• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PSYCHOLOGICAL DETACHMENT TERHADAP WORK FAMILY CONFLICT ANGKATAN KERJA GENERASI MILENIAL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PSYCHOLOGICAL DETACHMENT TERHADAP WORK FAMILY CONFLICT ANGKATAN KERJA GENERASI MILENIAL SKRIPSI"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PSYCHOLOGICAL DETACHMENT TERHADAP WORK

FAMILY CONFLICT ANGKATAN KERJA GENERASI MILENIAL

SKRIPSI

Oleh :

Andini Nurpratiwi

201710230311109

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021

(2)

CONFLICT ANGKATAN KERJA GENERASI MILENIAL

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai

Salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Andini Nurpratiwi

NIM : 201710230311109

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021

(3)
(4)
(5)
(6)

iii

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

KAJIAN TEORI Konflik Peran Ganda (Work-Family Conflict) ... 5

Psychological Detachment ... 7

Peran Psychological Detachment pada Work Family Conflict Karyawan Angkatan Kerja Generasi Milenial ... 8 Kerangka Berpikir ... 9 Hipotesis ... 9 METODE PENELITIAN ... 10 Rancangan Penelitian... 10 Subjek Penelitian ... 10

Variabel dan Instrumen... 11

Prosedur dan Analisis Data Penelitian ... 11

HASIL PENELITIAN ... 12

DISKUSI ... 14

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 16

REFERENSI ... 17

(7)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 10

Tabel 2. Deskripsi Data Penelitian ... 12

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas ... 13

Tabel 4. Hasil Uji Regresi Linear Sederhana ... 13

Tabel 5. Analisis Pengaruh Psychological Detachment Terhadap Dimensi Work Family Conflict ... 13

(8)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Blueprint Skala ... 23

Lampiran 2. Skala Penelitian... 24

Lampiran 3. Tabulasi Data ... 27

Lampiran 4. Hasil Uji Validitas ... 49

Lampiran 5. Hasil Uji Reliabilitas ... 57

Lampiran 6. Data Demografis Subjek ... 58

Lampiran 7. Uji Normalitas ... 60

Lampiran 8. Uji Linearitas ... 60

Lampiran 9. Uji Regresi Linear Sederhana ... 61

Lampiran 10. Analisis Variabel X Terhadap Dimensi Variabel Y ... 62

Lampiran 11. Verifikasi Data ... 68

(9)

1

PERAN PSYCHOLOGICAL DETACHMENT TERHADAP WORK FAMILY CONFLICT ANGKATAN KERJA GENERASI MILENIAL

Andini Nurpratiwi

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

Email: andininurpratiwi@webmail.umm.ac.id

Bekerja di industri modern bukanlah hal yang mudah. Karyawan generasi milenial dihadapkan pada berbagai tantangan untuk memenuhi tuntutan organisasi dengan memanfaatkan kemudahan teknologi. Tidak jarang, hal ini akan menimbulkan konflik apabila karyawan generasi milenial tidak bisa memisahkan peran yang dimiliki, yaitu peran sebagai pekerja dan perannya dalam keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh psychological

detachment terhadap work family conflict pada karyawan generasi milenial. Subjek penelitian

berjumlah 332 karyawan milenial dengan kriteria berupa individu dengan tahun kelahiran 1980-2000, telah bekerja di suatu perusahaan/instansi dan telah menikah. Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data adalah skala psychological detachment yang disusun oleh Sonnentag dan Fritz dan skala work family conflict yang dikembangkan oleh Carlson dkk. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dengan bantuan program IBM SPSS versi 21. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan

psychological detachment terhadap work family conflict (B = -1.254, p=0.000 (p<0.01). Adapun

kontribusi psychological detachment terhadap work family conflict sebesar 29,8%.

Kata Kunci: psychological detachment, work family conflict, karyawan milenial

Working in modern industry can be demanding. Millennial employees are faced with various challenges to meet the demands of organizations by utilizing the convenience of technology. Not infrequently, this will cause conflict if millennials cannot separate the roles they have, their roles as workers, and their roles in the family. The purpose of this study was to examine the effect of psychological detachment on work-family conflict among millennial employees. The research subjects were 332 millennial employees who were individuals with years of birth 1980-2000, have worked in a company/institution, and are married. The instruments used to collect data are the psychological detachment scale developed by Sonnentag and Fritz and the work family conflict scale developed by Carlson et.al. Data analysis was performed using a simple linear regression method with the help of IBM SPSS Statistic 21. The result confirm that there is a significant effect of psychological detachment on the work family conflict (B = -1.254, p=0.000 (p<0.01). And the contribution of psychological detachment on the work family conflict is 29,8%.

(10)

Generasi milenial mulai mendominasi dunia kerja. Riset dari Brookings memprediksi bahwa pada tahun 2025 sebanyak 75% lapangan pekerjaan secara global akan diisi oleh generasi milenial (Economy, 2019). Generasi milenial adalah sebutan bagi individu yang lahir antara tahun 1980-2000 (Zemke dkk, 2013). Mereka lahir pada saat internet dan media realita virtual mulai berkembang dan disebut sebagai digital native (Caraher, 2015). Mengutip dari Indonesia

Millennial Report 2019 dari IDN Research Institute, generasi milenial di Indonesia telah

terhubung dengan internet sebanyak 94,4%. Milenial dan teknologi seakan-akan tidak dapat dipisahkan. Mereka memanfaatkan teknologi lebih maksimal daripada generasi sebelumnya dan terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan. Akan tetapi, pada saat yang sama 56% generasi milenial merasa bahwa perkembangan teknologi memberikan mereka kehidupan yang penuh tekanan (Brown, 2019).

Pemanfaatan perkembangan teknologi di tempat kerja bukanlah hal asing lagi. Memasuki Revolusi Industri 4.0, organisasi dituntut untuk bergerak lebih cepat, lebih efisien dan juga lebih kompetitif agar dapat bertahan dan berkembang (Sandova-reyes dkk, 2019). Adanya teknologi terbaru seperti smartphone dengan berbagai software penunjang seperti Whatsapp, Email dan

Skype memudahkan karyawan untuk menentukan kapan dan dimana mereka dapat bekerja

(Clauss dkk, 2020). Hal ini kemudian memunculkan konsep flexible working hours dimana individu tidak harus bekerja di kantor namun dapat bekerja dimana saja (Schaufeli dkk, 2009). Organisasi dapat memenuhi targetnya lebih cepat dan efisien dengan memanfaatkan kemudahan teknologi.

Akan tetapi, perkembangan teknologi menyebabkan keterikatan individu terhadap pekerjaannya menjadi semakin dalam dan intensitas individu dalam bekerja juga semakin lama. Bekerja diluar jam kerja mennjadi sebuah tuntutan dan ekspektasi yang diharapkan dipenuhi oleh setiap karyawan (Kao dkk, 2020). Teknologi membuat individu dituntut untuk selalu hadir

24/7 baik secara fisik maupun digital, karena individu diharapkan untuk selalu available dan

mudah dihubungi. Menurut Sonnentag (dalam Kao dkk, 2020) apabila individu secara terus menerus dihadapkan dengan situasi dan aktivitas terkait pekerjaan diluar jam kerja, individu tersebut tidak dapat beristirahat karena sistem psiko-fisiologisnya dipaksa untuk selalu siap

(being alert). Sebuah sensus menunjukkan bahwa 28% pekerja di Amerika memiliki jam kerja

melebihi 40 jam per minggu dan menyebabkan perpaduan antara kegiatan di tempat kerja dan kehidupan di rumah (Powers, 2019). Batasan antara tempat kerja dan rumah menjadi menipis. Hilangnya batasan antara pekerjaan dan keluarga ini dapat membuat individu mengalami konflik antara perannya dalam keluarga dan pekerjaan (Kao dkk, 2020).

Work family conflict telah menjadi salah satu isu penting yang diteliti dalam kurun waktu 20

tahun terakhir akibat adanya berbagai dampak negatif dalam menyeimbangkan peran dalam pekerjaan dan di rumah tangga (Huffman dkk, 2014). Menurut Choi dan Kim (2012) dalam penelitiannya, di Korea Selatan banyak masyarakatnya yang mengalami konflik dalam menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan perannya dalam keluarga. Beberapa penelitian yang dilakukan di negara-negara ASEAN juga menunjukkan hasil yang sama, yakni di Malaysia (Zakaria & Ismail, 2017) dan Singapura (Ahmad & Skitmore, 2003). Penelitian Mansour dan Tremblay (2016) yang dilaksanakan di Kanada juga menjelaskan bahwa masyarakat Kanada semakin kesulitan untuk menyeimbangkan dua peran yang mereka miliki sehingga mengalami

work family conflict. Indonesia sendiri juga mengalami work family conflict yang cukup tinggi,

yang mayoritas dialami oleh wanita karir (Nikmah dkk, 2020).

Selain menjadi isu penting karena dampak negatifnya, work family conflict juga banyak diteliti karena tingkat konflik yang dialami diperkirakan berbeda. Peneliti-peneliti yang bergerak dalam literatur work-family menemukan bahwa work family conflict dalam berbagai generasi

(11)

akan berbeda. Beutell (2013) memperkirakan bahwa perbedaan ini disebabkan karena faktor historis, dimana masing-masing generasi dibesarkan dengan peristiwa sejarah yang berbeda. Sedangkan Buonocore dan Russo (2013) menambahkan bahwa masing-masing individu di generasinya memiliki persepsi yang berbeda mengenai konsep work life balance, sehingga mempengaruhi bentuk work family conflict yang mereka alami. Beutell dan Witig-Berman (2008) melaporkan bahwa antara Generasi X dan Baby Boomers, Baby Boomers dilaporkan memiliki work family conflict yang lebih tinggi. Lalu Beutell (2013) kembali melakukan riset dengan menambahkan generasi milenial, dan menemukan bahwa generasi milenial mengalami

work family conflict yang lebih tinggi. Generasi milenial mulai memasuki dunia kerja dan

memiliki peran serta tanggung jawab yang semakin besar di organisasi. Bersamaan dengan itu, milenial juga mulai membangun keluarga sehingga memiliki tantangan untuk mengombinasikan keluarga dan pekerjaan. Tantangan ini dianggap lebih besar dengan adanya perkembangan teknologi dan karakteristik milenial yang merupakan technology savy (Bauer, 2019).

Work family conflict merupakan fenomena psikologis dimana terjadi kesenjangan antara

pekerjaan dan kehidupan keluarga (Csikszentmihalyi, 2003). Keluarga sendiri apabila dilihat dari arti kata sempit merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk dari pernikahan dan terdiri dari suami-istri, orang tua dan anak yang masih berada dalam satu rumah dan menjadi tanggungan (Subhan, 2004). Setiap individu setidaknya memiliki dua peran dalam hidupnya, peran dalam keluarga dan peran dalam pekerjaan. Kedua peran ini merupakan hal yang berbeda dan tidak dapat disatukan, dimana apabila kedua tanggung jawab maupun aktivitasnya bercampur akan menimbulkan konflik (Liu dkk, 2019).

Greenhaus dan Beutell (1985) menjelaskan bahwa work family conflict dapat terjadi apabila peran dalam keluarga dan pekerjaan tidak berjalan seirama, sehingga menimbulkan konflik baik

work to family conflict atau family to work conflict. Apabila individu tidak dapat memenuhi

perannya dalam keluarga karena hal-hal terkait pekerjaan maka individu tersebut mengalami

work-family conflict. Sebaliknya apabila individu tidak mampu memenuhi perannya dalam

pekerjaan karena permasalahan keluarga maka ia mengalami family-to-work conflict (Lee dkk, 2014).

Berbagai penelitian telah menjelaskan dampak yang diakibatkan oleh work family conflict. Artiawati (2017) membagi dampak yang diakibatkan work family conflict menjadi tiga bagian, yakni dampak terhadap individu, keluarga dan pekerjaan. Individu yang mengalami work family

conflict akan mudah mengalami stress dan menurunkan kualitas hubungannya dengan orang

lain. Work family conflict juga dapat mengakibatkan munculnya konflik dengan anggota keluarga lain hingga berakibat kepada anak yang kurang mendapat perhatian. Sedangkan dampak dalam pekerjaan meliputi stress di tempat kerja hingga mengakibatkan menurunnya performa. Konflik yang tidak teratasi juga dapat mengakibatkan perceraian (Wongpy & Setiawan, 2019). Work family conflict juga dianggap sebagai penyebab dari adanya perilaku negatif karyawan, menurunnya kinerja, kesehatan fisik dan kesejahteraan sehingga sangat berakibat buruk untuk kondisi perusahaan maupun keluarga (Demsky dkk, 2014).

Menyeimbangkan peran dalam pekerjaan dan keluarga menjadi lebih sulit dilakukan saat memasuki industri modern (Obrenovic dkk, 2020). Industri modern dengan fleksibilitas dan perkembangan teknologinya membuat batasan antara rumah dan tempat kerja menjadi pudar (Barber & Santuzzi, 2015). Penggunaan teknologi membuat individu dianggap dapat menyelesaikan tuntutan pekerjaannya kapan saja, bahkan ketika jam kerja sudah berakhir sehingga mereka kesulitan untuk mengakhiri perannya sebagai pekerja. Menurut Bellavia dan Frone (dalam Hidayati, 2015) salah satu faktor penting yang mempengaruhi work family

(12)

conflict adalah karakteristik dan kepribadian individu. Salah satu faktor individu yang

mempengaruhi work family conflict adalah kemampuan individu untuk memisahkan perannya sebagai pekerja dan anggota keluarga, dimana apabila individu kesulitan untuk memisahkan dan mengakhiri perannya sebagai pekerja perannya di rumah akan terganggu, begitu pula sebaliknya (Kao dkk, 2020).

Salah satu mekanisme yang berpotensi membantu individu dalam memisahkan perannya terhadap pekerjaan dan keluarga adalah psychological detachment (Demsky dkk, 2014).

Psychological detachment merupakan mekanisme penting yang dapat memberikan kesempatan

individu untuk istiahat dan relaks agar memiliki energi yang cukup untuk bekerja keesokan hari (Park dkk, 2011). Prinsip utama dalam psychological detachment adalah “menghentikan”

(switching off) dari seluruh hal yang berkaitan dengan pekerjaan baik secara fisik maupun

psikologis, seperti menjawab pesan atau telpon yang berkaitan dengan urusan kerja, tidak bekerja diluar lingkungan kerja maupun mengkhawatirkan berbagai pekerjaan yang harus dikerjakan keesokan hari.

The effort-recovery model (Meijiman & Mulder, 1998) menjelaskan psychological detachment

memberikan kesempatan bagi individu untuk menghentikan seluruh urusan pekerjaan yang menghabiskan energinya dan kemudian membantu individu untuk dapat mengisi kembali

(recharge) energinya agar dapat bekerja dengan baik keesokan harinya. Berhenti mengerjakan

seluruh hal yang berkaitan dengan pekerjaan juga membantu individu untuk memenuhi tugas-tugasnya yang lain, seperti tugas-tugasnya sebagai anggota keluarga. Contohnya, waktu yang digunakan untuk mengkhawatirkan maupun mengerjakan pekerjaan saat jam kerja sudah berakhir dapat dihabiskan bersama keluarga. Individu yang berhasil melakukan psychological

detachment dapat mengurangi konflik akibat berbagai tuntutan untuk menyelesaikan tugas dari

masing-masing peran, yang merupakan sumber utama dari work family conflict (Demsky dkk, 2014).

Berbagai penelitian telah menjelaskan peran psychological detachment terhadap work family

conflict. Penelitian Green dkk (2011) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat psychological detachment membuat banyak pasangan melaporkan kenaikan tingkat work family conflict.Tingkat psychological detachment yang rendah ini diakibatkan karena individu masih

bekerja di luar jam kerja dan terus mengkhawatirkan pekerjaannya. Hal ini membuat individu menjadi lebih sulit untuk menerapkan psychological detachment hingga akhirnya membuat

work family conflict meningkat.

Selain itu, psychological detachment yang dilakukan setiap hari terbukti dapat meningkatkan batasan antara kehidupan pekerjaan dan keluarga (Sanz-Vergel dkk, 2011). Batasan antara pekerjaan dan keluarga yang berdiri dengan kuat dapat membantu individu memenuhi tugas masing-masing peran sesuai dengan kebutuhan, sehingga konflik antar peran (work family

conflict) dapat dikurangi. Hal ini diperkuat dengan penelitian Yang dkk (2019) tentang prinsip

segmentasi antara pekerjaan dan keluarga terhadap work family conflict menunjukkan bahwa apabila pekerja memiliki prinsip yang kuat dalam memisahkan kehidupan pekerjaan dan keluarganya cenderung tidak mengalami work family conflict.

Dan terakhir, penelitian Demsky dkk (2014) menyebutkan bahwa psychological detachment yang tinggi dapat menurunkan tingkat work family conflict pekerja. Dengan adanya

psychological detachment yang tinggi, individu akan lebih mudah untuk mengerjakan tugas

diluar pekerjaan, seperti membantu pekerjaan rumah, bermain bersama anak karena tugas pekerjaan telah dianggap selesai. Psychological detachment juga mampu mengurangi emosi-emosi negatif yang terkumpul selama bekerja sehingga ketika sudah berada di rumah dan

(13)

menjalankan perannya yang lain, emosi negatif tersebut tidak akan menggangu tugas perannya yang lain sehingga work family conflict menjadi rendah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karyawan yang mampu melepaskan diri atau menghentikan pikiran dan perasaan pada urusan kerja saat di luar jam kerja dapat menurunkan konflik antara urusan keluarga dengan urusan pekerjaan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran psychological detachment terhadap work family conflict. Adapun manfaat dari penelitian ini secara teoritis adalah dapat membantu mengembangkan ilmu psikologi industri dan organisasi tentang peran psychological detachment yang relatif masih jarang diteliti di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan kontribusi kepada pihak organisasi mengenai work family conflict yang dapat terjadi di tengah perkembangan teknologi yang pesat.

Konflik peran ganda (work-family conflict)

Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan work family conflict sebagai bentuk interrole

conflict, yang diartikan sebagai adanya ketidakseimbangan dalam peran individu di pekerjaan

dan keluarga. Interrole conflict merupakan bentuk dari konflik peran (role conflict) dimana tekanan muncul dari adanya peran yang berbeda (Greenhaus & Beutell, 1985). Pada situasi pekerjaan, individu sebagai pekerja yang professional diharapkan mampu memberikan performa terbaik dan menyelesaikan tugasnya di perusahaan. Di rumah, individu sebagai anggota keluarga diharapkan untuk menjaga keluarganya. Adanya work family conflict membuat individu mendapatkan situasi dimana ia harus memilih, apabila ingin pekerjaannya berhasil maka perannya dalam keluarga akan terganggu dan berkurang, begitu sebaliknya apabila individu berperan maksimal dalam perannya di keluarga, maka kariernya akan terganggu karena ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah untuk keluarganya. (Soeroso, 2008).

Frone (2000) mendefinisikan work family conflict sebagai ketidakseimbangan peran akibat penggunaan waktu santai yang dimiliki untuk bekerja sehingga waktu dan energi yang seharusnya dapat digunakan untuk mengerjakan aktivitas dan kegiatan bersama keluarga menjadi berkurang. Frone (2000) juga berpendapat bahwa terdapat dua perspektif dalam work

family conflict, yakni konflik yang muncul akibat pekerjaan mengganggu kegiatan bersama

keluarga (work interfering with family) dan konflik yang muncul karena keluarga mengganggu aktivitas pekerjaan (family interfering withwork). Work interfering with family terjadi ketika individu mengorbankan waktunya bersama keluarga untuk menyelesaikan tugas atau membawa tugasnya di kantor untuk dikerjakan di rumah. Sedangkan family interfering withwork terjadi ketika individu harus meninggalkan pekerjaan untuk urusan keluarga.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa work family conflict merupakan konflik yang terjadi pada individu dengan peran ganda, yakni peran dalam kehidupan pekerjaan

(work) dan kehidupan keluarga (family).

Dimensi work family conflict

Konflik peran ganda (work family conflict) bersifat bidirectional dan multidimensi, dimana masing-masing sifattnya saling mempengaruhi satu sama lain (Greenhaus & Beutell, 1985). Sifat bidirectional pada work family conflict, yakni:

a. Work-family conflict (WFC) yakni konflik yang muncul akibat tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab individu terhadap keluarga.

(14)

b. Family-work conflict (FWC) adalah konflik yang muncul akibat tanggung jawab individu terhadap keluarganya mempengaruhi tanggung jawabnya terhadap pekerjaan. Sedangkan sifat multidimensi pada work-family conflict adalah time-based conflict,

strain-based conflict, dan behavior-strain-based conflict (Greenhaus & Beutell, 1985).

a. Time-based conflict, yaitu konflik yang terjadi akibat kurangnya waktu yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan suatu peran, sehinga tuntutan peran yang lain tidak dapat terpenuhi. Seseorang mungkin harus memenuhi tuntutan dari beberapa peran dalam satu waktu, sehingga konflik dapat muncul apabila tidak cukupnya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tuntutan dari masing-masing peran tersebut (Greenhaus & Beutell, 1985).

b. Strain-based conflict, yaitu konflik yang terjadi ketika ketegangan dari suatu peran mempengaruhi kinerja individu saat melakukan perannya yang lain. Konflik ini juga menghasilkan suatu kondisi emosional yang karena individu kesulitan untuk memenuhi tuntutan di perannya yang lain (Greenhaus & Beutell, 1985).

c. Behavior-based conflict, yaitu konflik yang terjadi ketika perilaku yang ditunjukkan oleh individu pada peran tertentu tidak sesuai dengan perilaku yang diharapkan oleh satu peran lainnya (Greenhaus & Beutell, 1985).

Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda (work-family conflict)

Greenhaus dan Beutell (1985) menjelaskan bahwa work family conflict dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor pekerjaan (work domain) dan faktor keluarga (family domain). Faktor pekerjaan (work domain) merupakan kondisi dari pekerjaan yang dapat menjadi sumber munculnya konflik. Contoh faktor pekerjaan (work domain) antara lain jam kerja, jadwal kerja, stress kerja, keterikatan kerja (job involvement), dukungan sosial dan karakteristik organisasi. Sedangkan faktor keluarga (family domain) merupakan karakteristik peran dalam keluarga yang membuat individu menghabiskan waktu lebih banyak pada keluarga sehingga menimbulkan konflik (work family conflict). Status pernikahan, jumlah dan usia anak, keterikatan keluarga

(family involvement), konflik dalam keluarga hingga karakteristik keluarga seperti status

pekerjaan pasangan dan penghasilan keluarga merupakan contoh faktor keluarga (family

domain) yang dapat mempengaruhi work family conflict.

Bellavia dan Frone (dalam Hidayati, 2015) menambahkan karakteristik individu dan kepribadian sebagai salah satu faktor penyebab work family conflict, dimana kepribadian didefinisikan sebagai proses koordinasi mental yang menentukan emosi dan perubahan perilaku individu terhadap lingkungannya sedangkan karakteristik individu meliputi ciri demografis (jenis kelamin, status keluarga, usia anak dan sebagainya). Faktor kepribadian antara lain

internal locus of control, neurotisme, prinsip segmentasi pekerjaan dan rumah serta

kemampuan individu untuk memisahkan diri dari pekerjaannya (Michel dkk, 2011; Yang dkk, 2019; Demsky dkk, 2014).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga faktor penyebab work

family conflict, yakni faktor pekerjaan (work domain), faktor keluarga (family domain) serta

(15)

Psychological detachment

Etzion dkk (1998) memperkenalkan istilah psychological detachment sebagai perasaan individu terlepas dari situasi pekerjaan. Tidak hanya terlepas secara fisik, psychological detachment merupakan kondisi dimana seseorang tidak dibebani dengan tugas kerja dan tidak memikirkan pekerjaan saat diluar jam kerja. Sonnentag dan Kruel (2006) membagi waktu diluar jam kerja menjadi dua, yakni waktu libur kerja jangka panjang seperti cuti atau akhir pekan, dan waktu libur pendek yakni malam hari selama hari-hari kerja. Apabila saat berada diluar jam kerja individu tetap melanjutkan pekerjaanya di rumah, membuat panggilan telepon tentang pekerjaan maupun berbicara tentang tugas-tugas di tempat kerja dianggap belum melakukan

psychological detachment.

Psychological detachment merupakan kondisi mental individu yang terpisah dengan pekerjaan,

dimana memisahkan diri dari pekerjaan secara psikologis adalah aspek penting dari pemulihan

(recovery experience) (Sonnentag & Fritz, 2007). Psychological detachment membuat individu

berhenti memikirkan tugas-tugas dalam pekerjaan maupun masalah di tempat kerja sehingga tekanan yang diterima sistem fungsional tubuh dapat berkurang dan proses pemulihan dapat berlangsung. Namun, apabila individu belum sepenuhnya melepaskan diri dan masih memikirkan tentang isu-isu pekerjaan, sistem fungsional tubuh akan selalu bergerak dan tidak akan pernah sepenuhnya pulih (Sonnentag & Bayer, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa psychological detachment merupakan keadaan dimana individu mampu memisahkan diri secara psikologis dari pekerjaannya, baik ketika malam hari setelah jam kerja maupun saat berada di masa cuti atau libur panjang.

Dimensi psychological detachment

Menurut Sonnentag dan Bayer (2005), terdapat dua dimensi psychological detachment, yakni: a. Menjauh secara fisik, yakni menahan diri melakukan aktivitas atau kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan. Contohnya mengecek e-mail, menerima telepon terkait pekerjaan, mengerjakan pekerjaan di rumah dan mengecek laporan.

b. Menjauh secara mental, yakni berhenti memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Contohnya kembali merenungkan tugas yang belum terselesaikan, memikirkan konflik-konflik yang terjadi di tempat kerja dan mengkhawatirkan tugas-tugas yang perlu dilakukan keesokan harinya di tempat kerja.

Faktor yang mempengaruhi psychological detachment

Stressor-detachmentt Model (SDM) oleh Sonnentag dan Fritz (2014) yang menjelaskan bahwa

stress pekerjaan membuat individu akan kesulitan untuk melakukan psychological detachment di luar jam kerja, dengan alasan bahwa stress pekerjaan akan meningkatkan aktivasi negatif

(negative activation) sehingga melepaskan diri secara psikologis dari pekerjaan akan sangat

sulit. Stress pekerjaan (job stressor) pada SDM dijelaskan sebagai faktor dari lingkungan pekerjaan yang memberikan reaksi strain, seperti perasaan negatif, gejala fisik atau gangguan psikologis (Sonnentag dkk, 2017). Job stressor terdiri dari berbagai kategori, antara lain

physical stressors, task-related stressors, role stressors, social stressor, career related stressors, peristiwa traumatis dan proses perubahan.

Sonnentag, Kuttler dan Fritz (2010) juga menambahkan faktor work-home boundaries dan teknologi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi psychological detachment. Work-home

boundaries merupakan aturan atau kesepakatan mengenai batasan bekerja dan rumah. Aturan

(16)

waktunya untuk berhenti bekerja. Perkembangan teknologi yang pesat dapat mempengaruhi

work-home boundaries, dimana mudahnya akses internet dan penggunaan telepon genggam

membuat aktivitas bertukar pesan singkat dan penggunaan telepon menjadi semakin mudah. Kemudahan ini membuat bekerja dapat dilakukan dimana saja dan menyulitkan individu untuk memisahkan diri dari pekerjaannya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa psychological detachment dipengaruhi oleh job stressor yang terdiri dari berbagai kategori stressor yang bersumber dari lingkungan kerja, work-home boundary yang dimiliki individu dan juga perkembangan teknologi.

Manfaat psychological detachment

Sonnentag dan Fritz (2007) menjelaskan bahwa psychological detachment yang merupakan bagian dari recovery experience dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Hal ini dikarenakan individu yang melakukan psychological detachment akan memiliki level stress kerja yang lebih rendah. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa psychological

detachment dapat menurunkan level kelelahan, meningkatkan level vigor saat bekerja dan dapat

meningkatkan kepuasan hidup (life statisfaction) (Sonnentag dkk, 2017).

Peran psychological detachment pada work family conflict karyawan angkatan kerja generasi milenial

Bekerja di tengah adanya perkembangan industri yang pesat dapat menjadi sangat menuntut dan berat. Beban kerja dariorganisasi semakin meningkat dengan adanya tuntutan global agar organisasi dapat bertahan dan berkembang. Hal ini menjadi lebih berat dengan adanya berbagai perkembangan teknologi seperti smartphone, e-mail dan aplikasi media sosial yang membuat individu dituntut untuk selalu hadir dan berpartisipasi terhadap pekerjaannya setiap saat. Beberapa studi mengungkapkan bahwa hal ini dapat membuat batasan antara kehidupan pekerjaan dan keluarga semakin rapuh, hingga akhirnya menghilang (Kreiner, 2006). Individu dianggap dapat selalu hadir (available) kapan pun dan dimana pun mereka berada, sehingga tak jarang mereka masih menerima pesan terkait pekerjaan, mengerjakan sisa pekerjaan yang belum selesai dan bahkan mengkhawatirkan tentang beban kerja yang mereka miliki keesokan harinya. Generasi milenial yang mulai memasuki dunia kerja menghadapi tantangan untuk dapat menyeimbangkan perannya sebagai pekerja dan anggota keluarga, dan tantangan tersebut dianggap lebih besar daripada generasi sebelumnya karena milenial merupakan digital native yang dekat dengan teknologi. Perlu adanya mekanisme yang baik untuk mempertahankan batasan antara pekerjaan dan keluarga yang mereka miliki.

Psychological detachment adalah meninggalkan sejenak kegiatan maupun pikiran tentang

pekerjaan apabila jam kerja sudah berakhir (Sonnentag & Bayer, 2005). Psychological

detachment memberikan kesempatan bagi individu untuk menghentikan perannya sebagai

pekerja dan kemudian beristirahat sehingga ada waktu yang dapat digunakan untuk memenuhi tuntutan perannya dalam keluarga sehingga konflik dapat diminimalisir. Kegagalan dalam menerapkan psychological detachment dapat meningkatkan persepsi individu bahwa pekerjaannya sangat menggangu kehidupan keluarga, begitu pun sebaliknya. Hal ini dikarenakan waktu yang mereka gunakan untuk mengerjakan aktivitas tentang pekerjaan seharusnya dapat digunakan bersama anggota keluarga yang lain. Psychological detachment yang tinggi dapat membantu individu untuk memperkuat segmentasi antara pekerjaan dan rumah yang ia miliki, yangmana nantinya dapat menurunkan tingkat work family conflict. Penelitian Demsky dkk (2014) membuktikan bahwa psychological detachment berkorelasi negatif dengan work family conflict, dimana tingginya psychological detachment akan

(17)

berpengaruh terhadap rendahnya tingkat work family conflict. Psychological detachment merupakan kemampuan individual untuk berhenti bekerja (fisik maupun psikologis) saat di rumah sehingga ia dapat memenuhi tuntutan peran yang ia miliki, peran terhadap pekerjaan dan keluarga. Apabila kedua peran dapat berjalan seimbang maka tingkat work family conflict akan menjadi berkurang.

Kerangka Berpikir

Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini: Terdapat pengaruh negatif psychological detachment terhadap konflik pekerjaan dan keluarga (work family conflict)

Karyawan Generasi Milenial

Perkembangan teknologi membuat individu dituntut untuk selalu hadir kapan pun dan dimana pun, karena kemudahan teknologi membuat individu semakin mudah

untuk dihubungi dan kemudian diharapkan untuk selalu available

Psychological detachment tinggi

Mampu menjauh secara fisik (menahan diri melakukan aktivitas atau kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan) Mampu menjauh secara mental (berhenti memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan

Work family conflict rendah

1. Time based conflict (WFC) 2. Time based conflict (FWC) 3. Strain based conflict (WFC) 4. Strain based conflict (FWC)

5. Behavior based confclit (WFC) 6. Behavior based conflict (FWC)

(18)

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif merupakan penelitian yang datanya berbentuk angka dan diolah menggunakan pendekatan statistik. Pendekatan kuantitatif dapat mengukur penelitian dengan sistematis, objektif dan juga mampu memprediksi kebenaran dari penelitian (Trijono, 2015). Adapun desain penelitian yang digunakan adalah korelasional, yang bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel dan pengaruh antar variabel (Azwar, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh psychological detachment terhadap work family conflict yang dialami oleh karyawan.

Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode nonprobability sampling, yaitu menentukan sampel secara kebetulan (insidental/accidental sampling) dimana siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, apabila individu tersebut cocok sebagai sumber data. Peneliti menargetkan karyawan generasi milenial dengan tahun kelahiran 1980-2000, telah bekerja di suatu perusahaan/instansi dan telah menikah untuk menjadi sumber data pada penelitian ini. Jumlah sampel disesuaikan dengan standar kelayakan jumlah sampel penelitian menurut Sugiyono (2013) yakni sekurang-kurangnya 30 hingga 500 sampel. Adapun total subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah 332 karyawan dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian

Kategori Frekuensi Presentase Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 116 216 34,9% 65,1% Tahun Kelahiran Tahun 1980 - 1985 Tahun 1986 - 1990 Tahun 1991 - 1995 Tahun 1997 - 2000 Usia Pernikahan < 5 Tahun 6-10 Tahun 11-15 Tahun > 5 Tahun Lama Bekerja < 5 Tahun 6-10 Tahun 11-15 Tahun > 5 Tahun 109 114 83 26 143 86 78 25 99 118 85 30 32,8% 34,3% 25% 7,8% 43,1% 25,9% 23,5% 7,5% 29,8% 35,5% 25,6% 9%

(19)

Berdasarkan tabel 1, sebagian besar subjek pada penelitian ini merupakan karyawan berjenis kelamin perempuan dengan perbandingan 34,9% subjek laki-laki dan 65,1% subjek perempuan. Subjek penelitian mayoritas lahir pada tahun 1986 – 1990. Selain itu, subjek penelitian ini rata-rata memiliki usia pernikahan kurang dari 5 tahun dan masa kerja selama 6-10 tahun.

Variabel dan Instrumen

Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu psychological detachment sebagai variabel bebas (X) dan work family conflict sebagai variabel terikat (Y). Variabel bebas (X) merupakan variabel yang menyebabkan adanya perubahan pada variabel terikat, sedangkan variabel terikat sendiri adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Sugiyono, 2013).

Psychological detachment merupakan kemampuan individu untuk melepaskan diri dari

pekerjaannya diluar jam kerja, baik secara fisik dengan tidak melakukan kegiatan terkait pekerjaan maupun secara psikis dengan berhenti memikirkan pekerjaan. Pengukuran variabel

psychological detachment menggunakan skala psychological detachment yang disusun oleh

Sonnentag dan Fritz (2007) yang diambil berdasarkan konsep Sonnentag dan Bayer (2005). Skala ini diadaptasi oleh Afifah (2015) dan memiliki 14 item. Psychological detachment terdiri dari 2 dimensi, yakni menjauh secara fisik dan menjauh secara mental. Skala ini memiliki 11 item favorable dan 3 item unfavorable dengan indeks reliabilitas sebesar 0,723. Beberapa contoh item diantaranya yaitu, “Setelah jam kerja selesai, saya terus memikirkan pekerjaan”, “Setelah jam kerja selesai, saya melupakan masalah yang terjadi di tempat kerja”, dan “Saya sering merasa stress karena tidak bisa berhenti memikirkan pekerjaan” Skala ini memiliki lima pilihan jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS).

Sedangkan work family conflict adalah konflik peran ganda yang terjadi pada individu akibat kesulitan untuk menyeimbangkan tuntutan antara dua peran yang berbeda (peran di dalam pekerjaan dan keluarga). Pengukuran variabel work family conflict menggunakan skala work

family conflict yang disusun berdasarkan aspek dan multidimensi work family conflict dari teori

Greenhaus dan Beutell (1985). Skala ini dikembangkan oleh Carlson et.al. (2000) dan diadaptasi oleh Pradita (2016) yang berbentuk kalimat positif dan negatif dengan lima pilihan jawaban, yakni SS (Sangat Setuju), S (Setuju), N (Netral), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju).Terdapat 18 item dalam skala work family conflict yang terdiri dari enam dimensi yakni work-family conflict time-based, work-family conflict strain-based, work-family conflict

behavior-based, family-work conflict time-based, family-work strain-based, dan family-work behavior-based. Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, ditemukan validitas dan

reliabilitas yang baik dengan indeks reliabilitas sebesar 0,892. Contoh item pada skala ini antara lain “Pekerjaan saya menjauhkan saya dari keluarga melebihi apa yang saya inginkan” dan “Pekerjaan menyita waktu saya untuk melakukan pekerjaan rumah dan berkumpul dengan keluarga.”

Prosedur dan Analisis Data Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yakni tahap perencanaan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian dan penulisan laporan penelitian. Tahap perencanaan merupakan tahap dimana semua hal mengenai penelitian dipersiapkan, mulai dari merumuskan masalah, mencari landasan teori, penyusunan kerangka berpikir, menentukan hipotesis, menentukan sampel dan populasi, serta menentukan analisis data penelitian.

(20)

Tahap selanjutnya, peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara menyebarkan skala kepada individu yang lahir pada tahun 1980-2000, sudah menikah dan sudah bekerja pada tanggal 1-10 Juli 2021. Pada proses ini, peneliti menyebarkan skala dengan memberikan link

Google Form kepada subjek namun dengan menanyakan pertanyaan screening, apakah

individu tersebut termasuk dalam kriteria subjek penelitian. Selain itu, peneliti juga menyebarkan skala menggunakan media sosial. Terdapat 338 data yang terkumpul dan setelah dilaksanakan proses screening dan scoring, ada 332 data yang layak untuk dilakukan analisis data.Peneliti melakukan analisis data dengan menggunakan software IBM SPSS for Windows versi 21 dengan melaksanakan uji prasyarat analisis yakni uji normalitas dan linearitas, uji hipotesis berupa uji regresi linear sederhana dan juga analisis demografis. Peneliti juga melakukan analisis untuk mengetahui dimensi variabel Y mana yang paling dipengaruhi oleh variabel X.

Tahapan terakhir yaitu penulisan laporan penelitian. Peneliti menuliskan laporan hasil penelitian sesuai dengan format yang ditetapkan.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini membahas peran psychological detachment terhadap work family conflict karyawan milenial. Terdapat 332 subjek yang berpartisipasi dalam penelitian dengan rata-rata skor psychological detachment sebesar 36,78 dan rata-rata skor work family conflict 43,93. Peneliti mengkategorikan setiap variabel ke dalam tiga variabel yakni tinggi, sedang dan rendah. Kategorisasi variabel ini dilakukan dengan menggunakan statistik empirik untuk mengetahui frekuensi pada setiap kategori variabel.

Tabel 2. Deskripsi Data Penelitian

Berdasarkan data tabel 2, diketahui bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki tingkat

psychological detachment sedang dengan presentase 69,9%, sedangkan subjek yang memiliki psychological detachment kategori tinggi sebesar 14,2% dan subjek dengan psychological detachment rendah sebesar 16%. Sedangkan pada variabel work family conflict juga mayoritas

subjek penelitian berada di kategori sedang dengan presentase 75,3% dimana terdapat pula 9,6% subjek dengan kategori work family conflict tinggi dan 15,1% subjek dengan kategori

work family conflict rendah.

Sebelum melakukan analisis data, peneliti melakukan uji normalitas data menggunakan Uji One Sample Kolmogorov-smirnov dengan taraf signifikanisi sebesar 0,05 untuk mengetahui apakah data penelitian berdistribusi normal dengan bantuan SPSS versi 21.

Variabel Kategori Frekuensi Persentase

Psychological Detachment (X) Tinggi 53 16% Sedang Rendah 232 47 69,9% 14,2%

Work Family Conflict (Y)

Tinggi 50 15,1% Sedang Rendah 250 32 75,3% 9,6%

(21)

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas

Subjek Variabel Signifikansi (Assymp 2-tailed)

332 Psyhological detachment 0.113

Work family conflict 0.068

Data suatu penelitian dapat dikatakan normal apabila nilai signifikansinya (asymp sig 2-tailed) > 0,05 (Priyatno, 2008). Bedasarkan uji normalitas yang dilakukan (lihat tabel 3), diketahui bahwa data dari kedua variabel berdistribusi normal dengan nilai signifikansi sebesar 0,113 (p > 0,05) untuk variabel psychological detachment dan 0,068 (p > 0,05) untuk variabel work

family conflict. Selanjutnya peneliti juga melakukan uji linearitas dengan menggunakan Test for Linearity dengan taraf signifikansi 0,05. Dua variabel dikatakan memiliki hubungan yang

linear apabila signifikansi (linearity) kurang dari 0,05 (Priyatno, 2008). Uji linearitas ini diperoleh hasil signifikansi 0,000 sehingga terdapat hubungan linear antara variabel

psychological detachment dan work family conflict. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh psychological detachment terhadap work family conflict pada karyawan angkatan kerja milenial

dilakukan uji regresi linear sederhana dengan hasil sebagai berikut.

Tabel 4. Hasil Uji Regresi Linear Sederhana

B T Sig. F R R2

(Constant) 90,093 22,969 ,000 140,114 0,546 0,298

Psychological detachment

-1,255 -11,837 ,000 Dependent variabel : Work family conflict

Berdasarkan hasil uji regresi linear sederhana yang telah dilakukan, diketahui bahwa

psychological detachment memiliki pengaruh pada work family conflict dengan nilai

signifikansi p < ,001. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa 29,8% variabel work family

conflict dapat dijelaskan oleh psychological detachment, sedangkan 70,2% sisanya dijelaskan

oleh variabel lain diluar model penelitian ini dengan diperolehnya nilai R Square (R2) sebesar 0,298. Adapun persamaan regresi Y = 90,093 – 1,255X dimana Y adalah work family conflict dan X adalah psychological detachment dengan besar koefisien regresi pada variabel

psychological detachment sebesar 1,255 bertanda negatif. Hasil negatif pada koefisien regresi

ini menunjukkan bahwa arah hubungan antara kedua variabel bersifat negatif, dimana apabila

psychological detachment yang dimiliki individu tinggi, maka work family conflict yang

dialami akan rendah.Melalui hasil uji regresi ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari psychological detachment terhadap work family conflict karyawan angkatan kerja milenial dengan sumbangan sebesar 29,8%.

Setelah mengetahui pengaruh psychological detachment terhadap work family conflict, peneliti melakukan analisis untuk mengetahui pengaruh psychological detachment pada masing-masing dimensi work family conflict.

Tabel 5. Analisis Pengaruh Psychological Detachment Terhadap Dimensi Work Family Conflict

Dimensi Variabel Y B Sig. R2

Time based (WFC) -0,221 ,000 0,147

Time based (FWC) -0,193 ,000 0,178

(22)

Strain based (FWC) -0,258 ,000 0,208

Behavior based (WFC) -0,162 ,000 0,101

Behavior based (FWC) -0,214 ,000 0,156

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel X yakni psychological detachment terhadap enam dimensi work family conflict. Selain itu, diketahui pula bahwa psychological detachment memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap dimensi strain based family-work conflict, dengan pengaruh sebesar 20,8 % (R2 = 0,208, p < ,001). Sedangkan untuk behavior based work-family conflict mendapatkan pengaruh yang paling kecil dengan besar 10,1% (R2 = 0,101, p < ,001). Tabel 5 juga menunjukkan bahwa arah korelasi antara variabel X terhadap dimensi variabel Y bertanda negatif, sehingga apabila

psychological detachment tinggi maka masing-masing dimensi dari work family conflict juga

akan berkurang.

DISKUSI

Inovasi teknologi telah membuat mayoritas karyawan menggunakan alat elektronik seperti

smartphone untuk melakukan pekerjaannya. Konsekuensinya adalah karyawan dianggap

mampu untuk selalu hadir dan dapat dihubungi setiap saat untuk urusan pekerjaan, bahkan di luar jam kerja. Peran dan tanggung jawab sebagai karyawan yang seharusnya berakhir kemudian digantikan peran selanjutnya dapat terganggu akibat menipisnya batasan antara keluarga dan pekerjaan (Derks dkk, 2014). Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi milenial merupakan high tech generation yang sangat mengintegrasikan teknologi dengan rutinitas hariannya melalui penggunaan teknologi mobile, internet dan sosial media (Calvo-Porral & Pesqueira-Sanchez, 2020). Hal ini membuat individu, khususnya generasi milenial memiliki tantangan tersendiri dalam menyeimbangkan keluarga dan pekerjaan. Oleh karena itu, pada penelitian ini peneliti bertujuan untuk mengetahui peran psychological detachment yakni kemampuan individu untuk memisahkan diri dari pekerjaannya saat jam kerja berakhir terhadap work family conflict pada karyawan angkatan kerja milenial.

Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa psychological detachment berpengaruh terhadap work family conflict (R2 = 0,298; p < ,001). Hal ini menunjukkan bahwa psychological

detachment memiliki peran yang signifikan terhadap work family conflict pada angkatan kerja

generasi milenial. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Moreno-Jimenez dkk, (2009), dimana tekanan dalam menjalankan dua peran dapat menguras sumber tenaga pada karyawan yang telah menikah, sehingga untuk menjalankan kedua peran dengan seimbang diperlukan sebuah kondisi untuk pemulihan (recovery process), salah satunya yakni psyhological detachment untuk meminimalisir konflik yang mungkin terjadi.

Effort-Recovery Model (E-R model) menjelaskan bahwa recovery dapat terjadi apabila tuntutan

sudah tidak ada lagi (Meijman & Mulder, 1998). Pekerjaan dan keluarga adalah dua domain yang berbeda dimana masing-masing domain memerlukan energi (effort) yang besar. Ketika tanggung jawab pekerjaan mempengaruhi tanggung jawab individu dalam keluarga dan sebaliknya, konflik dapat muncul dan mengakibatkan dampak negatif bagi individu maupun lingkungan di sekitarnya. Namun, apabila individu tidak lagi terfokus pada tanggung jawab pekerjaannya saat jam kerjanya selesai dengan melakukan psychological detachment, proses

(23)

pemulihan (recovery) dapat terjadi sehingga individu dapat fokus untuk menyelesaikan tanggung jawabnya pada keluarga.

Bagi perusahaan, milenial dipandang sebagai karyawan baru atau karyawan yang paling muda. Pandangan ini cenderung membuat milenial untuk berusaha lebih keras untuk memberi bukti kelayakan pada perusahaan, bahkan rela mengorbankan kepentingan pribadi dan bersedia untuk bekerja setelah jam kerja (Bennet dkk, 2017; Bauer, 2019). Tempat kerja dapat menjadi tempat yang memberikan stres dengan adanya tenggat waktu, konflik dan kesulitan lainnya. Di sisi lain, rumah juga dapat menjadi tempat yang tidak jauh berbeda. Akan tetapi, salah satu karakteristik dari milenial yang membedakan mereka dengan generasi lainnya adalah milenial juga sangat menghargai pentingnya kehidupan pribadi dan cenderung tidak ingin kehidupan pribadinya terganggu oleh pekerjaan (Bauer, 2019). Oleh karena itu, memisahkan kehidupan pekerjaan dan keluarga adalah hal yang penting bagi milenial untuk meminimalisir konflik yang mungkin terjadi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa psychological detachment yang tinggi dapat membantu menurunkan work family conflict, khususnya pada dimensi strain based family-work

conflict. Family-work conflict merupakan konflik yang muncul karena aktivitas dan tanggung

jawab di keluarga mempengaruhi aktivitas dan tanggung jawab di tempat kerja (Carlson dkk, 2000). Bennet, Beehr dan Ivanitskaya (2017) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa generasi milenial mengalami family-work conflict lebih besar dibandingkan dengan generasi

Baby Boomer dan Generasi X. Adanya psychological detachment dapat membantu milenial

meredakan ketegangan yang mereka alami sehingga strain based family-work conflict, senada dengan pendapat Wendsche dan Haislah (2017) yang menyebutkan bahwa psychological

detachment dapat membantu pemulihan dari ketegangan.

Hasil uji hipotesis juga menunjukkan bahwa koefisien korelasi (r) antara psychological

detachment dan work family conflict sebesar – 1,255 (p < ,001) yang menandakan bahwa

semakin tinggi psychological detachment yang dimiliki oleh individu maka semakin rendah

work family conflict yang dialami. Psychological detachment yang dilaksanakan setiap sore

atau ketika selesai bekerja dapat meningkatkan afeksi positif dan menurunkan afeksi negatif (Feuerhahn dkk, 2014). Afeksi negatif merupakan situasi dimana individu merasakan perasaan tidak nyaman seperti mood negatif, kemarahan, takut dan kegugupan. Hal ini dapat mempengaruhi individu dalam melaksanakan aktivitasnya, baik dalam domain keluarga maupun pekerjaan. Psychological detachment juga dapat menurunkan burnout dan stress psikologis, meningkatkan mood positif serta menurunkan kelelahan emosional (Olafsen & Bentzen, 2020). Work family conflict akan menurun dengan berkurangnya faktor-faktor penyebab konflik.

Melalui analisis demografis diketahui bahwa karyawan milenial yang berpartisipasi sebagai responden di penelitian ini memiliki tingkat psychological detachment di kategori sedang. Hal ini dapat disebebkan karena generasi milenial mempertimbangkan konsep work life balance lebih mendalam dibanding generasi pendahulunya (Buzza, 2017). Work life balance menjadi salah satu prioritas utama milenial dalam memilih jenis pekerjaan, khususnya kesempatan untuk mengambil cuti dan jam bebas. Selain psychological detachment yang berada di kategori sedang, variabel work family conflict juga berada di kategori sedang. Penelitian Bennet dkk, (2017) menyebutkan bahwa milenial menempati urutan kedua setelah generasi X untuk level

work family conflict tertinggi apabila dibandingkan dengan generasi lain. Milenial mayoritas

masih berada di tahap karyawan baru sehingga memiliki tekanan untuk berhasil dalam pekerjaannya dan juga memiliki tekanan untuk memiliki keluarga yang lebih besar apabila dibandingkan dengan generasi lain.

(24)

Peran psychological detachment dalam mengurangi work family conflict berdasarkan hasil uji hipotesis diketahui sebesar 29,8%. Ada peran faktor lain yang mempengaruhi work family

conflict sebesar 70,2% diluar penelitian ini. Michel dkk, (2011) membagi penyebab work family conflict kedalam tiga kategori utama, yakni work domain, family domain dan personality.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa generasi milenial dapat mengalami work family conflict, namun dengan adanya kemampuan memisahkan pekerjaan yang baik maka konflik peran dapat diminimalisir, khsusnya konflik yang terjadi dari peran sebagai anggota keluarga terhadap pekerjaan (family-work conflict). Sehingga memiliki batasan yang jelas antara pekerjaan (work) dan keluarga (family) berdampak positif bagi individu. Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur psychological detachment masih cukup jarang diteliti di Indonesia. Selain itu, generasi milenial yang masih dianggap sebagai karyawan muda seringkali mendapat perhatian yang lebih rendah dalam kajian literatur pekerjaan dan keluarga karena karyawan muda dianggap belum memiliki tanggung jawab keluarga tertentu, seperti menjaga orang yang lebih tua, anak dan lainnya (Buonocore & Russo, 2013). Penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian literatur dalam bidang psikologi industri organisasi dan bermanfaat bagi perusahaan.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 332 karyawan milenial yang telah bekerja dan menikah, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara psychological

detachment terhadap work family conflict. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi

sebesar 0,298 (p <,001) yang menandakan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara

psychological detachment dan work family conflict. Arah korelasi juga bersifat negatif (B= –

1,255, p <,001) sehingga apabila psychological detachment yang dimiliki karyawan milenial tinggi maka work family conflict yang dialami juga semakin rendah. Diketahui pula bahwa

psychological detachment memberikan pengaruh terbesar pada strain based family-work conflict (R2 = 0,208, p < ,001). Adapun kontribusi psychological detachment terhadap work

family conflict diketahui sebesar 29,8%, sedangkan 70,2% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain

yang tidak diukur dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil dan diskusi penelitian, dapat diindikasikan bahwa psychological detachment dapat sangat bermanfaat bagi karyawan. Ketika individu yang mengalami transisi dari perannya sebagai karyawan ia dapat membawa ketegangan maupun stress dari tempat kerja yang dapat memunculkan dampak negatif bagi peran selanjutnya. Oleh karena itu, organisasi dapat memberikan perhatian kepada karyawan untuk menyeimbangkan perannya dalam keluarga dan pekerjaan. Seperti contohnya menerapkan konsep organisasi family friendly, dimana konsep ini diyakini dapat memberikan kebebasan bagi individu untuk mengatur tanggung jawab pekerjaannya dengan menyesuaikan tanggung jawabnya di rumah, sehingga dapat meningkatkan komitmen dan produktivitas karyawan. Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan variabel ini hendaknya menggunakan sampel penelitian yang lebih merata dan memperhatikan jenis pekerjaan maupun instansi subjek. Selain itu, peneliti selanjutnya dapat menambahkan kehadiran anak, perbedaan usia maupun jenis kelamin agar memperdalam pemahaman mengenai pengaruh psychological detachment terhadap work family

(25)

REFERENSI

Afifah, G.D.N. (2015). Pengaruh stressor kerja dan tipe kepribadian big five terhadap psychological detachment [Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institutional Repository. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/27373

Ahmad, S., & Skitmore, M. (2003). Work-family conflict: a survey of Singaporean workers.

Singapore Management Review, 25(1), 35-52.

Artiawati. (2017). The work-family interface in Indonesia. In Korabik, K., Aycan, Z., & Ayman, R. (Eds.), The Work-Family Interface in Global Context (pp.215-235). Taylor & Francis.

Ashforth, B. E., Glen, E. K., & Fugate, M. (2000). All in a days work boundaries and micro role transitions. The Academy of Management Review, 25(3), 472–491. https://doi.org/10.5465/amr.2000.3363315.

Azwar, S. (2007). Metode Penelitian. Pustaka Pelajar.

Barber, L.K., & Santuzzi, A.M. (2015). Please respond ASAP: workplace telepressure and employee recovery. Journal of Occupational Health Psychology, 20(2), 172-189. http://dx.doi.org/10.1037/a0038278.

Bauer, M.H. (2019). Millennials’ gender ideologies and experience of a work-family conflict [Master Thesis, Utrecht University].

Afifah, G.D.N. (2015). Pengaruh stressor kerja dan tipe kepribadian big five terhadap psychological detachment [Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institutional Repository. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/27373

Bennett, M.M., Beehr, T.A., Ivanitskaya, L.V. (2017). Work family conflict : differences across generatons and life cycles. Journal of Managerial Psychology, 32(4), 314-332. https://doi.org/10.1108/JMP-06-2016-0192

Beutell, N.J. (2013). Generational differences in work-family conflict and synergy.

Int.J.Environ.Res.Public Health, 10, 2544-2559. https://doi.org/10.3390/ijerph10062544.

Beutell, N.J., & Wittig-Berman,U. (2008). Work-family conflict and work-family synergy for generation X, baby boomers and matures : generational differences, predictors and statisfaction outcome. J.Manag. Psychol, 23, 507-523.

Brown, E. (17 September 2019). Millennials stressed from tech and social media overload

ZDNet.

https://www.zdnet.com/article/millennials-stressed-from-tech-and-social-media-overload/.

Buonocore, F., & Russo, M. (2013). Reducing the effects of work-family conflict on job statisfaction: the kind of commitment matters. Human Resource Management Journal,

23(1), 91-108. https://doi.org/10.1111/j.1748-8583.2011.00187.x

Buzza, J.S. (2017). Are you living to work or working to live? What millennials want in the workplace . Journal of Human Resource Management and Labor Studies, 5(2), 15-20. https://doi.org/10.15640/jhrmls.v5n2a3.

(26)

Calvo-Porral, C., & Perqueira-Sanchez, R. (2020). Generational difference in technology behavior: comparing millennials and generation X. Kybernetes, 49(11), 2755-2772. https://doi.org/10.1108/K-09-2019-0598

Caraher, L. (2015). Millennials & management: the essential guide to making it work at work. Bibliomotion.

Carlson, D. S., Kacmar, K. M., & Williams, L. J. (2000). Construction and initial validation of a multidimensional measure of work–family conflict. Journal of Vocational behavior,

56(2), 249-276. https://doi.org/10.1006/jvbe.1999.1713

Choi, H. J., & Kim, Y. (2012). Work-family conflict, work-family facilitation, and job outcomes in the Korean hotel industry. International Journal of Contemporary of

Hospitality Management, 24(7), 1011-1028. https://doi.org/10.1108/0959-6111.211258892.

Clauss, E., Hoppe, A., Schachler, V., & O’Shea, D. (2020). Occupational self-efficacy and work engagement as moderators in the stressor-detachment model. Work & Stress, 35(1), 74-92. https://doi.org/10.1080/02678373.2020.1743790.

Csikszentmihalyi, M. (2003). Good business: leadership. Flow and the making of meaning. Viking.

Demsky, C.A., Ellis, A.M., & Fritz, C. (2014). Shrugging it off: does psychological detachment from work mediate the relationship between workplace aggression and work-family conflict? .Journal of Occupational Health Psychology, 19(2), 195-205. https://doi.org/10.1037/a0035448.

Derks, D., Mierlo, H.V., Schmitz, E.B. (2014). A diary study on work-related smartphone use, psychological detachment and exhaustion: examining the role of the perceived segmentation norm. Journal of Occupational Health Psychology, 19(4), 74-84. https://doi.org/10.1037/a0035076

Economy, P. (2019, January 15). The (Millennial) Workplace of the future is here : These 3

things are about to change big time. Inc.com.

https://www.inc.com/peter-economy/the- millennial-workplace-of-future-is-almost-here-these-3-things-are-about-to-change-big-time.html

Etzion, D., Eden, D., & Lapidot, Y. (1998). Relief from job stressors and burnout: Reserve service as a respite. Journal of Applied Psychology, 83(4), 577–585. https://doi.org/10.1037/0021-9010.83.4.577.

Feuerhahn, N., Sonnentag, S., Woll, A. (2014). Exercise after work, psychological mediators, and affect : A day-level study. European Journal of Work and Organizational

Psychology, 23(1), 62-79. http://dx.doi.org/10.1080/1359432X.2012.709965.

Fotiadis, A., Abdulrahman, K., & Spyridou, A. (2019). The mediating roles of psychological autonomy, competence and relatedness on work-life balance and well-being. Front.

Psychol., 10(1267),1-7. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01267.

Frone, M. R. (2000). Interpersonal conflict at work and psychological outcomes: testing a model among young workers. Journal of Occupational Health Psychology, 5(2), 246-255. https://doi.org/10.1037/1076-8998.5.2.246.

(27)

Gadeyne N., Verbruggen, M., Delanoeije, J., De Cooman, R. (2018). All wired, all tired? Work-related ICT-use outside work hours and work-to-home conflict: the role of integration preference, integration norms and work demands. J. Vocat. Behav., 107, 86–99. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2018.03.008.

Green, S. G., Bull Schaefer, R. A., MacDermid, S. M., & Weiss, H. M. (2011). Partner reactions to work-to-family conflict: Cognitive appraisal and indirect crossover in couples. Journal

of Management, 37(3), 744–769. https://doi.org/10.1177/0149206309349307.

Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and family roles.

The Academy of Management Review, 10(1), 76 – 88. https://doi.org/10.2307/258214.

Hidayati, F.N.R. (2015). Hubungan antara self compassion dengan work family conflict staf markas Palang Merah Indonesia Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Psikologi Undip, 14(2), 183-189.

Huffman, A. H., Olson, K. J., O'Gara, T. C., Jr., & King, E. B. (2014). Gender role beliefs and fathers' work-family conflict. Journal of Managerial Psychology, 29(7), 774–793. https://doi.org/10.1108/JMP-11-2012-0372.

IDN Research Institute. (2019). Indonesia millennial report 2019. IDN Media.

Ivanovic, T., & Ivancevic, S. (2019). Turnover intentions and job hopping among millennials in Serbia. Management: Journal Of Sustainable Business And Management Solutions In

Emerging Economies, 24(1), 53-63. https://doi.org/10.7595/management.fon.2018.0023.

Kao, K.Y., Chi, N., Thomas, C.L., Lee, H., & Wang, Y. (2020). Linking ICT Availability Demands to Burnout and Work-Family Conflict: The Roles of Workplace Telepressure and Dispositional Self-Regulation. The Journal of Psychology, 154(5), 325-345. https://doi.org/10.1080/00223980.2020.1745137.

Kreiner, G. (2006). Consequences of work-home segmentation or integration: A person-environment fit perspective. Journal of Organizational Behavior, 27(4), 485–507. Lee, N., Zvonkovic, A. M., & Crawford, D. W. (2014). The impact of work–family conflict and

facilitation on women’s perceptions of role balance. Journal of Family Issues, 35(9), 1252-1274. https://doi.org/10.1177/0192513X13481332.

Liu, T., Zeng, X., Chen, M., & Lan, T. (2019). The harder you work, the higher your satisfaction with life? The influence of police work engagement on life satisfaction: a moderated mediation model. Frontier in Psychology, 10(826), 1-7. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.00826.

Mansour, S., & Tremblay, D.G. (2016). Work–family conflict/family–work conflict, job stress, burnout and intention to leave in the hotel industry in Quebec (Canada): moderating role of need for family friendly practices as "resource passage ways". The International

Journal of Human Resource Management, 29(16), 1-33. https://doi.org/10.1080/09585192.2016.1239216.

Meijman, T. F., & Mulder, G. (1998). Psychological aspects of workload. In P. J. D. Drenth & H. Thierry (Eds.), Handbook of work and organizational psychology: Work psychology (pp. 5–33). Psychology Press.

(28)

Michel, J. S., Kotrba, L. M., Mitchelson, J. K., Clark, M. A., & Baltes, B. B. (2011). Antecedents of work-family conflict: A meta-analytic review. Journal of Organizational

Behavior, 32(5) , 689 –725. https://doi.org/10.1002/job.695.

Moreno-Jimenez, B., Mayo, M., Sanz-Vergel, A.I., Geurts, S. (2009). Effects of work-family conflict on employees’ well being: the moderating role of recovery strategies. Journal of

Occupational Health Psychology, 14(4). 427-440. https://doi.org/10.1037/a0016739.

Nikmah, F., Indrianti, T., Pribadi, J.D. (2020). The effect of work demand, role conflict, and role ambiguity on work-family conflict (Impact of work from home due to the covid-19 pandemic). Journal of Family Sciences, 5(2), 92-102.

Obrenovic, B., Jianguo, D., Khudaykulov, A., & Khan, M.A.S. (2020). Work-family conflict impact on psychological safety and psychological well-being: A job performance model.

Front. Psychol. 11(475). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.00475.

Olafsen, A.H. & Bentzen, M. (2020). Benefits of psychological detachment from work: does autonomous work motivation play a role?. Frontiers in Psychology, 11(824). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.00824

Park, Y., Fritz, C., & Jex, S. M. (2011). Relationships between work– home segmentation and psychological detachment from work: The role of communication technology use at home. Journal of Occupational Health Psychology, 16(4), 457–467. http://dx.doi.org/10.1037/a0023594.

Powers, K. (2019). Workplace psychology. Chemeketa Press

Pradita, A.C. (2016). Work family conflict dengan komitmen organisasi pada karyawan [Skripsi, Universitas Muhammadiyah Malang]. Universitas Muhammadiyah Malang, Institutional Repostory. https://eprints.umm.ac.id/34349/

Sandoval-Reyes, J., Acosta-Prado, J. C., & Sanchís-Pedregosa, C. (2019). Relationship amongst technology use, work overload, and psychological detachment from work.

International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(23), 4602.

https://doi.org/10.3390/ijerph16234602.

Sanz-Vergel, A. I., Demerouti, E., Bakker, A. B, & Moreno-Jiménez, B. (2011). Daily detachment from work and home: The moderating effect of role salience. Human

Relations, 64(6), 775–799. https://doi.org/10.1177/0018726710393368.

Schaufeli, W. B., Bakker, A. B., & Van Rhenen, W. (2009). How changes in job demands and resources predict burnout, work engagement, and sickness absenteeism. Journal of

Organizational Behavior: The International Journal of Industrial, Occupational and Organizational Psychology and Behavior, 30(7), 893-917. https://doi.org/ 10.1002/job.595.

Soeroso, A. (2008). Sosiologi 1. Quadra.

Sonnentag, S., & Bayer, U.V. (2005). Switching off mentally: Predictors and consequences of psychological detachment from work during off-job time. Journal of Occupational

Health Psychology, 10(4), 394-414.

Sonnentag, S., & Fritz, C. (2007). The recovery experience questionnaire: Development and validation of a measure for assessing recuperation and unwinding from work. Journal of

Gambar

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian
Tabel 2. Deskripsi Data Penelitian
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas

Referensi

Dokumen terkait

penelitian menunjukkan bata ringan mengalami peningkatan kuat tekan hingga 3,11 MPa, namun pengaruh silika terhadap daya serap air tidak menunjukkan ada pengaruh

tidak tepat, karena anak dengan umur yang sama belum tentu berat badan sama dan LPT sama. o Perhitungan

dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Perkebunan

This is to be achieved by discussing, firstly, the rise of Big Data surrounding the renewable energy system, secondly, the identification of renewable energy sector as

Sekolah adalah ligkungan resmi yang menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis, bencana, sengaja dan terarah, yang dilakukan oleh pendidik yang

Menyadari persoalan posisi strategis pimpinan sekolah di Yayasan Tarakanita serta pentingnya memastikan engagement mereka terhadap organisasi, maka melakukan diagnosa

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif signifikan antara Adversity Quotient dan komitmen organisasi pada Supir Taksi

Menurut Wahyudin (Hulu, 2009:3) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut