman (Jayanegara & Sofyan, 2008). Menurut (Malangngi et al., 2012) tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang memiliki beberapa khasiat yaitu sebagai anti diare dan antioksidan.
2.3.4 Manfaat Daun Bidara
Bidara banyak digunakan dalam pengobatan tradisional antara lain semua bagiannya (daun, buah, biji, akar, dan batang). Manfaat yang lain yaitu, daun bidara dapat menghasilkan busa jika diremas, dan menghasilkan aroma yang sangat wangi seperti sabun dan digunakan untuk memandikan orang yang sakit demam.
Tanaman daun bidara dalam hukum Islam disunnahkan digunakan untuk memandikan jenazah. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian sebelumnya,
14 kandungan kimia yang berperan sebagai pengobatan dalam tanaman bidara antara lain alkaloid, fenol, flavonoid, saponin, kuercetin, dan terpenoid (Hadizadeh et al., 2009; Hussen et al., 2010; Michel et al., 2011).
2.4 Pepaya (Carica papaya L.)
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan saalah satu tanaman buah yang dibudidayakan di daerah tropis dan sub-tropis. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman tropis semi kayu yang tumbuh dengan cepat.
Buah pepaya merupakan komoditas pertanian yang relatif murah harganya sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat disegala lapisan (Suprapti, 2005).
Bagian buah, daun, bunga, buah serta getah pepaya mempunyai manfaat yang sangat baik jika diolah lebih lanjut (Rukmana, 2003). Gambar tanaman pepaya dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Tanaman pepaya (Carica papaya L.) 2.4.1 Taksonomi Pepaya
Taksonomi pepaya dapat dilihat pada tabel 2.3.
15 Tabel 2.3 Klasifikasi Pepaya
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom Plantae
Divisi Tracheophyta
Kelas Magnoliopsida
Ordo Caricales
Famili Caricaceae
Genus Carica L.
Spesies Carica papaya L.
Sumber: United States Department of Agriculture
2.4.2 Morfologi Pepaya
Buah pepaya (Carica papaya L.) berbentuk menyerupai melon, agak lonjong, atau memanjang. Panjang buahnya yaitu sekitar 15-50 cm dan tebal 10-20 cm dengan berat hingga 9 kg. Buah pepaya (Carica papaya L.) ditutupi oleh kulit tipis yang halus berwarna hijau dan akan berubah menjadi kuning atau merah saat matang (Silva, et. al., 2007). Daun pepaya bersifat hipostomatik, dengan stomata bersifat anomocytic (tidak ada sel tambahan) atau anisocytic (sel penjaga asimetris) (VanBuren & Ming, 2014).
2.4.3 Kulit Buah Pepaya Muda
Pepaya merupakan salah satu buah yang sering diolah oleh masyarakat.
Salah satu limbah dari bagian buah pepaya yang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah kulit buah pepaya. Pada dasarnya kandungan kulit pepaya kurang lebih sama dengan daging buahnya. Hanya saja, kulit buah pepaya mengandung enzim papain yang jauh lebih banyak terutama pada kulit buah yang masih muda, begitupun dengan senyawa metabolit sekunder lainnya seperti
16 alkaloid, flavonoid, saponin, dan lain-lain. Senyawa ini jumlahnya akan semakin berkurang saat buah pepaya semakin matang. Selain enzim papain, kulit pepaya juga mengandung alkaloid karpina, glukosid, saponin, sukrosa, flavonoid, dextrosa dan lain-lain (Supeno, 2013).
2.4.4 Kandungan Kimia Kulit Buah Pepaya Muda
Kulit buah pepaya merupakan bagian terluar dari buah pepaya yang dalam keadaan kering mengandung senyawa kimia berupa enzim protease, saponin, flavonoid, dan tanin. Kandungan enzim protease dan saponin di dalam kulit buah pepaya muda diharapkan mampu menjadi bahan aditif pembuatan detergen alami untuk meningkatkan efektivitas daya pembersih dengan cara mempercepat degradasi kotoran yang berupa protein dan turunannya (Suhartono, 1989).
Enzim Protease
Protease merupakan salah satu enzim komersial yang telah ditemukan secara luas aplikasinya dalam berbagai bidang industri mulai dari pengolahan kulit, industri detergen, pembuatan roti, pengempukan daging sampai pada pembuatan bir (Suhartono et al., 1995). Enzim protease berfungsi untuk menghidrolisis noda protein pada pakaian sehingga kotoran yang mengandung protein seperti darah, lendir, keringat dan sebagainya akan mudah tercuci. Di samping itu, kotoran lainnya yang terikat pada protein juga menjadi lebih mudah dihilangkan.
2.5 Pembuatan Biodetergen
2.5.1 Pembuatan Biosurfaktan dengan Metode Ekstraksi
17 Ekstraksi adalah proses pemisahan komponen-komponen dalam larutan berdasarkan perbedaan kelarutannya. Faktor-faktor yang memengaruhi laju ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, jumlah sampel, suhu, dan jenis pelarut (Utami, 2009). Selama proses ekstraksi, bahan aktif akan terlarut oleh zat penyari yang sesuai sifat kepolarannya. Ekstraksi dapat dilakukan dengan metode sonikasi.
Ekstraksi dengan Metode Sonikasi
Metode sonikasi atau Ultrasonic-Assisted Extraction (UAE) adalah metode yang menggunakan gelombang ultrasonik dengan frekuensi lebih dari 20 kHz.
Salah satu manfaat metode ekstraksi menggunakan gelombang ultrasonik adalah untuk mempercepat proses ekstraksi (Kuldiloke, 2002). Proses ektraksi dengan bantuan ultrasonik menyebabkan senyawa organik pada tanaman dan biji-bijian dengan menggunakan pelarut organik dapat berlangsung lebih cepat. Dinding sel dari bahan dipecah dengan getaran ultrasonik sehingga kandungan yang ada di dalamnya dapat keluar dengan mudah (Mason, 1990). Menurut Li et al. (2004), pada saat gelombang merambat, medium yang dilewatinya akan mengalami getaran. Getaran akan memberikan pengadukan yang intensif terhadap proses ekstraksi. Pengadukan akan meningkatkan osmosis antara bahan dan pelarut, sehingga akan meningkatkan proses ekstraksi. Gelombang ultrasonik dengan intensitas tinggi dapat mempercepat peningkatan suhu dan transpotasi massa pada beberapa proses pengolahan pangan dan telah berhasil digunakan pada modifikasi proses pengeringan, pencampuran, homogenisasi dan pengeringan. Getaran dari gelombang ultrasonik mampu mengubah struktur fisik dan kimiawi dari suatu
18 bahan. Pada proses ekstraksi jaringan tanaman, gelombang ultrasonik menyebabkanbergetarnya dinding sel dan membantu melepaskan komponen yang dapat diekstrak dan meningkatkan transport pelarut ke dalam sel tanaman.
2.5.2 Pembuatan Detergen Cair
Formula detergen cair yang digunakan dimodifikasi dari formula Damayanti dkk., (2017) yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Formulasi Detergen Cair
Bahan Konsentrasi (% b/b)
MES 13
Ekstrak Daun Bidara dan Ekstrak
Kulit Buah Pepaya Muda 28
Dekstrin 2
STPP 5
Parfum 3
Hidrogen Peroksida 1
Aquadest 50
Sumber: (Damayanti et. al., 2017)
2.6 Analisis
2.6.1 Analisis Produk Biosurfaktan 1. Nilai pH
Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu sifat fisik yang penting sebab dalam formulasi pH dapat memengaruhi beberapa faktor salah satunya stabilitas dari sediaan yang dihasilkan (Allen & Ansel, 2013). Menurut Furi dkk., (2002) surfaktan memiliki nilai pH optimum sebesar 4 atau pH asam.
19 2. Tinggi Busa
Busa dapat digambarkan sebagai sistem yang terdispersi yang mana terbentuknya gelembung gas yang dikelilingi dan stabil oleh molekul surfaktan yang terserapnya di antar muka udara-likuid dalam media cair secara kontinu.
Busa adalah fluida kompleks yang tersebar yaitu fluida yang terdispersi mengandung gelembung udara kecil dengan area permukaan yang luas yang dapat distabilkan oleh molekul surfaktan.
Stabilitas busa merupakan kemampuan untuk mempertahankan gas dalam waktu tertentu. Kemampuan berbusa dapat dilihat dari peningkatan volume, setelah gas diumpankan ke dalam larutan. Stabilitas busa berhubungan dengan penurunan volume busa dengan waktu.
3. Aktivitas Enzim Protease
Enzim yang diaplikasikan pada detergen harus memiliki karakteristik yang mendukung seperti pH basa, stabilitas suhu yang baik, ketahanan terhadap senyawa pengoksidasi dan memiliki spesitas yang kuat dalam industry. Protease digunakan untuk membersihkan kotoran atau noda-noda. Enzim ini akan mendegradasi kotoran yang bersifat protein (Ward, 1983).
Menurut (Noviyanti & Ardiningsih, 2012) kemampuan protease dalam mempercepat reaksi dipengaruhi beberapa faktor yang menyebabkan enzim dapat bekerja dengan optimal dan efisien, seperti substrat, senyawa inhibitor dan aktivator serta temperatur lingkungan.
Aktivitas enzim dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.
Aktivitas enzim = 𝐴𝑠𝑝−𝐴𝑏1
𝐴𝑠𝑡−𝐴𝑏1× 𝑃 ×1
𝑇
20 Keterangan:
Ae : aktivitas enzim (U/ml) Asp : Nilai absorbansi sampel Ast : Nilai absorbansi standar Ab1 : Nilai ansorbansi blanko T : waktu inkubasi (menit) P : faktor pengenceran
2.6.2 Analisis Karakteristik Fisikokimia Biodetergen
Sifat fisikokimia emulsi merupakan parameter yang menentukan kualitas sistem emulsi. Karakteristik fisikokimia adalah nilai organoleptik, pH, berat jenis, dan daya detergensi.
1. Organoleptik
Penilaian terhadap produk dapat dilihat secara organoleptik, antara lain dari segi bentuk, bau, dan warna.
Bentuk : sabun harus berbentuk cairan
Bau : memiliki bau khas, sesuai dengan pewangi yang ditambahkan Warna : dilihat secara kasat mata, memiliki warna yang khas. Pewarna yang ditambahkan juga sesuai dengan keinginan produsen.
2. Nilai pH
Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan derajat keasaman suatu bahan (Nurhadi, 2012). Salah satu sifat fisik yang penting adalah derajat keasaman atau pH, sebab dalam formulasi pH dapat memengaruhi beberapa faktor salah
21 satunya stabilitas dari sediaan yang dihasilkan (Allen & Ansel, 2013). pH pada formulasi detergen umumnya bersifat alkali.
3. Berat Jenis
Berat jenis didefinisikan sebagai berat suatu cairan per satuan volume (ASTM, 2002). Menurut (Walstra, 1983) nilai berat jenis spesifik pada suhu tertentu. Berat jenis detergen cair ditentukan oleh berat jenis komponen- komponen penyusunnya.
Nilai volume piknometer diperoleh dengan sebagai berikut:
V piknometer = (𝐵−𝐴)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑎𝑖𝑟 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑢ℎ𝑢 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛
Hal yang sama dilakukan dengan mengganti air destilat dengan sampel dan beratnya dicatat sebagai C. Berat jenis sampel diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
ρ = 𝑉 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟𝑐
(SNI 06-4075-1996)
Keterangan:
A : Piknometer kosong (g)
B : Piknometer berisi air dengan suhu 25°C C : Piknometer berisi sampel dengan suhu 25°C V : Volume piknometer (ml)
ρ : Berat Jenis sampel (g/ml)
22 4. Daya Detergensi
Proses detergensi menurut (Hargreaves, 2007) adalah sebagai berikut, gugus hidrofobik surfaktan akan berikatan dengan kotoran dan gugus hidrofilik akan berikatan dengan molekul air sedangkan pada konsentrasi tinggi surfaktan akan membentuk misel dan kotoran akan dihilangkan dari permukaan kain dengan melarutkannya dalam bentuk mikro emulsi. Komponen yang berperan dalam daya detergensi adalah surfaktan.
Nilai daya detergensi dinyatakan sebagai nilai kekeruhan yang dihasilkan dalam unit Nephelometric Turbidity Unit (NTU). Nilai detergensi dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Daya detergensi = T2 – T1 – OD
(Lynn & Nguyen, 2005) Keterangan:
To : Nilai kekeruhan larutan deterjen 1% (NTU)
T1 : Nilai kekeruhan setelah perendaman kain bersih (NTU) T2 : Nilai kekeruhan setelah perendaman kain kotor (NTU) OD : Original Dirt (T1- T0) (NTU)
2.6.3 Analisis Limbah Cair Biodetergen
Penggunaan detergen terus meningkat dan akan berdampak pada jumlah limbah yang dibuang ke badan air. Limbah detergen yang dibuang ke badan air akan menimbulkan masalah lingkungan, maka dari itu ditetapkan baku mutu air limbah pada produk detergen. Berikut ini ketetapan baku mutu air limbah detergen berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dapat dilihat pada tabel 2.5.
23 Tabel 2.5 Baku Mutu Air Limbah Detergen
No. Parameter Satuan Kadar
Maksimum
1. pH - 6-9
2. BOD mg/l 30
3. COD mg/l 100
4. TSS mg/l 30
5. Minyak dan Lemak mg/l 5
6. Amoniak mg/l 10
7. Total Coliform jumlah/100 mL 3000 Sumber : (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No: Kep-
68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016)
1. pH
Nilai pH menunjukkan tinggi rendahnya konsentrasi ion hidrogen dalam air.
Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan kondisi air atau limbah tersebut asam atau basa.
2. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
BOD merupakan jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang terdapat dalam air pada keadaan aerobik yang diinkubasi pada suhu 20oC selama 5 hari, sehingga biasa disebut BOD5. Nilai BOD5 dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah bahan organik di dalam air limbah yang dapat dioksidasi dan akan diuraikan oleh mikroorganisme melalui proses biologi. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat banyak senyawa organik dalam limbah, sehingga banyak oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik,
24 sedangkan nilai BOD yang rendah menunjukkan terjadinya penguraian limbah organik oleh mikroorganisme (Zulkifli & Ami, 2007).
Penentuan BOD5 ini dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
BOD5 =
(𝐴1−𝐴2) − (𝐵1−𝐵2)
𝑉𝐵 𝑉𝑐 𝑃
(SNI 6989-72-2009) Keterangan:
BOD5 : nilai BOD5 contoh uji (mg/L)
A1 : kadar oksigen terlarut contoh uji sebelum inkubasi (0 hari) (mg/L) A2 : kadar oksigen terlarut contoh uji setelah inkubasi 5 hari (mg/L) B1 : kadar oksigen terlarut blanko sebelum inkubasi (0 hari) (mg/L) B2 : kadar oksigen terlarut blanko setelah inkubasi 5 hari (mg/L) VB : volume suspensi mikroba (mL) dalam botol DO blanko Vc : volume suspensi mikroba dalam botol contoh uji (mL) P : perbandingan volume contoh uji (V1) per volume total (V2) 3. Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah total oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik yang terdapat di perairan, menjadi CO2 dan H2O. Nilai COD selalu lebih tinggi daripada nilai BOD dikarenakan hampir seluruh jenis bahan organik dapat teroksidasi secara kimia termasuk bahan organik yang teroksidasi secara biologis.
Penentuan kadar COD dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.
COD (mg O2/l) = (𝑉𝑏−𝑉𝑐)×𝑁 𝐹𝐴𝑆 × 8000 𝑉𝑠
(SNI 6989.15:2019)
25 Keterangan:
Vb : volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk blanko (ml) Vc : volume larutan FAS yang dibutuhkan untuk contoh uji (ml) Vs : volume contoh uji (ml)
N FAS : normalitas larutan FAS (N)
8000 : berat mili ekivalen oksigen x 1000 4. Total Suspended Solid (TSS)
TSS merupakan bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam air.
Padatan tersuspensi sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air.
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut. Semakin tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut, maka air semakin keruh (Effendi, 2003)
Penentuan kadar TSS ini dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
TSS (mg/l) = (𝑊₁−𝑊₀) × 1000 𝑉
(SNI 6989.3:2019) Keterangan:
W0 : adalah berat media penimbang yang berisi media penyaring awal (mg);
W1 : adalah media penimbang yang berisi media penyaring dan residu kering (mg)
1000 : adalah konversi mililiter ke liter
26 5. Total Dissolved Solids (TDS)
Kelarutan zat padat dalam air atau disebut sebagai Total Dissolved Solid (TDS) adalah terlarutnya zat padat, baik berupa ion, berupa senyawa, dan koloid di dalam air. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid atau TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 - 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45µm (Rao, 1992). TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik berupa ion-ion yang biasanya ditemukan di perairan.
Penentuan kadar TDS dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Padatan terlarut total (mg/l) = (𝑊₁−𝑊₀) × 1000 𝑉
(SNI 6989.27:2019) Keterangan:
W0 : adalah berat tetap cawan kosong setelah pemanasan 1800C ± 20C (mg) W1 : adalah berat tetap cawan berisi padatan terlarut total setelah
pemanasan 1800C ± 20C (mg)
V : adalah volume contoh uji dalam satuan ml 1000 : adalah konversi dari mililiter ke liter