Anjuran Menikah di Bulan Syawal
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Pak Ustadz, saya mau tanya. Saya dan calon suami berniat menikah tapi pernikahan kami akan dilaksakan setelah hari raya Idul Fitri (1 minggu atau 2 minggu setelah hari raya). Apakah boleh? Mohon penjelasannya.
Dvyz (revit4_**@yahoo.***)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Ya, semacam itu diperbolehkan. Bahkan, sebagian ulama menganjurkan untuk menikah di bulan Syawal. Dasarnya adalah riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan,
و هيلع هللا ىلص هللا لوسر ينجوزت
لاوش يف يب ىنبو لاوش يف ملس
هيلع هللا ىلص هللا لوسر ءاسن يأف
لاق ؟ ىنم هدنع ىظحأ ناك ملس و
لخدت نأ بحتست ةشئاع تناكو
لاوش يف اهءاسن
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan mengadakan malam pertama denganku di bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian beliau selain aku?” Salah seorang perawi mengatakan, “Aisyah menyukai jika suami melakukan malam pertama di bulan Syawal.” (H.R. Muslim, An-Nasa’i, dan yang lain)Berdasarkan hadis ini, sebagian ulama menganjurkan agar menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Imam Nawawi mengatakan, “Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di kalangan masyarakat awam, bahwa dimakruhkan menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang tidak memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarkat jahiliah yang meyakini adanya kesialan di bulan Syawal.”
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah). Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Mengapa di sunnahkan menikah setelah bulan
ramadhan
POSTED BY DHYMALK DHYKTA ON THURSDAY, AUGUST 18, 2011 WITH NO COMMENTS
Di hari ke 18 ramadhan, apakah semangat itu
masih ada? semoga kita masih menjaga
semangat itu, semangat menegakkan
pundi-pundi ibadah ramadhan. Semoga kita semua
tidak ada bolong hingga hari kemenangan
tiba. Tapi godaan kan semakin merajalela,
coba saja rekan ke mall, atau public area
lainnya, banyak hal yang mengundang anda
untuk membatalkan puasa terutama
dibukanya tempat-tempat makan, walaupun
kadang-kadang
beberapa
diantaranya
memakai penutup kain. Pemandangan orang
merokok, makan dan hal lain yang
membatalkan puasa semakin banyak
menjumpai kita, semoga iman kita tetap kokoh
hingga 1 syawal nantinya,amin.
orang yang berakidah islam untuk berpuasa,
sebagaimana ayat Allah dalam Surat Al
Baqarah 183 yang intinya adalah ajakan
kepada orang yang beriman untuk berpuasa
sebagaimana ajakan kepada orang sebelum
kita, agar kita memperoleh derajat taqwa.
Sekiranya anda merasa orang yang
bersyahadat, orang yang beriman, silahkan
anda melanjutkan membaca tulisan ini, jika
tidak silahkan lanjut saja kepostingan yang
lain, hehe.
Anda orang beriman kan? anda wajib menahan
semua perbuatan yang dapat membatalkan
puasa anda. Pak ustad mengatakan jaga mulut
[makan dan minum], jaga hati
[amarah,dengki,hasut, dan perbuatan tercela
yang lain],serta menjaga kemaluan [hubungan
suami istri]. Kali ini saya ingin mengulang
kembali ceramah tadi tentang perkara yang
membatalkan puasa untuk hal yang terakhir.
Yup, berhubungan sex/berjima bagi yang
sudah halal [suami istri] disiang hari dengan
sengaja hukumnya membatalkan puasa, bagi
yang bukan suami istri? sudah sangat jelas
dosa besar sob, jangan sampai deh,
Naudzubillah Mindzalik.
Rekan pembaca sekalian, coba kita renungi
salah satu hadits Rasul berikut ini:
atau sakit, tidak akan tergantikan walaupun
dengan puasa selamanya, meski dia
berpuasa. (HR Tirmizy, Abu Daud, Ibnu Majah,
An-Nasai)"
Jelas kan membatalkan puasa di bulan
ramadhan dengan sengaja adalah hal yang
sangat dilarang, tidak akan tergantikan puasa
pada hari itu di hari yang lain walaupun
dengan puasa selamanya.
