• Tidak ada hasil yang ditemukan

ENGLONESIAN Jurnal Ilmiah Linguistik dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ENGLONESIAN Jurnal Ilmiah Linguistik dan"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 1, Nomor 2, November 2005 ISSN 1858-3296

ENGLONESIAN

Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra

An Indonesian Scientific Journal on Linguistics and Literature

Daftar Isi i

Kata Pengantar ii

Kata Sambutan iii

Kacukan Bahasa Regional Sempadan Selatan Thailand: Produk Kontak Bahasa Antara Penutur Melayu dan Thai

Paitoon M. Chaiyanara 1 - 6

The Untranslatability of Texts: Highlighting Some Basic Contrasts Between English and Indonesian

Syahron Lubis 7 - 18

Metafora dan Metonimi Konseptual (Data Bahasa Mandailing)

Namsyah Hot Hasibuan 19 - 37

Bahasa dan Komunikasi: Suatu Tinjauan Sosio-Psikolinguistik

Eddy Setia 38 - 52

Beberapa Pandangan Linguistik Dalam Proses dan Problema Translasi

Deliana 53 - 58

Realitas Ungkapan Bahasa dalam Konteks Filsafat Bahasa: Sebuah Tafsiran

Swesana Mardiah Lubis 59 - 63

Bahasa dalam Karya Ilmiah

Hartisari 64 - 68

Proses Penerjemahan Melalui Analisa Fungsional

Matius C. A. Sembiring 69 - 72

The Place of Linguistics and Applied Linguistics in Language Teacher Education

Chairul Husni 64 - 68

Penggunaan Kohesi dalam Translasi

Masdiana Lubis 69 - 72

Sekilas Tentang Penulis 73

(2)

ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra merupakan suatu perwujudan dari keinginan para staf pengajar Departemen Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, yang telah dicanangkan sejak beberapa dekade yang lalu dan secara resmi didirikan pada tanggal 2 Mei 2005 bertepatan dengan hari Pendidikan Nasional dan juga dalam kaitannya dengan perayaan Lustrum ke VIII (40 tahun) Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun tujuan dari penerbitan ENGLONESIAN ini adalah untuk mendorong para staf pengajar untuk menyalurkan aspirasi keilmiahan mereka dalam berbagai bentuk informasi ilmiah berupa analisis, kajian pustaka, atau hasil-hasil penelitian ilmiah dari dua domain kebahasaan yang ada dan bersifat interdisipliner, yaitu linguistik (micro/pure linguistics

dan macro/applied linguistics) dan sastra (literature). Edisi perdana ENGLONESIAN ini

diterbitkan pada bulan Mei 2005 dan direncanakan dua kali setahun tiap bulan Mei dan November.

Volume 1, Nomor 1, Mei 2005 ini, menerbitkan 8 buah artikel ilmiah; 4 artikel meliputi bidang micro linguistics, 3 artikel meliputi bidang macro linguistics, 1 artikel

yang berkaitan dengan bidang literature—yang semuanya merupakan satu kesatuan

yang membentuk dan mendorong lahirnya edisi perdana ENGLONESIAN ini. Tulisan dari Katharina Endriati Sukamto yang berjudul Fungsi Itu Pada Awal Unit Tuturan mengawali tulisan dalam jurnal ini. Disusul oleh tulisan Roswita Silalahi, dengan judul Makna dan Konteks Dalam Bahasa Batak Toba. Kemudian, berturut-turut, tulisan Eddy Setia yang berjudul Semantik dan Leksikografi Dalam Perkamusan, yang disusul oleh Tengku Thyrhaya Zein Sinar, dengan judul tulisan Pemeran Serta Semantik Dalam Bahasa Melayu, dan seterusnya, Yulianus Harefa dengan judul Aktivitas Kelas yang Dapat Memperbaiki Kecepatan Membaca Dalam Pemerolehan Bahasa Inggris. Selanjutnya, Ridwan Hanafiah dengan tulisan Antropologi Linguistik: Suatu Pengenalan Dasar, dan Chairul Husni, dengan tulisan berjudul Comparing First and Second Language Acquisition. Akhirnya, ENGLONESIAN ini, ditutup oleh Razali Kasim, dengan judul tulisan Tragedy and Moral Lessons.

Dengan diterbitkannya ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra ini, diharapkan dapat memacu prestasi serta keinginan menulis para staf pengajar di Departemen Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara secara khusus, serta para teman sejawat dari departemen sejenis di berbagai universitas (PTN/PTS) , akademi, maupun sekolah tinggi bahasa asing yang tersebar di seluruh Indonesia maupun di seluruh dunia, secara umum. Tulisan ilmiah (dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris) dan kontribusi serta saran-saran dari Anda senantiasa kami tunggu demi kelangsungan hidup ENGLONESIAN yang kita cintai ini.

Medan, Mei 2005

(3)

Sambutan Ketua Departemen Sastra Inggris Fakultas Sastra Univesitas Sumatera Utara

Kehadiran ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra yang dikelola oleh Departemen Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan terutama bila dilihat dari segi peningkatan mutu akademik dosen dan penyebarluasan hasil-hasil analisis, kajian kepustakaan, dan penelitian ilmiah. Kami berharap agar pengelola ENGLONESIAN tidak cepat merasa puas dengan terbitan perdana jurnal ini, akan tetapi diharapkan untuk terus meningkatkan mutu dari jurnal ini sehingga pada waktunya, ENGLONESIAN ini dapat menjadi salah satu jurnal nasional terakreditasi bahkan menjadi salah satu jurnal yang dapat digunakan sebagai referensi oleh para peminat bahasa, baik dalam maupun luar negeri. Berkaitan dengan misinya ini, maka kepada para pengelola diharapkan kiranya dapat selalu memperhatikan beberapa standar kriteria terbaru untuk jurnal terakreditasi sesuai dengan Pedoman Penampilan Majalah Ilmiah Indonesia yang dikeluarkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Mengelola jurnal ilmiah, bukanlah suatu hal yang mudah karena hal ini harus dibarengi dengan keseriusan para pengelolanya terutama dalam hal menyeleksi dan menyajikan artikel/tulisan yang sesuai dengan standar kriteria yang telah ditentukan oleh otoritas LIPI. Oleh karena itu, para pengelola diminta untuk terus-menerus memperluas jaringan pembacanya agar dapat diakses oleh para insan akademis yang tersebar di PTN/PTS seluruh Indonesia maupun luar negeri. Kami juga mengundang para teman sejawat di lingkungan Fakultas Sastra USU maupun para teman pemerhati masalah linguistik dan sastra di seluruh Indonesia maupun luar negeri, untuk mengirimkan artikel berupa hasil analisis, kajian kepustakaan, dan hasil-hasil penelitian ilmiah lainnya sekaligus juga untuk membantu dalam pendistribusian jurnal ini.

Last but not least, kami mengucapkan selamat kepada para teman sejawat di

Departemen Sastra Inggris Fakultas Sastra USU atas terbitnya ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra. Semoga jurnal ini dapat terus terbit sesuai jadwal, dan terus berusaha meningkatkan kualitasnya sesuai dengan standar kriteria sebuah majalah ilmiah yang terakreditasi.

(4)

Sambutan Dekan Fakultas Sastra Univesitas Sumatera Utara

Dalam rangka meningkatkan mutu akademik dosen dan diseminasi hasil penelitian, kehadiran ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra yang dikelola oleh Departemen Sastra Inggris Fakultas Sastra USU sangat menggembirakan kami. Kami berharap kiranya pengelola ENGLONESIAN tidak cepat merasa puas dengan penerbitan perdana ini, tetapi tetap konsisten untuk lebih memperjuangkannya sebagai salah satu jurnal nasional yang terakreditasi atau bahkan menjadi jurnal internasional yang berkualitas. Oleh sebab itu, para pengelola ENGLONESIAN kiranya dapat memperhatikan berbagai komponen evaluasi untuk jurnal terakreditasi seperti kepakaran dewan penyunting, kemantapan penampilan sesuai dengan Pedoman Penampilan Majalah Ilmiah Indonesia (PDII-LIPI 2004: 27), gaya penulisan, substansi, keberkalaan, dan kewajiban pascaterbit yang sudah lazim.

Ketersediaan naskah yang layak muat serta dana biasanya merupakan kendala utama dalam penerbitan jurnal secara teratur. Oleh karena itu, para pengelola ENGLONESIAN hendaknya dapat memperluas jaringan pembacanya agar dapat diakses oleh para rekan akademisi dari perguruan tinggi negeri maupun swasta, baik dalam maupun luar negeri. Kami juga menghimbau sekaligus mengajak para teman sejawat di lingkungan Fakultas Sastra USU maupun para rekan dari departemen sejenis di luar USU atau juga para peminat linguistik dan sastra dari berbagai pusat pelatihan dan pengembangan bahasa untuk melanggani ENGLONESIAN ini dan mengirimkan artikel hasil penelitian atau hasil pemikiran konseptual di samping membantu mensosialisasikan jurnal ini.

Akhirnya, kami ucapkan selamat kepada para teman sejawat di Departemen Sastra Inggris Fakultas Sastra USU atas terbitnya jurnal ENGLONESIAN ini. Semoga jurnal ini dapat terus terbit secara berkala dan meningkatkan mutunya, sehingga pada waktunya ENGLONESIAN ini dapat menjadi sebuah jurnal yang bermutu dan terakreditasi.

(5)

KACUKAN BAHASA REGIONAL SEMPADAN SELATAN THAILAND:

PRODUK KONTAK BAHASA ANTARA PENUTUR MELAYU DAN THAI

1

Paitoon M. Chaiyanara

Universiti Teknologi Nanyang, Singapura

1. PENDAHULUAN1

Di Selatan Thailand, bahasa Melayu dapat diiktirafkan sebagai bahasa regional sempadan (marginal regional language). Fenomena seperti percanpuran bahasa (language mixing), alih bahasa (language switching), peminjaman bahasa (linguistic borrowing) dan gangguan bahasa (linguistic interference) masing-masing mempengaruhi kedua-dua bahasa antara satu sama lain. Kontak bahasa sedemikian telah mencetus-kan perubahan bahasa dalam masyarakat berkenaan dan akhirnya telah menghasilkan bahasa kacukan Melayu dan Thai di Selatan Thailand. Didapati dua dimensi perubahan iaitu dimensi lencongan bahasa (linguistic divergence) dan dimensi pertembungan bahasa (linguistic convergence) berlaku ke atas dua bahasa tersebut. Fenomena lencongan dan pertembungan bahasa tersebut telah menjejas saling pengertian (mutual intelligibility) struktur bahasa antara penutur di Selatan Thailand dan penutur di Utara Malaysia. Dengan kenyataan di atas, kertas kerja ini akan membincangkan struktur bahasa kacukan di Selatan Thailand yang memberi tumpuan kepada sistem bunyi dan perbendaharaan kata akibat

1

Kertas kerja untuk “Seminar Kacukan Bahasa dan Bahasa Kacukan di Malaysia” anjuran bersama Bahagian Bahasa Malaysia, Terjemahan dan Interpretasi (BMBATI), Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang & Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 17 September 2005 bertempat di Dewan Kuliah A/Dewan Persidangan Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia.

kepelbagaian, pergeseran dan perkembangan bahasa berkenaan.

2. HIERARKHI BAHASA DI

THAILAND

Berdasarkan hieraki sosial, bahasa ibunda di negara Thailand dapat di bahagikan kepada 7 jenis iaitu (i) bahasa Thai standard, (ii) bahasa regional (regional languages), (iii) bahasa regional sempadan (marginal regional languages), (iv) bahasa anjakan (displaced languages), (v) bahasa pekan dan bandar (languages of towns and cities), (vi) bahasa sempadan (marginal languages) dan (vii) bahasa dalam lingkungan (enclave languages). Secara ringkas, ketujuh-tujuh bahasa ibunda tersebut dapat dijelaskan seperti berikut:-

2.1 Bahasa Thai Standard

Bahasa Thai standard merupakan bahasa yang paling penting dalam masyarakat Thai. Ia berfungsi sebagai bahasa rasmi, bahasa kebangsaan, bahasa ibu kota, bahasa pendidikan dan bahasa kesusasteraan. Kebanyakan orang Thai dapat memahami bahasa Thai standard. Dengan ini, ia juga berfungsi sebagai bahasa lingua franca antara kaum di Negara Thai dan dianggap sebagai bahasa tinggi (prestige language) yang dapat dihierarki ke tahap yang paling tinggi di Negara tersebut.

2.2 Dialek Regional

Dialek regional merupakan dialek yang ciri-cirinya dibatasi oleh daerah atau

BAHASA THAI KACUKAN DIALEK MELAYU

(6)

bahagian geografi tertentu. Dialek regional di Thailand dapat dibahagikan kepada 4 dialek iaitu (i) dialek Utara yang dikenali sebagai bahasa Kham Muang, (ii) dialek Barat Daya yang dikenali sebagai bahasa Isan/ Bahasa Lao, (iii) Dialek Thai Selatan yang dikenali sebagai bahasa Tai atau bahasa Pak Tai dan (iv) dialek Thai Pertengahan yang dikenali sebagai bahasa Thai Pertengahan.

Keempat-empat dialek tesebut mempunyai banyak penutur, bahkan dijadikan lingua franca bahagian-bahagian tertentu di Thailand. Dialek regional ini dianggap penting bagi regional. Ia juga dijadikan sebagai bahasa kesusasteraan tempatan di Thailand.

2.3 Bahasa Regional Sempadan

Bahasa regional sempadan merupakan bahasa penting bagi regional tertentu. Penutur bahasa regional tersebut bermastautin di antara sempadan Thai dan Negara jiran. Jumlah penutur bahasa regional sempadan lebih kurang daripada bahasa regional. Didapati 4 bahasa regional sempadan di Thailand iaitu (i) bahasa Khmer, (ii) bahasa Melayu, (iii) bahasa Chan (Thai Yai) dan (iv) bahasa Karen.

2.4 Bahasa Anjakan

Bahasa anjakan di Thailand merupakan bahasa yang penuturnya berpindah dari luar dan pada akhirnya mereka menetap di Negara Thai. Bahasa tersebut berbeza dengan bahasa regional yang mereka mastautin. Kebanyakan bahasa anjakan yang didapati di Thailand terdiri daripada bahasa

yang diturun dari keluarga bahasa Tai seperti bahasa Phu Tai yang dituturkan di bahagian barat daya, bahasa Tai Lue di bahagian Utara dan bahasa Lao Song di bahagian pertengahan Thailand.

2.5 Bahasa Bandar

Bahasa bandar merupakan bahasa yang digunakan di kawasan Bandar atau pekan dan tidak didapati di daerah perdalaman. Bahasa Bandar di Thailand terdiri dari dialek-dialek Cina tertentu seperti dialek Kwangtung, dialek Taeciu, dialek Hakka, dialek Hainan dan sebagainya.

2.6 Bahasa Sempadan

Bahasa sempadan merupakan bahasa yang penuturnya berintersaksi dengan Negara sempadan. Bahasa tersebut digunakan khusus bagi kumpulan-kumpulan tertentu seperti bahasa Kui di bahagian barat daya Thailand (Isan), bahasa Mon di utara dan pertengahan Thailand, bahasa orang gunung yang terdiri dari bahasa Mong, Yao, Lisoe, Iko dan sebagainya.

2.7 Bahasa Dalam Lingkungan

Bahasa dalam lingkungan dimaksudkan sebagai bahasa yang dilingkungi oleh bahasa lain seperti bahasa Oral Lawoi di Selatan Thailand, Bahasa Nyakur di Bahagian Barat Daya atau Pertengahan dan bahasa Lawa dan Mal di bahagian Utara Thailand.

Hierarki bahasa yang tersebut di atas dapat dipaparkan dalam diagram yang berikut:

Diagram 1: Hierarki Bahasa Di Thailand

B. Thai Standard Dialek Reginal B. Reginal Sempadan B. Anjakan

B. Bandar B. Sempadan

(7)

3. BAHASA REGIONAL SEMPADAN DI THAILAND

Bahasa Thai dan dialek Melayu Patani merupakan dua dialek bahasa yang geografi linguistIknya bertindihan di antara satu sama lain. Dilihat dari sudut penguasaan politik dan perhubungan dialek, didapati bahasa Thai dianggap sebagai bahasa suprastratum manakala dialek Melayu Patani adalah dialek substratum yang dipertuturkan di Negara Thai, khususnya di bahagian selatan. Kedua-dua bahasa tersebut diturunkan daripada keluarga bahasa yang berlainan. Bahasa Thai diturunkan daripada keluarga bahasa Tai2 (Tai language family)

sedangkan dialek Melayu Patani diturunkan daripada keluarga bahasa Austronesia. Didapati ada dua faktor yang paling ketara sekali yang menyebabkan kedua-dua bahasa tersebut kelihatan jauh berbeza iaitu (i) kebanyakan kata-kata bahasa Thai terdiri daripada kata ekasuku sedangkan kata-kata Melayu Patani terdiri daripada kata dwisuku; (ii) kata-kata bahasa Thai memiliki fitur nada yang membezakan makna dalam sesuatu kata, sedangkan kata-kata Melayu Patani tidak memakai fitur tersebut sebagai pembeza makna.

Asmah (1985:124) tidak menggolongkan dialek Melayu Patani sebagai salah satu daripada dialek-dialek Melayu Semenanjung. Nama dialek tersebut disebut sebagai dialek Melayu Thailand. Ini mendorongkan saya berfikir bahawa di mana letaknya dialek Patani dalam salasilah dialek-dialek Melayu di Nusantara ini. Adakah ia bervariasi dengan dialek Melayu lain? Berdasarkan fonologi, perbendaharaan kata, morfologi dan sintaksis, ada kemungkinan besar yang dialek Patani ini pada masa dahulu bervariasi dengan dialek Kelantan. Ini kerana setelah saya menyemak

2

Bahasa-bahasa yang diturunkan daripada keluarga ini dipertuturkan di kawasan Asia Tenggara. Keluarga Bahasa Tai pada mulanya digolongkan ke dalam Keluarga Sino-Tebet oleh ahli bahasa. Setelah kajian terhadap bahasa-bahasa Tai lebih berleluasa didapati kesamaan yang ada di antara bahasa-bahasa Tai dan bahasa-bahasa Sino-Tibet adalah disebabkan proses peminjaman sahaja. Maka dewasa ini bahasa-bahasa Tai tidak lagi dianggap sebagai salah satu rumpun daripada keluarga bahasa Sino-Tibet.

sistem fonologinya, ternyata tidak ada perbezaan di antara dialek Patani dan dialek Kelantan. Dilihat dari segi leksikostatistik pula didapati kedua-dua dialek tersebut memakai kata seasal3 yang persis sama.

Selanjutnya ditinjau dari segi morfologi dan sintaksis, maka ternyata sekali tidak ada keunikan-keunikan tertentu yang boleh membezakan kedua-dua dialek ini. Ini persis dengan peribahasa yang disebut “sebagai pinang di belah dua4” Penutur yang sebelah

Kelantan kemudian dijajah oleh Inggeris dan yang sebelah Patani dijajah oleh kerajaan Thai. Justeru inilah dua dialek yang berakar umbi daripada benih yang sama dipisahkan. Pengaruh kedua-dua jajahan tersebut hanya mampu membezakan perkembangan perbendaharaan kata sahaja. Yang di sebelah negeri Kelantan, kata-kata Inggeris diserapkan ke dalam dialeknya manakala yang di sebelah negeri Patani didapati kata-kata Thai diserapkan ke dalam dialeknya. Penyerapan perbendaharaan kata asing tersebut akhirnya menjadi perbatasan sistem komunikasi antara warga negeri Kelantan dan warga negeri Patani. Contoh asas yang paling jelas sekali dapat dilihat dari penggunaan perbendaharaan kata dalam bidang pendidikan. Jika warga Kelantan menyebut kata nama “institusi pengajian tinggi” sebagai [juniversiti] maka warga Patani akan menyebutnya sebagai [maha:withjalaj], jika warga Kelantan menyebut kata nama “sukatan pelajaran” sebagai [kurikulum] maka warga Patani akan menyebutnya sebagai [laksu:t], jika warga Kelantan menyebut alat tulis sebagai [pensil] maka warga Patani akan menyebutnya sebagai [dinsç:]5 walhal pada

suatu ketika, mereka sama-sama memanggil nama tersebut sebagai [kalE] (kalam).

3

Saya gunakan gabungan kata leksikostatistik yang disediakan oleh Swadesh (1955) dan Gudschinsky (1956)

4

Sengaja saya memilih peribahasa yang terdiri daripada unsur perkataan “pinang” kerana dianggap pinang sebagai salah satu simbul budi pekerti orang-orang Melayu. Walaupun mereka dipisahkan oleh penguasaan politik akan tetapi budi pekerti di antara mereka masih serupa.

5

(8)

Dengan ini terdapat beribu-ribu kata lagi yang tidak perlu saya berpanjang lebar di sini.

Perkembangan kosa kata di antara Dialek Patani dan Dialek Kelantan menghadapi persimpangan yang berbeza arah. Disebabkan dialek Kelantan mengalami perkembangan yang setanding dengan dialek Melayu lain di Semenanjung Tanah Melayu, maka perkembangan kosa katanya berselari dengan perkembangan bahasa Melayu Standard, manakala dialek Patani yang setelah secara total penuturnya diperintah oleh kerajaan Thai (sekitar tahun 1902) maka semakin sukar bagi penutur Patani untuk mengadaptasikan kosa kata supaya dapat digunakan semasa bertembung dengan penutur Melayu dialek lain. Berdasarkan penghematan saya, didapati beberapa kata leksikon yang mereka tidak sedari bahawa kebanyakan penutur dialek lain tidak memahami akan maksudnya. Di antara contoh kata-kata tersebut ialah kata [kEhE/] “keluarkan makanan dari dalam mulut, [lEmE/] “tilam”, [gçdE] “pukul”, [pEkoN] “melontar”, [kute] “cubit”, [bμlEmE] “banyak (benda yg tidak tersusun rapi)”, [kçsE/] “kacau”, [tçho/] “buang”, [lEgE] “tong minyak”, [lçmç] “sapu”

Persis dengan persoalan istilah “bahasa Indonesia” dan “bahasa Melayu” kedua-duanya pada asalnya merujuk kepada bahasa yang sama, istilah “dialek Kelantan” dan “dialek Patani” juga merujuk kepada dialek yang sama. Kerana ini, mungkin menyebabkan Asmah sama sekali mengabaikan perbincangan dialek Patani, sama ada dalam buku “Kepelbagaian Fonologi Dialek-dialek Melayu” mahupun dalam buku

Susur Galur Bahasa Melayu”.

Berpatah balik kepada persoalan kedudukan dialek Patani dalam salasilah dialek-dialek Nusantara, agak sukar untuk menentukan bahawa antara dialek Kelantan dan dialek Patani itu, yang mana merupakan dialek induk dan yang mana merupakan subdialek daripadanya atau kedua-duanya merupakan subdialek daripada dialek yang sementara ini saya namakan sebagai “*dialek Patani-Kelantan” atau “*dialek Kelantan-Patani”. Walau bagaimanapun penentuan ini

tidak boleh dinyatakan sewenang-wenangnya. Kajian persejarahan dialek perlu diadakan untuk mencari penyelesaian dalam menentukan salasilah dialek-dialek Melayu yang boleh meyakinkan.

Walaupun geografi linguistik dialek Melayu Patani bertindih dengan geografi politik Thai dan bertaraf sebagai dialek substratum jika dibandingkan dengan bahasa Thai standard, tetapi jika dilihat kedudukannya dengan dialek tempatan lain, dialek Melayu Patani masih memperlihatkan sebagai dialek suprastratum yang diterima oleh masyarakat tempatan yang bukan keturunan Melayu. Yang paling nyata sekali dalam fenomena ini ialah pengaruh dalam sistem perhitungan yang terdapat dalam dialek Thai Pitthen6. Di beberapa daerah

pedalaman di wilayah Pattani orang-orang Thai Pitthen, apabila mereka menghitung sesuatu, dalam perniagaan seringkali mereka mencampur-adukkan antara bilangan dalam dialek mereka dan bilangan dalam dialek Patani. Bilangan “58” misalnya, terkadang disebut sebagai # limç puloh pE:t #. Gabungan bilangan tersebut terdiri daripada dua kata dialek Melayu Patani dan satu kata dialek Thai Pak Tai. Unsur-unsur menarik seperti ini sedang menunggu sarjana bahasa untuk melanjutkan penyelidikan secara mendalam.

Disebabkan sistem pendidikan nasional Thai menitikberatkan penggunaan bahasa Thai standard, maka semakin banyak penutur jati Melayu Patani dapat menguasai bahasa Thai dengan baik, bahkan banyak pula kata-kata Thai terserap ke dalam bahasa ibundanya sebagai kata pinjaman. Dewasa ini bukan sahaja bunyi-bunyi konsonan dan vokal yang diujar sebulat-bulat bunyi mengikut sistem fonologi bahasa Thai, malahan unsur-unsur lain yang menjadi sebahagain daripada ciri distingtif dalam bahasa Thai seperti unsur panjang-pendek dan unsur nada dalam bahasa Thai ikut dilafazkan dengan sempurna. Kesempurnaan sedemikian inilah yang

6

(9)

menyebabkan unsur panjang-pendek dan nada leksikal Thai mulai diserapkan dalam dialek Melayu Patani.

Berdasarkan sejarah penaklukan sempadan, bahasa regional sempadan selatan Thailand diwarisi oleh bahasa Melayu. Bahasa tersebut dapat dibahagikan kepada dua dialek iaitu dialek Patani dan dialek Satul. Dialek Patani merupakan dialek regional perbatasan antara wilayah Pattani, Yala, Narathiwat dengan negeri Kelantan, manakala dialek Satul merupakan dialek regional perbatasan antara wilayah Satul di selatan Thailand dengan negeri Kedah di utara Malaysia. Melalui kontak bahasa antara bahasa Melayu dan bahasa Thai yang kedudukan hierarki sosialnya tertinggi didapati struktur bahasa regional sepadan tersebut telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut disifatkan sebagai perubahan divergensi yang menyimpang dari dialek-dialek Melayu yang lain sehingga sifat saling memahami di antara satu sama lain (matual intelligibility) hampir luput daripadanya. Di antara penyebab perubahan bahasa secara divergensi tersebut ialah (i) faktor sosial, ekonomi dan politik, (ii) faktor pengguna bahasa, dan (iii) faktor dalaman bahasa. Semua punca perubahan tersebut dapat dijelaskan seperti berikut:-

3.1 Faktor Sosial, Ekonomi dan Politik Keadaan sosial, ekonomi dan politik yang berubah pesat merupakan faktor utama menyebabkan bahasa regional sempadan mengalami perubahan secara besar-besaran. Faktor utama tersebut dapat dibahagikan kepada 4 punca iaitu:-

3.1.1 Perhubungan dengan Penutur Thai Asli

Apabila penutur Melayu selatan Thailand berhubungan dengan penutur asing, khususnya penutur Thai asli yang mempunyai ciri-ciri budaya dan adat yang jauh berbeza, maka penambahan kosa kata boleh berlaku. Yang paling jelas ialah penyerapan kata-kata Thai ke dalam sistem perbendaharaan kata Melayu. Kata-kata yang digunakan untuk memanggil sesuatu benda atau perbuatan yang terkait dengan

budaya Thai ternyata banyak diserapkan secara langsung. Dilihat dari sudut fonologi didapati fitur-fitur tertentu seperti fitur aspirasi dan fitur nada walaupun sifatnya tidak fonemik dalam bahasa Melayu tetapi ia dapat dikesan dengan jelas di dalam dialek Melayu Patani. Penambahan fitur-fitur bunyi tersebut dapat memperlihatkan ciri-ciri khusus yang didapati di dalam bahasa regional sempadan tersebut.

3.1.2 Perpindahan Tempat

Dalam abad-20 didapati penutur-penutur Melayu di selatan Thailand mulai berpindah dari selatan Thailand ke bahagian-bahagian lain, khusus di bahagian pusat atau pertengahan. Ini menyebabkan inti ayat dalam tuturan di antara mereka mulai dicampur aduk dengan kata-kata Thai. Berdasarkan pemerhatian, saya dapati setiap ayat mempunyai kata-kata atau istilah yang berasal daripada bahasa Thai, bahkan tidak terdapat sebarang ayat sederhana yang tidak diselit oleh kata-kata asing tersebut.

3.1.3 Kemajuan Teknologi

Setelah segala teknologi berkembang pesat, didapati penutur Melayu juga memerlukan istilah baru dalam sistem komunikasi mereka. Cara yang paling pantas dan lebih berpengaruh dan cepat difahami oleh masyarakat ialah pemakaian istilah yang tersedia ada di dalam bahasa Thai. Kata “thoratat” misalnya digunakan untuk kata “televisyen”

3.1.4 Nilai Dalam Masyarakat

Nilai dalam masyarakat yang dijadikan landasan dalam sesuatu zaman juga dijadikan penyebab bahasa Melayu di selatan Thailand berubah. Kata-kata Melayu yang pernah dipakai pada zaman silam boleh dipadankan dengan kata-kata Thai. Kata “masyarakat” sendiri misalnya, seringkali digantikan dengan kata “sangkom”.

3.2 Faktor dari Pengguna Bahasa

(10)

Bahasa digunakan oleh pengguna bahasa untuk dijadikan batu loncatan ke tahap yang dihasratkan. Dengan kata lain, jika penetur ingin mempertingkatkan diri ke tahap yang lebih tinggi, maka ia akan berusaha menggunakan bahasa yang lebih tinggi mengikut hierarkinya untuk memperlihatkan taraf yang diiktiraf dalam

masyarakat Thai. Dengan inilah maka gaya dan laras bahasa Melayu asalnya bergeser menjadi beza dari asalnya.

3.3 Faktor Dalaman Bahasa

Dalam bahasa sendiri tersedia dengan dasar-dasar yang boleh dijadikan pendorong bahasa untuk berubah. Dasar kelancaran artikulasi (ease of articulation principle), dasar pengurangan kemampuan (principle of least effort) misalnya.

4. PERUBAHAN DALAM PERBENDAHARAAN KATA

Di antara perubahan yang mungkin berlaku ke atas sesuatu bahasa, sama ada dari segi bunyi, tatabahasa dan perbendaraan kata didapati perubahanan yang paling ketara sekali ialah perubahan perbendahaan kata. Ini disebabkan perubahan tersebut mudah berlaku dalam masa yang sangat singkat. Kosa kata atau istilah-istilah tertentu boleh berubah secara bebas daripada kata-kata yang lain. Manakala pemantapan bagi sesuatu perubahan dari sudut bunyi dan tatabahasa mengambil masa yang cukup lama bahkan berabad-abad.

Perubahan perbendaharaan kata dapat dibahagikan kepada dua jenis, iaitu (i) perubahan yang berkemungkinan menjejaskan jumlah kosa kata dan (ii) perubahan yang tidak menjejaskan jumlah kosa kata. Bagi perubahan perbendaharaan jenis kedua ialah perubahan makna perkataan dalam bentuk-bentuk tertentu. Kedua-dua jenis perubahan dapat dijelaskan seperti berikut:-

4.1 Perubahan Terjejas Jumlah Kosa Kata Perubahan yang berkemungkinan menjejaskan jumlah kosa kata dalam bahasa Melayu di selatan Thailand dapat

dipecahkan kepada pelenyapan kosa kata, penerbitan kata baru dan peminjaman kata-kata asing.

4.1.1 Pelenyapan Kosa Kata

Pelenyapan kosa kata dimaksudkan sebagai satu proses pengguguran kata dalam bahasa sehingga pengguna bahasa generasi seterusnya tidak kenali kata-kata yang suatu ketika pernah dipakai oleh generasi sebelumnya. Pelenyapan kosa kata boleh berlaku kerana benda, nilai atau cara hidup yang pernah diamali oleh masyarakat sebelumnya tidak diteruskan oleh masyarakat seterusnya. Kata “upeh”, “kaeng ssehe”, “kaeng sseba”, “sianya”, “cepu”, dan sebagainya.

Salah satu punca penyelapan kosa kata bahasa Melayu di Selatan Thailand ialah peminjaman kata-kata Thai yang maksudnya persis sama dengan kata asal sehingga kata-kata asli lenyap dalam masyarakat disebabkan dasar bahasa itu sendiri yang berpegang pada konsep “satu bentuk satu makna”. Di antara kata-kata yang berkemungkinan lenyap ialah “perlu” diambil alih oleh kata “campen”, “rumah sakit” diambil alih oleh kata “roong pyabaan”, “guru” diambil alih oleh kata “khruu”, “kerja rumah” diambil alih oleh “kaan baan”, “kalam” diambil alih oleh kata “din so”, “buku” diambil alih oleh “nangsue” dan sebagainya. Perubahan dalam bentuk ini sangat ketara sehingga dalam sesuatu ayat akan kita dapati kata-kata pinjaman dari bahasa Thai lebih daripada 50%.

4.1.2 Penerbitan Kata Baru

Setelah perkembangan teknologi makin leluasa sehingga ciptaan-ciptaan baru serta pemikiran berbagai dalam masyarakat semakin bertambah pesat, maka masyarakat memerlukan kata-kata baru untuk digunakan bagi ciptaan-ciptaan yang berhadapan dengannya.

(11)

Penerapan kata-kata Thai yang berleluasa dalam dialek Melayu Patani di

Thailand sehingga tabungan perbendaharaan kata telah terlimpah dengan

kata-kata asing tersebut belum dapat dirumuskan bahawa dialek Melayu Patani telah tergolong ke dalam golongan bahasa kacukan. Fenamena sedemikian tidak berbeza dengan penerapan kata-kata Sanskrit, Arab dan Inggeris yang didapati di dalam bahasa Melayu standard. Yang harus diperlihatkan ialah apakah kata-kata tugas dalam bahasa Thai telah memain peranan dalam pembentukan ayat dalam dialek Melayu Patani? Kiranya pengaruh kata tugas dalam bahasa Thai mengakibatkan penggantian kata-kata di sampingnya, maka kita boleh beranggapan bahawa variasi-variasi tertentu dialek Melayu Patani adalah bahasa kacukan. Kata-kata tugas yang dimaksudkan di sini terdiri dari kata-kata seperti kata kerja bantu, kata sifat, kata nafi, kata penghubung, kata tanya dan sebagainya. Peranan kata-kata tersebut dapat diperlihatkan seperti huraian yang berikut:-

5.1 Kata Kerja Bantu

Kata kerja bantu yang dimaksudkan di sini ialah kata kerja aspek yang terdiri daripada kata sudah, telah, pernah, sedang, masih, tengah, belum dan akan dan kata kerja modalitas yang terdiri daripada kata mahu, hendak, boleh, dapat, mesti, wajib, harus, mungkin, enggan dan perlu. Kedua-dua jenis kata kerja bantu tersebut didapati kebanyakan telah dipadankan dengan kata kerja bantu asli bahasa Thai. Dalam perbualan harian sering kali kita dapati kata sudah digantikan dengan kata [lE@:w], kata sedang diganti dengan kata [kamlaN], kata belum digantikan dengan kata [yaN ma^i]. Ini dapat dilihat dalam frasa dan ayat yang berikut:

Variasi Asal

//belum tidur//

#dijç b´loNtido#

//sedang tidur//

#dijç t´Nç)h tido#

//mesti terkoyak//

#kaproN jç paka tu misti caƒe/#

Variasi Kacukan //yaN ma^^i nç:n// #dijçyaN ma^i nç:n#

//kamlaN nç:n// #ade/kamlaN nç:n#

//to^N kha$:d//

#kaproNthisa$i tu to^N kha$:d#

5.2 Kata Penghubung

Dalam perbualan umum jarang dapati kata penghubung setara seperti kata “dan” dipakai. Kata tersebut biasanya dipadankan dengan kata “dengan” iaitu [d´Na)]. Sepatutnya kata tersebut boleh dipadankan dengan bentuk dialek [dE]. Kata [dE] dalam dialek regional sempadan bermaksud “sempat”. Ini mungkin dijadikan alasan yang kata tersebut tidak dipakai untuk maksud kata penghubung “dan”. Kata [dE] di atas sebenarnya adalah kata pinjaman daripada bahasa Thai [than] yang telah diadaptasikan mengikut sistem bunyi Melayu. Di antara lain, kata penghubung setara “tetapi” juga sering kali didapati diambil-alih oleh kata Thai iaitu “[tE$:]. Ini dapat dilihat dalam ayat yang berikut:-

Ayat Asal:

#biniN¯ç) bae/ saNa)/ tapi laki¯ç) tç/ pulç/# “Isterinya sangat baik tetapi tidak pula dengan suaminya”

Ayat Kacukan:

#biniN¯ç) bae/ saNa)/tE$: phu&:a¯ç)ma^: le:j#

(12)

[rμ&:]. Ini dapat dilihat dalam ayat yang berikut:

Ayat Asal:

# dEmç) nç/ minuN /ae panah ata(wç) /ae s´jo/#

“Anda mahu minum air panas atau air sejuk”

Ayat Kacukan:

#dEmç) nç/ minuN/ae panah rμ&: na^:myen#

Kata penghubung setara “manakala” mulai kurang produktif dalam perbualan umum. Kata tersebut sering kali digantikan dengan kata penghubung Thai yang sama maksud dengannya iaitu kata [nai khna$/ thi@:]. Ini dapat dilihat dalam ayat yang berikut:-

Ayat Asal:

#ade?¯ç) do/ bbasoh piNE mançkalç abE¯ç)

do/ tENç)/ TV#

“Ádiknya sedang mencuci pinggang manakala abangnya sedang menonton televisyen.”

Ayat Kacukan: # ade?¯ç) do/ bbasoh piNE nai khna$/ thi@: abE¯ç) do/ tENç)/ thoratath#

Dalam perkembangan mutakhir didapati kata penghubung syarat atau pengandaian yang terdiri daripada “andaikata”, “seandainya” dan “sekiranya” sukar dipertahankan. Kata-kata tesebut kerap kali digantikan dengan kata-kata Thai yang sama makna dengannya. Ini juga dapat dilihat dalam contoh yang berikut:-

Ayat Asal: #dijç tç/ se gi s´kiƒç¯ç ade/¯ç tç/ k´le/ lagi#

“Dia tak mahu pergi sekiranya adiknya belum pulang”

Ayat Kacukan # dijç tç/ se gi tha^: ha$:k wa^: ade/¯çyaN ma^i krab /i$:k#

5.3 Kata Wacana

Kata wacana yang berfungsi sebagai pengait butir-butir wacana supaya bentuk

perbualan memperlihatkan satu kesatuan (cohesion) seperti kata “bermula”, “maka”, “iaitu” dan sebagainya didapati kurang produktif. Ini disebabkan kebanyakan telah digantikan dengan kata wacana Thai.

Kata “bermula” yang menunjukan peralihan kepada judul yang hendak diberi tumpuan digantikan dengan kata [r´^:mto^n]. Ini dapat dilihat dalam ayat yang berikut:

Ayat asal:

#b´mulç k´rç/E tu daƒipadç kata-kata tuhE wuju/¯ç bukE daƒI mahk´lo/”

“Bermula Qur’an itu daripada Kalam tuhan adanya bukan daripada makhluk”

Ayat kacukan:

# r´^:mto^n kur/a:n tu daƒipadç katç-katç tuhEma^i cha^i ca$:k mahk´lo/#

6. KESIMPULAN

(13)

menyerapkan kata-kata Thai ke tahap bahasa regional tersebut, bahkan kata-kata tugas seperti kata bantu, kata penghubung, kata wacana dan sebagainya ikut memainkan peranan terpenting dalam tutur bicara sehingga berjaya mengambil-alih kata-kata tugas asli dalam dialek Melayu Patani. Ini berlaku khususnya ke atas penutur dialek Melayu yang tidak lagi mempelajari bahasa Melayu di bangku sekolah.

Penyerapan kata-kata tugas seperti mana telah dibincangkan dalam bahagian 5 di atas merupakan produk kontak bahasa antara penutur Melayu dan penetur bahasa Thai. Produk tersebut dapat dianggap faktor utama yang menyebabkan munculnya kacukan bahasa regional sempadan di selatan Thailand. Gejala ini jika dibiarkan berpanjangan tanpa perlindungan daripada kemusnahan gramatisan secara terancang, maka dapat diramalkan bahawa dalam abad-abad yang akan datang dialek Melayu Patani akan diambil-alih oleh bahasa kacukan Melayu Patani sepenuhnya pada suatu hari nanti.

Berdasarkan sejarah perancangan bahasa di Thailand, pelestarian bahasa Melayu Patani tak mungkin dapat dilakukan oleh pihak perancangan bahasa dalaman. Sumbangan dari negara seperti Malaysia (Dewan Bahasa dan Pustaka), Indonesia (Pusat Bahasa) dan Brunie (Dewan bahasa dan Pustaka Brunei) masih diperlukan.

BIBLIOGRAFI

Brown, J., 1985. From Ancient Thai to Modern Dialects and Others Writings on Historical Thai Linguistics. Bangkok: White Lotus Co., Ltd.

Haas, Mary R. 1964. Thai – English Student’s Dictionary. California: Stanford University Press.

Harris, J.G. and Chamberlain J.R. (Ed.) 1975. Studies in Tai Linguistics in Honor of William J. Gedney. Bangkok: Cebtral Institute of English Language Office of State Universities, Bangkok.

Kanjana Nakhsakul. (1974). Rabob Siang Phasa Thai (ter: Sistem Bunyi Bahasa Thai). Bangkok: Chulalongkorn University Press.

Paitoon M. Chaiyana. (1982). Kata-kata Sanskrit dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Thai: Satu Kajian Perbandingan Dari Segi Fonologi. Tesis Ph.D University Malaya.

Paitoon M. Chaiyanara. (1983). Perlambangan Huruf-huruf Thai dalam Dialek Melayu Patani. Kertas kerja Seminar Fonologi

Melayu, Anjuran Dewan Bahasa dan Pustaka pada 28 –30 Oktober 1983. Paitoon M. Chaiyanara (ed.).Ancangan

Pengajian Melayu di Malaysia, Singapura dan Selatan Thai.(Proactive movement on Malay Studies in Malaysia, Singapore and Sourthern Thailand) Singapura: Kasatuan Guru-guru Melayu Singapura. 2001(174 pages)

Paitoon M. Chaiyanara.Fonetik dan

Fonologi Bahasa Melayu (Phonetics and Malay Phonology). Singapore: Wespac Consult Centre.2001. (190 pages)

Paitoon M. Chaiyanara. Kajian Bahasa Austroasia ( Studies in Austroasiatic Language) . Renoor Network Hatyai: Songkla. 1999.(52 pages)

Paitoon M. Chaiyanara (ed.). Ancangan Pembingkas Berdaya Cipta Dalam Pengajian Melayu (Proactive and Creativity in Malay Studies) Prince Of Songkla University and Kesatuan Guru-guru Melayu Singapura. 1999.(219 pages)

Paitoon M. Chaiyanara (ed.). Pengajian Bahasa Melayu Ancangan Pembingkas Berdaya Cipta (Malay studies toward Creativity). Prince Of Songkla University and Singapore Malay Teachers’ Union.1999.(306 pages)

Paitoon M. Chaiyanara. Fonologi Dialek Melayu Selatan Thailand (The Phonology of Southern Thai Malay dialect). Prine of Songkla University: Pattani, Thailand. 1978 (205 pages) Paitoon M. Chaiyanara. Kamus Bahasa Thai

- Dialek Pattani (Thai- Pattani Malay

Dialect Dictionary). Odeon

(14)

PAITOON M. CHAIYANARA. “HAMBATAN STRUKTUR BAHASA IBUNDA DALAM PENGAJARAN BAHASA MELAYU UNTUK PENUTUR THAI”. IN PENGAJARAN BAHASA MELAYU UNTUK PENUTUR ASING. KUALA LUMPUR: INSTITUTE OF LANGUAGE AND MALAY LITERATURE, MALAYSIA. 2003. (34-51)

Paitoon M. Chaiyanara. “Lama-waktu Pemencilan Antara Dialek Patani dan Dialek Orang Laut Di Perairan Myanmar dan Thailand” (Time-depth separation between Pattani Dialect and Sea Gypsy Dialect in the Myanmar and Thailand territorial waters). in Pengajian Melayu Ancangan Pembingkas Berdaya Cipta. Prince Of Songkla University and Singapore Malay Teachers’Union.1999. (1-48). Paitoon M. Chaiyanara. “Pemantapan

Dialek-dialek Austronesia di Myanmar dan Selatan Thailand” (Stabalization of Austronesian Dialects in Myanmar and Southern Thailand), in Dewan Bahasa. Dewan Bahasa Dan Pustaka, Kula Lumpur: December 1997, 21:1088-1108.

Paitoon M. Chaiyanara “Keluarga Bahasa Austroasia” (Austroasiatic Famaly Language), in Dewan Bahasa Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur: June1997, 14: 534-547.

Paitoon M. Chaiyanara. “Kepelbagaian Bahasa dalam Masyarakat Asian Tenggara” (Languages in Southeast Asia Society). International Seminar : Toward the Bright Future of Japanese and Asean Cultures. Organized by Negeri Surabaya University, Indonesia. (6 -8 December 2004).

Paitoon M. Chaiyanara. “Refleks Onset & Koda Dialek Gibsi Laut di Asia Tenggara” (Sea Gybsy onset and Kode in South East Asia). Persidangan Linguistik ASEAN II . Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Organized by University of Brunei Darussalam, Brunie. (28-30 Oktober 2002)

Paitoon M. Chaiyanara. “Bahasa Sino-Tibet di Negara China dan Pengaruhnya dalam Bahasa Melayu” ( Sino-Tibetan Language in China dan its influnce in

Malay language). Persidangan

Antarabangsa Pengajian Melayu Ke-2, Beijing. China. Organized by Peking University. (7-14 Oktober 2002)

Paitoon M. Chaiyanara. “Tradisi dan Kesinambungan Perbendaharaan Kata dalam Bahasa Indonesia, Melayu dan Thai” (Tradition in vocabulary compilation in Indonesian, Malay and Thai languages) Kolukium Bahasa dan Pemikiran Melayu. Organized by Prince of Songkla University and Department of Language and Literature, Ministry of Education, Malaysia. (4-7 May 2002)

Paitoon M. Chaiyanara. “Transfonologisasi Nada Leksikal Thai dalam Dialek Melayu Patani” (Transfonologization of Thai lexical tones in Pattani Malay dialect). First International Conference of Linguistik ASEAN. National University of Malaysia. Bangi, Selangor. (14-16 November 2000)

Paitoon M. Chaiyanara. “Pemantapan Jati Diri Dialek Melayu-Tambralingga di

Thailand” (Malay Tamblalingga

dialect indensity in Thailand). International Seminar of New Malay milineum. Organized by Mara Technological University, Shah Alam, Selangor, Malaysia (25-27 September 2000)

(15)

national language). Dialogue North VIII, Organized GAPENA Malaysia and Prince of Songkla University, Thailand. (1-4 Desember 1999)

Paitoon M. Chaiyanara. “Lama-waktu Pemencilan Antara Dialek Patani dan Dialek Orang Laut Di Perairan Myanmar dan Thailand” (Time-depth separation between Pattani Dialect and Sea Gypsy Dialect in the Myanmar and Thailand territorial waters). International Conference On Malay Studies. Organized by Prince of Songkla University, Hatyai-Pattani Thailand (23 – 25 June 1999)

Paitoon M. Chaiyanara. 1998. “Pengaruh Sistem Tulisan dalam Penentuan Sebutan Baku Bagi Bahasa Melayu dan Thai: Satu Perbandingan Fonemik” (The influence of writing system in the standardization decision making of Thai and Malay language: A Phonemics constrastive Studeis). Malay World Studies International Conference. Organized University of Malaya. Kulala Lumpur, Malaysia (28 – 30 August 1998)

Paitoon M. Chaiyanara. “Pemantapan Dialek-dialek Austronesia di Myanmar dan Selatan Thai” (Stabalization of Austronesian Dialects in Myanmar and

Southern Thailand), Seminar on

Austronesian Dialects in Nusantara. Organized by University of Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan. (26-29 August 1996).

Paitoon M. Chaiyanara. “Pengenalan Pendidikan Bahasa Thai dalam

Masyarakat Perbandaran” (Introduction to Thai Language

Education in Metropolitan Society) . 5Th Temasik Seminar. Organized by

Malay Teachers’ Union, Singapore, Mandarin Hotel, Singapore, (8 July 1995).

Paitoon M. Chaiyanara. “Pengkajian Bahasa Keluarga Austroasiatik” (Studies in Austroasiatic Language). Seminar on Histery of Malay Language. Organized by University of Malaya, Kuala Lumpur, (21-23 August 1989).

Paitoon M. Chaiyanara. “Penubuhan Persatuan Bahasa dan Persuratan Melayu” (The Formation of language association ang Malay literary organization). Seminar on Malay Language, Organized by Prince of Songkla University, Thailand. (14 July 1984).

Paitoon M. Chaiyanara. “Perlambangan Huruf-huruf Thai dalam Dialek Melayu” (Thai scripts symbol in Malay

Dialect) .Seminar on Malay

Phonology, Organized by Department of Language and Literature, Ministry of Education, Malaysia (28-30 October 1983).

(16)

THE UNTRANSLATABILITY OF TEXTS : HIGHLITING SOME

BASIC CONTRASTS BETWEEN ENGLISH AND INDONESIAN

Syahron Lubis

Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstract

As an effort to render meaning of an SLT into a TLT, a translator may encounter various problems. The problems may not only be due to linguistic contrasts between the two languages, but to cultural and geographical contrasts where the two languages are used as well. This writing has tried to highlight some basic contrasts between English and Indonesian in linguistic, cultural and geographical aspects that cause the translation problems. The examples presented here show that there are concepts in English which are entirely untranslatable into Indonesian because the two languages are used in two different regions and cultures. A certain concept is present in English, but is absent in Indonesian and vice versa. A certain concept exists in both English and Indonesian but the speakers of both languages have different perspective on the thing symbolized by the concept. So, although it is linguistically translatable, but is culturally unacceptable. Therefore the translator may not only encounter problems that are due to linguistic contrasts but also those due to cultural and geographical contrasts.

1. THE CONCEPT OF TRANSLATION “Translation” is a very popular term. It is widely known and spoken not only by translators but also by laymen. Being aware or not, those who are bilingual or multilingual are always involved in the process of translation. They translate concepts from their native language into other languages as they speak.

For most people, their understanding of translation is the transfer of meaning from one language to another (interlingual translation). But actually translation process does not operate only between two languages but between a language itself (intralingual translation) as in “an interpretation of verbal signs by means of other signs of the same language (Jakobson, 1959:233). When we go back to the psychology of child’s language learning, it is believed that translation process occurs in the mind of the child as claimed by Paz (1992:152-154). He says: “when we learn to speak, we are learning to translate; the child

who asks his mother the meaning of a word is really asking her to translate the unfamiliar term into simple words he already knows. In this sense, translation within the same language is not essentially different from translation between tow languages, and the histories of all peoples parallel the child’s experience …”.

However, our focus in this paper is not on that type of translation. The focus of our attention here is on interlingual translation as it is the type of translation where most people are involved.

(17)

language into the receptor language. This is done by going from the form of the first language to the form of the second language by way of semantic structure. It is meaning which is being transferred and must be held constant.

Only the form changes” Papegaaij & Schuberd (1988:11) state: “To translate means to express in another language the content of a given text …. The objective of translation is to replace the form and to preserve the content of the text”.

The three definitions quoted above essentially give the basic understanding of translation. Larson, Papegaaij & Schubert explicitly say that the meaning (content) of the source language text must be preserved in the target language text. The form may

change. Catford uses the phrase “equivalent textual material” to replace the term meaning. Thus, we may conclude that translation is not just the process of changing the form, but also the reexpression of the meaning which is appropriate or natural in the target language (the language into which the text to be translated). In order to preserve the SLT into the TLT, of course, the cultural values and even the ideologies adopted by the readers of the translation (in their native language) should be taken into account by the translator as a translation can be linguistically intelligible but is culturally bizarre. The process of translation does not really look very complex as diagrammed by Larson below.

Source

language

Receptor

Language

(Target

Language)

Discovering

Reexpressing

the

meaning

the

meaning

(Quoted from Larson’s, 1984)

Text to be

translated

Translation

(18)

2. TYPES OF TRANSLATION

Translation is commonly distinguished into three types.

2.1 Word-for-word translation (literal translation)

This is a type of translation where the SLT is translated word by word or within the word boundary into the TLT. For example,

Siaran langsung dari Senayan in Indonesian is translated into English as:

Broadcast direct from Senayan

Here the translator just changes the form of the SLT into the TLT word by word without reexpressing the communicative meaning of the whole text. This translation reads strange and unnatural. This type of translation is uncommon except for those who study the contrasts of the structure of the two languages.

2.2 Modified Literal Translation

This type of translation is modification of the literal translation. Here some adjustments are made. There are adjustments of structure, and the translation is done within the higher level such as phrase or clause level.

Siaran langsung Dari Senayan, is translated into

direct broadcast from Senayan.

Here the translation is done within the phrase level such as direct broadcast and it follows the TL structure, that is, the modifier occurs before the head. But this translation is still unnatural and does not communicate the total meaning of the text.

2.3 Idiomatic (free) Translation

This is a type of translation most translators are very familiar with. The purpose of the translation is to transfer the meaning of the SLT into a meaning which is appropriate or natural in the TL or to find the closest equivalent which is available in the target language. The ideal goal of the translator here is to make the translation that

reads as it is originally written in the TL. In other words the reader does not realize that the text he is reading is a translation. So, the translator’s goal here is to transfer the meaning of the SLT as accurately as possible into the TL, even though as a result of the process of translation the form of the TLT looks quite differently from the SLT. A sentence in the SL may become a phrase in the TL or an active sentence in the SL is translated into a passive sentence in the TL as it is structurally required by the TL. For example, dilarang merokok should not be

translated into smoking is forbidden for no smoking is the expression most English

speakers usually use and although smoking is forbidden is both intelligible to all normal

speakers of English and is grammatical.

3. PRINCIPLES OF TRANSLATION As mentioned above for most people the best translation is one which sounds an original text. In other words the reader reads the translated text as he reads an original text. This is the goal of idiomatic or free translation as claimed by Larson (1984). However some translators do not agree with this principle as shown by the statements below.

1.a. a translation must give the words of the original.

b. a translation must give the ideas of the original.

2.a. a translation should read like translation.

b. a translation should read like an original work.

3.a. a translation should reflect the style of the original.

b. a translation should possess the style of the translator.

4.a. a translation may never add to or omit from the original.

b. a translation may add to or omit from the original. (quoted from Savory’s, 1968).

(19)

change the style of the original. His function is only to act as a bridge between the mind of the author and the mind of the reader. But a translator who adopts the principles will soon have problems since there are many concepts in the SL which are completely or partially untranslatable into the TL and there are things or expressions which exist in the SL but do not exist in the TL. For example, in English good evening is used to greet when

meeting someone at night and good night is

used leaving someone. In Indonesian selamat malam is used for both purposes. So a

greeting to be used when leaving someone at night is not available in Indonesian. When we translate the four kinds of greeting in English to other languages like Toba Batak, the problem may become more serious for there is only one expression used by its speakers to greet people at any time that is

horas.

The second sets of principles are based on the purposes of the translation, that is, to create a text that is intelligible to the readers for if the translation reads foreign, unnatural and difficult to understand, the readers will stop reading it and the work of translation is useless. However, an idiomatic translation, is an ideal aim which is, not to say impossible, very hard to achieve and it takes much time, patience and care as exemplified in the section to follow.

4. TRANSLATABILITY AND UNTRANSLATABILITY

Very often that the work of translation runs smoothly without obstruction, but it is not seldom that translation becomes a difficult job and is very time-consuming. When the linguistic system, geography and the cultures of the SL and the TL are not so distinct, then normally the translator’s work will not be very difficult. Suppose one translates an Indonesian text into Malay, we may expect that there will be fewer problems than when translating the same text into English since linguistically, culturally and geographically Malay has more in common to Indonesian; even the two languages derive from the same source. Whereas between Indonesian and English the differences in the

three aspects are so great. Indonesian belongs to Malayo-Polynesian (Austronesian) language family while English belongs to Indoeuropean; geographically both countries are different, not only the people are different but also the animals, plants and the climate of the two countries, to some extent, are different. And English (western) cultures and Indonesian (eastern) cultures are no doubt so distinct.

In the following section we will see how certain words and expressions in Indonesian cannot be fully translated into English and vice versa and even some cannot be translated at all because the words or the expressions in one language do not have equivalents in another or, if they have, they are not fully correspondent due to linguistic, cultural and geographical dissimilarities in the two countries.

5. LINGUISTIC CONTRASTS 5.1 System of Pronoun

Although the system of pronoun of English and Indonesian is relatively similar but translating the English pronoun you into

Indonesian causes difficulty since both the second person singular and second person plural are written in the same form. Unless we know the context, we will find it difficult to translate, for example, I would like to invite you to my party next week into Indonesian

since you may refer to second person singular

or second person plural. Only the context that can help us whether we will translate it into eng(kau)/saudara, anda or kamu (second

person plural).

The same problem will arise in translating the English pronoun he, she and it.

English distinguishes the third person singular based on gender while in Indonesian such distinction is not made. Translating He was born in 1970 and she was born five years later into Dia lahir tahun 1970 dan dia lahir lima tahun kemudian cannot show

the different gender of the two persons. We can, of course, explain the gender of the two persons by adding laki-laki and perempuan

(20)

laki-laki lahir tahun 1970 dan dia perempuan lahir lima tahun kemudian.

Translating the pronoun it also causes

difficulty. Although there is itu in Indonesian which is generally regarded as the equivalent of it, using itu as the equivalent of it in any

translated text will result in unnatural Indonesian text. Let us see the following text.

Paman membeli mobil bekas. Itu masih memerlukan repersi. The use of itu to replace mobil is seldom made but usually the word mobil is repeated as in: Paman membeli mobil. Mobil itu masih memerlukan reperasi. It seems

that the frequency of use of pronoun is higher in English than in Indonesian. In Indonesian repetition of the same word is preferred to using a pronoun as seen in the short text below.

Membuat GBPP seperti yang telah Anda lakukan akan sangat membantu Anda dalam mengajar. Tetapi sebagian pengajar menganggap GBPP yang sangat sederhana itu masih beluim cukup. Mereka berpendapat bahwa GBPP itu seyog-yanya dilengkapi komponen-komponen lain ….

We can see that GBPP is repeated twice in

the text.

In English, generally when the writer/speaker refers to a word which has been mentioned previously, he will use a pronoun; as seen in the text to follow.

The United States has a written constitution

which sets out the principles of government. It was drawn up in 1787 and has so far been changed or ammended twenty-six times.

We notice that the writer uses the it when

referring to written constitution.

Indonesian has two forms of the second person plural, that is, kami and kita. When kami is used, the speaker does not include his

listener(s) in his group and when kita is used

he includes his listener(s) in his group. English has only one form, that is, we. In

English we means ‘I and you’. Thus, we is

equivalent to kami but not to kita. So, the

pronoun kita of Indonesian is untranslatable

into English. For a more detailed explanation

of the dissimilarities between English and Indonesian system of pronoun, see Catford (1965: 44-46).

5.2 Tenses

That English is a temporal language and Indonesian is a non-temporal language is fully realized by Indonesian speakers. And in learning English, they cannot avoid making serious mistakes of using tenses.

Although there are no tenses in Indonesian, some English tenses can be translated into Indonesian without losing any components of meaning of the SLT. Consider the two sentences below with their translation.

Mr Smith went to Japan for business yesterday.

Bapak Smith pergi ke Jepang untuk urusan bisnis kemarin.

Jane is reading a novel now. Jane sedang membaca novel.

The use of the adverb of time kemarin and sedang is sufficient to explain the past and the progressive tenses. However, since the English tense system is so complex, not every kind of the tenses corresponds to Indonesian sentence. The two English sentences below are not fully translatable into Indonesian.

By nine o’clock tonight I will be watching TV at home (Future Progressive). If it is translated into :

Pada pukul sembilan nanti malam saya akan sedang menonton TV

It sounds unnatural Indonesian sentence since classifying time into akan sedang is rarely heard in the language. Generally Indonesian speakers/writers use only sedang.

But the use of sedang only will lose a

component of meaning of the SLT.

Another example of untranslatable tense of English into Indonesian is the future perfect tense.

(21)

Again a translation such as

Saya akan telah selesai membaca buku itu

sebelum waktu pengembalian.

will sound unnatural. And a common translation such as

Saya akan selesai membaca buku itu

sebelum waktu pengembalian

will lose one component of meaning retained in the SLT. Some other kinds of English tenses may cause similar translation problems into Indonesian since, as mentioned before, the system of tenses in English is so complex.

5.3 Number

The use of number is commonly shown explicitly in English sentences but it seems it is not in Indonesian. For English speakers it is not easy or may be unable to guess the number of the car Pak Hamid has in the Indonesian sentence below.

Karena harga BBM yang semakin melambung Pak Hamid terpaksa menjual mobilnya.

because the number is not shown. It is not shown whether Pak Hamid sold his only car or more than one car he has. Even for Indonesian speakers it must be ambiguous. Structurally the possibility of selling his only car or more than one of his cars is equal. But since the majority of car owners in the country has only one car (possessing more than one car is not common at least at the moment. Only those who are economically advanced are able to buy and operate more than one car). Indonesian speakers may conclude that Pak Hamid’s car is only one. In contrast, possessing more than one car is common in British society.

In English since number must be explicitly shown, we find no difficulty to know the meaning of the two sentences below.

Pak Hamid has sold his car. Pak Hamid has sold his cars.

The first shows that the car is singular because there is no plural marker while the second is plural as shown by the presence of the plural marker “s”.

6. GEOGRAPHICAL DIFFERENCES Geographical condition of one region, as we experience, is related to the climate of the region and to the kinds of plants growing and the kinds of animals living at the region. In some countries like the United States, Canada, European countries, some parts of Australia, Asia and Africa there are four seasons: spring, summer, autumn and winter. In Indonesia and other tropical countries, there are no such kinds of season but dry and wet (rainy) seasons. It means that none of the four seasons of the non-tropical countries corresponds to Indonesian’s. So, how does, for example, one translate autumn into Indonesian? Of course,

the equivalent which is commonly made is

musim gugur/rontok. But how can an

Indonesian who has never experienced such season imagine the situation? He can only create a picture of certain situation in his mind and the picture can be right or wrong.

The same is true for certain plants, vegetables, fruits and animals. For example, kiwi fruit, peach, plum are known only by certain class of people in Indonesia for they do not grow and they are not sold either in every market of Indonesia. So, for a lot of Indonesians they cannot imagine the shape, the colour and the taste of those fruits because they have never seen them. Conversely, tropical fruits like salak, langsat, durian and other tropical fruits are unknown

to many Europeans and Americans for the same reason. And kangaroo, an animal that is

specific to Australia is still unknown to many Indonesians. Thus, translating names of season, plants, vegetables and animals that are specific to one region may cause problems. It is not as easy and practical as translating name of an item which is found in both regions of the SLT and TLT as

pineapple or cucumber that can be found in

English and Indonesian regions.

(22)

7.1 Kinship Terms

It is widely known that kinship terms used in one culture may vary from those used in another as between English and Indonesian cultures. Even between two sub-cultures in the same country the differences may occur as between Javanese and Bataknese cultures.

Although most of English kinship terms can be translated into Indonesian, but the term used referring to one’s father’s brother is not similar in both cultures. In Indonesian there are two terms referring to uncle. The

term uak is used when the uncle is older than

one’s father and paman/pakcik is used when

the uncle is younger. On the other hand, English does not make such distinction. So translating: This ring was given by my uncle

into Cincin ini diberikan paman saya can be

accurate if it is his/her younger uncle who gave the ring but it is a false translation if it is an older uncle. The translator should be concerned with the age of the uncle since the distinction between uak and pakcik is so

important in Indonesian culture.

7.2 Differences of Social Status between Males and Females

Normally in almost all social activities and institutions men are placed in superior positions in Indonesian culture. Women are less often given responsibility to undertake important positions or jobs except indoors activities such as cooking, household management, or child care. In heterosexual relations women are also in the passive position while men are in the active position. It is culturally unacceptable to say in Indonesian, for example, Ibu Khadijah terlihat terlalu muda dibanding suaminya. Dia menikahi Pak rahmad ketika dia baru berumur enam belas tahun. In the text, ibu Khadijah as a woman

takes an active role (married her husband) while her husband takes a passive role (married by her wife). This is contrary to Indonesian culture. In English both John married Mary or Mary married John are equally

acceptable, since both male and female may take an active role. So, it is not easy for a translator to translate, for example, Helen has got married twice. She married her first husband

in 1980. After the death of her husband in 1990 she married another man again two years later. If

the translator puts Helen into passive position as Helen telah menikah dua kali. Dia dinikahi suaminya yang pertama pada tahun 1980. setelah kematian suaminya pada tahun 1990, dia dinikahikembali oleh seorang prialain

would be culturally acceptable, but in a translation such as this, according to Machali (1998: 134) the meaning of the original has been distorted.

7.3 Naming and Addressing People

It seems that both Englishmen and Indonesians (but not of all ethnic groups) have different perspective on the function of a person’s name. The natives of Britain usually have more than one name (given and family name). The given name is used in informal situations while the family name is used in formal situations. The use of a name which is not appropriate to the situation may offend an Englishman. For example, Allan Smith is addressed as Allan in a formal

occasion like a conference by a speaker or as

Smith in an informal occasion like a market

by a friend of his. In contrast, in general a name for Indonesians, although not all, is just an identity. Although many people have more than one name but either the first or the second name can be used except in an official text like a birth certificate where the complete name must be written. Unlike Englishmen who have at least two names with different function, Indonesians prefer calling a friend’s first name to the second or family name. for example, Akbar is more widely known than Tanjung of Akbar Tanjung (the ex-head of Indonesian House of representative), or Megawati is more popular than Soekarnoputri (the ex-president of Indonesia). Even the second name is rarely heard. So, sometimes we can hear wrong addresses made by Indonesians to Englishmen in a formal situation like a seminar by mentioning the title Mr or Mrs in front of the person’s first name only which, of course, may offend the owner of the name.

Gambar

Tabel 1: Emosi yang ditunjukkan melalui isyarat paralinguistik. (Sumber: Scherer 1974)
Tabel 2.   Model Antarkelompok Pemerolehan Bahasa Kedua (Sumber: Giles dan Byrne, 1982)
tabel berikut.  Contoh pemakaian diberikan

Referensi

Dokumen terkait

Pada pemeriksaan dengan slitlamp dari kedua mata (dengan pupil dilatasi) tidak hanya dapat mengkonfirmasi adanya suatu katarak tetapi juga dapat mengidentifikasi

terbentuknya, batuan dibedakan menjadi 3 yaitu kecuali .... Batuan merupakan bagian dari .... Batuan yang terbentuk dari magma yang membeku adalah .... Batuan yang terbentuk pada

Hasil yang diperoleh pada jenis tindak tutur yaitu jenis tindak tutur langsung literal (LL) berjumlah 1 buah, tindak tutur tidak langsung literal (TLL) berjumlah 5 buah,

Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang lebih baik lagi supaya bisa diketahui dan dimanfaatkan sektor mana yang paling penting untuk meningkatkan pembangunan dan

Meningkatkan pengetahuan petani hutan dalam hal penggunaan benih mindi, yaitu untuk menggunakan benih mindi yang berasal dari pohon induk dengan sifat-sifat morfologi terbaik

Berdasarkan tinjauan studi literatur yang telah dilakukan penelitian pada objek rancangan ini menggunakan prinsip Arsitektur Islam menurut Muchlis (2007) yang akan

OSHA: Tiada komponen dalam produk ini pada tahap yang melebihi atau sama dengan 0.1% dikenal pasti sebagai bahan karsinogenik manusia yang mungkin, boleh jadi atau disahkan

Kemunculan bakteri disebabkan oleh masuknya tinja, kotoran hewan, sampah, air kencing, dahak, ekskresi luka, dan sebagainya, ke dalam badan air atau adakalanya