BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Lokasi Penelitian
Pantai Boom yaitu pantai dimana berada pada Kelurahan Kampung Mandar, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Pantai seperti tepian perairan laut antara pasang dan surut sedangkan daratan pantai serta perairan di daerah itu masihlah dipengaruhi dari kegiatan darat ataupun laut disebut pesisir. Pantai Boom mempunyai banyak manfaat antara lain tempat wisata, permukiman dan tempat dari bermacam organisme pantai di darat maupun laut. Selain itu juga terdapat tempat penangkaran berupaya untuk melestarikan populasi penyu khususnya di Pantai Boom Banyuwangi menggunakan sarang semi alami sebagai media penetasan telur penyu (Samosir, Hernawati, Yudhana,
& Haditanojo, 2018).
Pantai Boom dimanfaatkan sebagai pendukung pariwisata. Salah satu konsep Marina sebagai penunjang kebutuhan prasarana pariwisata. Salah satu jenis pelabuhan yang memiliki berfungsi sebagai tempat bersandarnya kapal pesiar sebagai kawasan pariwisata yang disebut Marina. Namun, pengaruh dari berkembangnya sektor pariwisata yaitu pengaruh perubahan lingkungan dan ekologi (D. L. Putri, 2016).
Gambar 2.1 Peta Pantai Boom Banyuwangi (Sumber : Sumber Pribadi)
2.2 Fitoplankton
Fitoplankton dan zooplakton merupakan hewan berukuran mikroskopis yang melayang-layang di laut. Menurut (Imran, 2016) nama plakton berasal dari bahasa Yunani “planet” yang berarti penggembara atau menghayut mengikuti gelombang air atau arus.
Fitoplankton yaitu organisme perairan dimana menempatkan posisi selaku produsen primer didalam rantai makanan serta berdasar atas jaring-jaring makanan. Fitoplankton bisa berproses fotosintesis sebab mempunyai klorofil maka bisa melakukan penyerapan sinar matahari. Hasil atas fotosintesis fitoplankton seperti bahan organik disinilah yang termanfaatkan dari latva ikan, zooplankton, ataupun organisme selainnya dimana untuk sumber asupan makan secara alami (Andriani et al., 2017). Fitoplankton itupun yaitu organisme yang bisa digunakan indikasi biologi pada penentuan mutu perairan dengan pendekatan indikasi spesies ataupun keanekaragaman jenis. Dari sinipun sebab fitoplankton mempunyai siklus keberlangsungan kehidupan yang pendek serta mempunyai reaksi yang begitu cepat atas berubahnya lingkungan (Ramadhania et al., 2015).
Berlangsungnya kehidupan fitoplankton begitu tergantung didalam situasi kimia dan fisik perairannya. Kelimpahan yang tinggi tehadap fitoplankton secara umum didapati pada perairan area muara sungai ataupun pada perairan lepas pantai yang mana terjadinya air naik (up welling). Zona tempat disini terjadinya aktivitas penyuburan sebab terdapat zat-zat hara yang masuk dalam lingkungan itu (Sediadi et al., 1999). Dari sini terjadi sebab termasuki zat hara asalnya bermula dari darat yang memasuki daerah sungai hulu teralirkan ke laut.
Besarnya kelimpahan fitoplankton dari berbagai jenis bisa mengakibatkan blooming serta bisa terjadinya red tide dimana bisa berakibat kematian pada ikan ataupun hewan lainnya. Okaichi (2003) mengartikan red tide sebagai berubahnya warna perairan dimana diakibatkan dari plankton mikroskopik yang bisa berakibat hilangnya nyawa kehidupan terhadap ikan ataupun binatang lainnya. Kelimpahan fitoplankton disinilah dimanfaatkan guna penentuan nilai saprobitas pada daerah pantai dari mengamati nilai Tropik Saprobik Indeks (Sari
et al., 2014)
2.2.1 Fungsi Fitoplankton
Tumbuhan darat di laut fitoplankton fungsinya untuk tumbuhan yang memegang peranan begitu utama dan penting pada ekosistem perairan laut dimana untuk produsen primer didalam sistem rantai makanan. Abida (2010) berpendapat bahwa fitoplankton merupakan organisme yang sangat penting dibandingkan organisme lainnya di perairan karena memiliki beberapa sifat khas antara lain selain memiliki butir-butir zat hijau daun klorofil di dalam protoplastnya, juga sifat penyebarannya yang luas baik di perairan dangkal maupun di perairan laut dalam serta kecepatan pertumbuhan dan kelimpahan. Perairan tercemar dari zat- zat organik ataupun anorganik akan mengakibatkan kondisi sisa-sisa nutrien yang melampaui batas dari daratan. Sedangkan perairan yang tercemar oleh logam berat, zat-zat racun, limbah dan lain-lain akan menyebabkan penurunan populasi fitoplankton.
2.2.2 Struktur Komunitas Fitoplankton
Komunitas yaitu kumpulan spesies organisme dimana menempati area atau lokasi berlindung. Komunitas organisme yaitu sesuatu secara dinamis, yang mana dimana populasi yang terdapat didalamnya saling berinteraksi serta terjadinya beragam bentuk dari berbagai waktu. Berubah-ubahnya komunitas itu terjadi sebab pengaruh faktor lingkungan yang padat. Salah satunya faktor lingkungan berpengaruh atas berkembangnya komunitas fitoplankton (produksi, biomassa serta keragaman spesies) yaitu tersedianya asupan makan didalam perairan (Basmi, 2000).
Struktur komunitas yaitu sekumpulan bermacam jenis mikroorganisme yang interaksi pada area zona tertentu. Struktur komunitas dan dinamika kelimpahan fitoplankton utamanya terpengaruh dari faktor kimia terkhusus atas terjadinya
unsur hara beserta kemampuan fitoplankton guna pemanfaatnnya (Muharram, 2006). Komunitas terkendali dari spesies yang mendominasi menampakkan kemampuan spesies itu bersama spesies lainnya. Punahnya spesies yang tidak hanya didalam komunitas biotiknya sendiri hanya saja pada lingkungan fisik.
Azhari (2013) menyatakan bahwa ekosistem terjadinya transformasi dari setiap waktu tertentu. Berkembangnya ekosistem itu umumnya disebutkan dengan
”suksesi ekologi”. Suksesi didalam komunitas fitoplankton yaitu perubahan atas kombinasi spesies yang penyebabnya dari perbedaan laju pertumbuhan spesies yang menjadikan komunitas kian mengalami pertumbuhan.
Kelajuan pertumbuhan terkontrol dari faktor lingkungan maka variasi tumbuh kembang komunitas itu akan berpengaruh didalam peningkatan ataupun penyusutan laju suksesi atas komunitas fitoplankton. Kaitan dari komunitas fitoplankton dan perairan yaitu positif. Apabila kelimpahan fitoplankton pada perairan tinggi jadi bisa terduga perairan itu mempunyai tinggi prduktivitas perairannya (Andriani, 2007).
Jenis fitoplankton secara umum yang memiliki kuantitas besar dilaut yaitu diantom. Wulandari (2009) pula menyatakan bahwa fitoplankton dengan besar serta umumnya terjebak dari jaring plankton terbagi atas 2 pengelompokan besar ialah dinoflagellata dan diantom. Pada perairan Indonesia diatom umum ditemui baru selanjutnya Dinoflagellata. Menurut Azhari (2013), kelas Bacillariophyceae bisa beradaptasi lebih cepat menyesuaikan keadaan tempat hidupnya saat itu kelas disini sifatnya kosmopolitan beserta memiliki daya adaptasi dan toleransi yang besar sedangkan kelas Dinoflagellata (Dinophyceae) yaitu grup fitoplankton dimana begitu umum ditemui di laut sesudah diatom (Nontji, 2006).
2.2.3 Jenis-Jenis Fitoplankton 1. Kelas Bacillariophyceae
Bacillariophyceae yaitu kelas ataupun serangkaian fitoplankton umum ditemui pada bermacam perairan. Ukuran diantom secara umum yaitu kisaran 5 μm–2 mm. Berciri khusus pokonya yaitu mempunyai dinding sel dimana terkandung silikat serta jika Bacillariophyceae mengalami kematian, jadi cangkang itu akan tetap berwujud seutuhnya lalu terjadi endapan membentuk
sedimen. Secara umum Bacillariophyceae seperti sel tunggal bersifat soliter, hanya saja terdapat sejumlah yang hidupnya ikut keterkaitan lalu membuat suatu koloni contohnya rantai. Bacillariophyaceae mempunyai sel-sel yang berbentuk anekara ragam antara sesama spesiesnya serta mempunyai ukuran beraneka ragam pada satu spesies (Grahame, 1987; Nontji, 2008).
Bacillariophyceae dibagi atas 2 ordo yaitu pennate Bacillariophyceae (pennales) dan centric Bacillariophyceae (centrales). Bacillariophyceae penat (pennate) mempunyai karakteristik ialah secara umum berbentuk memanjang sel simetri bilateralnya ataupun berbentuk sigmoid contohnya seperti berbentuk huruf “S” sedang Bacillariophyceae sentrik (centric) mempunyai ciri khas ialah berbentuk sel simetri radial dari satu titik pusat (Nontji, 2008). Contohnya Bacillariophyceae sentrik serta Bacillariophyceae penat dimana umum terjumpai pada perairan Indonesia seperti pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Contoh Bacillariophyceae penat dan Bacillariophyceae sentrik (Sumber: Allen & Cupp, 1935 dalam Nontji, 2008)
2. Kelas Dinophyceae (Dinoflagellata)
Dinoflagellata yaitu golongan fitoplankton yang secara umum hidup di perairan setelah kelas Bacillariophyceae. Secara umum Dinoflagellata berukuran 5 - 200 μm (Kennish, 1990). Jenis kelas fitoplankton ini umumnya dijumpai pada perairan yaitu Dinophysis, Ceratium serta Peridium. Ciri-ciri atas kelas Dinoflagellata disini yaitu mempunyai sel tunggal, tidak bercangkang luar warnanya coklat muda, serta memiliki satu pasang flagellata dimana dimanfaatkan guna melaksanakan gerak didalam air (Nybakken, 2005).
Berbagai spesies atas kelas Dinoflagellata mempunyai bioluminescent maka bisa memancarkan kialu pada perairan saat malam harinya contohnya Noctiluca scintilans yang bisa memancarkan kilau sinar dengan warna seperti biru muda (Nontji, 2008). Dinoflagellata mempunyai ciri khas ialah terdapat alat gerak seperti flagela dimana berbentuk bulu cambuk sesuai cara hidup dan tempat flagela ini terbagi dari 2 golongan besar ialah Dinokontae dan Desmokontae. Golongan Dinokontae dari dua flagellanya memiliki letak titik secara beda ialah flagella longitudinal serta flagella transversal. Golongan Desmokontae didapati 2 flagella dimana seluruhnya bertampatan didalam ujung anteriol sel. Dinoflagellata dinding sel terbagi atas selulosa yang tebal dan kuat contohnya pelat-pelat perisai dimana sebagai perlindungan bagian dalamnya.
Pelat perisai disini yaitu sesuatu bagian yang begitu krusial guna aktivitas pengidentifikasian jenis Dinoflagellata (Nontji, 2008).
Bebrbagai jenis Dinoflagellata bisa membuat kista (cyst) lalu pada dasar perairan melakukan peristirahatan yang sangat lama. Sesudah melaksanakan peristirahatan yang sangat lama selanjutnya Dinoflagellata akan berkembang ulang bahkan hingga terjadinya perbanyakan populasi serta memunculkan permasalahan lingkungan. Berbagai spesies Dinoflagellata pun terdapat yang bisa mengeluarkan hasil toksin serta mengakibatkan hidup organisme lainnya akan ikut mati, hanya saja terdapat beberapa spesies Dinoflagella dimana memiliki peran penting untuk perikanan, sebab merupakan makan untuk banyaknya jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis (Nontji, 2008). Sebagai contohnya Dinoflagellata secara umum diketahui pada peraian Indonesia Indonesia disajikan dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Beberapa Contoh Dinoflagellata (Sumber: Nontji, 2008)
3. Kelas CyanopHyceae (Alga Hijau Biru)
Kelompok kelas Cyanophyceae mempunyai ciri-ciri khusus ialah terdapat zat bewarna hiaju kebiruan (Cyanophysin) ataupun umumnya disebutkan pigmen fikosianin. Cyanophyceae tidaklah mempunyai flagella untuk menjadi alat geraknya maka ia hanya bisa meluncurkan tubuhnya sebagai pergerakannya (Kabinawa, 2006). Secara umum karakteristik jenis kelas ini yaitu sel bentuknya bola ataupun silinder yang berukuran 0,2-2 μm. Cyanophyceae bisa teleransi jika bersuhu sangat tinggi lebih dari 30° dibanding suhu didalam kelompok diantom dan Chlorophyceae (Effendi, 2003).
Kelas Cyanophyceae ataupun umumnya disebutkan kelompok alga hijau biru secara umum pada perairan pantai tropis dangkal hanya saja mempunyai kelimpahan rendah (Kennish, 1990). Semua Cyanophyceae terbagi atas 7 familia ialah Scytonemacea, Oscillatoriaceae, Chroococacae, Notohopsidae, Stegionemataceae, Rivulariaceae, Nostoccacae serta sctonemacae (Nybakken, 2005).
4. Kelas Chlorophyceae
Chlorophyceae secara umum berkehidupan pada air tawar dengan fitoplankton berjenis ini yaitu terbanyak ditemui pada perairan tawar Indonesia, hanya saja terdapat pula yang berkehidupan pada air asin dan payau.
Chlorophyceae mempunyai kloroplas warnanya hijau terkandung pigmen klorofi a dan b serta karotenoid. Pigmen yang terbanyak ditemui ialah pigmen klorofil a yang mengakibatkan alga disini warnanya hijau dominan. Chlorohyceae mempunyai cadangan asupan nutrisi didalam pirenoid dengan dinding sel terbagi atas selulosa (Effendi, 2003).
5. Kelas Euglenophyceae
Euglenophyceae yaitu organisme sel satu, mempunyai klorofil yang bisa melaksanakan aktivitas fotosintesis secara umum kehidupan pada air tawar yang sangat banyak akan bahan organik. Permukaan air tenang terdapat berbagai generasi pada kelompok disini bisa membuat kista dengan tertutup semua permukaan perairan berwarna kuning, merah, hijau ataupun tiga itu digabung (Wetzel & Likens, 1979). Euglenophyceae mempunyai bentuk sel oval memanjang serta mempunyai bintik mata sensitif ataupun peka kepada sinar cahaya yang didapati pada bagian atas tubuh.
Euglenophyceae mempunyai peran penting pada perairan yaitu untuk produsen primer air tawar serta untuk indikasi pencemaran organik. Ada pula spesies dimana masuk kategori kelas Euglenophyceae yang secara umum diketahui pada perairan Indonesia ialah E. Dese, E. Flagallaria, E. Acus, E.
Viridis dan E. Sanguines.
6. Kelas Crysophyceae
Kelas Crysophyceae meliputi satu sel, mempunyai alat gerak satu ataupun dua flagella yang secara umum mempunyai diameter dibawah 30 μm.
Banyaknya atas sepesies kelas disini termasuk tumbuhan fotosintesis serta ada juga yang termasuk heterotrop (Kennish, 1990).
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Fitoplankton 2.3.1 Parameter Fisika
a. Temperatur
Temperatur yaitu suatu benda yang memuat kandungan kapasitas panas (Sutisna & Sutarmanto, 2015). Temperatur ataupun suhu begitu penting atas kehidupan organisme yang terdapat didalam perairan. Berubahnya temperatur air sangatlah berpengaruh aktivitas biologi, fisik dan kima didalam air.
Temperatur didalam air begitu berpengaruh dari lamanya sinar cahaya matahri pada air itu. Bertambah tingginya intesistas cahaya yang memasuki air, jadi kian tinggi juga keadaan temperatur pada perairan itu. Keterserapan sinar matahari yang memasuki air akan berubah menjadi energi panas (Effendi, 2003).
Suhu akan berpengaruh didalam aktivitas biokimia pada perairan baik terpengaruh dengan langsung atau tidak langsung. Pengaruh suhu langsung ialah memiliki peran penting guna pengontrolan reaksi kimia enzimatik pada aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Semakin tinggi suhu akan bisa mengakibatkan laju maksimal fotosintesis tumbuhan air, sementara pengaruh suhu dengan tidak langsung yaitu bisa berubahnya susunan hidrologi pada perairan yang bisa memberi dampak pada distribusi fitoplankton. Suhu maksimum guna kehidupan fitoplankton didalam perairan diarea tropis yaitu kisaran dari 25 – 32ºC (Aryawati, 2007).
b. Kecerahan Air
Kecerahan air begitu berkaitan dengan terdapatnya radiasi matahari pada badan air (Sutisna & Sutarmanto, 2015). Kecerahan yaitu perairan yang mempunyai ukuran transparasi, dimana ditetapkan dengan penglihatan di visual dengan memanfaatkan peralatan secchi disk. Nilai yang dipaparkan dari alat secci disk disini begitu terpengaruhi dari kondisi cuaca, waktu saat mengukur, banyak ataukah tidak padatan serta kekeruhan air, dan banyak tidaknya padatan ataupun partikel tersuspensi yang terdapat didalam air, bersrta telitinya sesorang itu dalam mengukur melalui memanfaatkan alat secchi disk ini (Effendi, 2003).
Nilai kecerahan air disini dimanfaatkan guna mencari seberapa dalam cahaya matahari bisa tembus ke lapisan perairan, disini terdapat kaitannya
terhadap aktivitas fotosintesis. Batasan terakhir sinar matahari yang bisa tembus peraiaran dinamai titik kompensasi cahaya, yaitu titik didalam pelapisan air yang mana cahaya matahari terletak didalam nilai maksimum yang akan mengakibatkan terjadinya kestabilan proses respirasi dan asimilasi. Cahaya memiliki maka penting dan faktor pokok didalam memberikan pengaruh kelangsungan hidup fitoplankton, utamanya pada kelancaran aktivitas fotosintesis (Aryawati, 2007).
2.3.2 Parameter Kimia
a. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut (DO) yaitu jumlah dari sesuatu gas oksigen yang larut dalam perairan. Oksigen yang larut pada perairan yang diperlukan dari seluruh organisme guna melaksanakan respirasi, aktivitas metabolisme ataupun pertukaran zat yang akan mengeluarkan hasil energi agar tumbuh dan berkembang (Salmin, 2005). Oksigen yang larut pada perairan umumnya asalnya dari hasil aktivitas fotosintesis yang berkontak langsung dari permukaan udara dan air (Eaton, Lenore, Eugene, Arnold, & Mary, 2005).
Hilangnya oksigen yang larut dalam perairan dengan alamiah berdasarkan dari menguapnya atmosfer, terdapat kegiatan respirasi yang dilaksanakan organisme air, naiknya suhu, mengurainya bahan organik serta aliran air yang masuk kedalam bwah tanah rendah akan oksigen. Fitoplankton yang bertolenransi pada oksigen yang larut akan tidak sama. Terlarutnya oksigen pada perairan tawar umumnya 8 mg/l didalam temperatur 25oC yang secara umum kadar oksigen laut pada perairan alami yaitu dibawah 10 mg/l (Effendi, 2003).
Mengukur oksigen terlarut (DO) bisa dilaksanakan memalalui dua metode ialah metode elektrokimia ataupun metode langsung mempergunakan DO meter serta titrasi menggunakan metode Winkler (Salmin, 2005).
b. pH
pH (derajat keasaman) ialah logaritma negatif yang berasal dari terlepasnya konsentrasi ion-ion hidrogen pada zat cair yang selanjutnya bisa
penggambaran kebebasan atau keasaman air. Derajat keasaman ternyatakan pada angka dari 1 – 14. Hal disini aspek yang terukur ialah kesanggupan larutan air didalam memberi ion hidrogen (Sutisna & Sutarmanto, 2015). pH perairan termasuk faktor kimia yang cukup krusial didalam pengontrolan perairan agar stabil (Simanjuntak, 2009). Nilai pH yang beda didalam sebuah perairan begitu berpengaruh biota akuatik. Rendah tingginya nilai pH pun begitu ditentukan dari pendominasian ataupun keberadaan fitoplankton yang kemudian berpengaruh tingkat produktivitas primer perairan (Megawati, 2014).
Kenormalan pH air ialah dengan nilai dari 6 hingga 8, sementara pH air yang mengandung bahan kimia contohnya penyebab dari limbah cair akan memberikan nilai yang berbeda bergantung didalam jenis limbah serta cara mengolah limbahnya sebelum terbuang. Kedaan perairan yang sifatnya begitu asam ataupun begitu basa bisa memberikan bahaya pada kehidupan organisme sebab akan mengakibatkan kejadian terganganggunya aktivitas respirasi serta biokimia metabolisme tubuh. pH yang begitu rendahpun akan menyebabkan mobilitas bermacam senyawa logam berat yang mempunyai sifat toksin yang sangat berbahaya maka akan memberikan ancaman pada keberlangsungan hidup organisme. Tingginya pH akan menyebabkan gangguan didalam kestabilan daintara amoniak dan amonium pada kolom air maka bisa jadi mengalami peningkatan konsentrasi amoniak yang sifatnya racun untuk keberlangsungan kehidupan organisme (Simanjuntak, 2009).
c. Salinitas
Salinitas yaitu tingkat keasinan ataupun kadar garam dimana larut pada air, bisa disebut pula kuanitiatas garam yang terlarut dalam tiap liter larutan.
Salinitas ternyatakan pada satuan 0/00 (ppt / parts per thounsand). Air laut yang memiliki berat 1000 gram yang terkandung 35 gram senyawa-senyawa larut dari salinitas 350/00 (Kusdiantoro, Rozeff, & Deny, 2013). Selain itu, salinitas yang begitu memberikan pengaruh terhadap kehidupan plankton di laut. Variasi salinitas berpengaruh kepada laju fotosintesis utamanya pada area esturasi terkhusus didalam fitoplankton yang dapat bertahan didalam batas-batas salinitas yang rendah (Pratama, Surbakt, & Agustriani, 2018).
2.4 Indeks Saprobitas Fitoplankton
Kolenati (1848) dan Cohn (1853), keduanya dalam Persoone dan Pauw (1978), menjelaskan bahwa bermacam organisme memberi gambaran kaitan dari kelompok polusi pada mutu perairan yaitu organisme yang ditemui di air yang memiliki populasi yang berbeda dari organisme yang ditemui pada air bersih. Hal ini menegaskan bahwa apabila tidak ada perlakuan yang benar terhadap sampah yang masuk ke badan air, maka hal tersebut akan menambah besarnya polusi air tersebut.
Mez (1898) mengemukakan tentang analisis mikroskopis air, dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
1. Organisme yang ditemui pada perairan yang sangat bersih/murni (pure water).
2. Organisme yang ditemui pada perairan yang tercemar ringan.
3. Organisme yang ditemui pada perairan yang tercemar agak berat, dan 4. Organisme yang ditemui pada perairan yang tercemar berat.
Kolwitz dan Marsoon (1902), membuat definisi dari konsep indikator biologis pencemaran yang dikenal sebagai sistem indeks saprobik. Sistem ini berdasarkan perbedaan zona, dimana di tiap zona dicirikan oleh spesies tanaman maupun hewan tertentu. Konsep ini berdasarkan penemuan tumbuhan dan hewan tersebut, ketika kotoran atau sampah-sampah organik yang dapat membusuk masuk ke perairan tersebut. Ini merupakan serentetan peristiwa yang ditentukan oleh jarak dan waktu. Dimana kondisi lingkungan tersebut menghasilkan lingkungan yang berbeda dan menghasilkan komunitas akuatik yang berbeda juga.
Saprobitas perairan yaitu kondisi mutu air yang disebabkan munculnya pertambahan bahan organik pada sebuah perairan yang umumnya indikasi yaitu kuantitas penyusun organisme pada perairan itu. Sebagaimana pandangan Anggoro (1988) tingkatan indeks saprobik akan memberikan konsentrasi pencemaran yang timbul pada perairan lalu akan dipaparkan dari semakin banyaknya jasad renik yang tercemar. Parsoone dan De Pauw (1979) dalam
Anggoro (1988) menjelaskan tingkat saprobitas berdasarkan pada karakteristik struktur komunitas yang pembagiannya atas 4 tingkat yaitu didalam Tabel 1.
Tabel 2.1. Indeks Saprobik Berdasarkan pada Ciri Struktur Komunitas
No. Tingkat Saprobitas Ciri Struktur Komunitas 1. Polisarprobik Organisme produsen sangat rendah
Organisme kemolotropik dan produsen primer rendah 2. α – Mesosaprobik Jumlah produsen mulai menurun
Muncul fitoplankton yang terdiri dari diatom
Cyanopiceace dan Blue Green Algae
3. β- Mesosaprobik Jumlah organisme produsen, konsumen dan dekomposer seimbang
Struktur komunitas organisme melimpah
Dalam jenis dan jumlah spesies
Oksidasi dengan reduksi seimbang
4. Oligosarprobik Jumlah organisme produsen, konsumen dan dekompose seimbang
Struktur komunitas organisme sangat melimpah dalam jenis dan jumlah spesies
Variasi jenis rendah dan di dominasi jenis kecil
Organisme sensitif tipe tropHik dan kemolitropHik (produsen primer lebih besar dari konsumen dan dekomposer)
(Parsoone dan De Pauw 1979)
Tingkatan saprobitas perairan penentunya disesuaikan, Tropik Saprobik Indeks (TSI) dan nilai Saprobik indeks (SI) (Lee et al., (1987) dan Knobs (1978) dalam Anggoro (1988).
Bahan pencemar dengan indeks saprobitas bisa terhubung didalam tingkatan pencemaran perairan (Suwondo et al, 2004). Interpretasi indeks saprobitas terhadap pada setiap tingkatan pencemaran itu bisa diartikan dengan Tabel 2.
Tabel 2.2. Hubungan Antara Indeks Saprobitas Perairan dengan Tingkat Pencemaran
Bahan Pencemar Tingkat Pencemar Tingkat Saprobitas Indeks Saprobitas Bahan organik Sangat berat Poli Saprobik -3,0 s/d -2,0
Cukup berat Poli/α-mesosaprobik α- meso/poli saprobik α- mesosaprobik
-2,0 s/d -1,5 -1,5 s/d 1,0 -1,0 s/d -0,5 Bahan organik dan anorganik Sedang α/β – mesosaprobik
β/α – mesosaprobik
-0,5 s/d 0,0 0,0 s/d 0,5 Ringan β – mesosaprobik
β- meso/poli saprobik
0,5 s/d 1,0 1,0 s/d 1,5 Bahan organik dan anorganik Sangat ringan Oligo/β –
mesosaprbik Oligo saprobik
1,5 s/d 2,0 2,0 s/d 3,0
(Suwondo, 2004).
Organisme renik pada perairan terbagi atas bermacam jenis plankton ataupun algae yang mempunyai karakteristik secara khas maka bisa jadi kehidupan didalam lingkungan tertentu. Jenis organisme saprobitas yang berbeda didalam lingkungan tercemar akan sangat beda antara sesamanya. Kondisi disini berpengaruh dari keadaan lingkungan pada perairan itu (Basmi, 2000). Menurut Liebmann (1962) dalam Basmi (2000) bahwa berdasar organisme penyusun, jadi tingkatan saprobitas bisa terbagi atas 4 pengelompokkan bisa dilihat dari Tabel 3.
Tabel 2.3. Organisme Penyusun Kelompok Saprobitas
(Dresscher & Van Der MARK dalam Dauhari, 1995) 2.5 Sumber Belajar Biologi
2.5.1 Pengertian Sumber Belajar
Sumber belajar yaitu sesuatu dimana bisa memberi jalan keluar untuk siswa pada aktivitas pembelajaran guna mendapati bermacam keterampilan, pengetahuan, informasi serta pengalaman (Munajah & Susilo, 2015). Siswa belajar secara mendasar agar dapat memperoleh keterampilan dan wawasan pada waktu kapapun dimana saja beserta dengan apapun sebab sumber belajar diperoleh dari mana saja dan mempunyai bermacam ragam jenis. Interaksi yang
Kelompok Saprobitas Organisme penyusun
Polisaprobik Ciliata
α- Mesosaprbik Euglenaphyta
β – Mesosaprobik Chlorococcales Diantome
Oligosaprobik Peridiniidae Conjugales
terjadi bukan hanya dari pihak tenaga pendidik yang menjadi salah satu sumbernya, hanya saja tercakup interaksi siswa dan suber belajar jadi akan begitu berpengaruh pada hasil belajar. Hasil belajar kelak akan memberikan hasil yang bergitu berbeda jauh dimana siswa tersebut mempunyai intensitas rendah dalam penggunaan sumber belajar dan sementara siswa yang mempunyai intensitas tinggi dalam penggunaan sumber (Supriadi, 2015).
Suhardi (2012) mengartikan bahwa sumber belajar biologi yaitu semua hal baik itu gejala atau benda yang bisa dimanfaatkan guna memperoleh penggalaman guna pemecahan atau penyelesaian persoalan biologi tertentu. Pemanfaatan sumber belajar biologi pada aktivitas belajar mengajar mempunyai berbagai fungsi dan mafaat dimana bisa terealisasikan contohnya memberikan pengalaman yang realitas dengan langsung, menambahkan serta memperlebar penyajian materi yang terdapat pada kelas disaat belajar mengajar, bisa memberikan dorongan siswa agar bersedia belajar, memberikan informasi yang jelas, menolong penyelesaiannya kendala pembelajaran baik pada lingkup besar atau kecil dan penstimulusan siswa guna melakukan pemikiran kritis, berperilaku dan berkembang secara berkelanjutan. Sumber belajar biologi pada aktivitas belajar mengajar bisa didapati di sekolah ataupun pada luar sekolah. Sumber belajar biologi tidaklah bisa ditafsirkan sebagai upaya pendukung untuk guru yang sifatnya pasif kecuali memberikan dukungan, akomodasi, penunjang dan memperingan siswa untuk belajar apabila diperlukan siswa bisa berinteraksi secara pribadi menggunakan media serta bisa dengan kelompok bersama sekumpulan denga temannya di kelas (Jailani & Hamid, 2016). Didapati 6 syarat suatu penelitian dikembangkan untuk sumber belajar yaitu :
1. Kejelasan pedoman eksplorasi kejelasan perolehan yang dicapai.
2. Kejelasan informasi yang diungkap.
3. Kejelasan potensi (ketersediaan objek permasalahan).
4. Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran.
5. Kejelasan sasaran materi dan peruntukannya (Djohar (1987) ; Suhardi (2012)
2.5.2 Fungsi Sumber Belajar
Sumber belajar mempunyai bermacam-macam fungsi dan peranan antara lain :
1. Peningkatan produktivitas pendidikan melalui jalan meringankan pendidik dalam pemanfaatan waktu secara efektif dan baik, peningkatan laju pembelajaran sacara lancar dan berkurangnya beban pendidik untuk tersajinya informasi sehingga lebih banyak kesempatan pada terbinanya dan berkembangnya keinginan belajar.
2. Memberikan kemungkinan pendidikan yang bersifat individual dengan jalan berkurangnya fungsi kontrol pendidik yang bersifat kaku secara tradisional, memberi kesempatan untuk siswa guna pengembang disesuaikan atas kemampuan dan potensi.
3. Memberikan dasar pembelajaran yang ilmiah dengan jalan perencanaan program pendidikan dengan lebih sistematis, pengembangan bahan belajar dengan usha penelitian lebih dulu.
4. Peningkatan pemantapan pembelajaran dengan jalan peningkatan kemampuan manusia dengan bermacam media komunikasi dan penyajian informasi ataupun data dengan lebih mudah, jelas dan konkrit.
Semua fungsi dan peranan sumber belajar di atas, jadi bisa disampaikan bahwa dengan sumber belajar akan melakukan peningkatan produktivitas pembelajaran baik pendidik ataupun siswa, motivasi dan ketertariakn belajar, ketutantasan belajar yang maksimum sebab fokus didalam belajar dengan individual, pengelolaan pembelajaran dengan sitematis (S, 2019).
2.5.3 Pemanfaatan Sumber Belajar
Proses dan hasil penelitian segera menjadi sesuatu yang jelas, ialah bisa termanfaatkan untuk sumber belajar sehingga diperlukan pertimbangan pemaknaan penelitian untuk sumber belajar penelitian. Sumber belajar bisa dilihat atas dua segi yaitu aktivitas dan produk. Syarat pemanfaatan sumber
belajar yaitu :
1. Kejelasan potensinya.
2. Kejelasan sasaranya.
3. Kesesuaiannya dengan tujuan belajar.
4. Kejelasan informasi yang diungkapkan.
5. kejelasan pedoman eksplorasinya, dan kejelasan perolehan yang diharapkan.
Analisis Struktur Komunitas Fitoplankton Sebagai Bioindikator Kualitas Air Di Perairan Pantai Boom Kabupaten Banyuwangi dapat berkaitan dengan materi yang diajarkan di SMA kelas X semester 2 pencemaran lingkungan KD 3.11 menganalisis data perubahan lingkungan, penyebab dan dampaknya bagi kehidupan. Hal ini sesuai dengan penelitian analisis fitoplankton sebagai bioindikator saprobitas kualitas perairan pada pantai.
2.6 Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang analisis fitoplankton sebagai bioindikator saprobitas kualitas perairan pantai di Jawa Timur. Penelitian (Kurniawan, 2011) bahwa hasil penelitian menunjukkan nilai indeks keanekaragaman shannon adalah : 0,60796, 1.17653, 2.25307, 0.54356. Nilai disini menunjukkan pencemaran air pada area PPI Kalimoro, Muara Kalimoro dan Pantai Kayuaking Kabupaten Banyuwangi sudah terjadi pencemaran atas tingkatan sedang hingga tingkatan berat. Selain itu pada penelitian (Sukardi & Arisandi, 2020) jenis kelimpahan fitoplankton dari 4 kelas yaitu kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae, Chlorophyceae dan Dinophyceae. Empat kelas itu yang paling banyak menjadi dominasi yaitu kelas Bacillariophyceae dan Dinophyceae. Kelimpahan Fitoplankton perairan Kamal rata-rata 12208,33 ind/l dimana masuk pengkategorian perairan mesotrofik (kurang subur untuk fitoplankton) dan Sepulu 18416,67 ind/l yang berarti dikategorikan perairan eutrofik (perairan subur untuk fitoplankton) yang memberi kelimpahan lebih tinggi di Perairan Sepulu daripada Perairan Kamal. Kualitas Perairan Bangkalan di Perairan Kamal kecenderungan kurang subur.
Penelitian mengenai struktur komunitas plankton perairan yang diobservasi
(Sartimbul et al., 2017) pada kondisi subur dengan kelimpahan fitoplakton sebesar 49.764 sel/m³, dominasi genus Chaetoceros sp. (Bacillariophyceae) dan kelimpahan zooplankton 894 ind/m³, dominasi genus Nauplius sp. (Copepoda).
Demikian halnya dengan kondisi perairan yang secara ekologis berada pada kondisi yang cukup stabil. Penelitian yang dilakukan oleh (Arifin & Arisandi, 2020) diperoleh tiga kelas fitoplankton yang ditemui dengan total 21 genus.Total kepadatan fitoplankton pada stasiun 1 (titik A 4.125 sel/l, titik B 2.750 sel/l dan titik C 3.125 sel/l) dan stasiun 2 (titik D 2.500 sel/l, titik E 2.625 sel/l dan titik F 2.250 sel/l) masuk dalam kategori mesotrofik (kurang subur untuk fitoplankton).
2.7 Kerangka Konseptual
Gambar 2.4 Kerangka Konseptual