Pak ustad mengambil tema yang jarang
menurut saya, beliau berkata bahwa penyebab
batalnya puasa kebanyakan selain makan dan
minum adalah berhubungan suami istri
terutama pengantin baru. Beliau berujar
tentang pengalaman nyata beliau", saya punya
rekan sesama ustad yang pengantin baru
(menikah seminggu sebelum ramadhan),
karena gelora yang sangat luar biasa bagi
pengantin bari akhirnya jebol deh puasanya.
Beliau yang batal puasa ini curhat kepada pak
ustad tentang kecerobohannya, dan pada akhir
pembicaraan pak ustad menyarankan untuk
menggantinya selama 2 bulan berturut-turut
di luar bulan Ramadhan.
dalam kondisi berpuasa kadang hal itu juga
terjadi.
Oleh karenanya Rasulullah yang mulia pernah
menyampaikan kepada sahabat, bahwa
menikah menjelang datangnya bulan suci
adalah makruh (lebih baik tidak dilakukan,
tetapi tidak haram), karena Rasul sudah
memprediksi umatnya akan melakukan hal
yang tidak pantas dilakukan orang yang
berpuasa. Beliau melanjutkan lagi, menikah
justru di sunnahkan (sangat dianjurkan) di
bulan syawal, atau seusai lebaran. Saya yang
masih bujangan pun mengangguk-angguk
mengerti dan insya Allah jika waktunya tiba
akan menikah setelah lebaran. Sungguh
sangat berbahaya menikah menjelang
ramadhan, godaan untuk berjima' begitu besar
(bukan datang dari syaitho) tetapi datang dari
diri sendiri yang memang kita adalah mahluk
normal, mahluk yang memiliki nafsu, yang
manakala berdua-duaan dengan lawan jenis
akan terjadi hal yang tidak diinginkan itu.
Dengan senyum simpul saya pun berdo'a
untuk dihindarkan dari perkara yang bisa
membatalkan puasa ini.
pacar "sayang-sayangan"sedapat mungkin
dipending ke malam hari atau setidaknya
hingga lebaran usai.
Semoga ilmu yang saya sharingkan bisa
bermanfaat bagi kita semua, terutama
pengantin baru agar kita bisa memuliakan
Ramadhan dengan menjaga kesucian di
dalamnya.
Nikah Yang Terlarang
Nikah adalah suatu jenjang yang amat sakral, sebagai jalan untuk mencari yang halal dari yang sebelumnya terlarang. Namun nikah dengan seorang wanita tidak bisa asal-asalan. Ada syarat yang mesti dipenuhi seperti mesti adanya wali dan mahar. Begitu pula ada bentuk nikah yang terlarang dan membuat akadnya menjadi tidak sah yang sudah sepatutnya kita jauhi. Bentuk nikah seperti apa sajakah itu? Simak dalam tulisan sederhana berikut.
Pertama: Nikah Syighor
perwaliannya pada si B, namun dengan syarat si B harus menikahkan pula anak, saudara atau yang di bawah perwaliannya pada si A. Bentuk nikah syighor terserah terdapat mahar ataukah tidak. Keharaman bentuk nikah seperti ini telah disepakati oleh para ulama (baca: ijma’), namun mereka berselisih apakah nikahnya sah ataukah tidak. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah seperti ini tidaklah sah. Alasan jumhur adalah dalil-dalil berikut ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
ررَاغغشش لا نر عغ -ملسو هيلع هللا ىلص- هرلللا لل ُوسل رغ ىهغنغ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor.” (HR. Muslim no. 1417)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
سغ ييلغ ، هلتغنغبيا رلخغلا هلجغوشزغيل نيأغ ىلغعغ هلتغنغبيا لل جلرللا جغوشزغيل نيأغ رلَاغغشش لاوغ ، ررَاغغشش لا نر عغ ىهغنغ – ملسو هيلع هللا ىلص – هرلللا لغ ُوسل رغ نل أغ ق
ق ادغصغ َامغهلنغييبغ
“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor yang bentuknya: seseorang menikahkan anaknya pada orang lain namun ia memberi syarat pada orang tersebut untuk menikahkan anaknya untuknya dan di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415)
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
ىترنغبيا كغ جلوشزغألوغ كغتغنغبيا ىنرجيوشزغ لرجلرلللر للجلرللا لغُوقليغ نيأغ رلَاغغششلاوغ ررييمغنل نلبيا دغازغ .ررَاغغششلا نرعغ -ملسو هيلع هللا ىلص- هرلللا للُوسلرغ ىهغنغ ىترخيأل كغ جلوشزغألوغ كغتغخيأل ىنرجيوشزغ ويأغ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bentuk nikah syighor.” Ibnu Numair
menambahkan, “Bentuk nikah syighor adalah seseorang mengatakan pada orang lain: ‘Nikahkanlah putrimu padaku dan aku akan menikahkan putriku padamu, atau nikahkanlah saudara
Dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz Al A’roj, ia berkata,
ةليغورَاعغمل بغ تغكغ فغ َاققادغصغ لغ عغجغ َانغَاكغوغ هلتغنغبيا نرمغحيرللا دلبيعغ هلحغكغنيأغوغ هلتغنغبيا مر كغ حغليا نغبي نرمغحيرللا دغبيعغ حغكغنيأغ سر َابلعغليا نر بي هرلللا دربيعغ نغ بي سغ َابلعغليا نل أغ ملسو هيلع هللا ىلص- هرلللا لل ُوسل رغ هلنيعغ ىهغنغ ِىذرللا رلَاغغشش لا اذغهغ هربرَاتغكر ىفر لغَاقغوغ َامغهلنغييبغ قر يررفيتللَابر هلرلملأي يغ نغاوغريمغ
ىلغإر-“Al ‘Abbas bin ‘Abdillah bin Al ‘Abbas menikahkan puterinya dengan ‘Abdurrahman bin Al Hakam, lalu ‘Abdurrahman menikahkan puterinya dengan Al ‘Abbas dan ketika itu terdapat mahar. Lantas Mu’awiyah menulis surat dan dikirim pada Marwan. Mu’awiyah memerintahkan Marwan untuk memisahkan antara dua pasangan tadi. Mu’awiyah berkata dalam suratnya, “Ini termasuk bentuk nikah syighor yang telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud no. 2075 dan Ahmad 4: 94. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Bentuk nikah syighor dinilai terlarang karena telah menetapkan syarat yang melanggar ketentuan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ةررلمغ ةغئغَامر طغ رغشغ نيإروغ هللغ سغ ييلغفغ هرلللا بر َاتغكر ىفر سغ ييلغ َاطق ريشغ طغ رغتغشيا نرمغ هرلللا برَاتغكر ىفر تيسغييلغ َاطق ورلشل نغُوطل ررتغشييغ سر َانغأل لل َابغ َامغ ق
ل ثغويأغ وغ ققحغأغ هرلللا طلريشغ
“Kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak diperbolehkan dalam kitab Allah? Persyaratan apa saja yang tidak diperbolehkan dalam kitab Allah merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persyratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti.” (HR. Bukhari no. 2155 dan Muslim no. 1504)
Kedua: Nikah Muhallil
Kita telah ketahui bahwa maksimal talak adalah sampai talak ketiga. Dua talak sebelumnya, masih bisa ada rujuk. Jika suami telah mentalak istri sampai tiga kali, maka ia tidak bisa rujuk kembali sampai si istri nikah dengan pria lain dan cerai lagi dengan cara yang tidak diakal-akali.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, ia berkata,
هللغ لغ للحغ مللياوغ لغ لشحغ مللا مغللسغ وغ هرييلغعغ هللللا ىللصغ هرللا لل ُويسل رغ نغ عغلغ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan al muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi).” (HR. Abu Daud no. 2076 dan Ibnu Majah no. 1934. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هللغ لغ للحغ مللياوغ لغ لشحغ مللا هلللا نغ عغلغ ،لل لشحغ ملليا ُوغهل :لغ َاقغ ،هرللا لغ ُويسل رغ َايغ ىلغبغ :اُويللَاغق ِ؟ررَاعغتغسي ملليا سر ييتللَابر ميكلرلبرخيأل لغ أغ.
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang taisil musta’aar (domba pejantan yang disewakan)?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah muhallil. Allah akan melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (HR. Ibnu Majah no. 1936. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata,
ِ؟لر وللغ لر لقحرتغ ليهغ ،هرييخرلغ هلللحريغلر هلنيمر ةررغمغاؤغمل ررييغغ نيمر هللغ خقأغ َاهغجغولزغتغفغ ،َاثقلغثغ هلتغأغرغميا قغللطغ لرجلرغ نيعغ هللغأغسغفغ رغمغعل نربيا ىلغإر لقجلرغ ءغَاجغ مغ للسغ وغ هرييلغعغ هللللا ىللصغ هرللا لر ُويسل رغ درهيعغ ىلغعغ َاحقَافغسغ اذغهغ دق علنغ َانلكل ،ةريغغيرغ حغَاكغنر للإر ،لغ :لغَاقغ.
Muslim. Adz Dzahabi pun menyatakan demikian)
Nikah muhallil dinilai terlarang dan nikahnya tidak sah, terserah apakah dipersyaratkan di awal bahwa si wanita akan dicerai supaya halal bagi suami pertama ataukah tidak disyaratkan tetapi hanya diniatkan.
Ketiga: Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak)
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah munqothi’). Bentuk nikah ini adalah seseorang menikahi wanita pada waktu tertentu selama 10 hari, sebulan atau lebih dengan memberi biaya atau imbalan tertentu.
Nikah mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99).
Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
َاهغنيعغ َانغَاهغنغ ىتلحغ َاهغنيمر جيرلخينغ ميلغ ملثل ةغكلمغ َانغليخغدغ نغ يحر حرتيفغليا مغَاعغ ةرعغتيملليَابر -ملسو هيلع هللا ىلص- هرلللا للُوسل رغ َانغرغمغأغ .
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami
meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata,
تل عيتغميتغسي ا مل ثل … ءرَاسغ نشلا ةرعغتيمل ىفر -ملسو هيلع هللا ىلص- هرلللا لل ُوسل رغ َانغلغ نغ ذرأغ فغ – مرُوييغوغ ةرلغييلغ نغييبغ نغيثرلغثغ – ةغرغشيعغ سغ ميخغ َاهغبر َانغميقغأغ فغ ملسو هيلع هللا ىلص- هرلللا لل ُوسل رغ َاهغمغرلحغ ىتلحغ جيرلخيأغ ميلغفغ َاهغنيمر-.
Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis). Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam lafazh lain disebutkan,
نل هرقرارغفربر -ملسو هيلع هللا ىلص- هرلللا لل ُوسل رغ َانغرغمغأغ ملثل َاثقلغثغ َانغعغمغ نلكلفغ.
“Wanita-wanita tersebut bersama kami selama tiga hari, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berpisah dari mereka.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam lafazh lainnya lagi dari Sabroh Al Juhaniy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ةرمغَايغقرليا مر ُوييغ ىلغإر كغ لرذغ مغرلحغ ديقغ هغلللا نلإروغ ءرَاسغ نشلا نغ مر عرَاتغميترسي لر ا ىفر مي كل لغ تل نيذرأغ تلنيكل ديقغ ىنشإر سل َانللا َاهغيقأغ َايغ
“Wahai sekalian manusia. Awalnya aku mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para wanita. Sekarang, Allah telah mengharamkan (untuk melakukan mut’ah) hingga hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1406)
Riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mu’tah atau kawin kontrak adalah nikah yang fasid, tidak sah. Sehingga dari sini pasangan yang menikah dengan bentuk nikah semacam ini wajib dipisah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dipisah dalam hadits Sabroh di atas.
Bagaimana jika tidak ada di perjanjian awal, namun hanya ada di niatan yaitu jika si pria kembali ke negerinya, ia akan mencerai istrinya? Hal ini beda dengan nikah mut’ah di awal. Yang kedua adalah nikah dengan niatan cerai, si istri awalnya tidak tahu dengan niatan ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
مي لغوغ لغ جغليغ ا جلويزللا ِىُوغنغ اذغإ َاملأغوغ … هرمريررحيتغ ىلغعغ ميهلرلييغغوغ ةلعغبغريليغا ةلملئرليغا قغفغتلا ِيذرللا ” ةرعغتيملليا حلَاكغنر ” اذغهغفغ تغيقرُويتللا طغررتغشييغ نيأغ َاملأغفغ َامغهلرلييغغوغ دمغحيأغوغ كق لرَامغ هلهلرغكييغوغ يق عرفرَاشل لاوغ ةغفغينرحغ ُوبلأغ هريفر صل خش رغيل : عقازغنر هريفر اذغهغفغ : ةرأغريمغليلر هلريهرظي يل
“Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya oleh empat imam madzhab dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat nikah sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita (nikah dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memberikan keringanan pada nikah semacam ini. Sedangkan Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 107-108)
Dinukil dari Imam Nawawi,
حَاكغ نر سغ ييلغوغ ، للغحغ حيحرصغ هحَاكغ نرفغ َاهغاُوغنغ ةدلمل للإر َاهغعغمغ ُثكلمييغ للأغ هتيلنروغ َاققلغطي مل َاحقَاكغنر حغكغنغ نيمغ نلأغ ىلغعغ اُوعلمغجيأغوغ : يضر َاقغليا لغ َاقغ ُوغهل : لغَاقغفغ يق عرازغويليغ ا ذلشغوغ ، سَانللا قلغخيأغ نيمر اذغهغ سغ ييلغ : كلرَامغ لغَاقغ ني كر لغوغ ، رُوكلذيمغليا طر ريشل لَابر عغقغوغ َامغ ةعغتيملليا حَاكغنر َامغنلإروغ ، ةعغتيمل هريفر رييخغ لغوغ ، ةعغتيمل حَاكغنر
Al Qodhi Husain berkata, “Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang menikah dan niatnya hanya tinggal bersama si wanita selama waktu tertentu (nikah dengan niatan cerai, pen), nikah yang dilakukan sah dan halal. Nikah semacam ini tidak termasuk nikah mut’ah. Disebut nikah mut’ah jika ada persyaratan di awal. Namun Imam Malik mengatakan, “Melakukan nikah dengan niatan cerai bukanlah tanda orang yang memiliki akhlak yang baik.” Al Auza’i sedikit berbeda dalam hal ini, beliau berkata, “Nikah semacam itu tetap termasuk nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan sama sekali.” (Syarh Muslim, 9: 182)
dengan wali yang asal comot. Pak Naib yang biasa memandu mengucapkan akad nikah tidak tahu pula asal-usulnya. Yang jelas -setahu kami-, kawin kontrak di negeri kita termasuk dalam tindakan pidana. Namun begitulah karena fulus, kawin kontrak masih tetap terus menjamur.
Keempat: Nikah dalam Masa ‘Iddah
Yang dimaksud ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan untuk mengetahui kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau dalam rangka berkabung atas meninggalnya suami. Seorang wanita tidak boleh dinikahi pada masa ‘iddahnya. Allah Ta’ala berfirman,
هللغجغأغ بل َاتغكر ليا غغللبييغ ىى تلحغ حرَاكغ نشلا ةغدغقيعل اُوملزرعيتغ لغوغ
“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah: 235). Imam Nawawi menyebutkan, “Tidak boleh menikahi wanita yang berada pada masa ‘iddah karena suatu sebab. … Salah satu tujuan masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun jadi sia-sia (karena kacaunya nasab).” (Al Majmu’, 16: 240)
Apa saja masa ‘iddah bagi wanita?
‘Iddah itu ada tiga macam: ‘Iddah hitungan quru’ ‘Iddah hitungan bulan ‘Iddah wanita hamil
1. ‘Iddah hitungan quru’
‘Iddah bagi wanita yang masih mengalami haidh (bukan monopause) dan diceraikan suaminya adalah dengan hitungan quru’.
ءرورلقل ةغثغلغثغ نل هرسر فلنيأغبر نغ صي بلرغتغيغ تل َاقغللطغ مللياوغ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al Baqarah: 228).
Apa yang dimaksud tiga quru’?
Mengenai makna quru’, di sini ada khilaf di antara para ulama. Ada yang menganggap quru’ adalah suci, berarti setelah tiga kali suci, barulah si wanita yang diceraikan boleh menikah lagi. Ada pula ulama yang menganggap quru’ adalah haidh.
Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddahnya jika memakai tiga kali haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut ini.01/09 05/09 – 11/09 11/09 – 05/10 05/10 – 11/10 11/10 – 05/11 05/11 – 11/11 11/11
Talak ketika Suci Haidh
Suci Haidh Suci Haidh Suci
Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai dihitung ketika masa suci saat dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haidh ketiga. Di sini masa ‘iddah akan melewati dua kali haidh.
Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai secara sempurna. Di sini masa ‘iddah akan melewati tiga kali haidh secara sempurna.
Jika kita perhatikan, hitungan dengan tiga kali haidh ternyata lebih lama dari tiga kali suci.
Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,
ءرريقلليا ىلغإر ءرريقلليا نغييبغ َامغ ىلشصغ مل ثل ِىررهلطغ تغفغ كرؤلريقل رلمغ اذغإرفغ ىلشصغ تل لغ فغ كر ؤلريقل ىتغأغ اذغإر ِىررظلنيَافغ ققريعر كغلرذغ َامغنلإر
“Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru’, janganlah shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haidh. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku berpendapat bahwa quru’ adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)
Kami tidak membawakan perselisihan ini lebih panjang. Itulah kesimpulan kami dari dalil-dalil yang kami pahami. Yang berpendapat seperti ini pula adalah guru kami –Syaikh Sholeh Al Fauzan- (Al Mulakhos Al Fiqhiyyah, 2: 426) dan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 319-322).
Catatan:
Hitungan ‘iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi. Talak yang syar’i jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum disetubuhi.
2. ‘Iddah hitungan bulan
‘Iddah dengan hitungan bulan ada pada dua keadaan:
نغ ضي حر يغ مي لغ يئرلللاوغ ررهلشي أغ ةلثغلغثغ نل هلتلدل عرفغ مي تلبيتغريا نر إر مي كل ئرَاسغ نر ني مر ضر يحر مغليا نغ مر نغ سي ئريغ يئرلللاوغ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(2) masa ‘iddah selama 4 bulan 10 hari (kalender hijriyah), yaitu bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, baik sebelum disetubuhi ataukah sesudahnya, baik wanita yang dinikahi sudah haidh ataukah belum pernah haidh, namun dengan syarat wanita yang ditinggal mati bukanlah wanita hamil. Allah Ta’ala berfirman,
يفر نغ ليعغفغ َامغيفر مي كل ييلغعغ حغَانغجل لغفغ نلهللغجغأغ نغغيلغبغ اذغإرفغ ا رقشيعغوغ ررهلشيأغ ةغعغبغ ريأغ نلهرسر فلنأغبر نغ صي بل رغتغيغ َاجقاوغزيأغ نغو رلذغيغوغ ميكلنمر نغُويفلُوغتغيل نغيذرللاوغ رقيبرخغ نغُوللمغعيتغ َامغبر هلَّـلللاوغ فر و رلعيمغليَابر نل هرسر فلنأغ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ارقشي عغ وغ ررهلشيأغ ةغعغبغريأغ جرويزغ ىلغعغ لل إر ، لرَايغلغ ثرلغثغ قغُويفغ تر يشمغ ىلغعغ دل حر تل ني أغ ررخرلا مر ُوييغلياوغ هرلللَابر نل مرؤيتل ةرأغ رغميلر لقحريغ لغ
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)
3. ‘Iddah wanita hamil
نل هللغميحغ نغ عيضغ يغ نأغ نل هلللجغ أغ لر َامغحي ليغ ا تللغوأل
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
Para ulama berselisih pendapat, bagaimana jika wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil?
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa masa ‘iddahnya berakhir ketika ia melahirkan, baik masa tersebut lama atau hanya sebentar. Seandainya ia melahirkan 1 jam setelah meninggalnya suaminya, masa ‘iddahnya berakhir dan ia halal untuk menikah.
Kelima: Nikah dengan Mantan Isteri yang Sudah Ditalak Tiga
Nikah seperti ini terlarang. Mantan isteri yang telah ditalak tiga tidak bisa dinikahi lagi oleh
suaminya yang dulu sampai ia menikah dengan pria yang lain dan bercerai dengan cara yang wajar (bukan akal-akalan). Allah Ta’ala berfirman,
كغ ليتروغ هرلللا دغودلحل َامغيقريل نيأغ َانلظغ نيإر َاعغجغارغتغيغ نيأغ َامغهرييلغعغ حغَانغجل لغفغ َاهغقغللطغ نيإرفغ هلرغييغغ َاجقويزغ حغكرنيتغ ىتلحغ دلعيبغ نيمر هللغ لقحرتغ لغفغ َاهغقغللطغ نيإرفغ نغ ُومللغعييغ مر ُويقغلر َاهغنليشبغيل هرلللا دلودل حل
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 230)
كر تغلغييسغ عل قغ وذل يغوغ هلتغلغييسغ عل ىقروذلتغ ىتلحغ لغ ةغعغَافغرر ىلغإر ىعرجرريتغ نيأغ نغيدريررتلأغ
“Apakah engkau ingin kembali pada Rifa’ah (suamimu yang pertama). Tidak boleh sampai engkau merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.” (HR. Bukhari no. 2639 dan Muslim no. 1433)
Keenam: Kawin Lari
Kawin lari yang dimaksud di sini bisa jadi berbagai macam pengertian. Bisa jadi, tanpa wali nikah, atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali sebenarnya. Ada juga kawin lari dengan kumpul kebo, tinggal satu atap tanpa status nikah. Boleh jadi ketika hamil mereka menjalin
hubungan RT secara resmi. Yang kami bahas di sini adalah kawin lari, lalu menikah dengan wali yang tidak jelas (asal copot), jadi sama saja tidak memakai wali. Dan yang wajib ada wali adalah si wanita, bukan laki-laki.
Padahal wali memiliki urutan yang ditetapkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah membuat urutan:
Ayah Kakek
Saudara laki-laki
Anak saudara laki-laki (keponakan) Paman
Anak saudara paman (sepupu)
Dan pengertian wali wanita adalah kerabat laki-laki si wanita dari jalur ayahnya, bukan ibunya. Jika masih ada kerabat yang lebih dekat seperti ayahnya, maka tidak boleh kerabat yang jauh seperti paman menikahkan si wanita. Boleh saja jika si wali mewakilkan kepada orang lain (seperti si ayah kepada paman) sebagai wali si wanita. Dan ketika itu si wakil mendapat hak sebagaimana wali. Dan ingat, syarat wali adalah: (1) Islam, (2) laki-laki, (3) berakal, (4) baligh dan (5) merdeka (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 142-145).
يق لروغ نل َاطغ ليسق لَافغ اويرلجغتغشي ا نر إرفغ لق طر َابغ لق طر َابغ لق طر َابغ َاهغحلَاكغ نرفغ َاهغيشلروغ نرذيإر ررييغغبر تيحغكغنغ ةرأغرغميا َامغيقأغ : هرللا للُويسلرغ لغَاقغ : تيلغَاقغ ةغشغئرَاعغ نيعغ هللغ يل لروغ لغ ني مغ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
يي لرُوغبر لل إر حغَاكغنر لغ : هرللا للُويسلرغ لغَاقغ : لغَاقغ ِيش ررعغشي لغ ا ىسغُويمل ييبرأغ نيعغ
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
َاهغيشلروغ نرذيإر ررييغغبر َاهغسغ فينغ حل كر نيتل ىترللا ةليغنرازللاوغ َاهغسغ فينغ ةلأغ ريمغليا جلوشزغتل لغوغ ةغأغريمغليا ةلأغريمغليا جلوشزغتل لغ لغَاقغ ةغرغييرغهل ىبرأغ نيعغ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad
Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir)
Imam Al Baghawi berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan pendapat Umar, ‘Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim An Nakha’I, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq” (Syarh Sunnah, 9: 40-41).
Demikianlah sebagian pemuda, demi cinta sampai ingin mendapat murka Allah. Kawin lari sama saja dengan zina karena status nikahnya tidak sah.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal